BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Komitmen Organisasional Komitmen organisasional menurut Rivai (2006:67) dapat diartikan sebagai identifikasi, loyalitas, dan keterlibatan yang dinyatakan oleh karyawan oleh organisasi atau unit dari organisasi. Komitmen organisasional merupakan respon afektif pada organisasi secara menyeluruh, yang kemudian menunjukkan suatu respon afektif pada aspek khusus pekerjaan sedangkan kepuasan kerja merupakan respon afektif individu didalam organisasi terhadap evaluasi masa lalu dan masa sekarang, serta penilaian yang bersifat individual bukan kelompok atau organisasi Siagian (2007:52). komitmen organisasional sebagai derajat seberapa jauh karyawan mengidentifikasikan dirinya dengan organisasi dan keterlibatannya dalam organisasi tertentu (Eka, 2014). Meyer dan Allen (1997) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi (Akintayo, 2010). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah suatu keadaan dimana individu menjadi sangat terikat oleh tindakannya. Melalui tindakan ini akan
menimbulkan keyakinan yang menunjang aktivitas dan keterlibatannya. Sehingga seseorang pekerja dengan komitmen yang tinggi pada umumnya mempunyai kebutuhan yang besar untuk mengembangkan diri dan senang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di organisasi tempat mereka bekerja. 2.1.2 Pengukuran Komitmen Organisasional Tiga komponen utama mengenai komitmen organisasional (Handoko, 2007:55) yaitu: Affective commitmen (komitmen afektif), terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emosional atau psikologis terhadap organisasi. Continuance commitmen (komitmen berkelanjutan) muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dengan kata lain, karyawan tersebut tinggal di organisasi tersebut karena dia membutuhkan organisasi tersebut. Normative commitmen (komitmen normatif) timbul dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi tersebut merupakan hal memang harus dilakukan. Jadi, karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena ia merasa berkewajiban untuk itu. 2.1.3 Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict) Marquise dan Huston (dalam Nurnazirah et al, 2015) mendefinisikan konflik sebagai masalah internal dan eksternal yang terjadi sebagai akibat dari perbedaan pendapat, nilai-nilai, keyakinan dari dua orangatau lebih. Menurut Littlefield (dalam Eka, 2014) bahwa konflik dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian atau proses. Sebagai kejadian, konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua atau orang atau organisasi, dimana orang tersebut menerima sesuatu
yang akan mengancam kepentingannya. Richardus (2011) menyatakan sebagai suatu proses, konflik dimanifestasikan sebagai suatu rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dua atau lebih kelompok berusaha menghalangi atau mencegah kepuasan dari seseorang. Peran adalah pola perilaku yang diharapkan dari individu dalam suatu posisi tertentu. Peran bisa terdiri dari sikap, nilai, serta perilaku tertentu (Helena and K. Praveen, 2008). Peran ganda muncul ketika individu menjalankan posisi yang berbeda dari organisasi atau kelompok (missal rumah, tempat kerja, perkumpulan dan sebagainya). Menurut Davis dan Newstrom (dalam Febrianty, 2012) bahwa peran diwujudkan dalam perilaku. Individu yang terlibat dalam peran ganda bisa menghadapi pilihan perilaku yang rumit. Hal ini terjadi karena mereka harus menjalani berbagai peran yang berbeda, sementara dalam masing-masing peran itu sendiri bisa terjadi dari serangkaian peran yang kompleks. Oleh karena itu peran ganda seringkali menimbulkan konflik peran yang bersangkutan (Nurnazirah et al, 2015). Penelitian dari Khatibi et al, (2009) menemukan bahwa wanita cenderung menghabiskan lebih banyak waktu dalam hal urusan keluarga sehingga wanita dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan keluarga khususnya family interference with work. Sebaliknya pria cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk menangani urasan pekerjaan daripada wanita sehingga pria dilaporkan lebih banyak mengalami konflik pekerjaan keluarga khususnya work interference with family daripada wanita. 2.1.4 Tipe Konflik Pekerjaan-Keluarga (Work Family Conflict) Menurut Greenhaus dan Beutell (dalam D. Winda, 2012) ada tiga macam konflik peran ganda yaitu : 1) Time based conflict
Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan 2) Strain based conflict Terjadi tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya 3) Behavior based conflict Berhubungan dengan ketidak sesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian (pekerjaan keluarga). Work family conflict dapat didefiniskian sebagai bentuk konflik peran dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutlak tidak dapat disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang berusahan memenuhi tuntutan peran dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi tuntutankeluarganya atau sebaliknya dimana pemenuhan tuntutan peran dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi tuntutan pekerjaannya (Helena and K. Praveen, 2008). Konflik dalam suatu organisasi dapat disebabkan oleh : 1) Terbatasnya sumber daya yang harus dibagi. Hal ini disebabkan karena suatu organisasi memiliki sumber daya yang terbatas yang harus dialokasikan. Konflik akan timbulbila anggota-anggota dalam organisasi tersebut bersaing untuk mendapatkan sumber daya yang ada. 2) Adanya perbedaan tujuan. Timbul karena setiap anggota dalam organisasi mengembangkan berbagai tujuan, tugas, dan personalia yang tidak sama sehingga tujuan yang akan dicapainya juga akan berbeda. 3) Adanya saling ketergantungan antar kegiatan kerja.
