BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Definisi klinis rinitis alergi adalah penyakit. simptomatik pada hidung yang dicetuskan oleh reaksi

BAB I PENDAHULUAN. Mekanisme alergi tersebut akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh reaksi alergi pada penderita yang sebelumnya sudah tersensitisasi

BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai

BAB VI PEMBAHASAN. Pada penelitian ini didapatkan insiden terjadinya dermatitis atopik dalam 4 bulan pertama

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Rhinitis alergi merupakan peradangan mukosa hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. Telinga, Hidung, dan Tenggorok Bedah Kepala dan Leher, dan bagian. Semarang pada bulan Maret sampai Mei 2013.

BAB 1 PENDAHULUAN. immunoglobulin E sebagai respon terhadap alergen. Manifestasi yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. bahan kimia atau iritan, iatrogenik, paparan di tempat kerja atau okupasional

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi merupakan penyakit peradangan pada. sistem pernapasan yang disebabkan oleh reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu,

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengganggu aktivitas sosial (Bousquet, et.al, 2008). Sebagian besar penderita

BAB V PEMBAHASAN. anak kelas 1 di SD Negeri bertaraf Internasional dan SD Supriyadi sedangkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. populasi masyarakat yang menderita alergi. Suatu survei yang dilakukan oleh World

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB I PENDAHULUAN. timbul yang disertai rasa gatal pada kulit. Kelainan ini terutama terjadi pada masa

BAB I PENDAHULUAN. Dermatitis atopik atau eksema atopik merupakan penyakit inflamasi kulit

LAMPIRAN. : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK USU. RSUP. H. Adam Malik, Medan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. Reaksi alergi dapat menyerang beberapa organ dan pada setiap kelompok usia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Rinitis alergika merupakan penyakit kronis yang cenderung meningkat

@UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan penyakit yang sering terjadi pada balita. Prevalensi

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB I PENDAHULUAN. paru-paru. Penyakit ini paling sering diderita oleh anak. Asma memiliki gejala berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. usia anak. Anak menjadi kelompok yang rentan disebabkan masih. berpengaruh pada tumbuh kembang dari segi kejiwaan.

KUESIONER PENELITIAN RINITIS ALERGI

BAB 3 METODE PENELITIAN

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Prevalensi asma semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir ini terutama di

menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal

ABSTRAK GAMBARAN ALERGEN PASIEN RINITIS ALERGI DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit. peradangan kulit kronik spesifik yang terjadi pada

Universitas Sumatera Utara

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Alergi merupakan respon imun yang abnormal dari tubuh. Reaksi alergi

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

RIWAYAT ATOPI PADA PASIEN DENGAN KELUHAN GATAL DI POLI PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT GOTONG ROYONG SURABAYA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. populasi dalam negara yang berbeda. Asma bronkial menyebabkan kehilangan

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

FAKTOR YANG DIDUGA MENJADI RESIKO PADA ANAK DENGAN RINITIS ALERGI DI RSU DR. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

LAMPIRAN 1. Biaya Penelitian 1. Alergen / pemeriksaan Rp ,- 2. Transportasi Rp ,- 3. Fotokopi dll Rp

BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini mengikutsertakan 61 penderita rinitis alergi persisten derajat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB 1 PENDAHULUAN. kemudian akan mengalami asma dan rhinitis alergi (Djuanda, 2007). inflamasi dan edukasi yang kambuh-kambuhan (Djuanda,2007).

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Prevalensi asma semakin meningkat baik di negara maju maupun negara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya

Transkripsi:

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai imunoglobulin E (IgE-mediated) terhadap paparan alergen pada membran nasal. 9 2.1.2. Epidemiologi Rinitis alergi terjadi pada sekitar 20 sampai 40 juta penduduk Amerika Serikat setiap tahunnya, mencakup 10% sampai 30% pasien dewasa dan 40% anak-anak. 10 Rinitis alergi sering dijumpai terutama pada anak usia sekolah. 9-11 Sebuah penelitian oleh International Study on Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) fase 3 yang dilakukan di 98 negara di seluruh dunia melaporkan prevalensi rinitis alergi sangat bervariasi dengan rerata 8.5% untuk usia 6 sampai 7 tahun dan 14.6% pada usia 13 sampai 14 tahun. 7 Faktor risiko rinitis alergi adalah faktor genetik (riwayat keluarga atopi), pemberian makanan padat terlalu dini, dan ibu merokok selama kehamilan. 9 Sebaliknya, jumlah saudara yang banyak pada anak dikatakan sebagai faktor protektif. 9-11 4

