BAB II TINJAUAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
LAMPIRAN. Lampiran 1. Kuesioner Penelitian KUESIONER. 1. Jenis Kelamin : 2. Usia : Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A)

Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS)

Lampiran 1. Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS)

LAMPIRAN A. Cara Pengukuran Kecemasan

Kata Pengantar. Jawaban dari setiap pernyataan tidak menunjukkan benar atau salah, melainkan hanya pendapat dan persepsi saudara/i belaka.

Lampiran 1. Hamilton Rating Scale For Anxiety (HARS) HAMILTON RATING SCALE FOR ANXIETY (HARS)

LAMPIRAN KUESIONER DATA UMUM RESPONDEN NOMOR PIN :

Lembar Persetujuan Responden

BAB II TINJAUAN TEORITIS. atau ancaman atau fenomena yang sangat tidak menyenangkan serta ada

PERMOHONAN MENJADI PARTISIPAN. Dengan hormat, saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Yantri Nim :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KECEMASAN (ANSIETAS) Niken Andalasari

LEMBAR PENJELASAN KEPADA RESPONDEN

LEMBAR INFORMASI PENELITIAN. akan melakukan penelitian dengan judul Gambaran Tingkat Kecemasan Wanita

BAB IV HASIL PENGOLAHAN DATA DAN ANALISIS DATA

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

LEMBAR PENGANTAR RESPONDEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Informed Consent. kecemasan dengan intensitas nyeri pada pasien nyeri punggung.


BAB II TINJAUAN TEORI

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN I INSTRUMEN PENELITIAN

UNIVERSITAS INDONUSA ESA UNGGUL FAKULTAS ILMU - ILMU KESEHATAN PROGAM STUDI ILMU KEPERAWATAN KUESIONER PENELITIAN

BAB III PROSEDUR PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kecemasan adalah suatu perasaan takut yang tidak menyenangkan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang bekerja sama dengan ikatan saling berbagi dan kedekatan emosi dan

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN. Dengan hormat, Sehubungan dengan penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI/Skripsi) salah satu tugas pada :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebenarnya, secara linguistik kata yang lebih tepat adalah menocease yang

LAMPIRAN 1 HUBUNGAN SELF-EFFICACY DENGAN KECEMASAN MENGHADAPI MUTASI PADA PNS DI KABUPATEN TAPANULI UTARA

SUMMARY ABSTRAK. Kata kunci : Tingkat Kecemasan, Keluarga, Stroke

LEMBAR PERSTUJUAN MENJADI PESERTA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. ditandai dengan perasaan tegang, pikiran khawatir dan. perubahan fisik seperti meningkatnya tekanan darah.

PROSES TERJADINYA MASALAH

Lampiran 1 Lembar Permohonan Menjadi Responden

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. operasi melalui tiga fase yaitu pre operasi, intraoperasi dan post. kerja dan tanggung jawab mendukung keluarga.

BAB 1 PENDAHULUAN. pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan operasi atau

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kelurahan Wongkaditi, Kecamatan Kota Utara, Kota Gorontalo. Rumah Sakit ini

BAB II KAJIAN TEORETIK. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. a. Pengertian Kemampuan Pemecahan Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sakit merupakan keadaan dimana terjadi suatu proses penyakit dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan klien. Tehnik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang cenderung pernah merasakan kecemasan pada saat-saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HUBUNGAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN GANGGUAN KARDIOVASKULAR YANG DIRAWAT DIRUANGAN ALAMANDA TAHUN 2015

dan menghasilkan pertumbuhan serta kreativitas.

