5 HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU 1

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

KONDISI TERUMBU KARANG DAN KAITANNYA DENGAN PROSES EUTROFIKASI DI KEPULAUAN SERIBU ACHMAD DJAELANI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kajian Ekosistem Terumbu Karang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah

Stasiun. Perbedaan suhu relatif sangat kecil. Hal ini disebabkan karena pengambilan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi

Parameter Oseanografi pada Calon Daerah Kawasan Konservasi Perairan Laut Kabupaten Luwu Utara

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter Fisik Kimia Perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

MANAJEMEN KUALITAS AIR

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Waduk adalah wadah air yang terbentuk sebagai akibat dibangunnya bendungan

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL KAJIAN HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA IKAN NILA DI DANAU LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

Universitas Sumatera Utara

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

ANALISIS KUALITAS AIR LAUT DI PERAIRAN SELAT BANGKA BAGIAN SELATAN ANALYSIS OF SEA WATER QUALITY IN THE SOUTHERN OF BANGKA STRAIT

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

BAB III METODE PENELITIAN

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

IV. KONDISI TERUMBU KARANG DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

4. KONDISI HABITAT SIMPING

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Danau

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya pertumbuhan dan aktivitas masyarakat Bali di berbagai sektor

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PERANAN IKAN HERBIVOR DAN LINGKUNGAN PADA PEMBENTUKAN ASOSIASI TERUMBU KARANG DENGAN MAKROALGA DI KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AMEHR HAKIM

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

Transkripsi:

39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan hasil persentase rata-rata tutupan sebagai berikut: (i) karang keras (hard coral) 27,90% (ii) patahan karang (rubble) 30,24%, (iii) karang mati yang telah ditutupi alga (dead coral alga) 18,90%, (iv) karang mati (7,53%), pasir (10,25%), batu (0,12%), biotik lain (others) (0,98%), alga (3,13%) dan non karang keras (soft coral) sebesar 0,94%. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 8. Gambar 8 Persentase rata-rata tutupan komponen terumbu karang di Pulau Belanda. Berdasarkan kategori Gomez dan Yap (1988) untuk persentase tutupan karang hidup maka kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berada dalam kategori sedang. Hasil pengukuran tutupan ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Mapaliey (2006) tentang kondisi terumbu karang di Pulau Belanda yang menunjukkan persentase rata-rata tutupan karang keras (hard coral) adalah sebesar 25,45% kemudian patahan karang (rubble) sebesar 20,37% dan karang mati yang telah ditutupi alga (dead coral alga) sebesar 20,33%. Berturut-turut kemudian karang mati (0,44%), pasir (9,23%), batu (0,12%), biotic lain (others) (2,11%), alga (0,51%) dan non karang keras (soft coral) sebesar 0,39%. Dominasi terbesar persentase tutupan adalah patahan karang (rubble) dan karang mati

40 diduga bahwa daerah ini telah mengalami banyak tekanan baik anthrogenik maupun alami pada masa lalu yang menimbulkan degradasi kondisi terumbu karang. Cesar (2000) melaporkan bahwa telah terjadi praktek penangkapan ikan besar-besaran dengan bahan peledak dan cianida di Indonesia, salah satunya di Kepulauan Seribu. Sedangkan menurut Aktani (2003), sejak tahun 1970-1995 penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak telah dilakukan sehingga banyak menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang. Jika melihat kepada fungsinya sebagai zona inti, seharusnya kondisi tutupan karang lebih baik. Hal ini juga mengindikasikan kurangnya pengawasan dalam pengelolaan kawasan terumbu karang. Jika dilihat hasil pengamatan berdasarkan masing-masing stasiun, diketahui bahwa persentase tutupan karang keras yang tertinggi (38,63%) ditemukan pada stasiun Utara P. Belanda sementara yang terendah (20,71%) terdapat di stasiun Selatan P. Belanda-D. Patahan karang (rubble) terbanyak ditemukan di stasiun Selatan P. Belanda (38,12%) dan terendah di stasiun Selatan P. Belanda-D (13,03%). Karang mati yang ditutupi alga banyak ditemukan di stasiun Selatan P. Belanda yaitu sebesar 26,02% sedangkan terendah di stasiun Selatan P. Belanda (13,90%). Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 9. Hasil analisis terhadap bentuk pertumbuhannya (lifeform) terumbu karang menunjukkan bahwa bentuk pertumbuhan (lifeform) branching paling banyak ditemukan di Pulau Belanda dengan persentase rata-rata tutupan sebesar 12,19%, kemudian diikuti dengan karang massive (4,74%), encrusting (4,25%) dan foliose (3,74). Ditemukan pula bahwa karang mushroom merupakan lifeform karang yang paling sedikit tutupannya yakni rata-rata sebesar 3,18%. Bentuk pertumbuhan tabulate tidak ditemukan di lokasi pengamatan. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 10.

