PEMBAHASAN UMUM Evolusi Molekuler dan Spesiasi

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menurut Campbell (2003) mengemukakan ada beberapa konsep spesies antara lain:

BAB I PENDAHULUAN. Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia yang berasal dari Banteng liar (Bibos

PENDAHULUAN Latar Belakang

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara dengan budaya dan suku yang beragam,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Gambar 1.1. Variasi pada jengger ayam

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Daerah D-loop M B1 B2 B3 M1 M2 P1 P2 (-)

PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hemoglobin. Hemoglobin Burung Merpati Jantan dan Betina sebelum dan sesudah Dilatih Terbang

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang : Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADAPTASI DAN EVOLUSI. Oleh : Aisyah Wardani

PENDAHULUAN. Latar Belakang. masyarakat terhadap konsumsi susu semakin meningkat sehingga menjadikan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

DAFTAR ISI 1 GENETIKA DASAR 1

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN. Banteng (Bos javanicus d Alton 1823) merupakan salah satu mamalia

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

MATA KULIAH PENGANTAR ANTROPOLOGI SOSIAL BUDAYA. Dr. Hj. RITA RAHMAWATI, M.Si

4. Sruktural 5. Fisiolois 6. Inang 7. Partenogenesis: perkembangan individu dari gamet yang tidak dibuahi, terutama banyak terjadi pada invertebrata.

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

KEANEKARAGAMAN HAYATI. Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman Genetis Keanekaragaman ekosistem

Evolusi, Spesiasi dan Kepunahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TELAAH PUSTAKA. 6. Warna buah Buah masak fisiologis berwarna kuning (Sumber : diolah dari berbagai sumber dalam Halawane et al.

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kerja dan kebutuhan lainnya. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Udang merupakan komoditas unggul Indonesia. Udang windu (Penaeus

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995 Tentang : Pembenihan Tanaman

PENDAHULUAN. Latar Belakang. beragam di dunia. Kuda (Equus caballus) adalah salah satu bentuk dari

*36116 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 7 TAHUN 1999 (7/1999) TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999 TENTANG PENGAWETAN JENIS TUMBUHAN DAN SATWA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terbesar di seluruh dunia. Nenek moyang ikan mas diduga berasal dari Laut Kaspia

Materi Pokok Materi penjabaran Lingkup materi Fisiologi Tumbuhan. Struktur Bagian Tubuh Tanaman. Reproduksi Tumbuhan. Sistem Transportasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. (FAO, 2016a) dan produksi dua jenis udang yaitu Litopenaeus vannamei dan Penaeus

Teori Abiogenesis Klasik

ANALISIS HUBUNGAN KEKERABATAN BERDASARKAN MORFOLOGI, AKTIVITAS HARIAN, GAMBARAN DARAH DAN KARAKTER DNA MITOKONDRION BEBERAPA SUBSPESIES BURUNG BEO

ACARA PENGAJARAN (SAP) IV A.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1995 TENTANG PEMBENIHAN TANAMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Silabus Olimpiade BOF XI Soal SMP

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SILABUS MATA KULIAH MAYOR TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK

Rasa curiosity mnanusia? bagaimana, kapan, dimana kehidupan ini mulai terjadi hingga sekarang? ada teori-teori: Ilmiah: bukti-bukti yang nyata.

Pemuliaan Tanaman dan Hewan

EVOLUSI. Pengertian evolusi - Bukti adanya evolusi - Mekanisme evolusi

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.53/Menhut-II/2006 TENTANG LEMBAGA KONSERVASI MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. dijumpai hampir di seluruh pelosok Indonesia. Menurut Thomassen (2006),

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

6/7/2013. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung Jl. Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi manusia yang

Tujuan Pembelajaran : Menjelaskan... Teori asal-usul kehidupan Teori Lamarck Teori Darwin Mekanisme Evolusi Frekuensi Gen

HASIL DAN PEMBAHASAN

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

Modul 1. Konsep Teori Evolusi

The Origin of Madura Cattle

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis

BAB III METODE PENELITIAN

Cover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation.

27. peristiwa mutasi; 28. evolusi dan asal-usul kehidupan; 29. usaha manusia dalam meningkatkan produksi pangan; 30. bioteknologi dalam kehidupan.

