BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km. Total luas laut Indonesia sekitar 3.544 juta km 2 atau sekitar 70% dari wilayah Indonesia (Bakosurtanal dalam Kelautan dan Perikanan, 2015). Keadaan tersebut meletakkan sektor perikanan menjadi salah satu sektor riil yang potensial di Indonesia. Data FAO (Food and Agriculture Organization) tahun 2012, menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dunia di bawah China dan India, dalam produksi perikanan. Kekuatan dari sektor perikanan ini dapat digunakan sebagai senjata dalam mewujudkan ketahanan pangan dan memajukan perekonomian bangsa. Produksi perikanan nasional terdiri dari perikanan laut, perairan umum, dan perikanan budidaya. Perikanan laut merupakan usaha penangkapan ikan yang berada di wilayah laut, biasa disebut dengan perikanan tangkap atau ikan tangkap. Perairan umum merupakan usaha penangkapan ikan yang berada di wilayah darat, seperti sungai, danau, waduk, dan lain sebagainya. Sementara, perikanan budidaya merupakan usaha perikanan yang sengaja dibudidayakan di wilayah darat, seperti tambak, kolam, karamba, dan lain-lain. Salah satu produk utama sektor perikanan yang diperdagangkan di pasaran internasional adalah ikan tangkap. Perdagangan ikan menjadi sumber pendapatan penting bagi beberapa negara, khususnya negara 1
Jumlah Ikan (ribu ton) 2 berkembang seperti Indonesia. Produksi perikanan tangkap di Indonesia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Perkembangan teknologi dan teknik penangkapan ikan mampu memberikan dampak positif terhadap hasil produksi perikanan. Namun, usaha pencegahan eksploitasi sumber daya kelautan tetap dilakukan pihak Kesyahbandaran Pelabuhan Perikanan dengan memberlakukan izin keberangkatan dan penangkapan ikan di laut kepada nelayan. Berdasarkan Gambar 1.1, produksi perikanan tangkap nasional dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup signifikan pada setiap tahunnya. Pada tahun 2009 produksi perikanan tangkap mencapai 4.812 ribu ton, tahun 2010 mengalami kenaikan produksi menjadi 5.039 ribu ton, dan pada tahun 2011 terjadi peningkatan sebesar 307 ribu ton sehingga diperoleh produksi 5.346 ribu ton. Selanjutnya, pada tahun 2012 diperoleh hasil sebanyak 5.436 ribu ton. Peningkatan produksi tahun 2012 tidak sebesar peningkatan produksi yang terjadi pada tahun 2011. Kenaikan produksi yang terjadi pada tahun 2013, mencapai 5% dari tahun sebelumnya, sehingga produksi ikan nasional tahun 2013 sebesar 5.707 ribu ton. 5.800 5.600 5.400 5.200 5.000 4.800 4.600 4.400 4.200 2009 2010 2011 2012 2013 Tahun Produksi (ribu ton) Gambar 1.1. Produksi perikanan tangkap nasional menurut subsektor Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015.
3 Menurut data statistik tersebut, jumlah produksi ikan tangkap adalah berat basah ikan pada waktu ikan didaratkan. Upaya penangkapan dan penanganan ikan yang baik perlu dilakukan agar kualitas produk dapat sebanding dengan kuantitas yang dihasilkan. Berdasarkan laporan Departemen Kelautan dan Perikanan tahun 2008, berbagai program peningkatan produksi terus digulirkan pemerintah, seperti pembangunan pelabuhan perikanan, modernisasi peralatan, peningkatan kapasitas penangkapan, pemerataan fishing ground untuk mencegah eksploitasi sumber daya kelautan, dan lain-lain. Dilihat dari jumlah produksinya, perikanan tangkap merupakan sektor yang menjanjikan bagi pelakunya. Salah satu pelaku dalam sektor tersebut adalah nelayan. Nelayan mempunyai peran penting dalam proses produksi, tanpa adanya nelayan maka proses jual beli dan pengolahan ikan tidak akan berjalan. Hal tersebut disebabkan bahan baku ikan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan permintaan konsumen tidak ada. Jumlah produksi ikan tangkap yang semakin meningkat, mengakibatkan ikan yang didistribusikan kepada konsumen juga semakin besar. Distribusi ikan tangkap memerlukan penanganan yang tepat karena kondisi fisik daging ikan merupakan bahan pangan perishable atau mudah rusak apabila suhunya tidak dijaga dengan baik. Tubuh ikan mengandung protein dan air yang cukup tinggi sehingga bisa menjadi medium pertumbuhan mikrobia pembusuk. Fenomena tersebut mengarah pada cold supply chain management atau manajemen rantai pasok dingin. Setiap aktivitas dari cold supply chain management bertujuan untuk menjaga suhu produk agar tetap terjaga pada suhu rendah, yaitu dibawah 0 ºC selama proses distribusi. Penerapan suhu rendah bertujuan untuk menghindarkan