41 Gambar 9 Persentase tutupan komponen terumbu karang di masing-masing stasiun pengamatan Pulau Belanda Gambar 10 Distribusi persentase rata-rata tutupan lifeform karang keras di Pulau Belanda. Hasil perhitungan terhadap jumlah genus, ditemukan jumlah genus sebanyak 13 genus dimana Acropora merupakan genus yang paling dominan dengan persentase tutupan rata-rata sebesar 11,48% dan Montipora (10,66%).

42 Goniopora merupakan genus yang persentase rata-rata tutupannya paling rendah yaitu 0,03% dari rata-rata tutupan karang keras di Pulau Belanda. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 11. Gambar 11 Distribusi persentase rata-rata tutupan genus karang di Pulau Belanda 5.1.2 Kondisi Terumbu Karang Pulau Untung Jawa Kondisi tutupan terumbu karang di Pulau Untung Jawa berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa persentase rata-rata tutupan karang keras (hard coral) hampir tidak ada karena hanya ditemukan tutupan sebesar 0,21% dengan sedikit patahan karang (rubble) sebesar 1,19%, biotik lain (others) (0,08%), dan non karang keras (soft coral) sebesar 0,29%. Dominasi terbesar terdiri atas pasir (72,45%), alga (15,45%) dan karang mati yang telah ditutupi alga (dead coral alga) sebesar 10,32%. Hasil ini diperlihatkan pada Gambar 12.

43 Gambar 12 Persentase rata-rata tutupan komponen terumbu karang di Pulau Untung Jawa Berdasarkan kategori Gomez dan Yap (1988) untuk persentase tutupan karang hidup maka kondisi terumbu karang di Pulau Untungjawa berada dalam kategori rusak. Melihat kepada besarnya persentase pasir dan macroalga dapat diduga bahwa daerah ini telah mengalami banyak tekanan baik anthropogenik maupun alami yang menimbulkan degradasi kondisi terumbu karang. Dapat diduga bahwa faktor utama penyebabnya adalah lingkungan perairan yang sangat tidak mendukung akibat tingginya beban pencemaran dari aktivitas daratan yang membuang limbahnya ke Teluk Jakarta. Kondisi seperti ini sudah terindikasi dari penelitian sebelumnya. Menurut Estradivari et al. (2007), kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu sangat memprihatinkan, terutama di pulau-pulau yang berdekatan dengan Jakarta (tutupan karang keras < 5%). Porsi terbesar kerusakan terumbu karang adalah akibat ulah manusia, diantaranya penangkapan ikan yang merusak dan berlebih, pencemaran air, penimbunan sampah, penambangan pasir dan karang, serta penebangan mangrove. Hasil pengamatan berdasarkan masing-masing stasiun, diketahui bahwa persentase tutupan karang keras hanya ditemukan pada stasiun Utara P. Untung Jawa sebesar 0,84% pada kedalaman <5m sementara pada stasiun lain tidak ditemukan. Dominasi terbesar terdiri atas alga (42,96%), pasir (50,16%), dan karang mati yang telah ditutupi alga (dead coral alga) sebesar 28,40%. Pada kedalaman >5m di stasiun Utara dan Timur hanya ditemukan pasir (sand). Hal ini

44 diduga kuat karena besarnya tingkat sedimentasi yang terjadi. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 13. Gambar 13 Persentase tutupan komponen terumbu karang di masing-masing stasiun pengamatan Pulau Untung Jawa. Hasil analisis terhadap bentuk pertumbuhannya (lifeform) terumbu karang menunjukkan bahwa di Pulau Untung Jawa hanya ditemukan bentuk pertumbuhan (lifeform) massive sebesar 0,20% dan foliose sebesar 0,01%. Bentuk pertumbuhan lainnya tidak ditemukan di lokasi pengamatan. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 14.