Saling ketergantungan kerja ada bila dua atau lebih anggota/kelompok saling tergantung satu dengan yang lain untuk menyelesaikan tugas mereka. Konflik akan meningkat jika suatu bagian tidak dapat memulai pekerjaan karena harus menunggu penyelesaian pekerjaan dari bagian lain. 4) Adanya perbedaan nilai-nilai atau persepsi diantara dua individu. Konflik akan timbul bila pekerjaan didistribusikan secara sama tapi penghargaan diberikan secara berbeda. 5) Tanggung jawab kerja dan tujuan yang ingin dicapai tidak dirumuskan dengan jelas. 6) Gaya-gaya individual maksudnya ada orang yang menyukai konflik, debat dan adu argumentasi, dan bila hal ini bisa dikendalikan akan dapat menstimulasi anggota dalam suatu organisasi untuk meningka tkan atau memperbaiki prestasi. 2.1.5 Role Stress Sopiah (2008:87-88) menjelaskan stress karena peran atau tugas (role stresss) termasuk kondisi dimana para pegawai mengalami kesulitan dalam memahami apa yang menjadi tugasnya, peran yang dia mainkan dirasakan terlalu berat atau memainkan berbagai peran pada tempat mereka bekerja. Kreitner dan Kinicki (2005:351) mendefinisikan stres sebagai respon adaptif dihubungkan oleh karaktersitik dan atau proses psikologis individu, yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi, atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis/fisik khusus pada seseorang. Lebih lanjut, Kreitner dan Kinicki (2005) stres kerja tidak dapat dihindari, namun stres kerja dapat dikurangi dan dikelola. Stres kerja apabila dikelola dengan baik dapat menjadi pendorong dan meningkatkan intensitas kerja, sedangkan apabila tidak dikelola dengan baik stres kerja akan menimbulkan permasalahan yang berdampak negatif bagi individu dan perusahaan. Selye (Kreitner dan Kinicki, 2005) membedakan antara eustres
yakni stres yang atau stres yang menghasilkan suatu hasil yang dan distres yakni kekuatan destruktif atau stres negatif yang sering menimbulkan masalah fisik maupun mental. Mangkunegara (2011:28) menyatakan bahwa stres kerja adalah perasaan yang menekan atau merasa tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan, Stres kerja ini dapat menimbulkan emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur, merokok berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup, tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan D. Winda (2012) menyatakan bahwa stres yang terlalu berlebihan dapat mengganggu pelaksanaan pekerjaan. Stres dapat sangat membantu atau fungsional, tetapi dapat juga salah (dysfunctional) atau merusak prestasi kerja. Secara sederhana hal ini berarti bahwa stres mempunyai potensi untuk mendorong atau mengganggu pelaksanaan kerja, tergantung seberapa besar tingkat stres.bila tidak ada stres, tantangan-tantangan kerja juga tidak ada, dan prestasi kerja cenderung rendah. Meningkatnya stres, prestasi kerja cenderung naik, karena stres membantu karyawan untuk mengerahkan segala sumber daya dalam memenuhi barbagai persyaratan atau kebutuhan pekerjaan. 2.1.6 Gejala Stres Kerja Menurut Kreitner dan Kinicki (2005:79) gejala-gejala individu yang mengalami stres antara lain: 1) Bekerja melewati batas kemampuan 2) Kelerlambatan masuk kerja yang sering 3) Ketidakhadiran pekerjaan 4) Kesulitan membuat keputusan 5) Kesalahan yang sembrono
6) Kelaiaian menyelesaikan pekerjaan 7) Lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri 8) Kesulitan berhubungan dengan orang lain 9) Kerisauan tentang kesalahan yang dibuat 10) Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan. Stres dapat disebabkan oleh berbagai hal. Menurut National Safety Council (2004) penyebab stres kerja dikelompokkan ke dalam kategori: 1) Penyebab organisasi: kurangnya otonomi dan kreativitas, harapan, tenggat waktu, dan kuota yang tidak logis, relokasi pekerjaan, kurangnya pelatihan, karier yang melelahkan, hubungan dengan penyelia yang buruk, selalu mengikuti perkembangan teknologi, (downsizing) bertambahnya tanggung jawab tanpa pertambahannya gaji, pekerjaan dikorbankan. 2) Penyebab individual: pertentangan antara karier dan tanggung jawab keluarga, ketidak pastian ekonomi, kurangnya penghargaan dan pengakuan kerja, kejenuhan, ketidakpuasan kerja, kebosanan, perawatan anak yang tidak adekuat, konflik dengan rekan kerja. 3) Penyebab lingkungan: buruknya kondisi lingkungan kerja (pencahayaan, kebisingan, ventilasi, suhu,dan lain-lain), diskriminasi ras, pelecehan sexual, kekerasan ditempat kerja, kemacetan saat berangkat dan pulang kerja. Febrianty (2012) disebutkan bahwa karakteristik pekerjaan yang menyebabkan sumber stres kerja secara konseptual terdiri dari lima dimensi, yaitu sebagai berikut.