BAB II LANDASAN TEORI

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ANSIETAS

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Lanjut usia merupakan suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BERDUKA DAN KEHILANGAN. Niken Andalasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya Hiperaktivitas system syaraf

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan keterbaruan penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lampiran 1 Hasil uji reliabilitas variabel kemandirian emosi, kemandirian perilaku, kemandirian nilai, kemandirian total, penyesuaian diri, dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. sendawa, rasa panas di dada (heartburn), kadang disertai gejala regurgitasi

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. negara-negara maju penyebab kematian karena kanker menduduki urutan kedua

BAB III KERANGKA KONSEP

BAB I PENDAHULUAN. Nasional (Susenas) tahun 2010 di daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. dengan data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Pada

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin. angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA LANSIA YANG DILAKUKAN HOME CARE

BAB II TINJAUAN TEORI. Kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Cemas berasal dari bahasa latin anxius dan dalam bahasa Jerman angst

MEKANISME KOPING BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN KEMOTERAPI DI RUANG KEMOTERAPI RS URIP SUMOHARJO LAMPUNG

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. respon psikososial (tekanan mental atau beban kehidupan). Sedang kan menurut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. xiv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kembali kehidupan, masa pensiun dan penyesuaian diri dengan peran-peran sosial

HUBUNGAN ANTARA KECEMASAN DENGAN PRESTASI UJI OSCA I PADA MAHASISWA AKPER PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam bab ini dijelaskan, Landasan teori mengenai konsep mahasiswa,

PEDOMAN WAWANCARA DAN OBSERVASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Perawatan anak telah mengalami pergeseran yang sangat mendasar, anak sebagai

SURAT PERNYATAAN JANGAN DILAKUKAN RESUSITASI ( DO NOT RESUCITATE )

BAB I PENDAHULUAN. rumah sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

PENGARUH ORIENTASI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN ANAK PRA SEKOLAH DI BANGSAL ANAK RUMAH SAKIT BHAKTI WIRA TAMTAMA SEMARANG. Eni Mulyatiningsih ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

BAB I PENDAHULUAN. pencabutan gigi. Berdasarkan penelitian Nair MA, ditemukan prevalensi

1. Bab II Landasan Teori

BAB I PENDAHULUAN. Bagi sebagian besar pasien, masuk rumah sakit karena sakitnya dan harus

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya, kematian tidak dapat dihindari dalam waktu yang bervariasi. (Stuard & Sundeen, 1995).

KISI-KISI PERTANYAAN UNTUK RESPONDEN

PENELITIAN PENGARUH TERAPI MUSIK RELIGI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI DI RUANG BEDAH RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG TAHUN 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. emosional yang tidak baik dan penuh kekhawatiran. Suatu rasa yang tidak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dibutuhkan latihan berulang-ulang sehingga semakin terampil dan nyaman dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini peneliti akan menjelaskan mengenai teori-teori yang

Transkripsi:

7 BAB II TINJAUAN TEORI A. Tinjauan Teori 1. Pasien Kritis a) Definisi pasien kritis Pasien kritis menurut AACN (American Association of Critical Nursing) didefinisikan sebagai pasien yang berisiko tinggi untuk masalah kesehatan aktual ataupun potensial yang mengancam jiwa. Semakin kritis sakit pasien, semakin besar kemungkinan untuk menjadi sangat rentan, tidak stabil dan kompleks, membutuhkan terapi yang intensif dan asuhan keperawatan yang teliti (Nurhadi, 2014). b) Pendekatan Holistik Pendekatan holistik pada keperawatan kritis mencakup keluarga pasien. Keluarga dalam lingkup ini diartikan sebagai orang yang berbagi secara intim dan rutin sepanjang hari kehidupan dalam proses asuhan keperawatan. Orang- orang tersebut mengalami gangguan homeostasisnya oleh karena masuknya pasien ke area kritis. Siapa saja yang merupakan bagian penting dari pola hidup normal pasien dipertimbangkan sebagai anggota keluarga. Di area keperawatan kritis keterlibatan keluarga merupakan bagian integral dari perawatan pasien di ICU dan telah memiliki kontribusi positif terhadap kesembuhan pasien (Wardah, 2013). c) Respon Keluarga Terhadap Kondisi Pasien Kritis Respon dalam kamus bahasa berarti jawaban, balasan, tanggapan. Respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makna serta lingkungan disebut dengan perilaku kesehatan. Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersikap aktif (tindakan nyata atau praktis). 7