2.1.3. Klasifikasi Walaupun belum ada metode baku yang diterima secara luas dalam menentukan derajat keparahan rinitis alergi, badan internasional Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) pada tahun 2001 telah menyusun klasifikasi rinitis alergi sebagai berikut: 9 Tabel 2.1. Klasifikasi rinitis alergi 9 1 Intermittent bila gejala ditemukan: kurang dari 4 hari dalam seminggu, atau berlangsung kurang dari 4 minggu 2 Persistent bila gejala ditemukan: lebih dari 4 hari dalam seminggu, dan berlangsung lebih dari 4 minggu 3 Mild bila tidak dijumpai gejala-gejala berikut: gangguan tidur, gangguan aktivitas sehari-hari, pada waktu luang dan/atau olahraga, gangguan kegiatan sekolah atau kerja, gejala lainnya yang mengganggu 4 Moderate-severe bila dijumpai satu atau lebih gejala berikut: gangguan tidur, gangguan aktivitas sehari-hari, pada waktu luang dan/atau olahraga, gangguan kegiatan sekolah atau kerja, gejala lainnya yang mengganggu Berdasarkan klasifikasi di atas, seorang pasien rinitis alergi dapat dimasukkan dalam salah satu dari 4 kategori: (1) mild intermittent, (2) mild persistent, (3) moderate/severe intermittent, dan (4) moderate/severe persistent. Klasifikasi tersebut tidak menggunakan istilah seasonal dan perennial, dan menekankan bahwa suatu alergen inhalan (seperti grass pollen) yang terdapat secara musiman pada suatu daerah geografis tertentu kemungkinkan bisa terdeteksi sepanjang tahun di area geografis lainnya. Namun, American Academy of Allergy, Asthma &

Immunology (AAAAI), American College of Allergy, Asthma and Immunology (ACAAI) dan Joint Council of Allergy, Asthma and Immunology Joint Task Force on Practice Parameters dalam dokumennya, The diagnosis and management of rhinitis: An updated practice parameter tahun 2008 tetap mempertahankan istilah seasonal dan perennial dalam klasifikasi pasien rinitis alergi. Istilah klasik ini berguna secara klinis dalam menggolongkan pasien secara akurat ke dalam kategori rinitis alergi musiman (seasonal), sepanjang tahun (perennial), atau rinitis alergi sepanjang tahun dengan eksaserbasi musiman. 11 2.1.4. Patofisiologi Paparan berulang terhadap alergen akan menghasilkan presentasi alergen oleh antigen presenting cells (APC) ke limfosit T-CD4+ yang menyebabkan pelepasan interleukin (IL)-3, IL-4, IL-5 dan sitokin Th-2 lainnya. Sitokin-sitokin tersebut memiliki efek proinflamasi yang melibatkan produksi IgE, sel plasma, sel mast dan eosinofil dan berlanjut dengan terjadinya kaskade respons imun sehingga menimbulkan gejala klinis rinitis alergi. 12 Respons alergi pada rinitis alergi dibagi atas fase awal dan fase lambat. 12,13 Selama fase awal, terjadi peningkatan IgE yang berikatan pada sel mast yang menimbulkan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator yang telah terbentuk (preformed mediators) seperti histamin, triptase, kininogenase (menghasilkan bradikinin), heparin dan enzim-enzim lainnya. Selain itu, sel mast juga mensekresi mediator seperti prostaglandin-d2 (PGD2) dan sulfidopeptidyl leukotrienes (LT)C4, LTD4, dan LTE4. 12 Mediator tersebut menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, menimbulkan gejala klinis bersin, edema mukosa, hidung berair dan gatal yang merupakan karakteristik rinitis

