ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE : SEBUAH ANALISIS WACANA SASTRA. Rudi A. Nugroho

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Kajian ini mengungkapkan pemarkah kohesi gramatikal dan pemarkah kohesi

BAB I PENDAHULUAN. wacana sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia. Dalam berkomunikasi memerlukan sarana yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Penguasaan kemampuan berbahasa Indonesia sangat penting sebagai alat

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi. Kalimat berperan sebagai unsur pembangun bahasa saja. Satuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROBLEMATIKA MENGANALISIS WACANA SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL MAHASISWA FKIP UNA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

ANALISIS PENGGUNAAN PIRANTI KOHESI PADA WACANA NASKAH LAKON SANDOSA SOKRASANA: SANG MANUSIA KARYA YANURA NUGRAHA NASKAH PUBLIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan sehari-hari manusia dan bahasa tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. sarana yang berfungsi untuk mengungkapkan ide, gagasan, pikiran dan

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN DEMONSTRATIF WAKTU DAN TEMPAT PADA TEKS LAGU IHSAN DALAM ALBUM THE WINNER

BAB I PENDAHULUAN. kalimat satu dengan kalimat lain, membentuk satu kesatuan. dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan

Annisa Rakhmawati, Muhammad Rohmadi, Budhi Setiawan Universitas Sebelas Maret

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna mencapai derajat Sarjana S-1. Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

PENANDA HUBUNGAN REPETISI PADA WACANA CERITA ANAK TABLOID YUNIOR TAHUN 2007

PRATIWI AMALLIYAH A

KOHESI DAN KOHERENSI WACANA MOTIVASI MARIO TEGUH GOLDEN WAYS TENTANG WANITA PADA STASIUN METRO TV. Abstract

PENANDA KOHESI GRAMATIKAL KONJUNGSI ANTARKALIMAT DAN INTRAKALIMAT PADA TEKS PIDATO KENEGARAAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A.

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal Skripsi Mahasiswa PBSI UNP Kediri Tahun 2014

ANALISIS ASPEK LEKSIKAL DAN ASPEK KONTEKS DALAM LAGU OEMAR BAKRI KARYA IWAN FALS

BAB 1 PENDAHULUAN. maupun tulisan. Bahasa juga memegang peranan penting dalam kehidupan sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Menulis merupakan suatu representasi bagian dari kesantunankesantunan

KOHESI DAN KOHERENSI WACANA PADA CATATAN MOTIVASI MARIO TEGUH DI PROFIL FACEBOOK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial, yang tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran

B AB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. maupun sebagai komunikan (mitra baca, penyimak, pendengar, atau pembaca).

KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA INTERAKTIF DALAM KOLOM DETEKSI HARIAN JAWA POS EDISI JUNI 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. karena dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhubungan dengan bahasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Suatu wacana dituntut untuk memiliki keutuhan struktur. Keutuhan

BAB 2 LANDASAN TEORI

ASPEK LEKSIKAL DAN GRAMATIKAL PADA LIRIK LAGU JIKA KARYA MELLY GOESLOW. Rini Agustina

BAB II LANDASAN TEORI. digunakan untuk mengetahui keaslian penelitian yang dilakukan. Tinjauan

ANALISIS PENANDA KOHESI DAN KOHERENSI PADA KARANGAN. NARASI SISWA KELAS VIII MTs AL-HIDAYAH GENEGADAL TOROH GROBOGAN TAHUN AJARAN 2012/2013

BAB II KAJIAN TEORETIK

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling memahami maksud atau keinginan seseorang.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Kohesi gramatikal..., Bayu Rusman Prayitno, FIB UI, 2009

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA DALAM WACANA DIALOG ACARA BUKAN EMPAT MATA EPISODE 30 OKTOBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan pengertian antara yang satu dengan yang lain (Rani dkk,

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa jurnalistik merupakan ragam bahasa tersendiri yang dipakai dalam

KATA PENGANTAR. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha esa. Karena dengan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dari peristiwa komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana

Mata Kuliah : Kajian wacana Jurusan/Prodi : PBSI/ (Non. Reg.)

REFERENSI DALAM WACANA TULIS PADA SURAT KABAR SOLOPOS EDISI JANUARI 2010 NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. individu maupun kelompok. Ramlan (1985: 48) membagi bahasa menjadi dua

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NOVEL KIRTI NJUNJUNG DRAJAT KARYA R. Tg. JASAWIDAGDA

BAB I PENDAHULUAN. seperti morfem, kata, kelompok kata, kalusa, kalimat. Satuan-satuan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan merupakan ragam bahasa

BAB I PENDAHULUAN. untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam lingkungan. manusia untuk saling menyampaikan pesan dan maksud yang akan

ANALISIS TEKSTUAL POSTER PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT PEKAN ILMIAH MAHASISWA NASIONAL TAHUN 2013

KOHESI LEKSIKAL DALAM ARTIKEL OPINI KEDAULATAN RAKYAT

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL PADA LIRIK LAGU GROUP BAND WALI DALAM ALNBUM RELIGI INGAT SHALAWAT NASKAH PUBLIKASI

