1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semula seluruh tanah di wilayah Yogyakarta sebelum ditetapkan dengan Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 juncto Nomor 23 Tahun 1925 adalah tanah Sri Sultan sebagai penguasa Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat. Berdasarkan sejarah, pada awalnya semua tanah yang ada di daerah swapraja Yogyakarta dan Surakarta adalah tanah Kasultanan dan Kasunanan sebagai penguasa yang berkuasa di daerah tersebut. Rakyat di kedua daerah tersebut hanya diberi wewenang hak anggaduh atau meminjam tanah dan dikenakan kewajiban untuk memberikan sebagian hasil garapannya kepada Sultan atau Sunan selaku pemilik. 3 Setelah terbitnya Rijksblad Kasultanan tersebut, maka yang dimaksud tanah Sri Sultan selaku penguasa Kasultanan Yogyakarta adalah tanah yang belum ada hak eigendomnya. Hal ini terlihat jelas dalam Pasal 1 Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 yang berbunyi sebagai berikut. Ingsun nglestarekake watone sakabehe bumi kang ora ana tandha yaktine kadarbe liya mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungan Karatoningsun Ngayogyokarto. 3 Sudikno Mertokusumo, 1988, Perundang-undangan Agraria Yogyakarta, Liberty, Yogyakarta, hlm. 26.
2 (artinya: Saya tentukan batas seluruh tanah yang tidak ada tanda Hak Milik berdasarkan ketentuan eigendom, adalah tanah milik Karaton Yogyakarta). Hak eigendom merupakan istilah dari bahasa Belanda yang diterjemahkan sebagai hak milik berdasarkan KUHPerdata. Hak eigendom dikonstruksikan sebagai hak kepemilikan atas tanah yang tertinggi di antara hak-hak kepemilikan yang lain. Hak eigendom merupakan hak kepemilikan 1 keperdataan atas tanah yang terpenuh, tertinggi yang dapat dimiliki oleh seseorang. Berdasarkan Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), hak milik (eigendom) adalah : Hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulautan sepenuhnya, asal bersalahan dengan Undang-Undang atau peraturan umum yan ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan Undang- Undang dan dengan pembayaran ganti rugi. Sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) semua jenis hak atas tanah termasuk hak eigendom tidak dihapus namun diubah atau dikonversi menjadi jenis-jenis hak atas tanah tertentu, dengan satu persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Sebagai contoh hak eigendom menjadi hak milik, hak erfpacht menjadi hak guna usaha, hak opstal menjadi hak guna bangunan. Hak atas tanah barat sebagai konsekuensi dari sistem keperdataan di Indonesia yang diterapkan oleh Belanda sebagai daerah jajahan, tanah-tanah (bekas) tersebut dikonversi dalam jangka waktu tertentu dikuasai oleh negara (tanah negara). Bagi pemegang hak atas tanah diberi kesempatan untuk dapat
3 mengajukan permohonan hak atas tanah bekas haknya sepanjang tidak digunakan oleh masyarakat umum atau kepentingan umum. Dengan berlakunya UUPA, maka ketentuan hak-hak atas tanah yang terdapat di dalam KUHPerdata menjadi tidak berlaku dan pengertian hak eigendom secara resmi diterjemahkan sebagai hak milik. Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun termurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 UUPA. Diundangkannya UUPA tidak serta merta menghapuskan keistimewaan yang ada dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 Rijksblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 Daerah Istimewa Yogyakarta. Perkembangan hak Kasultanan Yogyakarta atas tanah Kasultanan tidak terlepas dengan sejarah berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta yang diawali dengan Amanat tanggal 5 September 1945 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII. Di dalam Amanat tersebut ditegaskan bahwa Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman adalah bagian dari Republik Indonesia. Berdasarkan Amanat tersebut di atas terbentuklah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang wilayahnya meliputi wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Pembentukan DIY selanjutnya dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 selanjutnya dibentuk Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 (Perda