8 Adapun stimulus atau rangsangan disini terdiri dari 4 unsur pokok yaitu: sakit, penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Terkait dengan respon keluarga pada anggota keluarga yang dirawat di ruang intensif, keluarga seringkali merasakan stress ataupun cemas. Kecemasan yang tinggi muncul akibat beban yang harus diambil dalam pengambilan keputusan dan pengobatan yang terbaik bagi pasien. Respon keluarga terhadap stres bergantung pada persepsi terhadap stress, kekuatan, dan perubahan gaya hidup yang dirasakan terkait dengan penyakit kritis pada anggota keluarga. Pada titik kritis ini, fungsi keluarga inti secara signifikan berisiko mengalami gangguan (Nurhadi, 2014). Tugas keluarga pasien kritis yang utama adalah untuk mengembalikan keseimbangan dan mendapatkan ketahanan. Menurut Mc. Adam, dkk (2008), dalam lingkungan area kritis keluarga memiliki beberapa peran yaitu: 1) active presence, yaitu keluarga tetap di sisi pasien, 2) protector, yaitu memastikan perawatan terbaik telah diberikan, 3) facilitator, yaitu keluarga memfasilitasi kebutuhan pasien ke perawat, 4) historian, yaitu sumber informasi rawat pasien, 5) coaching, yaitu keluarga sebagai pendorong dan pendukung pasien. Pasien yang berada dalam perawatan kritis menilai bahwa keberadaan anggota keluarga di samping pasien memiliki nilai yang sangat tinggi untuk menurunkan level kecemasan dan meningkatkan level kenyamanan (Holly, 2012). d) Teori Stress Keluarga Respon keluarga terhadap stress yang dirasakan ketika menghadapi anggota keluarga mendapatkan perawatan kritis, dapat dijelaskan melalui Stres Keluarga Hill. Teori tersebut dikenal dengan model ABCX. Kerangka ABCX memiliki dua bagian. Pertama adalah pernyataan yang berhubungan dengan penentu

9 krisis keluarga: A (Peristiwa dan kesulitan terkait) berinteraksi dengan B (Sumber berhadapan dengan krisis keluarga) yang berinteraksi dengan C (definisi yang dibuat keluarga mengenai peristiwa tersebut) menghasilkan X (krisis). Stressor keluarga (A) Sumber Koping (B) Persepsi tentang stressor (C) Krisis atau bukan krisis (X) Gambar 2.1. Teori Stres Keluarga menurut Hill (Friedman, 2010) Gambar 2.1 menampilkan gambar visual mengenai teori dari adaptasi model Hill. Faktor A adalah stressor yang atau adanya peristiwa aktual yang memaksa keluarga mempertahankan dengan cara stereotip yang diikuti oleh mekanisme koping keluarga (B). Jika keluarga tidak menggunakan sumber dan mekanisme koping, maka hasilnya sama yakni seolah-olah keluarga tidak memiliki sumber koping. Intervensi lebih mudah pada kasus ini karena tidak terlalu sulit untuk membantu keluarga memanfaatkan pola koping masa lalu dibandingkan membantu keluarga belajar cara berespon yang baru. Faktor C merupakan persepsi dan interpretasi keluarga terhadap stressor atau peristiwa stres. Penilaian keluarga terhadap stressor mempengaruhi apa upaya koping yang digunakan beserta hasilnya nanti. Keluarga yang fungsional akan mampu melihat peristiwa sebagai sesuatu yang dapat dipahami dan dapat dikelola.