PENDAHULUAN. baru. Plasma nutfah merupakan salah satu SDA yang sangat penting karena tanpa

PEMBELAJARAN BIOLOGI BERBANTUAN PhET INTERACTIVE SIMULATION : Topik Seleksi Alam

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

I.PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara tropis memiliki keanekaragaman jenis satwa,

Penelitian akan dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2010 di Laboratorium Zoologi Departemen Biologi, FMIPA, IPB.

BAB I PENDAHULUAN. Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia.

P = G + E Performans? Keragaman? Dr. Gatot Ciptadi PERFORMANS. Managemen. Breeding/ Repro. Nutrisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. murni yang masih sedikit dan wawasan peternak masih sangat minim dalam

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

PENGANTAR ILMU TAKSONOMI

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BAHAN DAN METODE. Adapun lokasi penelitian ini dilaksanakan ialah : 1. Kambing Kacang di desa Paya Bakung, desa Hamparan Perak dan desa

I. PENDAHULUAN. secara lokal yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan dan lorong-lorong

I. PENDAHULUAN. Fauna (CITES), P. pruatjan masuk ke dalam daftar Appendix I yang dinyatakan

Bab 7 EVOLUSI SMA Labschool Jakarta

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

SISTEMATIKA/ TAKSONOMI IKAN

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

Prinsip Dasar Klasifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. dikembangbiakkan dengan tujuan utama untuk menghasilkan daging. Menurut

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i ABSTRACT... ii RIWAYAT HIDUP... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR...

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. fenotipe yang diamati menunjukkan kriteria keragaman yang luas hampir pada

Transkripsi:

PEMBAHASAN UMUM Evolusi Molekuler dan Spesiasi Taksonomi atau sistematik adalah hal yang penting dalam klasifikasi organisme dan meliputi beberapa prosedur seperti identifikasi dan penamaan. Sekarang dikenal 9000 spesies burung di dunia dan kurang dari 1% dari jumlah total spesies masih belum diketahui penamaannya. Teori netral mengenai evolusi molekuler yang diajukan oleh Motoo Kimura (1968) menjadi perdebatan di antara para ahli evolusi. Karena masih menjadi pertanyaan apakah evolusi molekuler disebabkan seleksi alam atau random neutral drift. Neutralisme menyebutkan bahwa sebagian besar bentuk protein adalah ekuivalen secara selektif, seleksi tidak membedakan satu protein dari yang lain. Evolusi molekuler didorong oleh random drift (penyimpangan secara acak). Kimura (1968) mengatakan bahwa evolusi morfologi didorong oleh seleksi, tetapi evolusi molekuler tidak. Mutasi gen adalah perubahan dalam struktur materi hereditas yaitu DNA. Ketika struktur DNA berubah maka akan menyebabkan perubahan pada protein yang diatur oleh DNA. Kita dapat mengukur perbedaan antara kaki dan tangan dua spesies, tetapi karena hubungan antara kakitangan dan gen yang mengkode anggota badan itu tidak diketahui, kita tidak bisa memperkirakan seberapa banyak mutasi yang menghasilkan perubahan tertentu pada anggota badan. Namun kita dapat mengetahui hampir pasti berapa banyak mutasi yang mengubah hemoglobin anjing menjadi hemoglobin ayam. Jumlah perubahan genetik adalah variabel yang penting dalam teori evolusi (Ridley 1991). Penyimpangan genetik menghasilkan perubahan dalam gen populasi, karena itu menghasilkan perubahan evolusioner. Evolusi melalui penyimpangan adalah tanpa tujuan dan tidak progresif (Kimball 1991). Klasifikasi hewan dapat disumbang oleh hierarki fenetik atau filogenetik. Hierarki fenetik adalah penggolongan berdasarkan persamaan