4 DIY Nomor 5 Tahun 1954) untuk mengatur khususnya dalam bidang pertanahan. Di dalam Pasal 2 Perda Nomor 5 Tahun 1954 ini ditentukan bahwa hak atas tanah di DIY masih berlaku peraturan sebagaimana termuat dalam Rikjsblad Kasultanan Nomor 16 Tahun 1918 juncto Rikjsblad Kasultanan Nomor 23 Tahun 1925 dan Rikjsblad Paku Alaman Nomor 25 Tahun 1925. Di dalam Rikjsblad tersebut ditentukan bahwa tanah yang tidak ada tanda bukti hak kepemilikannya adalah tanah Kasultanan Yogyakarta atau tanah Kadipaten Paku Alaman. Berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Perda Nomor 5 Tahun 1954 tersebut di atas Kasultanan Yogyakarta masih diakui mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu pemegang Hak Milik (subjek hak) dari tanah Kasultanan. Peraturan pertanahan di DIY, sebagaimana diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 1954, berlaku sampai dengan tanggal 24 September 1984, artinya Kasultanan Yogyakarta sebagai subjek hak milik atas tanah Kasultanan mempunyai landasan yuridis sampai dengan tanggal 24 September 1984. Tanggal 24 September 1984 merupakan saat diberlakukannya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) secara penuh di DIY, pemberlakuan tersebut dilakukan dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984. Sejak tanggal 24 September 1960, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Diterbitkannya UUPA pemerintah memiliki tujuan untuk mengadakan unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. Sebelum berlakunya
5 UUPA bangsa Indonesia digolongkan dan tunduk pada masing-masing hukum yang berbeda. 4 Selain unifikasi hukum dengan adanya ketentuan hanya warga negara Indonesia dan badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah yang dapat memiliki hak milik diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat Indonesia dan membawa kesejahteraan kepada masyarakat pada umumnya. 5 Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UUPA berkaitan dengan badan hukum yang dapat memiliki obyek hak milik, secara limitatif telah ditentukan syaratsyarat badan hukum berdasarkan ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (PP Nomor 38 Tahun 1963). Badan-badan hukum yang dapat memiliki hak milik atas tersebut ialah : a. Bank-bank yang didirikan oleh negara (selanjutnya disebut bank negara) b. Perkumpulan-perkumpulan koperasi pertanian yang didirikan atas UU Nomor 79 Tahun 1958 (lembaran negara tahun 1958 Nomor 139) c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian atau agraria, setelah mendengar menteri Agama d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Kasultanan Yogyakarta jelas bukan persoon (subjek hak) demikian pula bukan merupakan recht persoon (badan hukum) karena PP Nomor 38 Tahun 1963 tidak menyebut Kasultanan Yogyakarta sebagai salah satu badan hukum yang dapat menjadi subjek Hak Milik atas tanah. 4 Ketentuan dalam Pasal 131 Indische Straatregeling (I.S) dan Pasal 163 I.S. 5 Berdasarkan Ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
6 Mengingat bahwa dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan : negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undangundang. Secara de jure dengan ditetapkan UUPA maka berlaku satu ketentuan hukum dalam bidang pertanahan, namun demikian tidak dapat dipungkiri dengan perbedaan masing-masing budaya di Indonesia yang terdiri dari berbagai latar belakang budaya, negara mengakui keistimewaan masingmasing daerah. Pemberian tanah Kasultanan kepada masyarakat merupakan bentuk perhatian raja terhadap rakyatnya dalam memenuhi satu dari berbagai kebutuhan dasar dalam hidup yaitu berupa papan. Pemberian hak atas tanah tersebut perlu dicermati dari sisi perlindungan hukum terhadap kasultanan dan kesejahteraan masyarakat pada sisi lain kaitannya dengan pemberian hak atas tanah. Di dalam UUPA bagian VI Pasal 41 dikenal adanya suatu pemberian hak atas tanah yang berupa hak pakai. Pemberian hak atas tanah terhadap masyarakat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24 tahun 1997) diberikan dengan pemberian sertipikat hak atas tanah dari Badan Pertanahan Nasional. 6 Pemberian sertipikat yang diawali dengan pendaftaran tersebut tidak terlepas dari sistem publikasi yang dianut dalam hukum agraria di Indonesia. 6 Pasal 19 ayat (1) dan (2) UUPA juncto Pasal 1 ayat (20) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
7 Sistem yang dianut adalah sistem publikasi negatif, tetapi tidak negatif murni, lebih tepatnya disebut sistem negatif yang mengandung unsur positif. 7 Di dalam Pasal 23, 32 dan 38 UUPA dinyatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan alat pembuktian kuat. Pernyataan yang demikian tidak terdapat dalam pendaftarana tanah dengan sistem positif. 8 Terdapatnya tanah kasultanan dan hak-hak atas tanah berdasarkan UUPA maka masyarakat Yogyakarta memiliki prosedur yang berbeda terkait kepemilikan hak atas tanah. Sebelum mengajukan permohonan hak atas tanah, masyarakat tersebut harus menelusuri sejarah kepemilikan tanah tersebut terlebih dahulu apakah merupakan tanah negara atau tanah kasultanan sedangkan jika merupakan tanah negara dan atau terjadi peralihan kepemilikan hak berdasarkan hak atas tanah yang diatur dalam UUPA maka melibatkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai konsekuensi dari sistem publikasi yang dianut Indonesia. 