10 Faktor X terkait dengan krisis atau bukan krisis. Terjadinya kecenderungan krisis menunjukkan bagaimana keluarga mengatasi faktor B dan C. Ketika keluarga terpajan krisis, maka cenderung mengalami peristiwa stressor dan keparahan yang lebih besar (A) serta mendefinisikannya lebih sering sebagai krisis (C). Tipe keluarga seperti ini lebih rentan terhadap peristiwa stressor karena kurangnya sumber dan kemampuan koping (B) yang mereka miliki. Selain itu, keluarga yang gagal belajar dari krisis masa lalu, menyebabkan mereka melihat stressor baru sebagai ancaman dan pencetus krisis. Faktor X ini, tidak dilihat sebagai hasil akhir melainkan berpengaruh dalam hubungan dan penampilan peran anggota keluarga (Friedman, 2010). e) Koping Keluarga Koping keluarga merupakan proses aktif saat keluarga memanfaatkan sumber keluarga yang ada dan mengembangkan perilaku serta sumber baru yang akan memperkuat unit keluarga dan mengurangi dampak peristiwa hidup yang penuh stres. Strategi koping keluarga ketika menghadapi stres dapat dilakukan melalui pencarian dukungan sosial (Nurhadi, 2014). Dukungan yang diberikan oleh perawat intensif kepada anggota keluarga pasien merupakan salah satu bentuk dukungan sosial formal. Dukungan sosial yang diberikan oleh keluarga, teman dan tetangga disebut informational support dan dukungan sosial yang diberikan oleh penyedia layanan formal disebut formal support. Ketika kebutuhan pasien dan keluarga bersinergi dengan kompetensi perawat, maka hasil perawatan pasien akan optimal (Wardah, 2013). Dukungan sosial didefinisikan sebagai pertukaran informasi pada tingkat interpersonal yang memberikan empati dukungan

11 yakni dukungan emosional, harga diri, jaringan, penilaian dan altruistik. Dukungan emosional merupakan keyakinan bahwa individu dalam keluarga dicintai dan disayangi. Kebutuhan emosional ini mencakup kebutuhan akan harapan dan jaminan dukungan spiritual. Pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan kebutuhan keluarga oleh tenaga kesehatan profesional pada perawatan kritis bermanfaat agar keluarga dapat mengontrol pada situasi rentan dan hal tersebut juga dapat dilakukan oleh petugas kesehatan ketika berada pada keadaan yang sama (Brysiewicz, 2006). 2. Dukungan Informasi a. Pengertian Dukungan informasi dalam kamus besar Bahasa Indonesia memiliki definisi sebagai suatu bantuan/ sokongan dalam pemberian berita, pemberitahuan tentang sesuatu. Pemberian dukungan informasi merupakan hal yang paling berkaitan erat dengan kecemasan, dimana informasi dapat mempengaruhi persepsi positif ataupu negatif terhadap emosi keluarga. Informasi yang tidak lengkap dapat merupakan salah satu penyebab pengembangan, kecemasan, depresi, post traumatis syndrome ataupun ketidak harmonisan hubungan keluarga dengan tim kesehatan (Mc. Adam, Arai dan Putillo, 2008). Keluarga dengan kondisi kritis yang disebabkan oleh penyakit kritis anggota keluarganya membutuhkan bantuan tim kesehatan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan (Wardah, 2013). Petugas kesehatan profesional yang bekerja di ruang intensif akan dihadapkan dengan banyak perubahan etis karena komplikasi dalam memberikan perawatan (Elpern dkk, 2005). Pada kenyataannya karena kondisi pasien yang tidak stabil dan ketidakseimbangan kondisi mental keluarga, petugas kesehatan

12 profesional cenderung memberikan informasi secara umum dan informasi yang ambigu mengenai kondisi pasien untuk melindungi keluarga terhadap kecemasan dan kekhawatiran (Miracle, 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Chien, dkk (2006) menunjukkan sebagian besar stres dan kecemasan keluarga pasien disebabkan tidak terpenuhinya informasi mengenai prognosis, tindakan dan kurangnya pengetahuan mengenai kondisi lingkungan dan peralatan yang rumit di ruang intensif. Pada penelitian yang dilakukan oleh Omari (2009) menunjukkan bahwa sebagian besar kebutuhan yang penting meliputi isi dari informasi mengenai kondisi pasien, perubahan kondisi pasien dan jaminan pelayanan yang terbaik bagi pasien. Daaly dan Kloos (2008), menegaskan bahwa keluarga pasien merasakan ketidakpastian dan kurangnya informasi adalah faktor penting yang meningkatkan depresi serta kecemasan mereka. Dukungan informasi terhadap keluarga pasien di ruang intensif merupakan alat untuk membantu keluarga pasien dalam mendapatkan pemahaman yang lebih baik dalam kondisi stress dan menurunkan tingkat kecemasan (Taylor, 2006). Menggunakan teknik dan sumber koping dalam pemberian informasi kepada keluarga pasien di ruang intensif juga membantu mereka dalam beradaptasi secara lebih baik ketika dihadapkan pada kondisi stress dan dapat membawa harapan mereka terhadap pasien sesuai dengan kenyataan (Yaman dan Bulut, 2010). Peningkatan minat dalam pengembangan, implementasi dan uji coba dalam intervensi pemberian dukungan informasi kepada keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif adalah langkah nyata yang terdapat dalam literatur rawat intensif. Pemberian leaflet kepada keluarga pasien mengenai informasi serta orientasi ruang di ruang intensif, kebijakan di ruang intensif, petugas kesehatan yang ada, dan peralatan yang digunakan di ruang intensif