4 kerusakan ikan yang disebabkan oleh pertumbuhan mikrobia, sebab pertumbuhan mikrobia ataupun aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu aktivitas mikrobia dapat optimum dan pada kondisi yang lain aktivitasnya dapat menurun, terhambat, bahkan terhenti. Dengan demikian, perlakuan suhu yang tepat di setiap titik distribusi menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam menjaga kualitas produk cold chain. Proses distribusi ikan tangkap diawali dari para nelayan setelah melaut dan tiba di pelabuhan. Nelayan menyerahkan hasil tangkapannya kepada pemilik kapal. Selanjutnya, pemilik kapal menjual ikan hasil tangkapan dengan cara pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Proses pelelangan dilakukan dengan sistem tawar-menawar. Setelah terjadi kesepakatan harga yang sesuai, maka pemilik kapal menjual seluruh ikannya kepada pedagang. Pendapatan hasil pelelangan digunakan untuk menutup biaya permodalan yang digunakan oleh nelayan untuk melaut dan sisa pendapatan dibagi dengan nelayan sesuai dengan kesepakatan awal. Proses distribusi ikan tangkap yang selanjutnya dilakukan oleh pedagang kepada pabrik, Unit Pengolahan Ikan (UPI), supermarket, ekspor, dan lain-lain. Pada tahap selanjutnya, ikan sampai ke tangan konsumen akhir melalui pelaku-pelaku tersebut dalam bentuk ikan segar, atau dalam bentuk ikan olahan, seperti ikan beku, ikan fillet, ikan pindang, ikan asin, ikan asap, ikan bakar, dan lain sebagainya. Dalam praktek cold supply chain management, setiap aktivitas logistik yang dilakukan memerlukan biaya untuk menciptakan kondisi suhu yang tepat untuk penyimpanan ikan. Namun, dengan pengaturan produk dalam jumlah yang
5 tepat, pada saat yang tepat, dan pada tempat yang tepat dapat meminimalkan biaya logistik secara keseluruhan. Selain itu, integrasi di setiap tier sangat diperlukan karena dengan koordinasi, kolaborasi, dan sharing informasi dapat meminimalisir biaya yang dikeluarkan dan aspek pelayanan dapat selalu diperbaiki. Aktivitas sharing informasi dalam biaya logistik menjadi salah satu indikator monitoring dan evaluasi aktivitas logistik sehingga dampak keputusan biaya dapat diukur. Total biaya logistik tidak terlepas dari biaya pada setiap aktivitas logistik di setiap tier (tingkatan) cold supply chain. Dalam suatu sistem yang terintegrasi, perubahan biaya yang terjadi dalam suatu subsistem akan berdampak terhadap subsistem lainnya. Perubahan biaya dalam suatu subsistem yang dimaksud adalah perubahan biaya pada satu atau beberapa aktivitas logistik maupun pada tier supply chain. Apabila terjadi pembengkakan biaya pada salah satu aktivitas logistik, maka dapat mempengaruhi keseluruhan biaya pada aktivitas distribusi produk. Analisis struktur biaya logistik cold supply chain ikan tangkap dilakukan untuk mengetahui proporsi biaya logistik, komponen biaya paling berpengaruh terhadap masing-masing aktivitas logistik, dan untuk menentukan aktivitas apa saja yang dapat dikendalikan dalam sistem distribusi cold chain. Biaya logistik yang dikeluarkan oleh setiap tier dapat mempengaruhi tingkat profitabilitas yang diperoleh karena biaya menjadi salah satu aspek dalam penentuan harga produk. Penjualan ikan hasil tangkapan di setiap tier cold chain sering terjadi perbedaan harga yang disebabkan oleh perbedaan biaya logistik yang dikeluarkan setiap tier tersebut. Terlebih pada tier nelayan dengan tier konsumen, dimana harga yang dilepas tier nelayan relatif rendah dan harga yang
6 diterima tier konsumen lebih tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh panjang pendeknya rantai distribusi atau banyaknya tier yang terlibat di dalamnya. Selain itu, kenyataan bahwa nelayan tidak dapat menentukan harga dan hanya berperan sebagai price taker atau penerima harga dari hasil aktivitas pelelangan ikan yang dilakukan oleh pemilik kapal dengan pedagang ataupun pengecer. Tingginya biaya logistik dan rendahnya harga ikan pada tier nelayan mengakibatkan profit atau pendapatan bersih yang diterima nelayan rendah. Kondisi tersebut menyebabkan ketimpangan ekonomi antara tier yang satu dengan tier yang lain. Penelitian terdahulu mengenai keadilan dalam supply chain (Katok and Pavlov, 2013) menyebutkan setiap pelaku memiliki keinginan untuk diperlakukan secara adil dan memperlakukan pelaku lainnya dengan adil. Hal tersebut dilatarbelakangi perilaku ekonomi yang disebut dengan inequality aversion (keengganan terhadap ketidaksamarataan), yaitu setiap pelaku tidak hanya mempedulikan profit yang diperoleh akan tetapi juga mempedulikan bagaimana profit dapat terdistribusi secara merata diantara seluruh pelaku. Keadilan dalam supply chain secara efisien dapat terwujud apabila profit yang diterima setara dengan biaya yang dikeluarkan oleh setiap pelaku yang ikut serta dalam proses distribusi suatu produk. Dengan demikian, terdapat pembagian yang merata dari keseluruhan profit margin yang diterima oleh seluruh pelaku. Dalam penelitian ini struktur biaya logistik digunakan sebagai salah satu komponen dalam perhitungan profit margin setiap tier cold chain ikan tangkap. Perbedaan harga antara tier satu dengan tier yang lain menunjukkan adanya profit margin antar tier tersebut. Semakin banyak tier yang berada pada suatu rantai
