HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS SPASIAL RISIKO BANJIR WILAYAH SUNGAI MANGOTTONG DI KABUPATEN SINJAI, SULAWESI SELATAN

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

BAB IV METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Analisis Spasial untuk Menentukan Zona Risiko Banjir Bandang (Studi Kasus: Kabupaten Sinjai)

MODEL SPASIAL GENANGAN BANJIR: STUDI KASUS WILAYAH SUNGAI MANGOTTONG, KABUPATEN SINJAI, PROVINSI SULAWESI SELATAN

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembobotan. Tabel 5.1 Persentase Pembobotan Tingkat Bahaya

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1.1 Gambar 1.1 Tabel 1.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ARAHAN PENGENDALIAN BANJIR BERBASIS GIS DI KECAMATAN SINJAI UTARA KAB. SINJAI

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Gambar 4.15 Kenampakan Satuan Dataran Aluvial. Foto menghadap selatan.

Pemintakatan Risiko Bencana Banjir Akibat Luapan Kali Kemuning di Kabupaten Sampang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

LAMPIRAN 1 HASIL KEGIATAN PKPP 2012

III. BAHAN DAN METODE

SIDANG TUGAS AKHIR IDENTIFIKASI KERUSAKAN HUTAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) MENGGUNAKAN DATA CITRA LANDSAT 7 DAN LANDSAT

BAB IV METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Separabilitas Untuk mengetahui tingkat keterpisahan tiap klaster dari hasil klastering (Tabel 5) digunakan analisis separabilitas. B

Pemintakatan Risiko Bencana Banjir Bandang di Kawasan Sepanjang Kali Sampean, Kabupaten Bondowoso

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

Ayesa Pitra Andina JURUSAN TEKNIK GEOMATIKA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA 2014

I. PENDAHULUAN. Jakarta merupakan ibukota Negara Indonesia dan pusat pemerintahan,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

ABSTRAK PENDAHULUAN. Desi Etika Sari 1, Sigit Heru Murti 2 1 D3 PJ dan SIG Fakultas Geografi UGM.

besar dan daerahnya rutin terkena banjir setiap masuk hujan. Padahal kecamatan ini memiliki luas yang sempit.hal tersebut menjadikan kecamatan ini men

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

Kemampuan Tampungan Sungai Code Terhadap Material Lahar Dingin Pascaerupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010

PEMANFAATAN CITRA QUICKBIRD DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK ZONASI KERENTANAN KEBAKARAN PERMUKIMAN KASUS DI KOTA BANDUNG BAGIAN BARAT

BAB III LANDASAN TEORI

Alhuda Rohmatulloh

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISIS SPASIAL UNTUK MENENTUKAN ZONA RISIKO BANJIR BANDANG (STUDI KASUS KABUPATEN SINJAI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KESESUAIAN UNTUK LAHAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KERANGKA RAPERMEN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN BATAS SEMPADAN PANTAI

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.. UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR LAMPIRAN...

III. BAHAN DAN METODE

PEMODELAN GENANGAN BANJIR PASANG AIR LAUT DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN CITRA ALOS DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

BAB IV METODE PENELITIAN. A. Konsep Penelitian

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print) C78

PENANGANAN PERMUKIMAN RAWAN BANJIR DI BANTARAN SUNGAI Studi Kasus: Permukiman Kuala Jengki di Kelurahan Komo Luar & Karame, Kota Manado

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

DAFTAR GAMBAR. Gambar 2. 1 Pembagian Profil Melintang Sungai Gambar 2. 2 Diagram Kerangka Pemikiran BAB III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pemetaan Daerah Risiko Banjir Lahar Berbasis SIG Untuk Menunjang Kegiatan Mitigasi Bencana (Studi Kasus: Gunung Semeru, Kab.