13 yang secara signifikan berfungsi untuk meningkatkan prognosis pasien secara menyeluruh (Azouley dkk, 2002). Kebutuhan informasi yang tidak terpenuhi dengan baik akan mempengaruhi respon keluarga terhadap perawatan yang dilakukan. Defisit komunikasi, informasi yang kontradiktif, dan kurangnya dukungan akan menyebabkan kondisi stres, frustasi, depresi dan ketidakpuasan pada anggota keluarga (Bailey, 2010). Strategi dalam pemberian informasi secara verbal dan tertulis telah menunjukkan keuntungan pada konteks pasien akhir hayat di ruang intensif, brosur mengenai proses kehilangan dikombinasikan dengan komunikasi yang proaktif akan secara signifikan menurunkan gejala klinis kecemasan dan depresi secara lebih baik pada gangguan stress paska trauma (Lautrette dkk, 2007). Dalam pemberian informasi sangat disarankan disertai dengan informasi tertulis (Wardah, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh Moult (2004) menyatakan bahwa pasien dan keluarga mungkin akan melupakan setengah dari informasi dalam waktu lima menit setelah dilakukan konsultasi kesehatan dan hanya akan mengingat 20% dari keseluruhan informasi yang telah diberikan (Moult, 2004). b. Cara Pengukuran Perawat merupakan tenaga kesehatan pertama yang menunjukkan minat terhadap kebutuhan anggota keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif. Pada tahun 1979, seorang perawat Nancy Molter mengembangkan daftar kebutuhan keluarga berdasarkan survey mahasiswa keperawatan. Daftar kebutuhan keluarga tersebut kini dikenal dengan nama Critical Care Family Needs Inventory (CCFNI). CCFNI memiliki 45 pertanyaan yang dibagi menjadi lima dimensi: informasi mengenai keadaan pasien

14 yang sesungguhnya, berada didekat pasien, mendapatkan jaminan, kenyamanan dan dukungan (Fortunatti, 2014). Hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh Kinrade, Jackson dan Tomney (2009) menunjukkan bahwa terdapat 9 kebutuhan yang paling penting yang berhasil di identifikasi oleh keluarga pasien dan perawat, meliputi: 1. Pertanyaan dijawab secara jujur 2. Dapat mengunjungi pasien setiap saat 3. Memiliki perasaan bahwa petugas kesehatan peduli terhadap pasien 4. Mengetahui fakta yang spesifik mengenai perkembangan pasien 5. Mengetahui hasil yang diharapkan 6. Melihat pasien secara berkala 7. Diberikan jaminan bahwa pasien akan mendapatkan perawatan sebaik mungkin 8. Mengetahui mengenai kenyataan meskipun menyedihkan 9. Mendapatkan penjelasan mengenai sesuatu yang tidak dimengerti Terdapat lima hal yang dianggap kurang penting mengenai kebutuhan keluarga pasien yang berhasil diidentifikasi, meliputi: 1. Sendirian setiap saat 2. Diberikan informasi mengenai pelayanan rohani 3. Mempunyai seseorang yang peduli dengan kesehatan keluarga pasien 4. Memperoleh perabot yang nyaman ketika berada di ruang tunggu 5. Diberikan semangat dan keberanian untuk mengungkapkan emosi