103 bentuk kelompok yang sedang diklasifikasikan seperti panjang kaki, warna kulit, jumlah sirip punggung dan sebagainya. Hierarki filogenetis adalah sistem klasifikasi berdasarkan pada pola keturunan evolusioner. Prinsip fenetik atau filogenetik bisa sejalan atau tidak tergantung pada spesies yang diklasifikasi. Klasifikasi fenetik dan filogenetik sama jika taraf evolusi kira-kira tetap dan arahnya menyebar (divergent) seperti yang terjadi pada manusia, simpanse dan kelinci (Ridley 1991). Spesies dapat didefinisikan sebagai sebuah populasi, atau kumpulan populasi, individu fertil, secara reproduksi terisolasi dari individu populasi lain dan memiliki karakter umum tertentu yang membedakan mereka dengan populasi yang serupa atau kumpulan populasi. Jika terjadi cross breeding dari dua spesies yang berbeda, maka keturunannya akan steril (Pettingil 1969,; Darlington 1966). Spesies dibedakan dengan kombinasi karakter taksonomi seperti morfologi, ukuran, bentuk, dan karakter ekologi yang lain seperti tipe niche, tanda-tanda mengajak kawin berupa tipe lagu maupun sarang dan pola umum perilaku. Setiap spesies memperlihatkan variasi diantara individu. Jika spesies terpisah jauh, maka variasi jarang terjadi, kalaupun ada akan terjadi seragam, tapi cenderung mengelompok dalam populasi lokal. Spesies yang menyebar luas dengan kombinasi karakter yang cukup berbeda dari populasi lain disebut subspesies (ras) (Pettingil 1969) Penyebaran spesies biasanya dibagi ke dalam beberapa populasi lokal dan dengan pertukaran waktu, populasi jadi terpecah oleh beberapa faktor geografi ke dalam populasi yang terisolasi dan setiap populasi ini mungkin membentuk karakter yang berbeda. Biasanya perbedaan menjadi cukup tajam untuk mendesain setiap populasi menjadi subspesies. Jika faktor isolasi terus-menerus berjalan, perbedaan yang akan datang akan berakumulasi dan membentuk barrier fisiologi yang menghapus kesempatan untuk kawin. Dua populasi kemudian terisolasi secara reproduksi dari yang satu ke yang lainnya dan akan menjadi spesies (Pettingil 1969; Darlington 1966).

104 Subspesies didefinisikan secara geografi terbatas populasinya yang mempunyai karakter taksonomi tertentu yang umum yang dapat membedakan mereka dari populasi yang satu dengan yang lainnya dalam satu spesies. Semua subspesies bersifat fertil yang dapat saling kawin jika dua atau lebih subspesies bertemu (Pettingil 1969). Pengelompokan subspesies beo Dalam penelitian ini karakter morfologi yang dapat digunakan sebagai pembeda adalah cuping kuduk dan ukuran tubuh. Dengan melihat cuping kuduk dan ukuran tubuh kita dapat mengetahui darimana beo berasal. Kelebihan analisis morfologi tidak memerlukan biaya tinggi dan relatif sederhana (mudah dilakukan). Tetapi metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu : tidak bisa menentukan murni tidaknya burung beo (tidak dapat diketahui apakah beo tersebut hasil perkawinan silang atau bukan) dan tidak dapat menentukan jantan dan betina, karena burung beo termasuk monomorf. Dari pengamatan morfologi khususnya bentuk khas cuping kuduk dari masing-masing kelompok beo adalah : (1) beo medan memiliki pangkal cuping kuduk terpisah dan bersatu dengan cuping di pipi membentuk segitiga (gambar pada Tabel 4) (2) beo kalimantan memiliki cuping kuduk yang terpisah, dan cuping pipi seperti tempe (gambar UK3 pada Tabel 5) (3) beo nias memiliki pangkal cuping kuduk yang bersatu, dan cuping di pipi membelok ke depan (gambar pada Tabel 4) (4) beo campuran nias dan kalimantan memiliki cuping kuduk yang terpisah agak jauh, dan cuping pipi membentuk segitiga ke bawah (gambar beo UK2 dan UK4 pada Tabel 5) (5) beo flores memiliki cuping kuduk yang membentuk garis di atas kepala dan cuping pipi seperti tempe. Dari sisi ukuran tubuh maka beo nias memiliki ukuran terbesar, disusul oleh beo flores, beo kalimantan, dan beo medan. Secara morfologis bentuk cuping kuduk beo medan dan beo kalimantan jelas berbeda, dengan adanya cuping kuduk yang berbentuk segitiga di pipi, sedangkan beo kalimantan memiliki cuping kuduk terpisah