alergi. 3,12,13 Respons imun fase awal timbul dalam beberapa menit segera setelah paparan alergen. 12,13 Sekitar 50% gejala rinitis alergi merupakan menifestasi reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat. Gejala timbul setelah 4 sampai 6 jam pasca paparan alergen akibat reaksi inflamasi jaringan yang berkepanjangan. 13 Gejala rinitis alergi fase lambat seperti hidung tersumbat, kurangnya penciuman dan hipereaktivitas hidung disebabkan oleh eosinofilia lokal pada mukosa hidung dengan mekanisme yang belum sepenuhnya dimengerti. 3,13 2.1.5. Manifestasi klinis Gejala rinitis alergi mencakup rhinorrhea (hidung berair), nasal obstruction (hidung tersumbat), nasal itching (hidung gatal) dan sneezing (bersin) yang bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 9-11 Rasa gatal di hidung akan menyebabkan bersin berulang (paroxysmal sneezing). Sekret hidung yang timbul dapat keluar melalui lubang hidung atau berupa post-nasal drip yang tertelan. 3,13 Hidung tersumbat dapat terjadi bilateral, unilateral atau bergantian. 13 Gejala bernafas melalui mulut sering terjadi terutama pada malam hari akibat hidung yang tersumbat, sehingga menyebabkan tenggorokan kering, mengorok (snoring), gangguan tidur serta kelelahan pada siang hari. 9,11,13,14 Kombinasi gejala hidung berair, tersumbat, gatal dan bersin adalah gejala yang paling dirasakan mengganggu aktivitas sehari-hari. 13 Pada rinitis alergi, sering dijumpai injeksi konjungtiva, mata berair dan merah. 14 Pasien rinitis alergi dapat mempunyai wajah khas berupa warna gelap atau sianosis infraorbital (allergic shiners) dan bengkak pada palpebra inferior. 13,14 Anak yang sering menggosok hidung akibat rasa gatal memberikan gambaran khas

allergic salute dan menimbulkan bekas melintang pada bagian bawah hidung (allergic crease). 13,14 Pemeriksaan rinoskopi anterior merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan. Pada rinoskopi anterior akan ditemukan tanda klasik berupa mukosa nasal yang edema dan berwarna pucat kebiruan (lividae) disertai sekret yang encer. 13 2.1.6. Temuan laboratorium Uji tusuk kulit merupakan pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi IgE alergen-spesifik terutama untuk alergen inhalan. 13,14 Walaupun serum IgE umumnya meningkat, pengukuran serum total IgE merupakan skrining yang buruk karena tidak dapat membedakan subjek yang atopi. 14 Pada pemeriksaan sekresi nasal atau pemeriksaan darah dapat dijumpai eosinofilia yang merupakan temuan laboratorium yang sering tetapi tidak spesifik. 14 2.1.7. Diagnosis Anamnesis yang efektif sangat penting dalam diagnosis dan evaluasi pasien. 3,9-11,13,14 Anamnesis harus mencakup informasi pola penyakit, lama penyakit, variasi gejala sepanjang tahun dan gejala lain yang berhubungan, respons pengobatan, ada tidaknya penyakit penyerta, serta paparan lingkungan dan faktor-faktor pencetus. 9,11 Pemeriksaan fisik menyeluruh dengan memfokuskan pada saluran nafas atas harus dilakukan pada semua pasien dengan riwayat rinitis, baik dengan atau tanpa riwayat atopi. 9-11,14 Sebuah kuesioner standar yang ringkas dapat mengidentifikasi gejala rinitis alergi dan menentukan derajat keparahan penyakit. Kuesioner tersebut harus