9 Akta otentik yang dibuat oleh PPAT dijadikan dasar bagi Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menerbitkan sertipikat hak atas tanah. Menarik untuk dikaji mengenai kepemilikan hak atas tanah yang dimiliki kasultanan kemudian diberikan kepada masyarakat sebagai hak pakai di atas tanah Kasultanan dalam kerangka hukum pertanahan nasional. Berdasarkan pada latar belakang di atas maka peneliti berminat untuk mengangkat permasalahan tersebut dalam tulisan karya ilmiah dengan judul 7 Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak Atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 121. 8 Boedi Harsono, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti, Jakarta, hlm. 84. 9 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
8 Pelaksanaan Pemberian Hak Pakai Di atas Tanah Kasultanan Dalam Kerangka Hukum Pertanahan Nasional. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka rumusan masalah yang dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pelaksanaan pemberian sertipikat hak pakai di atas tanah kasultanan Yogyakarta? 2. Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pemberian sertipikat hak pakai di atas tanah kasultanan Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dengan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang pelaksanaan pemberian sertipikat hak pakai di atas tanah kasultanan Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji tentang faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pemberian sertipikat hak pakai di atas tanah kasultanan Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan wacana dan sumbangan pemikiran, khususnya di bidang ilmu kenotariatan berkaitan dengan
9 pemberian hak pakai di atas tanah kasultanan dalam kerangka hukum pertanahan nasional, serta menambah wawasan dan pengetahuan penulis. 2. Secara praktis, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian ilmiah bagi akademisi, praktisi hukum serta masyarakat luas berkaitan dengan pemberian hak pakai di atas tanah kasultanan dalam kerangka hukum pertanahan nasional. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran di perpustakaan Fakultas Hukum UGM, Pelaksanaan Pemberian Hak Pakai Di atas Tanah Kasultanan Dalam Kerangka Hukum Pertanahan Nasional belum pernah dilakukan, namun berdasarkan penelusuran kepustakaan tersebut terdapat beberapa hasil penelitian yang terkait dengan judul penelitian ini yang antara lain sebagai berikut : 1. Jaminan Kepastian Hukum Terhadap Status Tanah Sultan Ground Di Propinsi DIY. Ditulis oleh Mantiko Sumanda Moechtar dengan rumusan masalah sebagai berikut 10 : a. Bagaimanakah jaminan kepastian hukum terhadap status tanah sultan ground? b. Kondisi yang bagaimanakah yang menjadi faktor penyebab bagi terhambatnya pemenuhan jaminan kepastian hukum tersebut? 10 Mantiko Sumanda Moechtar, Jaminan Kepastian Hukum Terhadap Status Tanah Sultan Ground Di Propinsi DIY, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2008.
10 Adapun perbedaan dari penelitian di atas dengan penelitian yang disusun oleh penulis adalah pada penulisan di atas lebih menitik beratkan pada pembahasan jaminan kepastian hukum terhadap status tanah Sultan Ground di Propinsi DIY dan hambatannya sedangkan yang Penulis bahas lebih menitik beratkan pada pemberian hak pakai di atas tanah Kasultanan dalam kerangka hukum pertanahan nasional. Berdasarkan judul dan permasalahan telah terdapat perbedaan, diharapkan penulisan hukum ini dapat menambah serta melengkapi pembahasan mengenai sultan ground. 2. Peralihan Tanah Ngindung Yang Cacat Hukum Di Pengadilan Negeri Yogyakarta (Studi Kasus Putusan Perkara Nomor: 31/Pdt.G/2009/PN.Yk Magister Kenotariatan. Ditulis oleh Raden Ajeng Sekar Semanggi Kusumo dengan rumusan masalah sebagai berikut 11 : a. Apa dasar pertimbangan yang digunakan hakim untuk mengabulkan gugatan sebagian dalam kasus peralihan tanah ngindung? b. Apakah akibat hukum dari pembatalan peralihan tanah ngindung? Adapun perbedaan dari penelitian di atas dengan penelitian yang disusun oleh penulis adalah bahwa penulisan di atas lebih kasuistis yang membahas pada permasalahan studi kasus perkara perdata terhadap peralihan tanah ngindung di DIY. 11 Raden Ajeng Sekar Semanggi Kusumo, Peralihan Tanah Ngindung Yang Cacat Hukum Di Pengadilan Negeri Yogyakarta (Studi Kasus Putusan Perkara Nomor: 31/Pdt.G/2009/PN.Yk, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012.