105 dan cuping kuduk di pipi seperti tempe (gambar pada Tabel 4). Ukuran tubuh beo kalimantan lebih besar dibandingkan beo medan. Beo medan memiliki cuping kuduk yang serupa dengan beo thailand utara (G.r. intermedia) yaitu cuping kuduk bersatu dengan cuping pipi membentuk segitiga di pipi (gambar pada Tabel 4). Demikian pula dengan runutan nukleotida di daerah D-loop domain I memperlihatkan hasil yang benarbenar sama dengan beo thailand utara (G.r.intermedia). Dengan demikian beo medan yang selama ini disebut satu subspesies dengan beo kalimantan (G.r.religiosa) perlu ditinjau kembali penamaannya. Beo thailand utara termasuk ke dalam subspesies G.r.intermedia menurut Hay (1844). Subspesies beo ini menyebar di kaki pegunungan Himalaya, India timur, Nepal, Burma, Indochina, Hainan, Thailand dan Kra (Peters 1962). Dari hasil analisis dengan menggunakan SPSS pada morfometri dengan jarak pengelompokkan 20 diperoleh dendrogram yang menunjukkan adanya empat kelompok besar burung beo (Tabel 16) yaitu kelompok : a) beo yang tidak diketahui asal usulnya (UK4 dan UK2) b) beo nias (N1, N2, N3, N4, N5, N6, N7, N8) c) beo medan (M1 dan M2) dan d) beo kalimantan (K1, K2, K3), beo Flores (F1 dan F2) dan beo yang tidak diketahui asal usulnya (UK1, UK3). Hasil pengukuran morfometri memberikan hasil yang hampir selaras dengan analisis perunutan di daerah D-loop mtdna. Kelompok beo UK2-UK4 lebih dekat dengan kelompok beo nias, sedangkan beo medan lebih dekat hubungannya dengan beo UK1, padahal dari bentuk cuping kuduk jelas berbeda, yaitu beo UK1 memiliki cuping kuduk berbentuk garis lurus ke atas kepala, dan beo medan mempunyai bentuk cuping kuduk yang bersambung dengan cuping di pipi membentuk segitiga. Nampaknya ukuran morfometri dapat digunakan untuk menentukan kekerabatan antar burung beo, namun tidak setepat hasil perunutan DNA. Berdasarkan hasil analisis kelompok utama pada aktivitas harian burung beo di penangkaran dengan menggunakan SPSS diperoleh dendrogram yang menunjukkan adanya dua kelompok besar yaitu a)

106 kelompok beo nias (N1), beo medan (M1) dan beo flores (F1) serta b) beo kalimantan (K1). Perilaku hewan ditentukan oleh faktor dalam (fisiologis Tabel 16. Kelompok subspesies beo berdasarkan berbagai metode analisis kekerabatan Metode Analisis Kekerabatan Pembeda Jumlah Kelompok Subspesies Morfometri Ukuran tubuh 4 Nama Kelompok Subspesies UK2 dan UK4; N1,N2,N3,N4,N5,N6,N7,N8; M1, M2; K1, K2, K3, F1, F2, UK1, dan UK3 Aktivitas Harian Aktivitas Harian 2 N1, M1 dan F1; K1 Gambaran Darah Eritrosit 2 Darah Utuh 2 N1, N2, N3, K1, K2, F2 dan M1; UK1, UK2,UK3, UK4, N4, K3, M2, F1 Kalimantan, Nias, UK2, UK3; Medan (M1, M2) Perunutan Daerah D-Loop DNA mitokondrion Nukleotida 6 Medan (M1, M2) Nias Murni (N1) Campuran Nias dan Kalimantan (N2, N3, N4, K1, K3, UK2, UK4) Kalimantan Murni (K2, UK3) Flores (F1, F2) Kemungkinan Sumbawa (UK1) Keterangan: N= Nias; K= Kalimantan; M= Medan; F= Flores; UK1, UK2, UK3, UK4=beo yang tidak diketahui asal-usulnya dan genetik) dan faktor luar (lingkungan). Karena itu ada perbedaan perilaku antara hewan yang dikandangkan maupun yang hidup di alam Dalam penelitian ini, pengamatan perilaku dilakukan di kandang sehingga burung beo sudah mengalami adaptasi selama lebih dari lima tahun. Karenanya dalam penelitian ini hasil analisis aktivitas harian burung beo tidak dapat dijadikan alat untuk menganalisis kekerabatan antar subspesies burung beo, namun berguna untuk pengelolaan beo agar tetap lestari. Menurut Archawaranon (11 April 2006, komunikasi pribadi) tidak