SARANA KOHESI DALAM CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI KARYA A. A. NAVIS. Jurnal Skripsi. Oleh TENRI MAYORE NIM JURUSAN SASTRA INDONESIA

KOHESI GRAMATIKAL DAN KOHESI LEKSIKAL DALAM LIRIK GRUP BAND CAPTAIN JACK INTISARI

ANALISIS KOHESI GRAMATIKAL PENGACUAN PERSONA PADA TERJEMAHAN AL-QURAN SURAT AL-KAHFI (SURAT 18)

ANALISIS WACANA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL KHOTBAH IDUL ADHA

BAB I PENDAHULUAN. novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari

BAB V PENUTUP. aspek tersebut akan dipaparkan sebagai berikut. ini terdiri atas tiga, yakni (1) struktur dan keterpaduan Antarunsur dalam Wacana

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa tidak pernah lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Setiap

ANALISIS WACANA CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA: TINJAUAN DARI SEGI KULTURAL, SITUASI, SERTA ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan. komunikasi, baik itu komunikasi dengan orang-orang yang ada di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peristiwa komunikasi. Bahasa sebagai sarana yang digunakan untuk

PENANDA KOHESI PADA WACANA RUBRIK SUARA MAHASISWA DALAM HARIAN JOGLO SEMAR

KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK BERITA MAJALAH MANDUTA TAHUN SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

ANALISIS WACANA PADA TAYANGAN INFOTAINMENT SILET DI RAJAWALI CITRA TELEVISI INDONESIA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. bahasa itu, biasanya akan dijawab, bahasa adalah alat komunikasi. Menurut

PENANDA KOHESI LEKSIKAL REPETISI PADA WACANA TAJUK RENCANA SURAT KABAR SEPUTAR INDONESIA EDISI MARET 2009

KOHESI DALAM NOVEL KELANGAN SATANG KARYA SUPARTO BRATA TESIS

KAJIAN KOHESI DAN KOHERENSI DALAM NOVEL KADURAKAN ING KIDUL DRINGU KARYA SUPARTO BRATA

Dari sudut wacana (tempat acuan) nya, referensi dibagi atas:

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang memerlukan bahasa untuk berkomunikasi. Komunikasi

PEMAKAIAN DEIKSIS PERSONA, LOKASIONAL, DAN TEMPORAL DALAM NOVEL AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia dalam sepanjang hidupnya hampir tidak pernah terlepas

JURNAL KOHESI DAN KOHERENSI WACANA PEMBACA MENULIS DI JAWA POS COHESION AND COHERENCE OF DISCOURSE READERS WRITING IN JAWA POS

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM WACANA BUKU TEKS BAHASA INDONESIA SMA KELAS XI KARANGAN DAWUD, DKK TAHUN 2004 PENERBIT ERLANGGA

ANALISIS PENANDA HUBUNGAN KONJUNGSI SUBORDINATIF PADA CERITA ANAK DI SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. narasi. Di dalam wacana naratif mengandung suatu gagasan atau informasi dari

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS WACANA LIRIK LAGU OPICK ALBUM ISTIGFAR (TINJAUAN INTERTEKSTUAL, ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL)

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari peristiwa komunikasi untuk mengungkapkan gagasan, ide,

PENANDA KOHESI PADA TAJUK RENCANA HARIAN SURAT KABAR KOMPAS EDISI JANUARI 2015

PENANDA KOHESI SUBSITUSI PADA WACANA KOLOM TAJUK RENCANA SUARA MERDEKA BULAN AGUSTUS 2009 SKRIPSI

CHAPTER 5 SUMMARY BINA NUSANTARA UNIVERSITY. Faculty of Humanities. English Department. Strata 1 Program

ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI RUBRIK TAJUK RENCANA PADA SURAT KABAR SOLOPOS DAN RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA

BAB I PENDAHULUAN. komunikasi. Di dalam komunikasi manusia memerlukan sarana untuk

ANALISIS TINDAK TUTUR DAN GAYA BAHASA PADA DIALOG-DIALOG NASKAH DRAMA REPUBLIK BAGONG KARYA N. RINATIARNO

ANALISIS PENANDA KOHESI PADA KARANGAN SISWA TINGKAT SEKOLAH MENENGAH PERTAMA KELAS VIII SMP MUHAMMADIYAH 5 SURAKARATA

ANALISIS PENANDA KOHESI DAN KOHERENSI PADA RUBRIK SERAMBI TABLOID CEMPAKA EDISI JANUARI-FEBRUARI Skripsi

Oleh: SEPTIKA NIKEN ERLINDA A

WACANA NARATIF SHORT-SHORT STORY BOKKOCHAN KARYA HOSHI SHIN ICHI

BAB I PENDAHULUAN. dapat disesuaikan, dan diungkapkan kembali kepada orang lain sebagai bahan