45 Gambar 14 Distribusi persentase rata-rata tutupan lifeform karang keras di Pulau Untung Jawa Hasil perhitungan terhadap jumlah genus, ditemukan jumlah genus sebanyak 5 genus dimana Heliofungia merupakan genus yang paling dominan dengan persentase tutupan rata-rata sebesar 0,094% dan Goniopora (0,047%). Genus lain yang ditemukan antara lain Coelosoris, Diploria dan Porites dengan persentase rata-rata tutupannya sebesar 0,028%. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 15. Gambar 15 Distribusi persentase rata-rata tutupan genus karang di Pulau Untung Jawa

46 5.1.3 Kondisi Makro Alga Hasil pengamatan kondisi makro alga menunjukkan komposisi dengan perbedaaan yang nyata antar stasiun dan antar variabel kelompok macroalga, dimana makroalga dibagi menjadi 3 kelompok fungsi yaitu Turf Alga (TA), Fleshy Alga (FA) dan Crustose Alga (CA). Kelompok macroalga yang memiliki tutupan tertinggi adalah Turf Alga (TA) dan Fleshy Alga (FA) yang berada pada stasiun pengamatan Untung Jawa dengan persentase rata-rata tutupan sebesar 13,41% dan 2,63%. Di stasiun Pulau Belanda ditemukan makro alga dengan persentase rata-rata tutupan 1,93% (TA), 0,94% (FA) dan 0,27% (CA). Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 16. Turf algae merupakan kelompok fungsi makroalga yang memiliki biomass rendah namun laju pertumbuhannya lebih cepat dibanding dengan kelompok fungsi makroalga lainnya. Gambar 16 Distribusi persentase tutupan makro alga di masing-masing pengamatan. stasiun Perbedaan persentase tutupan makroalga di kedua stasiun menunjukkan bahwa distribusi kelimpahan makroalga antar stasiun tidak merata. Besarnya presentase tutupan makroalga di lokasi Pulau Untungjawa diduga akibat tingginya kadar nutrient yang mempengaruhi pertumbuhan alga. Disamping itu, kondisi perairannya yang keruh menyebabkan rendahnya jumlah kelimpahan ikan

47 herbivor sebagai pemakan alga. Akibat dari tingginya kekeruhan ikan herbivor tidak menyukai habitat tersebut sebagai tempat tinggal. Keberadaan makro alga yang cukup tinggi mencerminkan kondisi terumbu karang yang mengalami degradasi. Faktor pengayaan nutrien dapat menyebabkan kematian karang dan peningkatan tutupan alga (Szmant 2002). 5.2 Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan yang dilakukan sebanyak tiga kali dengan selang waktu per dua minggu, yaitu pada minggu ke-2 bulan Juni 2009, minggu ke-4 bulan Juni 2009 dan minggu ke-2 bulan Juli 2009 secara umum menunjukkan hasil yang cukup bervariasi namun masih mendukung bagi kehidupan biota laut. Beberapa parameter menunjukkan telah melampaui ambang batas yang telah ditentukan menurut KepMen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Hasil pengukuran parameter fisika dan kimia perairan yang telah dilakukan disajikan pada tabel 5. Tabel 5 Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di semua stasiun pengamatan Parameter Fisika Stasiun Utr Ujw Tmr Ujw Utr Bld Slt Bld Brt Bld Suhu ( o C) 29.33 29.00 28.67 29.67 29.67 Salinitas ( o / oo ) 31.33 31.67 32.00 32.33 32.00 Kecerahan ( m ) 3.67* 3.33* 6.50 6.00 5.67 Kekeruhan (NTU) 0.85 0.85 0.49 0.43 0.49 Kecepatan Arus (m/s) 0.09 0.08 0.10 0.13 0.09 Kimia ph 8.093 8.090 7.950 8.057 7.927 NO 3 -N (mg/l) 0.068* 0.073* 0.060* 0.069* 0.095* NO 2 -N (mg/l) 0.001 0.001 0.001 0.006 0.001 NH 3 -N (mg/l) 0.067 0.078 0.185 0.161 0.145 PO 4 -P (mg/l) 0.041* 0.039* 0.024* 0.026* 0.024* Keterangan: * melewati nilai baku mutu air laut untuk biota laut (KepMen LH No. 51 Tahun 2004)

48 1. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi organisme dalam melakukan aktivitas metabolisme, perkembangbiakan serta proses-proses fisiologi organisme karena suhu dapat mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologi perairan. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian sebaran nilai rata-rata suhu berkisar antara 28 o C 30 o C (Gambar 17). Gambar 17 Grafik sebaran nilai rata-rata suhu pada setiap stasiun pengamatan Hasil pengukuran menunjukkan bahwa suhu di lokasi penelitian masih tergolong normal untuk kehidupan biota laut khususnya fitoplankton walaupun hasil pengukuran suhu tersebut hanya menunjukkan gambaran sesaat waktu penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003), bahwa kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20 o C 30 o C. Kisaran tersebut masih termasuk dalam kriteria suhu dimana terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sukarno et al. (1983) suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25 o C 30 o C. Selanjutnya Nybakken (1992) mengatakan bahwa terumbu karang masih dapat mentolerir suhu tahunan maksimum 36 o C 40 o C dan tahunan minimum 18 o C.