TINJAUAN PUSTAKA. Banjir. Tabel 1 Beberapa penyebab banjir (Kodoatie & Sugiyanto 2002)

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERUMUSAN ZONASI RISIKO BENCANA BANJIR ROB DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR ARIFIN

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 6, Nomor 1, Tahun 2017, Halaman Online di :

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

TINGKAT KERAWANAN BENCANA TSUNAMI KAWASAN PANTAI SELATAN KABUPATEN CILACAP

METODE PENELITIAN. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bengkalis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. dimulai pada bulan Maret 2016 sampai dengan bulan Juni 2016

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemodelan Aliran Permukaan 2 D Pada Suatu Lahan Akibat Rambatan Tsunami. Gambar IV-18. Hasil Pemodelan (Kasus 4) IV-20

BAB III METODE PENELITIAN

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB 4 ANALISIS RISIKO BENCANA TSUNAMI DI KOTA PADANG

III. BAHAN DAN METODE

5. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

Gambar 7. Lokasi Penelitian

METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

Gambar 3. Peta Resiko Banjir Rob Karena Pasang Surut

PEMETAAN KERENTANAN BENCANA TSUNAMI DI PESISIR KECAMATAN KRETEK MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI, KABUPATEN BANTUL DIY

BAB IV ANALISIS 4.1 Analisis Terhadap Citra Satelit yang digunakan 4.2 Analisis Terhadap Peta Rupabumi yang digunakan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Data. B. Data Hujan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahun Penelitian 2005

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

III. BAHAN DAN METODE

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN DEM (Digital Elevation Model) Wilayah Penelitian Proses interpolasi beberapa data titik tinggi yang diekstraksi dari berbagai sumber dengan menggunakan metode semivariogram tipe ordinary kriging, model spherical, menghasilkan DEM Awal (prediction map) dan error DEM Awal (prediction standart error map) yang masing-masing disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19. Data DEM Awal menghasilkan ketinggian berkisar antara 0 130.03 meter. Data error DEM Awal menunjukkan bahwa nilai kesalahan (error) ketinggian berkisar antara 0.25 2.43 meter. Besarnya nilai error hasil interpolasi terdapat pada daerah yang ketersediaan data titik tingginya kurang. Semakin banyak (kerapatan tinggi) titik tinggi pada daerah yang diinterpolasi maka akan semakin kecil error yang dihasilkan. Gambar 18 DEM Awal (prediction map).

40 Gambar 19 Error DEM Awal (prediction standart error map). Penggabungan DEM Awal (setelah dilakukan pengisian void pada daerah yang error-nya tinggi menggunakan DEM SRTM hasil normalisasi) dan DEM Sungai menghasilkan DEM Gabungan dengan nilai ketinggian berkisar antara -2.37 130.81 meter. Perolehan nilai pada DEM Gabungan (Gambar 20) dan perbedaannya terhadap nilai DEM Awal dipengaruhi oleh nilai pada DEM SRTM yang telah dinormalisasi dan DEM Sungai. Gambar 20 DEM Gabungan.

41 Berdasarkan 100 data titik yang digunakan untuk mengevaluasi data DEM Gabungan (Gambar 21), diperoleh nilai RMSE sebesar 2.62. Nilai RMSE tersebut lebih dominan dipengaruhi oleh kesalahan nilai pada daerah perbukitan. Pada daerah dengan kerapatan titik yang tinggi yaitu titik tinggi yang bersumber dari peta Dasar Pendaftaran memiliki nilai rata-rata kesalahan yang rendah, sedangkan pada daerah dengan kerapatan titik yang rendah yaitu titik tinggi yang bersumber dari peta Rupabumi Indonesia memiliki nilai rata-rata kesalahan yang tinggi. Secara keseluruhan, nilai RMSE tersebut untuk DEM Gabungan dianggap cukup baik sehingga dapat digunakan untuk mensimulasikan genangan banjir. Gambar 21 Peta sebaran titik tinggi validasi data DEM Penggunaan Lahan Wilayah Penelitian Hasil interpretasi citra satelit WorldView-2 akuisisi tahun 2011 memberikan gambaran distribusi penggunaan lahan di sekitar wilayah Sungai Mangottong. Kelas penggunaan lahan terdiri dari Pemukiman/Perumahan, Bisnis, Perkantoran, Fasilitas Pendidikan, Fasilitas Kesehatan, Ruang Terbuka/Lapangan, Sawah, Kebun Campuran, Semak Belukar, Tambak/Empang, Mangrove, dan Sungai. Sebaran penggunaan lahan di lokasi penelitian pada tahun 2011 disajikan pada Gambar 22.