BAB I PENDAHULUAN. Menulis adalah salah satu kemampuan bahasa bukanlah kemampuan yang

BAB I PENDAHULUAN. ada di dalam pikiran kepada orang lain yaitu dengan bahasa, baik secara lisan

Transkripsi:

ASPEK GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL DALAM NASKAH DRAMA BARABAH KARYA MOTINGGO BUSYE : SEBUAH ANALISIS WACANA SASTRA Rudi A. Nugroho I. PENDAHULUAN Perkembangan wacana berkembang sangat pesat. Berbagai kajian wacana sangat dibutuhkan untuk mengimbangi perkembangan tersebut. Wacana berkembang di berbagai aspek kehidupan dan melalui berbagai media dengan mengusung berbagai maksud dan tujuan. Salah satu jenis wacana yang berkembang dalam masyarakat adalah jenis wacana sastra. Perkembangan sastra yang akhir-akhir ini berkembang cukup pesat karena memang masyarakat membutuhkannya sebagai pendamping kehidupan yang sudah cukup penat sebagai bagian yang mampu menghibur untuk hanya sekedar bersantai atau lebih dari itu. Dunia sastra yang cukup kompleks dengan berbagai genrenya, cukup menarik untuk dikaji dari segi kewacanaan. Genre sastra prosa dan puisi sudah cukup sering dijumpai dalam berbagai rubrik tidak terkecuali berbagai kajian tentang genre tersebut. Salah satu genre sastra yang sedikit termarginalkan adalah genre sastra drama. Sebenarnya genre ini dilihat dari sisi apresiatifnya lebih mudah tetapi di balik kemudahannya memang genre ini juga cukup bahkan paling kompleks dibandingkan dengan genre sastra yang lainnya. Pandangan tentang wacana sastra hanya sebagai wacana santai akhirakhir ini mengalami pergeseran, karena ternyata ketika dikaji lebih lanjut, wacana sastra justru banyak sekali mengandung muatan-muatan yang cukup besar. Hanya saja memang tidak secara eksplisit dikemukakan oleh pengarangnya. Dalam uraian ini akan disajikan sebuah kajian naskah drama Barabah sebagai sebuah analisis wacana. Naskah drama ini merupakan naskah karya Motinggo Buyse. Naskah ini bukanlah naskah yang panjang dan hanya tergolong satu babak. Meskipun satu babak naskah ini mampu memunculkan sebuah peristiwa yang cukup menarik. Hal ini sangat cocok sekali untuk dikaji dari sudut analisis wacana, bagaimana suatu drama yang hanya dalam satu babak mampu menghadirkan kualitas yang dapat dikatakan baik. Tentunya hal itu tidak terlepas dari adanya suatu kesatuan unsur-unsur wacana di dalamnya. Dalam makalah ini akan dipaparkan suatu analisis naskah drama Barabah sebagai salah satu jenis wacana. II. KAJIAN PUSTAKA 1. Pengertian Wacana dan Analisis Wacana Menurut Kridalaksana, wacana adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal, merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (1983 : 179). Lebih lanjut dikatakan bahwa wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang mambawa amanat yang lengkap. Wacana mrupakan 1

suatu satuan tertinggi dari hierarki gramatikal bahasa yang di dalamnya sudah terkandung keutuhan yang lengkap dan membawa amanat tertentu. Senada dengan Kridalaksana, Tarigan mengemukakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan atau tertulis (1987 : 27). Pendapat tersebut tidak hanya mendasarkan pada wacana sebagai satuan tertinggi tetapi juga di dalamnya menuntut adanya suatu koerensi dan kohesi yang tinggi dan mempunyai awal dan akhir yang nyata. Chaer juga berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan tertinggi atau terbesar (1994 : 267). Pendapat ini sama dengan pendapat dari Kridalaksana, bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang tertinggi secara gramatikal. Dalam kaitannya dengan analisis wacana terdapat pula beberapa pendapat dari beberapa ahli bahasa. Stubbs (dalam Oetomo, 1993 : 4) menyatakan bahwa analisis wacana merujuk pada upaya mangkaji pengaturan bahasa di atas kalimat atau klausa, dan karenanya mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas, seperti pertukaran percakapan atau teks tertulis. Pendapat tersebut mempunyai konsekuensi adanya suatu pengkajian terhadap unsur-unsur di luar aspek linguistik, yang turut memberi andil dalam terbentuknya suatu wacana. Senada dengan Stubbs, Kartomihardjo menyatakan bahwa analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat dan lazim disebut wacana (1993 : 21). Cukup sederhana pengertian tersebut, jadi analisis wacana lebih pada suatu pengkajian suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat. Berangkat dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa analisis wacana adalah suatu upaya pengkajian bahasa pada tataran di atas kalimat atau klausa yang juga melibatkan aspek-aspek di luar aspek linguistik yang turut memberi makna terhadap suatu bahasa yang digunakan tersebut. 2. Jenis-jenis Wacana Wacana merupakan suatu bahasa yang terlengkap dan merupakan satuan yang tertinggi dalam hierarki gramatikal. Dalam hal ini wacana mengandung suatu yang lengkap dan utuh. Wacana-wacana yang ada dalam penggunaan bahasa digolongkan menjadi beberapa jenis. Berdasarkan realitasnya, wacana dibagi menjadi dua yaitu wacana verbal dan nonverbal. Didasarkan pada media komunikasinya, wacana dibagi manjadi dua yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Berdasarkan cara pengungkapannya ada wacana langsung dan wacana tak langsung. Dilihat dari cara pembeberannya ada wacana pembeberan (expository discourse) dan wacana penuturan (narrative discourse). Berdasarkan bentuknya dibagi menjadi wacana prosa, wacana puisi, dan wacana drama. Wacana berdasarkan isinya ada wacana naratif, wacana prosedural, wacana hortatori, wacana 2