49 2. Salinitas Hasil pengukuran salinitas pada lokasi penelitian menunjukkan nilai yang relatif homogen dengan kisaran nilai antara 30 33 (Gambar 16) dengan nilai salinitas terendah terdapat di stasiun Utara Untung Jawa. Perbedaan nilai salinitas antar stasiun pengamatan sangat kecil, hal ini diduga karena tidak adanya masukan air tawar dari daratan yang dapat menurunkan nilai salinitas akibat pengeceran. Nilai salinitas di lokasi penelitian masih dalam kategori normal untuk kehidupan biota laut, hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) bahwa nilai salinitas perairan laut berkisar antara 30-40 sedangkan menurut Nybakken (1988) dan Thamrin (2006) salinitas perairan dimana karang dapat hidup adalah pada kisaran 27-40 dengan kisaran optimum untuk pertumbuhan karang adalah 34-36. Gambar 18 Grafik sebaran nilai rata-rata salinitas pada setiap stasiun pengamatan 3. Kecerahan dan Kekeruhan Kecerahan dan kekeruhan merupakan parameter yang saling berkaitan. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan perairan, sebaliknya akan mengurangi kecerahan perairan. Parameter-parameter tersebut marupakan indikasi tingkat produktivitas perairan sehubungan dengan proses respirasi biota perairan dan kualitas perairan. Kecerahan menggambarkan kemampuan cahaya menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kecerahan sangat penting bagi perairan karena

50 berpengaruh terhadap berlangsungannya produktivitas primer melalui fotosintesis fitoplankton. Hasil pengukuran (Gambar 19) menunjukan nilai parameter kecerahan di stasiun Utara dan Timur Untung Jawa (sebesar 3,33 dan 3,67) lebih rendah dibandingkan dengan stasiun Pulau Belanda sebesar 5,67 s.d 6,5. Tingginya nilai kecerahan pada stasiun Pulau Belanda dikarenakan merupakan perairan tanpa aktivitas sehingga sedikit mendapat masukan bahan organic, sedangkan rendahnya kecerahan pada stasiun Pulau Untung Jawa diduga karena adanya masukan limbah organik dari aktivitas manusia. Dalam ekosistem terumbu karang, kecerahan erat kaitannya dengan cahaya matahari. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi (Hubbard 1997). Gambar 19 Grafik sebaran nilai rata-rata kecerahan pada setiap stasiun pengamatan Nilai kekeruhan yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,40 sampai dengan 0,85NTU (Gambar 20), nilai terendah terdapat di stasiun Selatan Pulau Belanda dan nilai tertinggi terdapat di stasiun Utara dan Timur Untung Jawa. Secara umum nilai kekeruhan untuk semua stasiun pengamatan berada dalam kondisi normal dan nilai tersebut sesuai baku mutu air laut untuk biota laut yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara LH RI No. 51 Tahun

51 2004 yaitu < 5 NTU. Hal tersebut dimungkinkan sedikitnya partikel terlarut pada perairan tersebut sehingga sangat baik untuk mendukung kehidupan biota. Gambar 20 Grafik sebaran nilai rata-rata kekeruhan pada setiap stasiun pengamatan 4. Kecepatan Arus Kecepatan arus pada setiap stasiun umumnya tidak jauh berbeda dengan kisaran 0,080 m/s 0,13 m/s (Gambar 21). Kecepatan arus yang paling tinggi terjadi di stasiun Selatan Pulau Belanda dan paling rendah di stasiun Timur Pulau Untung Jawa. Secara umum arah arus menuju barat. Hal ini berkaitan erat dengan musim tenggara dan angin musim (monsoon) timur yang berlangsung pada saat dilakukannya pengambilan data. Adanya arus ini diperlukan untuk tersedianya aliran air yang membawa makanan dan oksigen bagi biota karang serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi.

52 Gambar 21 Grafik sebaran nilai rata-rata kecepatan arus pada setiap stasiun pengamatan 5. ph Nilai rata-rata ph di semua stasiun pengamatan relative sama berkisar antara 7,93 sampai dengan 8,09 (Gambar 22). Nilai ph tersebut masih dapat ditolerir untuk pertumbuhan biota khususnya plankton. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitive terhadap perubahan ph dan menyukai nilai ph sekitar 7 sampai 8,5. Dari grafik terlihat bahwa standar deviasinya cenderung rendah yang berarti bahwa keragaman data rendah (cenderung seragam). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1988) bahwa nilai ph di lingkungan perairan laut relative stabil dengan kisaran yang sempit. 6. Nitrat Nitrat adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami, sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Nitrat merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat selama penelitian nilainya berkisar antara 0,06 mg/l 0,1 mg/l (Gambar 23). Nilai terendah terdapat di stasiun Utara P. Belanda sebesar 0,060 mg/l dan tertinggi terdapat di stasiun Barat Pulau Belanda sebesar 0,095 mg/l. Menurut Effendi (2003) kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktivitas

53 manusia. Kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat. Gambar 22 Grafik sebaran nilai rata-rata ph arus pada setiap stasiun pengamatan Berdasarkan kandungan nitrat maka tingkat kesuburan perairan di Pulau Belanda dan Pulau Untungjawa termasuk ke dalam kategori perairan oligotrofik (Vollenweider 1968 in Wetzel 1975). Gambar 23 Grafik sebaran nilai rata-rata kandungan Nitrat pada setiap stasiun pengamatan

54 7. Nitrit Konsentrasi nitrit selama pengamatan berkisar antara 0,001 mg/l sampai 0,006 mg/l (Gambar 24). Nilai terendah terdapat di stasiun Utara dan Barat P. Belanda serta Utara dan Timur Pulau Untung Jawa sebesar 0,001 mg/l dan tertinggi terdapat di stasiun Selatan Pulau Belanda sebesar 0,006 mg/l. Kadar nitrit yang melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organism perairan yang sangat sensitive (Moore 1991, dalam Effendi 2003). Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan masih aman untuk kehidupan organism karena kadarnya masih kurang dari 0,05 mg/l. Gambar 24 Grafik sebaran nilai rata-rata kandungan Nitrit pada setiap stasiun pengamatan 8. Ammonia Konsentrasi Ammonia selama pengamatan berkisar antara 0,067 mg/l sampai 0,185 mg/l (Gambar 25). Nilai terendah terdapat di stasiun Utara Pulau Untung Jawa sebesar 0,067 mg/l dan tertinggi terdapat di stasiun Utara Pulau Belanda sebesar 0,185 mg/l. Kadar Ammonia bebas yang melebihi 0,2 mg/l dapat bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan (Effendi 2003). Secara umum dapat dikatakan bahwa perairan masih aman untuk kehidupan organism karena kadarnya masih kurang dari 0,2 mg/l.

55 Gambar 25 Grafik sebaran nilai rata-rata kandungan Ammonia pada setiap stasiun pengamatan 9. Ortofosfat Fosfor di perairan terlarut sebagai fosfat yang merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan bagi fitoplankton. Senyawa anorganik fosfat yang terkandung dalam air laut umumnya berada dalam bentuk ion ortofosfat. Hasil pengamatan menunjukkan nilai ortofosfat rata-rata berkisar antara 0,024 mg/l 0,041 mg/l (Gambar 26). Nilai terendah terdapat di stasiun Utara dan Barat Pulau Belanda sebesar 0,024 mg/l dan tertinggi terdapat di stasiun Utara Pulau Untung Jawa sebesar 0,041 mg/l. Berdasarkan kandungan ortofosfat maka tingkat kesuburan perairan di stasiun Utara dan Timur Untung Jawa termasuk ke dalam kategori perairan eutrofik. Sedangkan di stasiun Utara, Selatan dan Barat P. Belanda termasuk dalam kategori perairan mesotrofik (Vollenweider 1968 in Wetzel 1975).

56 Gambar 26 Grafik sebaran nilai rata-rata kandungan Ortofosfat pada setiap stasiun pengamatan 5.3 Pengelompokkan Parameter Kualitas Perairan Sepuluh variabel kualitas perairan dikelompokkan dengan menggunakan Principle Component Analysis (PCA) dimana penentuan komponen ditentukan dengan nilai eigenvalue > 1. Dari hasil analisis variabel kualitas perairan direduksi menjadi 4 Faktor Utama. Dari hasil perhitungan akar ciri diketahui bahwa perbandingan sumbu F1 dan F2 sudah dapat menjelaskan sebesar 81,01 % sebagaimana terlihat pada Tabel 6, dan kontribusi masing-masing sumbu faktor utama diperlihatkan dalam Gambar 27. Tabel 6 Nilai eigen antar variabel F1 F2 F3 F4 Eigenvalue 5.920 2.181 1.714 0.185 Variability (%) 59.202 21.808 17.140 1.850 Cumulative (%) 59.202 81.010 98.150 100.000