menilai gejala utama seperti hidung berair, hidung tersumbat, gatal dan bersin pada saat pasien tersebut tidak menderita infeksi saluran nafas. 9,11 Diagnosis mudah ditegakkan bila rinitis disertai manifestasi penyakit lain seperti konjungtivitis, alergi pada kulit dan/atau asma. 9 International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) merupakan suatu penelitian multisenter skala besar yang dilakukan pada lebih dari 56 negara di seluruh dunia yang menggunakan kuesioner baku (ISAAC core questionnaire) untuk menilai prevalensi dan derajat keparahan asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi pada anak pada berbagai kondisi demografis dan geografis yang berbeda di seluruh dunia. 9,15 Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) dalam laporannya tahun 2001 merekomendasikan penggunaan ISAAC core questionnaire sebagai suatu kuesioner standar yang dapat digunakan sebagai alat diagnosis untuk identifikasi gejala dan evaluasi keparahan rinitis alergi terutama pada negara berkembang. 9 2.1.8. Diagnosis banding Rinitis alergi harus dibedakan dari rinosinusitis akibat infeksi. 9,14 Benda asing pada hidung dan kelainan anatomi seperti atresia koana, deviasi septum nasi, polip nasal, dan hipertropi adenoid dapat menyebabkan gejala kronis yang mirip rinitis alergi. Penggunaan nasal dekongestan yang berlebihan dapat mengakibatkan rinitis medikamentosa akibat rebound congestion, sedangkan obat-obatan seperti propranolol, klonidin dan beberapa agen psikoaktif dapat menyebabkan hidung tersumbat. Makanan pedas dan panas dapat merangsang terjadinya gustatory rhinitis. 14

2.1.9. Penilaian risiko alergi Anak yang lahir dari keluarga dengan riwayat atopi cenderung menderita penyakit alergi (risiko alergi 50% sampai 80%) bila dibandingkan dengan anak tanpa riwayat atopi keluarga (risiko alergi 20%). 16 Sebuah studi melaporkan insidensi penyakit atopi pada anak tanpa riwayat atopi keluarga sebesar 10%, bila salah satu orangtua menderita penyakit atopi sebesar 20%, dan bila dijumpai riwayat atopi pada kedua orangtua meningkat menjadi 42%. 17 Unit Kerja Koordinasi Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (UKK Alergi Imunologi IDAI) dan Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) memperkenalkan kartu deteksi dini risiko alergi yang merupakan sistem penilaian untuk memprediksi risiko alergi pada anak berdasarkan riwayat atopi orangtua dan saudara kandung. Berdasarkan riwayat atopi orangtua dan saudara kandung tersebut, seorang anak dikelompokkan menjadi risiko kecil, sedang, dan tinggi untuk menderita alergi. 18 2.2. Hubungan Rinitis Alergi dengan Jumlah Saudara Beberapa penelitian menunjukkan meningkatnya prevalensi rinitis alergi selama tiga dekade terakhir. 19,20 Pada saat yang sama, paparan anak terhadap infeksi semakin berkurang selama beberapa dekade terakhir, baik di negara maju maupun negara berkembang, sebagai dampak dari westernisation lifestyle seperti berkurangnya jumlah saudara dalam keluarga, higiene yang meningkat dan semakin seringnya intervensi medis berupa pemberian antibiotik dan vaksinasi. 1,2 Hipotesis higiene yang mulai berkembang akhir 1980-an, diyakini sebagai jawaban terhadap peningkatan prevalensi rinitis alergi, asma dan penyakit atopi lain di seluruh dunia. 2 Sejalan dengan hipotesis higiene, dikatakan bahwa infeksi pada