7 pasok maka perbedaan harga yang dilepas oleh tier pertama dan harga yang dibayarkan oleh konsumen akan semakin besar, sehingga profit atau pendapatan bersih yang diterima oleh tier pertama akan semakin kecil. Perhitungan biaya logistik dan profit margin setiap tier cold chain ikan tangkap dilakukan untuk penyusunan strategi rantai pasok yang sesuai dengan kondisi cold supply chain ikan tangkap. Hal ini yang menjadi dasar perlunya dilakukan penelitian dengan judul Analisis Struktur Biaya Logistik Cold Supply Chain Management Ikan Tangkap untuk Penyusunan Strategi Rantai Pasok. 1.2. Rumusan Masalah Analisis mengenai struktur biaya logistik cold supply chain ikan tangkap dilakukan untuk mengetahui proporsi biaya logistik, komponen biaya yang paling berpengaruh terhadap masing-masing aktivitas logistik, dan untuk menentukan aktivitas apa saja yang dapat dikendalikan dalam sistem cold chain ikan tangkap. Total biaya logistik cold supply chain tidak terlepas dari biaya pada setiap aktivitas logistik di setiap tier cold supply chain. Dimana, total biaya tersebut menjadi salah satu pertimbangan setiap tier cold supply chain dalam menentukan tingkat harga produk yang akan dilepas. Perbedaan total biaya yang dikeluarkan dan tingkat harga produk antara tier satu dengan tier yang lain menunjukkan adanya profit margin antar tier. Efisiensi distribusi dapat terwujud apabila profit yang diterima setara dengan biaya yang dikeluarkan. Perhitungan profit margin digunakan untuk mendukung penyusunan strategi rantai pasok yang berorientasi pada pengendalian biaya logistik cold supply chain ikan tangkap.
8 1.3. Batasan Masalah Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Penelitian berfokus pada pengambilan sampel di beberapa Pelabuhan Perikanan yang berada di pantai utara dan pantai selatan Pulau Jawa. 2. Identifikasi cold supply chain ikan tangkap dilakukan pada tier nelayan hingga tier konsumen. 3. Responden nelayan merupakan nelayan yang tidak memiliki kapal sendiri untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan. 4. Analisis struktur biaya logistik dan profit margin dilakukan pada tier cold chain, yaitu tier nelayan, tier pemilik kapal, dan tier pedagang. 5. Analisis struktur biaya logistik hanya dilakukan pada jenis ikan tongkol (Euthynnus affinis). 6. Komponen biaya logistik ditentukan berdasarkan elaborasi antara jurnal yang berkaitan dengan interview yang dilakukan kepada responden. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian yang dilakukan, antara lain: 1. Menentukan tier cold supply chain ikan tangkap dan mengidentitikasi aktivitas logistik pada setiap tier tersebut. 2. Melakukan analisis struktur biaya logistik setiap tier cold supply chain ikan tangkap berdasarkan aktivitas logistiknya. 3. Menentukan profit margin di setiap tier cold supply chain ikan tangkap.
9 4. Menyusun strategi rantai pasok ikan tangkap yang sesuai dengan hasil perhitungan biaya logistik dan profit margin. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian yang dilakukan, antara lain: 1. Bagi penulis dapat memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari bangku perkuliahan khusunya yang berkaitan dengan supply chain management pada kasus nyata yang ada di lapangan. 2. Bagi akademik, khususnya dilingkup Departemen Teknologi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada, diharapkan dapat menjadi salah satu referensi yang berkaitan dengan supply chain terutama struktur biaya logistik pada cold supply chain. 3. Bagi pelaku cold supply chain, antara lain: a. Mengetahui komponen biaya yang paling berpengaruh terhadap aktivitas logistik perikanan tangkap, sehingga hasil analisis mampu memberikan implikasi pengendalian biaya logistik. b. Mengetahui hubungan keterkaitan antara struktur biaya logistik, profit margin, dan strategi rantai pasok pada perikanan tangkap. c. Digunakan sebagai dasar pertimbangan efisiensi distribusi dan strategi rantai pasok perikanan tangkap di masa mendatang. 4. Bagi masyarakat luas, dapat dijadikan salah satu sumber wawasan tentang struktur biaya dan strategi distribusi pada cold supply chain management perikanan tangkap.