57 Gambar 27 Kontribusi masing-masing sumbu Faktor Utama Hasil analisis komponen utama pada tabel dan grafik di atas, memperlihatkan bahwa kontribusi dari dua sumbu pertama sebesar 81,01% dari ragam total. Sebagian besar informasi terpusat pada sumbu 1 (F1) yang menjelaskan 59,202% dari ragam total. Sumbu 2 (F2) menjelaskan 21,8% dari ragam total. Sumbu 3 (F3) menjelaskan 17,14% dari ragam total. Hasil analisis penyebaran stasiun pengamatan terhadap karakteristik kualitas perairan memperlihatkan bahwa stasiun Utara dan Timur Pulau Untung Jawa membentuk satu kelompok sendiri, hal ini diduga karena terdapat kesamaan beberapa parameter yaitu parameter ph, ortofosfat dan kekeruhan yang nilainya lebih tinggi dari stasiun pengamatan lainnya serta mempunyai karakteristik kualitas perairan lainnya yang rendah. Stasiun Selatan Pulau Belanda mengelompok sendiri diduga karena parameter suhu, kecepatan arus, salinitas dan nitrit yang tinggi. Sedangkan stasiun Utara dan Barat Pulau Belanda membentuk satu kelompok diduga karena karakteristik parameter kecerahan, nitrat dan ammonia yang tinggi. Kondisi ini diperlihatkan pada Gambar 28.

58 Gambar 28 Kelompok masing-masing sumbu Faktor Utama dengan parameter kualitas air. 5.4 Hubungan Tutupan Karang Keras dengan Kondisi Macro Alga Hubungan antara persentase tutupan karang keras dan tutupan macroalga dilihat dari model analisis regresi. Dari hasil analisis regresi linear antara persentase tutupan alga dengan tutupan karang keras di stasiun Pulau Belanda diperoleh hasil sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut; Persentase Tutupan Karang (%) 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 y = -3,101x + 37,60 R² = 0,409 0 1 2 3 4 5 6 Persentase Tutupan Alga (%) Gambar 29 Hubungan antara tutupan karang keras dengan tutupan makroalga di Pulau Belanda

59 Dari bentuk hubungan tersebut dapat terlihat adanya ada hubungan terbalik antara persen tutupan karang keras dan macroalga. Jika persen tutupan karang keras menunjukkan penurunan maka tutupan macroalga cenderung naik dan sebaliknya jika tutupan karang keras naik maka tutupan macroalga cenderung turun. Bentuk hubungan yang terjadi antara tutupan karang keras dan tutupan makroalga adalah kompetisi dalam pemakaian ruang karena keduanya membutuhkan cahaya untuk metabolisme dan pertumbuhan (Ladrizabal 2007). Cahaya dibutuhkan oleh zooxanthellae yang menempel di karang keras dan makroalga untuk melakukan proses fotosintesis. Dari model regresi di atas (Gambar 29) dapat dijelaskan bahwa tutupan makroalga dapat menjelaskan sekitar 40.9 % penurunan tutupan karang keras (R 2 =0.409. p.sig <0.05). Sehingga dapat dijelaskan bahwa jika ada pertambahan tutupan makroalga maka tutupan karang keras akan mengalami penurunan. Namun dilihat dari besarnya nilai R 2 =0.409 dapat dijelaskan bahwa ada faktor lain selain tutupan macroalga yang cukup mempengaruhi penurunan tutupan karang keras. Kondisi ini didukung pula oleh kondisi yang menunjukkan bahwa tutupan karang keras di Pulau Belanda didominasi oleh pecahan karang (rubble) sebesar 30,24 %. Hasil analisis regresi linear antara persentase tutupan alga dengan tutupan karang keras di stasiun Pulau Untung Jawa tidak dapat digunakan karena hasilnya tidak signifikan dimana p.sig= 0.087 > 0.05. Hal ini dapat dijelaskan karena kondisi data tutupan karang dan makroalga di Pulau Untung Jawa yang sangat berbeda dibanding dengan Pulau Belanda. Di Pulau Untung Jawa pada kedalaman >5m tidak ditemukan karang keras dan makroalga. Kondisi ini diperkirakan karena kondisi perairan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang dan pertumbuhan makroalga. Warna perairan di Pulau Untung Jawa yang terlihat coklat kehitaman serta jarak pandang yang pendek menandakan sedimentasi yang tinggi di lokasi tersebut. Rendahnya nilai kecerahan di Pulau Untung Jawa (sekitar 3m), diduga karena lokasi ini merupakan daerah yang mendapat masukan partikelpartikel tersuspensi dari limbah rumah tangga penduduk pulau dan limbah dari Teluk Jakarta sehingga menghalangi kemampuan cahaya matahari untuk menembus perairan. Kecerahan di lokasi ini juga dipengaruhi oleh substrat dasar