42 Gambar 22 Peta penggunaan lahan di sekitar wilayah Sungai Mangottong tahun 2011. Luas penggunaan seluruhnya dalam penelitian ini mengikuti luas daerah penelitian yaitu 27.86 km 2 atau 2 786 ha. Penggunaan lahan sawah merupakan penggunaan lahan yang mendominasi diikuti oleh tambak/empang di lokasi penelitian. Penggunaan lahan pemukiman/perumahan di bagian utara Sungai Mongottong mengkan banyaknya penduduk yang bermukim dan banyaknya infrastrukstur yang terbangun. Penggunaan lahan bisnis, perkantoran, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan juga berpusat di bagian utara Sungai Mongottong yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai. Luas masing-masing kelas penggunaan lahan disajikan secara grafik pada Gambar 23. Gambar 23 Luas kelas penggunaan lahan di lokasi penelitian.

Elevasi (m dpl) 43 Model Genangan Banjir Verifikasi Model Analisis model spasial genangan berdasarkan tahapan algoritma yang dibuat sangat dipengaruhi oleh penentuan nilai n (penambahan ketinggian genangan pada piksel awal sehingga dapat didistribusikan ke piksel selanjutnya), namun tidak mempengaruhi nilai volume (V) yang dihasilkan. Berdasarkan verifikasi model dengan menggunakan nilai n yang berbeda pada sebagian wilayah penelitian, menunjukkan ketinggian (kedalaman air) genangan dan luasan daerah yang tergenang yang berbeda seperti tersaji pada Gambar 24. (a) 16 14 12 10 8 6 4 2 0 1 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800 Panjang Sungai (m) Dasar Sungai n = 1 n = 0.5 n = 0.1 (b) n = 1 n = 0.5 n = 0.1 (c) Gambar 24 Verifikasi model: (a) sebagian wilayah penelitian, (b) perbedaan ketinggiaan genangan, dan (c) perbedaan luasan daerah yang tergenang.

44 Berdasarkan Gambar 24, semakin kecil nilai n maka sebaran kedalaman air semakin merata dan menghasilkan luasan daerah yang tergenang lebih luas. Sedangkan semakin besar nilai n maka sebaran kedalaman air lebih memuncak (tinggi) pada daerah bagian hulu dibandingkan pada daerah bagian hilir dan mempengaruhi luasan daerah yang tergenang (luasannya lebih rendah dibandingkan nilai n yang semakin kecil). Nilai n = 0.1 lebih menunjukkan pola alami kejadian banjir dimana sebaran dan distribusi kedalaman air terlihat merata. Selain dari perbedaan sebaran kedalaman air dan luasan daerah yang tergenang, perbedaan yang paling penting dalam menjalankan simulasi model ini adalah waktu yang diperlukan hingga simulasi model selesai dijalankan. Secara komputasi (processing time) nilai n = 0.1 sangat memerlukan waktu yang lama untuk menyelesaikan tahapan simulasi dalam proses verifikasi model. Artinya semakin kecil nilai n maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan simulasi model, terutama pada daerah yang luas. Berdasarkan hal tersebut, dalam penelitian ini dipilih penggunaan nilai n sebesar 0.5 untuk mensimulasikan genangan pada kejadian banjir pada tahun 2006, dengan mempertimbangkan peralatan komputasi yang digunakan yaitu laptop. Genangan Kejadian Banjir tahun 2006 Hasil simulasi model untuk kejadian banjir tahun 2006 menunjukkan kedalaman air berkisar antara 0 6.25 m (Gambar 25). Kedalaman air yang mencapai 6.25 m merupakan ketinggian genangan pada wilayah sungai (termasuk kedalaman sungai). Semakin jauh jarak dari sungai, maka kedalaman air semakin rendah, yang dapat dipengaruhi oleh variasi ketinggian topografi wilayah. Validasi Model Validasi ketinggian genangan (kedalaman air) hasil simulasi model untuk kejadian banjir 2006 dilakukan dengan membandingkannya terhadap ketinggian genangan hasil observasi di lapangan sebanyak 25 titik (Gambar 26). Hasil validasi menunjukkan nilai R 2 sebesar 0.72 yang berarti cukup akurat dalam menggambarkan kondisi genangan (Gambar 27).