15 Pada penelitian ini, CCFNI yang digunakan terdiri dari 13 item pertanyaan yang meliputi: 1. Petugas kesehatan memberikan penjelasan sebelum melakukan tindakan kepada pasien 2. Petugas kesehatan menjawab pertanyaan yang diajukan keluarga dengan baik atau menunjukkan kepada seseorang yang dapat memberikan bantuan 3. Petugas kesehatan menjelaskan tentang peralatan yang dipasang pada pasien 4. Petugas kesehatan menjelaskan kepada keluarga tentang hasil tindakan perawatan 5. Petugas kesehatan menjelaskan tentang kondisi pasien 6. Petugas kesehatan membantu keluarga memahami apa yang terjadi pada pasien 7. Petugas kesehatan menceritakan hasil perkembangan perawatan pasien 8. Petugas kesehatan menjelaskan tentang rencana perawatan 9. Petugas kesehatan menjelaskan penyebab atau alasan tindakan tertentu yang dilakukan terhadap pasien 10. Petugas kesehatan menjelaskan rencana pemindahan pasien 11. Petugas kesehatan menjelaskan kepada keluarga tentang harapan kesembuhan pasien 12. Petugas kesehatan menjelaskan tentang peraturan bagi penunggu pasien 13. Petugas kesehatan menunjukkan tata letak ruang intensif Dampak psikologis bagi keluarga pasien ketika berada di ruang intensif bersifat traumatik dan akan menghasilkan kondisi krisis bagi keluarga pasien. Pengalaman tersebut kemudian akan mempengaruhi persepsi keluarga terhadap perawatan kritis. Kesehatan dan kesejahteraan keluarga pun akan terpengaruh oleh

16 pengalaman emosi dan psikologis ketika berada di lingkungan rawat intensif dan secara langsung berhubungan dengan dukungan yang dapat mereka berikan serta kebutuhan terhadap petugas di ruang intensif (Kinrade, Jackson, dan Tomnay, 2009). 1. Kecemasan a) Pengertian Cemas adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Tidak ada objek yang dapat diidentifikasi sebagai stimulus cemas. Kecemasan adalah perasaan tidak senang dan tidak nyaman serta sebagian besar orang berusaha untuk menghindarinya (Stuart, 2009). Gangguan kejiwaan yang sebagian besar terjadi di Amerika Serikat adalah gangguan kecemasan dan terjadi antara 15% - 25% populasi (Rapaport, dkk dalam Stuart, 2010). Cemas yang berhasil diobservasi merupakan kombinasi dengan emosi lain (Stuart, 2009). b) Penyebab Kecemasan Teori penyebab kecemasan (Stuart, 2009) : Teori Perilaku (Behaviour) Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan periodik frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan. Pada teori ini menyatakan bahwa kecemasan akan meningkat melalui konflik yang terjadi ketika seseorang mendapatkan pengalaman mengenai dua hal yang bersaing dan harus memilih salah satu di antaranya. Dengan demikian terdapat hubungan yang muncul antara kecemasan dengan konflik. Konflik akan menyebabkan kecemasan dan kecemasan akan meciptakan persepsi terhadap konflik dengan memproduksi rasa tidak berdaya (Stuart, 2009).

17 Keluarga dengan anggota keluarga yang dirawat di ruang intensif berada dalam kondisi penuh kekhawatiran terhadap keadaan dan prognosis pasien. Keluarga juga mengalami berbagai risiko gangguan kesehatan fisik dan mental baik selama bahkan setelah keluar dari ruang intensif. Efek hospitalisasi dapat berupa kurang tidur, gangguan nafsu makan dan pencernaan, ketakutan, stress, kecemasan, depresi hingga post traumatic syndrome. Dalam keadaan ini, keluarga membutuhkan berbagai macam kebutuhan spesifik yang harus dipenuhi (Wardah, 2013). Hasil dari sebuah review prioritas kebutuhan anggota keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif menunjukkan bahwa menerima informasi mengenai pasien adalah kebutuhan yang paling penting yang diharapkan oleh keluarga (Faharani dkk, 2014). Tabel 2.1 Respon fisiologis terhadap ansietas (Stuart, 2009) Sistem tubuh Kardiovaskuler Respon Palpitasi, tekanan darah meningkat, rasa mau pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun, jantung seperti terbakar. Pernafasan Gastrointestinal Traktus urinarius Neuromuskuler Kulit Nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada dada, nafas dangkal, pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik, terengah-engah. Kehilangan nafsu makan, menolak makan, ketidaknyamanan abdomen, mual, diare Tidak dapat menahan kencing, sering kencing Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedipkedip, insomnia, tremor, rigiditas, wajah tegang, kelemahan umum, gerakan yang janggal Wajah kemerahan, telapak tangan berkeringat, gatal, rasa panas dan dingin pada kulit, wajah pucat. c) Tanda dan Gejala Kecemasan Tanda dan gejala kecemasan yang ditunjukkan atau dikemukakan oleh seseorang bervariasi, tergantung dari beratnya atau tingkatan yang dirasakan oleh individu tersebut (Hawari,