107 terdapat perbedaan aktivitas harian antara beo thailand utara (G.r. intermedia) dan thailand selatan (G.r. religiosa) demikian pula untuk aspek hematologi tidak terdapat perbedaan diantara keduanya. Sehingga aktivitas harian dan gambaran darah (hematologi) tidak dapat digunakan untuk menganalisis kekerabatan burung beo. Hasil analisis kelompok utama berdasarkan ukuran panjang dan lebar sel darah merah dan inti sel darah merah dengan menggunakan SPSS menunjukkan adanya dua kelompok besar yaitu : a) kelompok beo nias (N1, N2, N3), beo medan (M1), beo kalimantan (K1, K2), dan beo flores (F2) serta b) kelompok beo nias (N4), beo medan (M2), beo kalimantan (K3), beo flores (F1) dan beo yang tidak diketahui asal usulnya (UK1, UK2, UK3, UK4). Berdasarkan gambaran darah secara keseluruhan (eritrosit, kadar hemoglobin, nilai hematokrit dan leukosit) dengan menggunakan SPSS dengan jarak pengelompokkan 20 diperoleh dendrogram yang menunjukkan adanya dua kelompok besar yaitu kelompok a) beo nias, beo kalimantan, beo UK3, dan beo UK2 serta b) beo medan, beo flores dan beo UK1 dan beo UK4 (Tabel 16). Dari hasil analisis gambaran darah memperlihatkan beo nias berkerabat sangat dekat dengan beo kalimantan dan berkerabat sangat jauh dengan UK4 (campuran kalimantan dan nias). Beo medan membentuk satu kelompok dengan beo flores. Hasil analisis gambaran darah dalam penelitian ini menunjukkan ketidak sesuaian dengan perunutan DNA di daerah D-loop mtdna, dimana beo medan mempunyai jarak genetik yang paling jauh dengan beo flores dengan perbedaan nukleotida sebesar 17 nukleotida. Ketidaksesuaian hasil analisis dalam penelitian ini diduga karena beo yang digunakan berasal dari spesies yang sama, dan merupakan beo yang dipelihara di penangkaran dengan kondisi lingkungan yang seragam. Dengan demikian variasi yang mungkin disebabkan oleh faktor lingkungan tidak dijumpai dalam penelitian ini. Namun demikian gambaran hematologis melengkapi penelitian ini dan berguna untuk menentukan suatus kesehatan hewan.

108 Analisis hematologi darah sangat berguna untuk suatus kesehatan hewan dan untuk mendiagnosis ada tidaknya penyakit, namun demikian dalam penelitian ini ditemukan bahwa metode ini tidak memberikan hasil yang sesuai dengan hasil analisis perunutan DNA di daerah D-loop mtdna. Menurut Puerta et al. (1990) faktor-faktor yang mempengaruhi variasi gambaran darah adalah keadaan lingkungan, perubahan musim, ketinggian (altitude), makanan, stress, aktivitas fisiologi yang tinggi, ada tidaknya penyakit dan sebagainya. Dari hasil perunutan DNA di daerah D-loop mtdna, beo kalimantan memiliki perbedaan dengan beo medan sebesar dua nukleotida yaitu di posisi ke 38 dimana T C dan posisi 130 dimana T A. Dibandingkan dengan beo medan, kebanyakan beo kalimantan tidak bisa meniru suara yang didengarnya. Dengan ciri-ciri morfologis dan perunutan DNA yang berbeda maka beo kalimantan tidak bisa dikelompokkan bersama-sama dengan subspesies beo medan. Dengan perbedaan ini, sudah sewajarnya beo medan dan beo kalimantan di kelompokkan dalam dua subspesies yang berbeda. Jika dibandingkan dengan beo thailand, maka ukuran morfologi maupun bentuk cuping kuduk beo medan mendekati ukuran beo thailand ras utara (G.r.intermedia). Cuping kuduk beo thailand utara menyerupai cuping kuduk beo medan yaitu membentuk segitiga di pipi (Archawaranon & Mevatee 2002). Beo medan ternyata memiliki runutan nukleotida yang persis sama dengan beo thailand utara (G.r. intermedia). Dalam hal ini perlu pelurusan taksonomi bagi beo medan. Dengan ditemukannya pengelompokan beo murni dari Kalimantan maka sudah sewajarnya beo kalimantan diberi nama subspesies yang berbeda dengan beo medan, tidak lagi G.r.religiosa. Demikian pula perlu ditinjau kembali penamaan untuk kelompok campuran beo nias dan beo kalimantan. Dalam menganalisis kekerabatan burung beo penelitian, yang paling menunjang klasifikasi burung beo adalah dengan perunutan DNA di daerah D-loop mtdna domain I, karena variabilitasnya sangat tinggi, bahkan tertinggi di seluruh genom (Aquadro & Greenberg 1983). Dengan