45 Gambar 25 Peta genangan banjir tahun 2006. Gambar 26 Peta titik validasi genangan hasil observasi lapangan. Secara umum, kedalaman air hasil model menghasilkan estimasi kedalaman yang rendah (under estimate) dibandingkan terhadap kedalaman air hasil observasi (lihat Lampiran 3). Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi topografi di lokasi penelitian berbeda dengan kondisi topografi yang digambarkan oleh data DEM. Selain itu, nilai kedalaman hasil observasi di lapangan diduga memiliki bias akibat ketidaktepatan ingatan dan pengamatan masyarakat secara

Genangan Observasi (m) 46 relatif dalam memberikan informasi (rekonstruksi kejadian) terkait kedalaman banjir. Ingatan atau pengamatan secara langsung oleh masyarakat pada kejadian banjir tahun 2006 terkait kedalaman air, khususnya pada daerah hulu, kemungkinan adalah genangan maksimum pada kondisi sesaat (durasi waktu genangan) sebelum luapan air sungai mengalir ke daerah hilir. Data luasan daerah yang tergenang secara aktual (real) di lapangan tidak tersedia. Sedangkan luas daerah yang tergenang berdasarkan hasil simulasi model yaitu 903.92 ha atau 32.43% dari luas daerah penelitian. 5.00 4.00 3.00 2.00 y = 1.0124x + 0.5572 R² = 0.7201 1.00 0.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Genangan Model (m) Gambar 27 Hasil validasi model genangan banjir tahun 2006. Genangan Periode Ulang 25, 50 dan 100 Tahun Hasil simulasi model berdasarkan nilai volume pada periode ulang 25, 50 dan 100 tahun diperoleh kedalaman air maksimum masing-masing yaitu 6.24, 6.31 m dan 6.34 m (Gambar 28, 29, dan 30). Perbandingan ketinggian genangan antara simulasi model periode ulang 25 tahun terhadap model periode ulang 50 tahun menghasilkan rata-rata ketinggian sebesar 0.09 m, sedangkan perbandingan antara model periode ulang 50 tahun terhadap model periode ulang 100 tahun menghasilkan rata-rata ketinggian sebesar 0.08 m (Gambar 31).

47 Gambar 28 Peta genangan banjir periode ulang 25 tahun. Gambar 29 Peta genangan banjir periode ulang 50 tahun.

Elevasi (m dpl) 48 Gambar 30 Peta genangan periode ulang 100 tahun. 14 12 10 8 6 4 2 0-2 -4 0 2000 4000 6000 8000 10000 Panjang Sungai (m) Dasar Sungai Q100 Q50 Q2006 Gambar 31 Perbandingan ketinggian genangan antara hasil simulasi model periode ulang 25, 50, dan 100 tahun. Daerah yang tergenang berdasarkan hasil simulasi model (Gambar 32) menghasilkan luasan yang berbeda antara model periode ulang 25, 50, dan 100 tahun. Luas daerah yang tergenang untuk model periode ulang 25, 50, dan 100 tahun masing-masing yaitu 903.36 ha, 934.36 ha, dan 961.20 ha.

49 Gambar 32 Peta daerah genangan berdasarkan hasil simulasi model periode ulang 25, 50, dan 100 tahun. Risiko Bencana Banjir Bahaya Banjir Analisis bahaya banjir berdasarkan kelas kedalaman genangan untuk hasil simulasi model periode ulang 25 tahun menghasilkan peta bahaya banjir di lokasi penelitian (Gambar 34). Kelas bahaya rendah merupakan kelas bahaya yang mendominasi di lokasi penelitian dengan luas sebesar 413 ha (46% dari total luas daerah bahaya), sedangkan kelas bahaya sedang dan tinggi masing-masing dengan luas sebesar 226.16 ha (25%) dan 25.12 ha (29%). Persentase luas masing-masing kelas bahaya disajikan pada 33. Tinggi 29% Sedang 25% Rendah 46% Gambar 33 Persentase luas kelas bahaya banjir.