18 2004). Keluhan yang sering dikemukakan oleh seseorang saat mengalami kecemasan secara umum menurut Hawari (2004), antara lain sebagai berikut: 1. Gejala psikologis: pernyataan semas/khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut. 2. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan. 3. Gangguan konsentrasi daya ingat. 4. Gangguan tidur : sukar untuk tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, banyak mimpi, mimpi buruk dan menakutkan. 5. Gangguan kecerdasan: sukar konsentrasi, daya ingat menurun dan daya ingat buruk. 6. Perasaan depresi (murung): hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih,terbangun pada saat dini hari dan perasaan berubah-ubah sepanjang hari. 7. Gejala somatik/ fisik (otot): sakit dan nyeri di otot, kaku, kedutan otot, gigi gemerutuk dan suara tidak stabil. 8. Gejala somatik/ fisik (sensorik): tinitus (telinga berdenging), penglihatan kabur, muka merah dan pucat, merasa lemas dan perasaan ditusuk-tusuk. 9. Gejala kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah): takikardi, berdebar-debar, nyeri di dada, denyut nadi mengeras, rasa lesu/lemas seperti mau pingsan dan detak jantung menghilang/ berhenti sekejap. 10. Gejala respiratori (pernafasan): rasa tertekan atau sempit di dada, rasa tercekik, sering menarik nafas pendek/ sesak.

19 11. Gejala gastroentinal: sulit menelan, perut melilit, gangguan pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut, rasa penuh atau kembung, mual, muntah, sukar BAB dan kehilangan berat badan. 12. Gejala urogenital: sering buang air kecil, tidak dapat menahan BAK, tidak datang bulan (menstruasi), masa haid berkepanjangan, masa haid sangat pendek, haid beberapa kali dalam sebulan, ejakulasi dini, ereksi melemah, ereksi hilang dan impotensi. 13. Gejala autoimun: mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit dan bulu-bulu berdiri. 14. Tingkah laku/sikap: gelisah tidak tenang, jari gemetar, kening/ dahi berkerut, wajah tegang/mengeras, nafas pendek dan cepat serta wajah merah. d) Cara Pengukuran Tingkat Kecemasan Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya gejala pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 gejala yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor (skala likert) antara 0 sampai dengan 4. Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada berbagai penelitian. Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk

20 melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian yaitu 0,93 dan 0,97. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable. Masing-masing kelompok gejala kecemasan diberi penilaian angka (score) antara 0-4, dengan penilaian sebagai berikut: Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan) Nilai 1 = gejala ringan Nilai 2 = gejala sedang Nilai 3 = gejala berat Nilai 4 = gejala berat sekali/ panik Masing- masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu: total nilai (score) : kurang dari 14 = tidak ada kecemasan, 14-20 = kecemasan ringan, 21-27 = kecemasan sedang, 28-41= kecemasan berat, 42-56= kecemasan berat sekali (Hawari, 2004). e) Rentang Respon Kecemasan Rentang respon individu terhadap cemas berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif. Rentang respon yang paling adaptif adalah antisipasi dimana individu siap siaga untuk beradaptasi dengan cemas yang mungkin muncul. Sedangkan rentang yang paling maladaptif adalah panik dimana individu sudah tidak