masa awal kehidupan yang disebabkan infeksi silang dari saudara yang lebih tua dapat melindungi anak dari penyakit atopi. 2,8,20 Perkembangan terakhir mengenai diferensiasi limfosit-t mendukung adanya mekanisme tertentu yang bersifat protektif terhadap atopi yang berhubungan dengan paparan infeksi sebelumnya. 2,20 Masa awal kehidupan berperan penting terhadap pembentukan sistem imun. 2 Sel T-helper manusia yang terdiri dari T-helper 1 (Th-1) dan T-helper 2 (Th-2) mempunyai fungsi yang berbeda. Sel Th-1 efektif dalam membunuh virus tertentu dan patogen intraseluler dan meregulasi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, sedangkan sel Th-2 lebih efektif dalam membunuh patogen ekstraseluler seperti parasit (cacing) dan berperan dalam respons imun terhadap antigen, termasuk alergen lingkungan. Sel Th-2 merangsang eosinofil dan sel mast sehingga terjadi reaksi alergi dan inflamasi. Kedua sel Th ini saling meregulasi silang diantaranya (cross-regulate) untuk mempertahankan keseimbangan respons imun tubuh. 2,21 Sistem imun fetus sedikit condong ke arah pembentukan respons imun sel Th-2. Namun, infeksi pada awal kehidupan oleh virus maupun bakteri, akan menstimulasi respons imun sel Th-1 sekaligus mengarahkan reaksi alergi yang diperantarai sel Th-2 ke pola respons imun sel Th-1 sehingga menghambat pembentukan IgE. 2,20,22 Periode kritis untuk tercapainya keseimbangan respon imun Th-1 dan Th-2 belum jelas, tetapi maturasi sistem imun umumnya berlanjut sampai usia 5-7 tahun. 22 Berikut akan dibahas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan kejadian rinitis alergi sesuai dengan hipotesis higiene.

2.2.1. Jumlah saudara Rerata jumlah saudara dalam satu keluarga mengalami penurunan pada akhir abad 20. Di New Zealand, angka kelahiran pada tahun 2001 adalah sebesar 1.98, jika dibandingkan dengan 4.2 kelahiran pada tahun 1960 dan 3.1 kelahiran pada tahun 1920. Pada tahun 1966 terdapat rata-rata 2.5 anak per keluarga, sedangkan pada tahun 1996 jumlah ini turun menjadi 1.95 anak per keluarga. 2 Jumlah saudara dalam satu keluarga dikatakan sebagai determinan kuat terhadap kejadian atopi pada anak, remaja dan dewasa. 2,8,20 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jumlah kelahiran yang rendah dalam keluarga merupakan suatu faktor risiko terjadinya rinitis alergi dan penyakit atopi. 23-30 Secara keseluruhan, hasil-hasil penelitian tersebut konsisten terhadap hipotesis bahwa penyebaran infeksi berulang dari saudara pada masa awal kanak-kanak mencegah berkembangnya reaksi alergi. 26,28,29 Sebuah systematic review mendapatkan 17 penelitian yang melaporkan hubungan hay fever terhadap jumlah saudara dan semuanya melaporkan korelasi negatif yang signifikan, dengan odds ratio (OR) antara 0.20 dan 0.65 untuk tiga atau lebih jumlah saudara dibandingkan dengan anak tanpa saudara. 30 Setiap kehamilan dapat menurunkan respons atopi ibu dengan menginduksi toleransi imun dan dapat menurunkan risiko atopi pada kehamilan berikutnya. Hal ini mengacu pada hipotesis berikut ini: 31 a. Kadar IgE maternal menurun dengan jumlah kelahiran (hipotesis toleransi induksi). Toleransi imun maternal yang ditunjukkan dengan rendahnya kadar IgE berperan penting dalam respons atopi pada anak sehingga ditemukan penurunan kadar IgE serum tali pusat seiring dengan meningkatnya jumlah saudara kandung yang hidup. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh adanya penurunan IgE maternal.