Luas (ha) 50 Gambar 34 Peta bahaya banjir. Tingkat bahaya banjir berdasarkan kelas bahaya menunjukkan tingkat ancaman pada suatu wilayah dimana terdapat aktivitas masyarakat yang dapat menimbulkan dampak kerugian. Secara administrasi, kelas bahaya tinggi mendominasi di Kecamatan Sinjai Timur yaitu pada Kelurahan Samataring (87.44 ha atau 9.77% dari total luas daerah bahaya) dan Desa Saukang (54.20 ha atau 6.05%). Di Kecamatan Sinjai Utara, kelas bahaya rendah dan sedang mendominasi di wilayah tersebut, yaitu di Kelurahan Lappa dengan luas masingmasing kelas seluas 247.88 ha (27.69%) dan 100.72 ha (11.25%). 400.00 350.00 300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 Kel. Biringere Kel. Balangnipa Kec. Sinjai Utara Kel. Lappa Kel. Samataring Desa Kampala Kec. Sinjai Timur Desa Saukang Kelas Bahaya Rendah Kelas Bahaya Sedang Kelas Bahaya Tinggi Gambar 35 Luas setiap kelas bahaya berdasarkan administrasi desa/kelurahan di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur.

51 Kerentanan Banjir Analisis setiap kriteria kerentanan yaitu kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan ekspour lahan diperoleh hasil sebagai berikut: a. Kerentanan fisik menghasilkan peta jumlah bangunan yang dianalisis berdasarkan jumlah titik bangunan (Gambar 36) yang berada di daerah yang tergenang (daerah bahaya), dengan jumlah titik bangunan sebanyak 2474 titik. Hasil yang diperoleh dikelompokkan menjadi 3 kelas yang disajikan pada Gambar 37. b. Kerentanan sosial menghasilkan peta kepadatan penduduk yang dianalisis berdasarkan jumlah penduduk per km 2 yang berada di daerah yang tergenang (daerah bahaya), dengan jumlah titik bangunan pemukiman sebanyak 2323 titik. Jumlah rata-rata penduduk per unit bangunan berdasarkan administrasi wilayah desa/kelurahan disajikan pada Tabel 10. Hasil yang diperoleh dikelompokkan menjadi 3 kelas yang disajikan pada Gambar 38. c. Eksposur lahan menghasilkan peta eksposur lahan dengan nilai berdasarkan kerugian setiap kelas penggunaan lahan akibat terkena dampak (terpapar) oleh bahaya banjir (Gambar 39). Hasil penilaian oleh responden dengan metode pairwise comparison (AHP) untuk eksposur lahan yang telah dikompositkan berdasarkan rata-rata geometrik setiap bobot dari masing-masing responden disajikan pada Tabel 11. Tabel 9 Jumlah rata-rata penduduk per unit bangunan berdasarkan administrasi wilayah desa/kelurahan di daerah bahaya Kecamatan Desa/Kelurahan Rata-rata jumlah penduduk per unit bangunan pemukiman Sinjai Utara Kel. Biringere 5 Kel. Balangnipa 5 Kel. Lappa 5 Sinjai Timur Kel. Samataring 4 Desa Kampala 4 Desa Saukang 5

52 Gambar 36 Peta sebaran bangunan. Gambar 37 Peta jumlah bangunan di daerah bahaya.

53 Gambar 38 Peta kepadatan penduduk di daerah bahaya. Tabel 10 Matriks penilaian komposit untuk bobot kriteria eksposur lahan, perhitungan nilai CR (Consistency Ratio), dan normalisasi skor. Eksposur Lahan PP B PK FP FK S KC T Bobot CR Normalisasi skor PP 1.000 1.284 1.240 1.263 1.336 1.583 2.390 2.897 0.181 0.0 1.00 B 0.779 1.000 0.966 0.984 1.040 1.233 1.861 2.256 0.141 0.78 PK 0.807 1.036 1.000 1.019 1.077 1.277 1.927 2.337 0.146 0.81 FP 0.792 1.016 0.982 1.000 1.057 1.253 1.892 2.294 0.143 0.79 FK 0.749 0.961 0.928 0.946 1.000 1.185 1.789 2.169 0.136 0.75 S 0.632 0.811 0.783 0.798 0.844 1.000 1.510 1.830 0.114 0.63 KC 0.418 0.537 0.519 0.529 0.559 0.662 1.000 1.212 0.076 0.42 T 0.345 0.443 0.428 0.436 0.461 0.546 0.825 1.000 0.063 0.35 Keterangan: PP (Pemukiman/Perumahan), B (Bisnis), PK (Perkantoran), FP (Fasilitas Pendidikan), FK (Fasilitas Kesehatan), S (Sawah), KC (Kebun Campuran), dan T (Tambak/Empang). Berdasarkan hasil dari Tabel 11, nilai eksposur dari kelas penggunaan lahan menunjukkan bahwa pemukiman/perumahan merupakan kelas penggunaan lahan yang memiliki nilai kerugian tertinggi ketika terkena (terpapar) dampak banjir. Pemukiman/perumahan yang terkena dampak banjir dapat menimbulkan kerugian material maupun korban (luka-luka atau hilangnya nyawa) karena merupakan tempat tinggal (rumah) masyarakat. Hilangnya kenyamanan di dalam rumah juga dapat muncul akibat genangan banjir.