21 mampu lagi berespon terhadap cemas yang dihadapi sehinggan mengalami gangguan fisik, perilaku maupun kognitif. Respon Adaptif Respon Maladaptif Antisipasi Ringan Sedang Berat Berat sekali Gambar 2.2. Skema Rentang Respon Kecemasan f) Faktor- faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Keluarga 1. Umur Menurut Azwar (2009), semakin tua umur seseorang semakin konstruktif dalam menggunakan koping terhadap masalah maka akan sangat mempengaruhi konsep dirinya. Umur dipandang sebagai suatu keadaan yang menjadi sadar kematangan dan perkembangan seseorang. 2. Pendidikan Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin mudah menerima informasi. Faktor pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan seseorang tentang hal baru yang belum pernah dirasakan atau sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang terhadap kesehatannya. 3. Pekerjaan Pekerjaan adalah kesibukan yang harus dilakukan terutama untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga. Pekerjaan bukanlah sumber kesenangan tetapi merupakan cara

22 mencari nafkah yang memiliki banyak tantangan (Nursalam, 2001). 4. Informasi Informasi adalah pemberitahuan yang dibutuhkan keluarga dari staf ruang intensif mengenai semua hal yang berhubungan dengan pasien yang dirawat di ruang intensif. Kebutuhan akan informasi meliputi informasi tentang perkembangan penyakit pasien, penyebab atau alasan suatu tindakan tertentu dilakukan pada pasien, kondisi sesungguhnya mengenai perkembangan penyakit pasien, kondisi pasien setelah dilakukan tindakan/ pengobatan, perkembangan kondisi pasien dapat diperoleh keluarga paling sedikit sehari sekali, rencana pindah atau keluar ruangan, dan informasi mengenai peraturan di ruang intensif (Nurhadi, 2014). Menurut Peni (2014) terdapat beberapa penyebab lain kecemasan yang terjadi pada keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif, antara lain: 1. Terpisah secara fisik dengan keluarga yang dirawat di ruang intensif. 2. Merasa terisolasi secara fisik dan emosi dari keluarganya yang lain, dukungan lain yang tidak adekuat atau keluarga lain yang tidak dapat berkumpul karena bertempat tinggal jauh. 3. Takut kematian atau kecacatan tubuh terjadi pada keluarga yang sedang dirawat.

23 4. Kurangnya informasi dan komunikasi dengan staf di ruang intensif sehingga tidak mengetahui perkembangan kondisi pasien. 5. Tarif di ruang intensif yang mahal. 6. Masalah keuangan, terutama jika pasien adalah satusatunya pencari nafkah dalam keluarga. 7. Lingkungan di ruang intensif yang penuh dengan peralatan canggih, bunyi alarm, banyaknya selang yang terpasang di tubuh pasien. Jika pasien diintubasi atau adanya gangguan kesadaran, sulit atau tidak bisa berkomunikasi diantara pasien dengan keluarganya. Jam kunjung yang dibatasi, ruang intensif yang sibuk dan suasananya yang serba cepat membuat keluarga tidak merasa disambut atau dilayani dengan baik (FK. Unair, RSUD Dr. Soetomo dalam Peni, 2014)

24 B. Kerangka Teori Pada sub bab ini, penulis akan mengemukakan kerangka teori yang menjadi dasar penelitian. Berdasarkan tentang teori, konsep dan hasil penelitian yang terkait, berikut penulis paparkan kerangka teori yang menjadi acuan dalam penelitian yang akan dilakukan. Pasien Kritis Terjadi risiko kecacatan dan kematian Ruang intensif, - Terpisah secara fisik dengan pasien - Merasa terisolasi secara fisik dan emosi - Takut kecacatan dan kematian terjadi pada pasien - Kurangnya informasi dan komunikasi - Tarif mahal - Masalah keuangan - Lingkungan dengan peralatan canggih Keluarga menjadi krisis (muncul kecemasan) Gambar 2.3. Kerangka Teori Penelitian (Peni, 2014)

25 C. Kerangka Konsep Dukungan informasi Kecemasan Keterangan: garis lurus merupakan area penelitian. Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian Gambar 2.4. menunjukkan kerangka konsep penelitian yang akan digunakan oleh peneliti. Area penelitian yang akan diteliti adalah hubungan dukungan informasi terhadap kecemasan yang dialami oleh keluarga pasien yang dirawat di ruang intensif.