60 perairan, karena substrat yang halus cenderung mempunyai nilai kecerahan yang rendah. 5.5 Hubungan Kondisi Macro Alga dengan Parameter Perairan Hubungan antara kondisi macroalga dengan kondisi kualitas perairan dilihat dengan melakukan analisis regresi linear berganda. Analisis regresi linear berganda dilakukan dengan menggunakan variabel tergantung (Y) sebagai persentase tutupan macroalga dan variabel bebas (X) merupakan komponen kualitas perairan yang sangat berpengaruh terhadap alga yaitu; kecerahan (X1), nitrat (X2), nitrit (X3), ammonia (X4) dan fosfat (X5). Model regresi yang dibuat berdasarkan beberapa variable tersebut adalah: Y = b o + b 1 X 1 + b 2 X 2 + + b k X k dimana; Y : Persentase tutupan macroalga X : Parameter kualitas perairan yaitu; kecerahan (X1), nitrat (X2), nitrit (X3), ammonia (X4) dan fosfat (X5). b o : koefisien model regresi Dengan mengunakan software SPSS ver 13.0 didapat hasil perhitungan bahwa dari 5 variabel bebas yang ada, 4 variabel direduksi dan dikeluarkan dari model karena tidak dapat menunjukkan peranannya dalam menjelaskan variable Y sehingga tinggal satu variable yang terpakai yaitu variable fosfat (X 5 ) sehingga diperoleh model regresi sebagai berikut: Y = 1278.709 28.837 X 5 (R 2 =0,884 dan p.sign=0,06 > 0,05) Namun jika dilihat dari nilai p.sign yang > 0,05 menunjukkan bahwa model regresi ini tidak signifikan dan tidak bisa digunakan untuk menjelaskan hubungan antar variable yang ada. Walaupun model regresi ini tidak signifikan, namun dapat menunjukkan bahwa variable fosfat mempunyai peranan yang cukup besar dengan koefisen determinasi (R 2 ) sebesar 0,884 atau 84 % sehingga dapat dikatakan bahwa 84% tutupan makroalga dapat dijelaskan oleh variable X 5 (fosfat), artinya bahwa jika ada pertambahan variable fosfat maka tutupan macroalga akan mengalami peningkatan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa fosfor adalah salah komponen utama yang terkait dengan

61 parameter nutrient. Pertumbuhan makroalga sangat dipengaruhi oleh nutrien, jika ada pertambahan nutrien diperairan maka tutupan makroalga pun akan bertambah. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Lapointe et al. 1997. Nutrien digunakan oleh makroalga sebagai nutrisi bagi proses fotosintesis yang akan menghasilkan asam amino yang dibutuhkan oleh organisme lain (seperti ikan karang, bulu babi) untuk metabolisme dan pertumbuhannya. Pertambahan tutupan makroalga akibat dari tingginya kadar nutrien akan mengganggu pertumbuhan karang keras yang berkompetisi ruang dengan makroalga. Faktor fosfat merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang sangat tinggi terhadap pengayaan nutrient di perairan, terutama di Pulau Untung Jawa. Pulau Untung Jawa sendiri merupakan pulau yang cukup padat dengan pemukiman penduduk sehingga limbah-limbah rumah tangga akan masuk ke dalam perairan dan memperkaya ketersediaan fosfat di perairan tersebut. 5.6 Pembahasan Umum Berdasarkan hasil pembahasan pada bagian sebelumnya telah diketahui bahwa kondisi terumbu karang di lokasi penelitian berada dalam kategori sedang (Pulau Belanda) dan rusak (Pulau Untungjawa) dengan kondisi lingkungan perairan yang cukup berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang, baik faktor fisik maupun kimianya. Dominasi terbesar persentase tutupan karang di Pulau Belanda berupa patahan karang (rubble) dan karang mati menunjukkan bahwa daerah ini telah mengalami banyak tekanan baik anthropogenik maupun alami pada masa lalu yang menimbulkan degradasi kondisi terumbu karang. Jika melihat kepada fungsinya sebagai zona inti, seharusnya kondisi tutupan karang lebih baik. Hal ini juga mengindikasikan kurangnya pengawasan dalam pengelolaan kawasan terumbu karang. Melihat kepada besarnya persentase pasir dan macroalga di Pulau Untung Jawa menunjukkan bahwa daerah ini juga telah mengalami banyak tekanan baik anthropogenik maupun alami yang menimbulkan degradasi kondisi terumbu karang. Dapat diduga bahwa faktor utama penyebabnya adalah lingkungan