54 Gambar 39 Peta eksposur lahan di daerah bahaya. Pembobotan setiap kriteria kerentanan dengan metode pairwise comparison oleh beberapa pakar (responden) menghasilkan bobot untuk setiap kriteria kerentanan (Tabel 12) yang telah dikompositkan berdasarkan rata-rata geometrik setiap bobot dari masing-masing responden. Nilai CR yang diperoleh yaitu 0.0 (konsisten). Tabel 11 Matriks penilaian komposit untuk bobot kriteria kerentanan dan perhitungan nilai CR (Consistency Ratio) Kriteria Kerentanan Kerentanan Fisik Kerentanan Sosial Eksposur lahan Kerentanan Fisik Kerentanan Sosial Eksposur lahan Bobot 1.00 0.97 1.12 0.34 0.00 1.03 1.00 1.15 0.35 0.90 0.87 1.00 0.31 CR Hasil pembobotan pada Tabel 12 menunjukkan bahwa kerentanan sosial merupakan kriteria paling penting (bobot tertinggi) dalam analisis kerentanan. Semakin banyak penduduk di daerah yang memiliki potensi bahaya, maka kerentanan akan semakin tinggi. Bobot untuk setiap kriteria kerentanan digunakan untuk analisis kerentanan dengan metode spasial MCDA yaitu menggabungkan setiap kriteria dengan proses overlay. Hasil yang diperoleh menunjukkan kelas kerentanan berdasarkan daerah bahaya, seperti disajikan pada Gambar 40.

55 Gambar 40 Peta kerentanan di daerah bahaya. Berdasarkan Gambar 40, daerah yang merupakan kelas kerentanan tinggi mendominasi di bagian utara Sungai Mangottong yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai. Luas kelas kerentanan tinggi yaitu 133.16 ha (16% dari luas daerah bahaya). Secara keseluruhan, kelas kerentanan rendah paling mendominasi diantara kelas lainnya, dengan luas yaitu 541.80 ha (60% dari luas daerah bahaya), sedangkan luas kelas kerentanan sedang yaitu 121.80 ha (15%). Tingginya kerentanan pada daerah bahaya dapat dipengaruhi oleh jumlah bangunan yang tinggi, tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, dan banyaknya penggunaan lahan yang secara ekonomi mengalami kerugian akibat terpapar oleh bahaya banjir. Adapun persentase luas masing-masing kelas kerentanan disajikan pada Gambar 41. Daerah yang tidak rentan merupakan daerah yang tidak terdapat bangunan, penduduk, maupun penggunaan lahan yang bernilai ekonomi di dalam daerah bahaya.

Luas (ha) 56 Tinggi 15% Tidak rentan 11% Sedang 14% Rendah 60% Gambar 41 Persentase luas kelas kerentanan. Secara administrasi, Kecamatan Sinjai Utara merupakan wilayah rentan yang didominasi oleh semua kelas kerentanan dengan luasan tertinggi (Gambar 42). Kelas kerentanan rendah sebagian besar terdapat di Kelurahan Lappa dengan luas 307 ha (34.24% dari total luas daerah bahaya). Kelas kerentanan sedang dan tinggi mendominasi di Kelurahan Biringere dengan luas masing-masing yaitu 37.12 ha (4.13%) dan 61.44 ha (6.84%). Luasnya daerah rentan untuk semua kelas kerentanan di Kecamatan Sinjai Utara dipengaruhi oleh posisi administrasi wilayah yang merupakan ibukota Kabupaten Sinjai, dimana sebagai pusat pemukiman dan pemerintahan, serta kegiatan perekonomian. 400.00 350.00 300.00 250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 Kel. Biringere Kel. Balangnipa Kel. Lappa Kel. Samataring Desa Kampala Desa Saukang Kec. Sinjai Utara Kec. Sinjai Timur Kelas Kerentanan Rendah Kelas Kerentanan Sedang Kelas Kerentanan Tinggi Daerah tidak rentan Gambar 42 Luas setiap kelas kerentanan berdasarkan administrasi desa/kelurahan di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur.