ekspositori, wacana deskriptif, wacana dramatik, wacana epistolari, dan wacana seremonial. 3. Aspek Gramatikal Satu bahasa terdiri atas bentuk (form) dan makna (meaning), maka hubungan antar bagian wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi (cohesion) dan hubungan makna atau hubungan semantik yang disebut koherensi (coherence) (Sumarlam, 2005 : 23). Lebih lanjut lagi, menurut Halliday dan Hasan (1976 : 6) membagi kohesi menjadi dua jenis yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Struktur lahir wacana atau segi bentuk disebut aspek gramatikal wacana, struktur batin wacana atau segi makna disebut aspek leksikal wacana. Aspek gramatikal wacana meliputi : (1) pengacuan (reference), (2) penyulihan (substitution), (3) pelesapan (ellipsis), (4) perangkaian (conjunction) (Sumarlam, 2005 : 23). Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai empat aspek gramatikal tersebut. a. Pengacuan (referensi) Pengacuan atau referensi adalah salah atau jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Terdapat dua jenis pengacuan yaitu pengacuan endofora dan pengacuan eksofora. Pengacuan endofora apabila acuannya berada dalam teks wacana itu, dan dikatakan pengacuan eksofora apabila acuannya di luar teks wacana. Pengacuan endofora dibagi menjadi dua jenis yaitu pengacuan anaforis dan pengacuan kataforis. Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu. Pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang akan disebut kemudian. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan yang unsur yang lain. b. Penyulihan (substitusi) Penyulihan atau substitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yan berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Dilihat dari segi satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi substitusi nominal (kata benda), verbal, frasal, dan klausal. c. Pelesapan (elipsis) Pelesapan atau elipsis adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. 3

d. Perangkaian (konjungsi) Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkai dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan, dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau pemarkah disjungtif. 4. Aspek Leksikal Kohesi leksikal adalah hubungan antar unsur dalam wacana secara semantis. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal, dengan pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara satuan lingual yang satu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana. Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu (a) repetisi (pengulangan), (b) sinonimi (padan kata), (c) kolokasi (sanding kata), (d) hiponimi (hubungan atas-bawah), (e) antonimi (lawan kata), dan (f) ekuivalensi (kesepadanan). a. Repetisi (pengulangan) Repetisi atau pengulangan adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dibedakan lagi menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis (pengulangan satuan lingual yang penting beberapa kali secara berturut-turut), tautotes (pengulangan satuan lingual, sebuah kata, beberapa kali dalam sebuah konstruksi), anafora (pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya), epistrofora (pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris dalam puisi atau akhir kalimat dalam prosa), sinekdoke (pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut), mesodiplosis (pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut), epanalepsis (pengulangan satuan lingual yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama), dan anadiplosis (pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya). b. Sinonimi Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk sebuah benda atau hal yang sama; atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) sinonimi antar morfem (bebas) dengan morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. c. Antonimi (lawan kata) Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benada atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Berdasarkan sifat oposisi makan dapat dibedakan 4

menjadi lima macam, yaitu (1) oposisi mutlak (contoh: hidup-mati), (2) oposisi kutub (contoh: kaya-miskin), (3) oposisi hubungan (contoh: bapakibu), (4) oposisi hirarkial (contoh: kilogram-ton), (5) oposisi majemuk (contoh: berdiri-jongkok-duduk-berbaring). d. Kolokasi (sanding kata) Kolokasi adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya kata sawah, petani, lahan, bibit padi, sistem pengolahan, panen, dan hasil panen akan sering dijumpai dalam jaringan pertanian. e. Hiponimi (hubungan atas-bawah) Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut hipernim atau superordinat. Contoh : binatang melata = reptil => katak, ular, cicak, kadal, bunglon. f. Ekuivalensi (kesepadanan) Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Contohnya kata membeli, dibeli, membelikan, dibelikan, dan pembeli, semua bentuk asalnya adalah beli. 5. Konteks dan Inferensi dalam Analisis Wacana Konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal melingkupi sebuah wacana (Sumarlam, 2003 : 47) konteks wacana secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu konteks bahasa dan konteks luar bahasa (extra linguistic context) disebut dengan konteks situasi dan konteks budaya atau konteks saja. Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembicara untuk memahami maksud pembicara atau penulis. Proses pemahaman seperti itu tidak dapat dilakukan melalui pemhaman makna secara harfiah saja, melainkan harus didasari pula oleh pemhaman makna berdasarkan konteks sosial dan budaya. Pemahaman konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan analogi. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal, dan prinsip analogi (Sumarlam, 2005 : 47-54). Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa sesuangguhnya yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna sebuah tuturan. Prinsip penafsiran lokasional berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana. Penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat menafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi (peristiwa, keadaan, proses). 5

Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun mitra tutur, untuk memahami makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian atau keseluruhan) sebuah wacana. Interensi adalah proses yang harus dilakukan oleh komunikan (pembaca/pendengar/mitra tutur) untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh komunikator (pembicara/penulis/penutur). 6. Unsur-unsur dalam Drama Unsur-unsur dalam drama secara garis besar hampir sama dengan genre sastra yang lain, hanya saja untuk drama mempunyai kekhasan dibanding genre sastra yang lain. Dalam drama lebih mementingkan pada dialog, jadi bukan prosa, lebih pada ujaran-ujaran yang langsung. Secara garis besar struktur naskah drama ada enam bagian penting yaitu plot atau kerangka cerita, penokohan atau perwatakan, dialog atau percakapan, setting atau landasan, tema atau nada dasar cerita, dan amanat atau pesan pengarang (Waluyo, 2008 : 6-28). Plot sering juga disebut alur. Plot will mean the artistic arrangement of those events (Kennedy, 1983 : 9). Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka awal hingga ahir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (Waluyo, 2002 : 8). Alur dari suatu cerita inilah yang merangkaikan berbagai peristiwa yang ada dalam suatu cerita sehingga terbentuklah suatu urutan peristiwa yang menarik untuk dinikmati. Penokohan atau perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama yaitu tokoh atau suatu peran. Tarigan mengatakan bahwa sang dramawan haruslah dapat memotret para pelakunya dengan tepat dan jelas untuk menghidupkan impresi (1993 : 76). Watak tokoh itu akan menjadi nyata terbaca dalam dialog dan catatan samping, jenis dan warna dialog akan menggambarkan watak tokoh itu (Waluyo, 2008 : 14). Mengkaji sebuah cerita tentu tidak terlepas dari tokoh, karena tokoh merupakan unsur yang penting dalam sebuah cerita. Tokoh cerita menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (dalam Nurgiyantoro, 2002 : 165). Setting sering juga disebut latar cerita. Wiyanto berpendapat bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan (2004: 28). Hampir senada dengan Wiyanto, Waluyo berpendapat bahwa setting biasanya meliputi tiga dimensi, yaitu : tempat, ruang, dan waktu (2008 : 23). Hudson menyatakan bahwa setting adalah keseluruhan lingkungan Tema merupakan gagasan pokok yang terkandunga dalam drama. Tema berhubungan dengan premis dari drama tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh pengarang (Waluyo, 2008 : 24). Mengenai premis, ia juga Kekhasan dari genre sastra ini adalah media dialog atau percakapan yang digunakan dalam penyampaiannya. Ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan atau dialog (Waluyo, 2008 : 20). Lebih lanjut lagi 6

Waluyo berpendapat bahwa ragam bahasa dalam dialog tokoh-tokoh drama adalah bahasa yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis (2008 : 20). III. KORPUS DATA (1) Banio : (DARI LUAR) Barabaaahh!! (MAKIN DEKAT) Oooii, Barabaahh!! (MUNCUL DI PINTU, SEORANG TUA UMUR 70 TAHUN, MEMBAWA CANGKUL) Baraabaaahh, oi Barabah! (LALU DUDUK DI KURSI MENYEKA KERINGAT MENCIUM KOPINYA) (2) Banio : Punggungku sudah bengkok. Nanti engkau tahu pula kalau punggungku bengkok. (3) Barabah: (SAMBIL TERSENYUM MENJAWAB LINCAH) Ibah akan memanggil Bapak? (4) Barabah: Aku nangis di kuburan selama seminggu. (5) Banio :. Aku Cuma seorang rakyat biasa. Seorang petani, seorang rakyat biasa macam aku ini tidak perlu ambil muka. Tapi pemimpin-pemimpinlah yang ambil muka pada rakyat... (6) Banio : Gila! Atau kau mau tertawakan saja, dari sebelas perempuan yang kukawini, aku tidak pernah punya anak lakilaki. Kau tahu aku dulu penabuh genderang sehingga aku pernah bermimpi punya anak laki-laki yang pintar menabuh genderang,. (7) Banio : (MENGHIRUP KOPI) Aku sudah tua. Barabah. Dan ini adalah perkawinanku yang kedua belas dan terakhir. Aku pikir itu sudah rekor.. (8) Banio : Dia berkhianat dua kali. Pertama, dia berkhianat pada lakinya. Kedua, pada tanah air. O, bukan, bukan dua kali. (9) Banio : Ya, naik kapal terbang. Cuma itu yang belum kunaiki. Aku pernah naik mobil, sepur, pernah naik kuda dan kerbau, pernah naik gunung. Semua sudah kunaiki kecuali kapal terbang. Aku pernah melihat foto Bung Karno naik helikopter. (10) Zaitun : Cecak. Sepasang cecak yang sedang buru-memburu. Ibu saya membiarkan itu pertanda baik. (11) Barabah: Baik? 7