109 perunutan DNA ini dapat diketahui asal usul burung beo, dan dapat mengetahui apakah terjadi mutasi, delesi maupun insersi. Selain itu juga dapat mendeteksi apakah burung beo itu murni atau sudah terjadi percampuran akibat perkawinan. Kelebihan teknik perunutan DNA di daerah D-loop mtdna domain I ialah dapat membedakan subspesies burung beo secara akurat dan handal, dan ini sudah merupakan pembeda pada struktur molekul yang paling kecil dalam satu individu. Melalui pensejajaran berganda (multiple allignment) dengan menggunakan beo thailand utara dan beo thailand selatan (Genbank) sebagai pembanding, dihasilkan enam kelompok beo yaitu (1) kelompok medan (M1, M2) (2) kelompok campuran beo nias dan beo kalimantan (N2, N3, N4, K1, K3, UK2, UK4); (3) beo kalimantan murni (K2, UK3); (4) beo nias murni (N1); (5) beo flores (F1, F2) dan (6) kemungkinan besar beo sumbawa (UK1). Strategi Konservasi Genetik Burung Beo Penerapan studi genetik dalam permasalahan konservasi didasari oleh teori genetika populasi, yang mempelajari tentang faktor-faktor yang menentukan komposisi genetik suatu populasi dan bagaimana faktorfaktor tersebut berperan dalam proses evolusi (Halliburton 2004). Terdapat beberapa faktor yang sangat berperan dalam kejadian evolusi pada suatu populasi yaitu mutasi, rekombinasi, seleksi alam, genetic drift, gene flow dan perkawinan yang tidak acak (Fan et al. 2002; Halliburton 2004). Faktor-faktor tersebut akan memunculkan keragaman genetik pada suatu populasi, dan hal ini merupakan informasi yang paling berguna untuk memahami kekuatan-kekuatan yang menyebabkan evolusi (Cavalli-Sforza 1998). Keragaman genetik yang tinggi akan sangat membantu suatu populasi beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya (Halliburton 2004). Informasi dasar yang dibutuhkan dalam upaya melestarikan burung beo Indonesia ialah jumlah dan penyebaran populasi burung beo di alam. Beberapa ahli biologi menyarankan bahwa usaha untuk menyelamatkan

110 sejumlah 500-1000 individu biasanya cukup efektif untuk mempertahankan keragaman genetik (Lande 1988). Di Pulau Nias populasi terakhir 50-80 ekor sehingga kurang efektif, jadi disarankan untuk segera ditangkarkan dan di reintroduksi ke Pulau Nias. Selain itu, informasi mengenai ketersediaan habitat, perburuan, pengelolaan yang telah dilakukan, juga diperlukan informasi mengenai analisis daya hidup populasi dan habitat (Population Habitat Viability Analysis) yang biasanya diprakarsai oleh IUCN-Captive Breeding Specialist Group. Strategi konservasi genetik burung beo pada dasarnya dapat dilakukan dengan upaya konservasi in-situ maupun konservasi ex-situ. Upaya konservasi in-situ dilakukan di habitat alaminya seperti perbaikan habitat dengan cepat, identifikasi keanekaragaman genetik, dan reintroduksi burung beo sesuai asalnya. Upaya konservasi burung beo secara ex-situ dilakukan di luar habitat aslinya, seperti di penangkaran, kebun binatang maupun Taman Safari. Upaya ini sangat memungkinkan kita untuk melakukan program breeding selain bertujuan untuk pelestarian juga untuk menghasilkan burung beo bibit unggul yang memiliki kepandaian menirukan suara dengan baik, lebih tahan penyakit dan memiliki penampilan yang bagus misalnya mengawinkan antar subspesies burung beo. Namun demikian hasil dari penangkaran ini tidak boleh dikembalikan ke alam, karena akan mempengaruhi kemurnian genetik beo asli daerah tersebut. Secara umum, strategi konservasi genetik burung beo yang perlu dilakukan ialah (1) Peraturan pemerintah/ Undang-undang (2) Kelembagaan yang akan menunjang kegiatan konservasi genetik burung beo (3) Sumber dana (4) Penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat (5) Inventarisasi dan identifikasi keanekaragaman genetik burung beo di Indonesia (6) Penelitian dan pengembangan (misalnya: pengawetan material hidup melalui teknik kriopreservasi, baik untuk inseminasi buatan maupun In Vitro Fertilization (IVF) dll.).