57 Risiko Banjir Analisis risiko bencana banjir dengan penggabungan peta bahaya dan peta dengan metode spasial MCDA menghasilkan peta risiko bencana banjir di lokasi penelitian (Gambar 43). Dengan mendefinisikan nilai secara kualitatif (rendah, sedang, tinggi), memberikan gambaran secara jelas bagaimana bahaya dan berbagai komponen kerentanan memiliki peran dalam kejadian banjir. Gambar 43 Peta risiko bencana banjir. Sebaran daerah risiko didominasi oleh kelas rendah dan sedang (lihat Gambar 45). Kelas risiko sedang berarti memiliki komponen bahaya yang rendah dan komponen kerentanan tinggi, memiliki komponen bahaya yang sedang dan komponen kerentanan yang sedang, atau memiliki komponen bahaya yang tinggi dan komponen kerentanan yang rendah. Hal tersebut dapat diidentifikasi dengan menggunakan matriks antara kelas bahaya dan kelas kerentanan, seperti yang disajikan pada Gambar 44. Penilaian secara kualitatif kelas risiko berdasarkan matriks tersebut dapat dilakukan berdasarkan klasifikasi nilai/skor kelas bahaya dan kelas kerentanan yang berada dalam rentang (interval) nilai yang sama.

Kelas Bahaya 58 Kelas Risiko Kelas Kerentanan Rendah Sedang Tinggi Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Gambar 44 Matriks penentuan kelas risiko bencana. Kelas risiko sedang mendominasi dengan persentase luas 48% dari luas total daerah yang berisiko, kemudian diikuti oleh kelas risiko rendah dengan persentase luasan 40%. Kelas risiko tinggi memiliki luasan yang terendah yaitu 12%. Sedang 48% Tinggi 12% Rendah 40% Gambar 45 Persentase luas kelas risiko. Berdasarkan wilayah administrasi yang berada di dalam daerah berisiko, di Kecamatan Sinjai Utara memiliki luasan yang lebih tinggi untuk semua kelas risiko (Gambar 46). Kelurahan Biringere memiliki luasan yang lebih tinggi untuk kelas risiko tinggi dibandingkan desa/kelurahan yang lainnya, yaitu 51.04 ha (5.7% dari total luas daerah bahaya). Kelas risiko sedang dan rendah sebagian besar berada di Kelurahan Lappa dengan luas masing-masing sebesar 152.84 ha (17.07%) dan 229.12 ha (25.59%).

59 Gambar 46 Luas setiap kelas risiko berdasarkan administrasi desa/kelurahan di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur. Kecamatan Sinjai Utara merupakan ibukota Kabupaten Sinjai, dimana daerah bahaya dan rentan sebagian besar mendominasi di wilayah tersebut. Oleh karena itu, kegiatan manajemen bencana dan langkah-langkah mitigasi bencana banjir harus ditingkatkan. Mitigasi struktural berupa pembangunan tanggul dan bangunan pengendali banjir di Sungai Mangottong perlu dilakukan, sedangkan mitigasi non-struktural berupa perencanaan dan penataan ruang perlu disesuaikan terhadap risiko bencana. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dan menanggulangi bencana banjir di daerah yang berisiko juga perlu ditingkatkan agar kerugian, khususnya korban jiwa dapat diminimalisir. Pada daerah dengan kelas risiko rendah, khususnya berada dalam kelas bahaya tinggi namun memiliki kelas kerentanan yang rendah membutuhkan pertimbangan dalam pengembangan wilayah secara fisik. Daerah dengan kondisi tersebut akan meningkatkan risiko bencana kedepannya apabila dilakukan pengembangan kawasan khususnya pemukiman.