b. Penurunan IgE maternal dengan meningkatnya jumlah keturunan yang hidup dapat ditransmisikan ke keturunan berikutnya. Hal ini dapat menghasilkan penurunan kadar IgE serum tali pusat pada keturunan yang memiliki jumlah saudara kandung yang lebih banyak (hipotesis toleransi transmisi). Penelitian terhadap 1456 bayi baru lahir di Inggris menunjukkan kadar IgE tali pusat menurun seiring dengan meningkatnya jumlah kelahiran. Peningkatan IgE tali pusat yang diukur saat lahir dapat meningkatkan prevalensi sensitisasi alergi pada usia 4 tahun. Selain itu juga dilaporkan bahwa kadar IgE tali pusat ditentukan oleh hasil interaksi fetal maternal selama periode prenatal sehingga dikatakan bahwa efek saudara kandung terhadap kejadian alergi sudah berasal dari uterus. 32 2.2.2. Tempat Penitipan Anak (TPA) Seiring dengan berkurangnya jumlah saudara dalam satu keluarga, jumlah tempat penitipan anak justru semakin bertambah dalam beberapa dekade terakhir. Tempat penitipan anak memungkinkan paparan infeksi yang sering pada awal masa kanakkanak sehingga diyakini memiliki efek protektif terhadap terjadinya atopi. 2 Sebuah penelitian melaporkan sensitisasi hay fever, asma, dan hipereaktivitas bronkus lebih sering timbul pada anak-anak di Jerman Barat dibandingkan dengan anak sebaya yang tinggal di Jerman Timur (masing-masing 37% versus 18%). 33 Sekitar 71% anak-anak usia 1 sampai 3 tahun di Jerman Timur dititipkan di TPA, dibandingkan hanya 7% di Jerman Barat pada saat yang sama; sehingga tingginya perawatan anak di TPA di Jerman Timur sebelum unifikasi diyakini sebagai penjelasan terhadap perbedaan sensitisasi hay fever, asma, dan hipereaktivitas bronkus tersebut. 2,33

2.2.3. Paparan infeksi sebelumnya Sebuah penelitian menyatakan bahwa infeksi berulang pada awal kehidupan dapat mencegah berkembangnya rinitis alergi (hay fever). 8 Dikatakan bahwa faktor penting yang berkaitan dengan peningkatan penyakit atopi di negara-negara barat adalah menurunnya paparan infeksi diantara anak dikarenakan jumlah anggota keluarga yang semakin sedikit. 1,2,8,30 Prevalensi atopi berhubungan terbalik terhadap frekuensi / tingkat paparan terhadap patogen orofekal atau penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diseases) seperti Toxoplasma gondii, virus hepatitis A dan Helicobacter pylori. Namun, hubungan yang sama tidak ditemukan pada infeksi oleh virus yang ditularkan melalui sistem organ lain seperti penyakit campak, rubela, cacar air, herpes simpleks tipe I atau penyakit yang disebabkan oleh sitomegalovirus; sehingga dapat disimpulkan bahwa infeksi oleh patogen saluran cerna lebih baik daripada virus yang ditularkan melalui udara dikarenakan patogen saluran cerna tersebut memberikan efek proteksi dalam melawan atopi. 34 2.2.4. Imunisasi pada bayi Adanya dugaan bahwa imunisasi akan meningkatkan kejadian alergi, baik melalui pengaruh terhadap rendahnya paparan infeksi maupun efek langsung perangsangan IgE oleh vaksin. 2,35 Namun, dua penelitian skala besar yang dilakukan di Inggris (penelitian kohort tahun 1999 dengan jumlah sampel 9500 anak yang lahir pada awal 1990-an) dan penelitian di Swedia (jumlah sampel 9829 anak) tidak menemukan adanya hubungan antara vaksinasi pertusis terhadap kejadian asma dan atopi pada anak. 36,37

2.2.5. Paparan lingkungan pedesaan Paparan lingkungan berhubungan dengan kejadian atopi. Sebuah penelitian di Quebec pada 1199 anak sekolah mendapatkan bahwa anak yang dibesarkan pada lingkungan ladang atau pedesaan semasa kecilnya memiliki risiko asma lebih kecil (OR 0.59; IK 95% 0.37 sampai 0.95) dan kejadian atopi yang lebih rendah (OR 0.58; IK 95% 0.46 sampai 0.75) dibandingkan dengan sampel lainnya. 38

2.3. Kerangka Konseptual Jumlah saudara Konsentrasi IgE maternal Paparan / infeksi silang Proliferasi sel Th1 Konsentrasi Ig E tali pusat Proliferasi sel Th-2 & produksi sitokin Produksi IgE Genetik (riwayat atopi keluarga) Tempat penitipan anak Rinitis alergi Imunisasi Lingkungan pedesaan Yang diamati dalam penelitian Gambar 2.1. Kerangka konseptual