Zaitun : Ya, baik! Itu pertanda jodoh. Barabah: Jodoh?? Zaitun : Ya, jodoh. Ibu saya ahli dalam bertenung kartu. (12) Zaitun : (SETELAH DUDUK) Cecak-cecak itu firasat yang baik. Saya tadi, begitu masuk pintu ini begitu melihat tanda-tanda. Barabah: Saya belum pernah mendengar tahayul-tahayul seperti itu. Zaitun : O, ibu saya sangat ahli dalam ilmu tahayul. Cecak-cecak itu pertanda baik dalam ilmu tahayul, kecuali kucing berkelahi. Barabah: Kucing berkelahi? Zaitun : Kucing berkelahi itu pertanda buruk. (13) Abidul : Kami akan melangsungkan perkawinan, Pak. Banio : Itu bukan soalku karena kalian yang akan kawin (TERDUDUK) Abidul : Kami datang untuk mohon doa restu. (14) Banio : Diam kau. Saya tak tanya sama kamu (KEPADA BARABAH) Barabah, inikah perempuan yang berkumis itu, dan rambutnya seperti jambul kuda? (15) Banio : Cepat-cepatlah pergi. Itu kereta api sudah di tepi bukit. Jangan tunggu aku menangis (ZAITUN BANGUN) Zaitun. (16) Banio : Memang aku tak pernah menangis (MELIHAT DARI JENDELA) sudah sore rupanya sekarang, Barabah? IV. PEMBAHASAN Dalam naskah drama Barabah ini terdapat banyak sekali hal-hal yang masuk dalam kajian analisis wacana baik aspek gramatikal leksikal maupun konteks dan inferensi. Beberapa sampel data telah diambil dan dikaji, yang akan dipaparkan pembahasannya pada bagian berikut. 1. Aspek Gramatikal a. Pengacuan (referensi) (1) Pengacuan Persona Dalam naskah drama ini banyak sekali dimunculkan suatu pengacuan persona, seperti pada cuplikan data (2), (3), dan (4). Penggunaan kata - ku yang diucapkan oleh tokoh Banio pada kata punggungku, mengacu pada dirinya (Banio). Kemudian ada juga kata ibah yang diucapkan oleh tokoh Barabah mengacu pada dirinya (tokoh Barabah), tetapi pada dialog data (4) terdapat perubahan pengacuan dari kata ibah menjadi kata aku, yang sama-sama mengacu pada tokoh Barabah. Namun hanya pada dialog itu tokoh Barabah menggunakan kata aku untuk mengganti dirinya ketika berbicara dengan suaminya (Banio). Untuk dialog dengan tokoh selain Banio, tokoh Barabah menggunakan kata ganti saya. 8

(2) Pengacuan Demonstratif Selain banyak terdapat pengacuan persona, dalam naskah drama ini juga terdapat banyak pengacuan demonstratif. Pengacuan demonstratif tempat contohnya ditunjukan pada data (4), jelas sekali diungkapkan pengacuan pada suatu tempat kuburan, dan masih banyak lagi pengacuan demonstratif tempat yang lain. Untuk pengacuan demonstratif waktu juga cukup banyak dimunculkan, salah satu contohnya yang paling jelas terdapat pada data (14). Pada data itu diungkapkan oleh tokoh Banio bahwa hari saat itu sudah sore. (3) Pengacuan Komparatif Beberapa pengacuan komparatif juga tampak dalam naskah ini. Seperti terlihat dalam data (10). Dalam rangkaian dialog tersebut terlihat adanya suatu tuturan yang bermaksud membandingkan antara kucing dengan cecak. Ketika cecak berkejaran berarti firasat baik, tetapi kalau kucing berkelahi berarti firasat buruk. b. Pelesapan (elipsis) Dalam naskah ini terdapat beberapa pelesapan (elipsis) yang dimunculkan. Contohnya pada data (8). Dalam dialog itu ada kata yang sebenarnya ada tetepi tidak dimunculkan yaitu Kedua, (dia berkhianat) pada tanah air. Kata yang terdapat di dalam kurung adalah kat-kata yang dilesapkan. Hal tersebut memunculkan suatu keefektifan suatu pertuturan. c. Perangkaian (konjungsi) Penggunaan konjungsi sangat banyak sekali digunakan dalam naskah ini. Untuk contohnya pada data (2), (5), dan (7). Terdapat konjungsi pertentangan, pengecualian, tujuan, harapan dan sebagainya. Cukup banyak terlihat penggunaan berbagai penggunaan jenis konjungsi. 2. Aspek Leksikal a. Repetisi Dalam naskah drama ini banyak sekali pengulangan kata maupun frasa. Terutama yang dilakukan oleh tokoh Banio dalam dialog-dialognya. Contohnya seperti pada data (2), tokoh Banio mengulang punggungku (sudah) bengkok. Tokoh lain yaitu zaitun juga memunculkan suatu repetisi seperti telihat pada data (12), tokoh tersebut mengulang frasa cecak-cecak itu dalam beberapa dialognya. b. Sinonimi Suatu sinonimi juga beberapadigunakan dalam naskah ini. Seperti penggunaan kata istri yang sering digantikan sinonimnya yaitu bini. Beberapa kali digunakan oleh tokoh Banio yang memang mempunyai banyak istri. Pada saat dia menceritakannya pada isterinya (Barabah), tokoh Banio beberapa kali mengganti penggunaan kata istri menjadi bini yang tertangkap lebih kasar. c. Antonimi Salah satu bentuk pemunculan suatu antonimi terlihat dari suatu kata petani yang dilawankan dengan pemerintah. Terlihat pada data (5). Pada data tersebut, tokoh Banio memunculkan kata petani yang dikemudian 9