62 perairan yang sangat tidak mendukung akibat tingginya beban pencemaran dari aktivitas daratan yang membuang limbahnya ke Teluk Jakarta. Perbedaan persentase tutupan makroalga di kedua stasiun menunjukkan bahwa distribusi kelimpahan makroalga antar stasiun tidak merata. Besarnya presentase tutupan makroalga di lokasi Pulau Untungjawa diduga akibat tingginya kadar nutrient yang mempengaruhi pertumbuhan alga, terutama fosfat. Disamping itu, kondisi perairannya yang keruh menyebabkan rendahnya jumlah kelimpahan ikan herbivor sebagai pemakan alga. Keberadaan makro alga yang cukup tinggi mencerminkan kondisi terumbu karang yang mengalami degradasi. Ditinjau dari aspek kualitas air, terutama dengan melihat kadar nutrient utama (nitrat dan fosfat) dapat dijelaskan bahwa berdasarkan kandungan nitrat maka tingkat kesuburan perairan di Pulau Belanda dan Pulau Untungjawa termasuk ke dalam kategori perairan oligotrofik sedangkan berdasarkan kandungan ortofosfat maka tingkat kesuburan perairan di Untung Jawa termasuk ke dalam kategori perairan eutrofik. Sedangkan di P. Belanda termasuk dalam kategori perairan mesotrofik. Dilihat dari model hubungan antara kondisi makroalga dengan kondisi kualitas air menunjukkan bahwa factor fosfat menjadi variable utama yang menyebabkan tingkat eutrofikasi terutama di Pulau Untung Jawa. Hasil ini menunjukkan kesesuaian dengan hasil analisis PCA yang menunjukkan bahwa Pulau Untung Jawa membentuk satu kelompok karena terdapat kesamaan beberapa parameter yaitu parameter ph, ortofosfat dan kekeruhan yang nilainya lebih tinggi dibanding lokasi lainnya. Melihat kepada kondisi kualitas air dan kondisi makro alga dapat dijelaskan bahwa telah terjadi proses degradasi terumbu karang melalui terjadinya pergeseran keseimbangan (phase-shift), dimana suatu terumbu yang tadinya didominasi oleh karang keras (Scleractinian) menjadi terumbu yang didominasi oleh makro alga, terutama di Pulau Untung Jawa. Keberadaan makro alga yang cukup tinggi mencerminkan kondisi terumbu karang yang telah mengalami degradasi. Melihat kepada hasil penelitian ini maka dalam rangka merumuskan strategi untuk melakukan pengelolaan ekosistem terumbu karang perlu dikaitkan

63 dengan kondisi faktual yang ada, terutama terkait dengan kondisi terumbu karang dan kondisi kualitas perairan. Strategi pengelolaan yang diperlukan adalah strategi yang mampu menjaga keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem terumbu karang dan sumberdaya lainnya. Pengelolaan yang baik diharapkan mampu mengintegrasikan antar sektor yang terkait dengan lingkungan pesisir baik manusia maupun kelembagaannya. Hasil diskusi dengan masyarakat dan aparat Kelurahan Untung Jawa menyimpulkan bahwa perlu disediakan instalasi pengolahan limbah rumah tangga di wilayahnya dan perlu adanya koordinasi antar aparat terkait dalam pengelolaan limbah. 5.7 Rekomendasi Pengelolaan Rekomendasi pengelolaan yang dapat dirumuskan sebagai upaya yang dapat dilakukan untuk pengelolaan terumbu karang dan lingkungan perairan disekitarnya, antara lain; 1. Perlunya dikembangkan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, termasuk kawasan terumbu karang didalamnya. Keterpaduan ini mencakup keterpaduan antar stakeholders, keterpaduan system, keterpaduan teknologi, keterpaduan managemen, dan keterpaduan program. 2. Dibentuknya Badan Pengelola Kawasan Pesisir yang akan mengkoordinasikan berbagai bentuk pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasannya. 3. Pengaturan yang ketat berbagai kegiatan di wilayah daratan (land) untuk mengurangi dampak pencemaran perairan, antara lain: Water Waste Treatment Pengolahan air limbah sebelum dibuang ke perairan sungai atau estuary. Arrangement of Nutrient Load Berupa pembatasan atau pengaturan jumlah nutrient yang diperkirakan akan memasuki lingkungan perairan. Law Enforcement on Industries Berupa penegakan aturan atau hukum, terutama terhadap industri sepanjang kawasan pesisir.

64 4. Pemulihan ekosistem terumbu karang yang telah mengalami kerusakan. 5. Perlunya dilakukan sosialisasi (community awareness) mengenai pentingnya ekosistem terumbu karang dan bentuk-bentuk pengelolaannya, terutama kepada masyarakat di sekitar kawasan pesisir. 6. Meningkatkan penegakan hukum di wilayah laut dan pesisir dengan menerapkan pengawasan yang dilakukan secara mandiri oleh masyarakat (Siswasmas).