1) Physical Environment Lingkungan tempat bekerja yang tidak mendukung terselenggaranya proses bekerja yang baik. 2) Role conflict Mengindikasikan suatu tingkatan dimana individu mengalami ketidaksesuaian antara permintaan dan komitmen dari suatu peran. 3) Role Ambiguity Mengindikasikan suatu tingkatan dimana kriteria prioritas, harapan (expectations), dan evaluasi tidak disampaikan secara jelas kepada pegawai. 4) Role Overload Mengindikasikan suatu tingkatan dimana permintaan kerja melebihi kemampuan pegawai dan sumber daya lainnya, serta suatu keadaan dimana pegawai tidak mampu menyelesaikan beban kerja yang direncanakan. 5) Role Insufficiency Mengindikasikan suatu kondisi dimana pendidikan, training, keterampilan, dan pengalaman pegawai tidak sesuai dengan job requirements. 2.1.7 Teori Kontingensi Berbagai penelitian banyak menggunakan teori kontingensi (contingency theory) untuk menganalisis karakteristik lingkungan dan sumber daya (Jayaram, 2003). Ferdiansyah dan Ira (2011) menyatakan pendekatan kontingensi mengatakan bahwa kondisi kerja yang baik akan menunjang pencapaian tujuan perusahaan. Sedangkan lingkungan kerja yang buruk serta banyak terjadi kebimbangan peran dan konflik peran (role conflict ).
Secara lebih spesifik bisa dikatakan bahwa konflik peran ( role conflict ) dan kebimbangan peran ( role ambiguity ) yang tinggi akan menurunkan komitmen organisasi sehingga tidak dapat menjalankan norma dan aturan dalam aktivitas organisasi atau perusahaan (Madziatul, 2011). Work family conflict dan role stress terjadi karena tenaga kerja memiliki norma dan sistim nilai yang diperolehnya dalam proses kegiatan berbenturan dengan norma, aturan dan sistim nilai berlaku di perusahaan (Senem and Ozgur, 2013). Work family conflict dan role stress menjadi penting untuk dikaji lebih mendalam karena akan berdampak terhadap komitmen organisasi (Velnampy dan Aravinthan, 2014). 2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa komitmen organisasional dapat dipengaruhi work family conflict dan role stress (Febrianty, 2012) mengatakan bahwa work family conflict merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi komitmen organisasional. Renny dan Sunjoyo (2010) work family conflict memiliki pengaruh dengan komitmen organisasional. Hal ini didukung oleh Lohana dan Harsono (2011) work family conflict dapat mempengaruhi komitmen organisasional. Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dirumuskan hipotesis pertama sebagai berikut. H 1 : Work family conflict berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasional karyawan. Nurnazirah et al, (2015) role stress mempunyai pengaruh terhadap komitmen organisasional. Helena and K. Praveen (2008) mengatakan bahwa role stress memiliki keterkaitan terhadap komitmen organisasional. komitmen organisasional karyawan akan tercipta apabila setiap karyawan mampu mengatasi role stress dalam bekerja (A. Khatibi et al, 2009). Berdasarkan pemahaman tersebut dapat dirumuskan hipotesis kedua sebagai berikut.
H 2 : Role stress berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasional karyawan. Work family conflict (X 1 ) H1 Role Stress (X 2 ) H2 Komitmen Ornanisasional (Y) Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Ket: : berpengaruh secara parsial Sumber : H 1 : Febrianty, 2012, Renny dan Sunjoyo, 2010, Lohana dan Harsono. 2011 H 2 : Nurnazirah et al, 2015, Helena and K. Praveen, 2008, A. Khatibi et al, 2009