dibandingkan dengan maksud mempertentangkan kondisinya dengan pemerintah. Petani miskin dengan pemerintah yang kaya. d. Kolokasi Naskah ini memuat nada dasar tentang suatu konflik dalam rumah tangga. Bentuk kolokasi yang memang sangat sering muncul adalah suatu kolokasi kaitannya dengan keluarga, seperti penggunaan kata perkawinan, isteri, bini, anak, perjodohan, cerai, dan sebagainya. Sangat kental sekali memang kolokasi kata-kata yang berkaitan dengan keluarga yang terlihat sangat mendukung cerita yang dimunculkan oleh pengarang. Suatu bentuk kolokasi yang cukup tepat sesuai dengan tema cerita. e. Hiponimi Ada juga suatu hiponimi yang muncul dalam naskah ini seperti dapa data (5). Dalam dialog itu muncul kata rakyat biasa yang berhiponimi dengan kata petani. Petani menjadi bagian yang lebih kecil dari rakyat biasa. f. Ekuivalensi Dalam naskah ini terdapat juga ekuivalensi yang terlihat pada data (9). Pada data tersebut terdapat kata naik dan kunaiki yang berekuvalensi. 3. Konteks dan Inferensi dalam Naskah Drama Barabah a. Prinsip Penafsiran Personal Naskah ini merupakan naskah Drama. Dalam naskah drama tentulah terdapat suatu tokoh dengan berbagai penokohan yang dimunculkan. Banyak hal yang memang harus dipahami dengan berangkat dari pemahaman terhadap suatu karakter. Suatu laku yang muncl dari suatu tokoh memang terkadang harus di pahami konteksnya, terutama dari sudut tokoh tersebut. Tidak terkecuali dalam naskah drama Barabah ini. Banyak konteks yang memang harus dipahami oleh pembaca ataupun penonton dari pertunjukan drama ini. Salah satunya dengan menggunakan prinsip penafsiran personal. Dalam naskah ini, misalnya saja ketika tokoh Banio mengatakan suatu ikan asin yang disediakan isterinya terlalu asin. Pembaca atau penonton perlu memahami bahwa kadar keasinan yang seperti apa yang dimaksud oleh Banio terlalu asin. Dalam konteks tersebut perlu adanya suatu prinsip penafsiran personal, dari sudut tokoh Banio. Dalam naskah drama ini masih banyak hal lain lagi yang memerlukan prinsip penafsiran personal. b. Penafsiran Lokasional Dalam sebuah drama terlebih lagi sebuah pertunjukan drama, penafsiran terhadap suatu yang bersifat lokasional akan lebih mudah dibandingkan dengan pemahaman terhadap suatu naskah drama. Namun dalam naskah drama juga tidak terlalu sulit, terlebih lagi mengingat dalam suatu drama terutama drama satu babak, setting atau latar yang digunakan tidak telalu luas bahkan dapat dikatakan sempit atau terbatas. Seperti dalam naskah drama Barabah ini, setting yang digunakan hanyalah di suatu ruangan di sebuah rumah. Penafsiran lokasional tidak telalu sulit, seperti penggunaan kata tunggu di depan rumah, pergi ke stasiun, ke ladang di belakang rumah, dan sebagainya. Kata-kata tersebut tidak terlalu membutuhkan 10

suatu kemampuan penafsiran lokasional yang tinggi. Mengenai acuan yang detail tentang suatu lokasi yang sesuai dengan harapan dari naskah tersebut, lebih diserahkan pada imajinasi pembaca atau penonton, karena memang untuk lokasi selain di ruangan yang digunakan untuk berlangsungnya adegan tidak dihadirkan secara detail. c. Prinsip Penafsiran Temporal Sesuai dengan teori yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, temporal berkaitan erat dengan masalah waktu. Mengenai waktu berlangsungnya adegan dari awal sampai akhir tidak terlalu sulit untuk menafsirkan maknanya, karena memang untuk drama satu babak tidak akan mengambil waktu kejadian yang panjang. Apabila dikaji dengan seksama, drama ini dapat dikatakan terjadi hanya dalam waktu satu hari. Adapun pada beebrapa hal memerlukan penafsiran yang lebih tinggi, misalnya pada kisah-kisah yang diceritakan oleh tokoh-tokohnya. Namun walaupun begitu tidak terlalu sulit juga untuk menafsirkan sisi waktu dari berbagai kisah yang diceritakan, terutama kisah-kisah yang diceritakan Tokoh Banio. d. Prinsip Analogi Beberapa adegan dalam naskah drama Barabah ini memerlukan prinsip analogi. Seperti contohnya pada data (14). Dalam dialog yang diucapkan oleh Banio muncul kata-kata inikah perempuan yang berkumis itu, dan rambutnya seperti jambul kuda. Dialog tersebut tidak dapat ditafsirkan apa adanya, tetapi perlu ditafsirkan dengan menghadirkan konteks yang terjadi sebelumnya. Dengan berbekal suatu konteks yang ada dapat dianalogikan bahwa yang dimaksud tersebut adalah sebuah sindiran terhadap Barabah, dan yang dimaksud perempuan berkumis dan rambutnya seperti jambul kuda adalah tokoh Abidul, bukan Zaitun. e. Inferensi Dalam memahami suatu wacana memang seringkali diperlukan suatu proses tertentu yang dapat membantu untuk lebih memahami suatu wacana, termasuk di dalamnya pemahaman berbagai konteks yang melingkupi wacana tersebut. Dalam memahami naskah drama Barabah juga memerlukan suatu inferensi tertentu untuk lebih memahami suatu makna yang lebih dalam. Cerita dalam naskah drama Barabah ini terjadi dalam suatu masyarakat di Indonesia. Mengenai waktu terjadi sekitar tahun 1970-an. Memang secara tersurat tidak ada yang mengungkapkannya dalam naskah, tetapi akan lebih membantu ketika suatu kejadian tersebut ditempatkan pada kejadian tang terjadi sekitar tahun 1970-an. Selain itu, dari gaya bahasa yang dimunculkan dan melihat siapa pengarangnya, dapat ditarik suatu asumsi bahwa cerita yang terjadi dalam naskah ini terjadi di daerah Sumatera. Dengan adanya background knowledge seperti itu pembaca atau penonton akan lebih dapat mengikuti suatu cerita yang dihadirkan dalam naskah tersebut. V. SIMPULAN 11

Berangkat dari pembahasan pada bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa naskah drama Barabah mempunyai suatu aspek gramatikal yang cukup baik dan cukup mendukung aspek penceritaan. Berbagai piranti kohesi dimunculkan dengan cukup tepat sehingga cukup mendukung. Aspek koherensi juga sudah cukup baik makna-makna yang terjalin sudah cukup teratur dan cukup mudah untuk diikuti tanpa menghilangkan unsur kemenarikan dari ceritanya. Berbagai konflik terbangun cukup baik dan didukung aspek gramatikal dan leksikal yang ada di dalamnya. Unsur-unsur intrinsik naskah drama ini terbangun cukup baik, menghadirkan kesatuan cerita yang utuh. Aspek gramatikal dan leksikal ditambah suatu konteks yang meliputi suatu wacana yang padu sangat berpengaruh terhadap suatu wacana. Suatu wacana akan menjadi wacana yang berkualitas tinggi ketika didukung ketiga aspek tersebut. Ketika salah satu tidak ada atau kurang maksimal, maka keutuhan wacana tersebut akan sulit tercapai. Demikian sedikit anallisis wacana pada suatu naskah drama Barabah karya Motinggo Busye. Kajian ini hanya membahas sebagian kecil dari sesuatu yang terkandung dari naskah tersebut. Semoga dengan kajian yang sedikit ini, dapat mematik kajian berikutnya pada aspek yang lain baik pada naskah drama Barabah maupun wacana yang lain. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan.1976. Cohesion in English. London : Longman Kartomihardjo, Soeseno. 1993. Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana, dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). PELLBA 6. Yogyakarta : Kanisius Kennedy. 1983. An Introduction to Fiction (Third Edition). Boston, Toronto : Little Brown and Company Kridalaksana, Harimurti.1983. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Oetomo, Dede. 1993. Pelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, dalam Bambang Kaswanti Purwo (ed). PELLBA 6. Yogyakarta : Kanisius Sumarlam (ed). 2005. Analisis Wacana. Surakarta : UNS Press Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung : Angkasa.1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa 12

Waluyo, Herman J. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga : Widya Sari Press. 2008. Drama Teori dan Pengajaran. Surakarta : UNS Press Wiyanto, Asul. 2004. Terampil Bermain Drama. Jakarta : Gramedia 13