IV. KONDISI TERUMBU KARANG DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. KONDISI TERUMBU KARANG DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN"

Transkripsi

1 IV. KONDISI TERUMBU KARANG DAN KARAKTERISTIK LINGKUNGAN PERAIRAN 4.1. Kondisi Terumbu Karang Secara umum hasil yang diperoleh dari 17 lokasi yang diamati memperlihatkan hasil yang berbeda. Persentase penutupan karang batu yang terdiri dari hard coral (Acropora) dan hard coral (non-acropora) merupakan acuan dalam menentukan kondisi terumbu karang. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka terumbu karang di lokasi studi dengan persentase penutupan karang batu yang terdiri dari bentuk hidup hard coral (Acropora) dan hard coral (non-acropora) adalah sebagai berikut: Lirang 41.77% termasuk kategori sedang; Nusu 49.98% kategori sedang; Kareko kategori 87.83% kategori baik sekali; Binuang 32.39% kategori sedang; Pintu Kota 44.15% kategori sedang; Batuwoka 44.65% kategori sedang; Mawali 11.50% tergolong sebagai kondisi buruk; Papusungan 11.34% tergolong sebagai kondisi buruk; Batulubang 8.57% kategori buruk; Paudean 43.20% kategori sedang; Pasir panjang 32.01% kategori sedang; Kasawari 29.32% kategori sedang; Makawidey 49.56% kategori sedang; Tandurusa 27.71% kategori sedang; Aertembaga 0% tergolong sebagai kondisi buruk; Manembo-Nembo 12.06% kategori buruk; dan Tanjung Merah 43.2% kategori sedang. Pembagian kategori tersebut mengacu pada : 0-24,9% maka tergolong sebagai kondisi buruk, 25-49,9% adalah sedang; 50-74,9% baik; dan % adalah baik sekali (Gomes dan Yap, 1998). Terumbu karang tidak ditemukan di lokasi Aertembaga, dimana pada lokasi tersebut terdapat aktifitas pelabuhan, baik pelabuhan perikanan, pelabuhan domestik dan pelabuhan container, serta merupakan daerah padat industri. Komunitas karang di Papusungan dan Manembo-Nembo mengalami degradasi kearah kepunahan. Pada saat sekarang komunitas karang di kedua lokasi tersebut sudah tidak dapat dikatakan sebagai terumbu karang lagi karena rendahnya presentasi tutupan karang hidup dan jarangnya pertumbuhan karang. Persentase penutupan karang hidup yang termasuk kategori baik sekali hanya dapat dijumpai di Kareko yang letaknya di sebelah utara Selat Lembeh. Degradasi karang terus berlanjut hingga saat ini, khususnya di daerah Pesisir Bitung dan daerah Pulau Lembeh yang berdekatan dengan zona pelabuhan dan

2 50 industri. Terumbu karang di wilayah Pesisir Bitung menunjukkan semakin rendah persentase tutupan, menurunnya jumlah koloni dan diameter rata-rata koloni serta berkurangnya jumlah jenis karang. Pada wilayah tersebut banyak ditemukan koloni dengan ukuran yang kecil (<10 cm). Hal ini mungkin dapat dikatakan sebagai komunitas karang muda yang sedang mengalami regenerasi, akan tetapi jika dibandingkan dengan lokasi yang lebih ke utara Selat Lembeh ternyata jumlah koloni dengan ukuran kecil masih lebih mudah. Regenerasi dan suksesi berjalan sangat lambat karena jumlah koloni dengan ukuran yang lebih besar sangat sedikit yang berarti banyak terjadinya kematian pada ukuran yang lebih besar. Bak dan Luckhurst (2000) mengamati komunitas karang di Curacao menemukan kematian karang banyak terjadi pada karang yang berukuran lebih besar dari 30 cm dan penyebabnya lebih banyak karena faktor alami. Penyebab degradasi karang di Selat Lembeh diduga disebabkan karena menurunnya kondisi perairan setempat akibat aktivitas industri, aktivitas pelabuhan dan aktivitas manusia. Penurunan kecerahan air oleh adanya sedimentasi terutama pada saat musim hujan. BPS Kota Bitung (2005), melaporkan bahwa DAS yang bermuara di Selat Lembeh yaitu Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan, dan Rinondoran. Penurunan tingkat kecerahan juga membawa akibat penurunan kedalaman maksimal dimana karang masih dapat hidup dan menurunnya kecepatan tumbuh karang (Scoffin, 1996). Penelitian tentang kondisi terumbu karang di selat Lembeh ditemukan 47 genera karang batu. Berdasarkan lokasi pengamatan, Kareko memperlihatkan jumlah genera terbanyak yaitu 41 genera dan terendah di lokasi Aertembaga (Gambar 8). Penelitian serupa juga dilaporkan oleh Pratasik et al. (2003), menemukan sekitar 43 genera karang batu di Selat Lembeh.

3 Jumlah Genera Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Lokasi Paudean Ps. panjang Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah Gambar 8. Jumlah genera karang batu di Selat Lembeh Pratasik et al., (2003), melaporkan bahwa genus Montipora mendominasi jumlah koloni sebanyak 116 koloni, diikuti oleh Acropora 97 koloni, Porites 72 koloni, Fungia 46 koloni dan Pectinia sebanyak 42 koloni (Gambar 9). Hasil ini menunjukan bahwa perairan Selat Lembeh mempunyai karakteristik perairan yang relatif tidak terlalu jernih dengan visibility rata-rata berkisar antara m. Genus Montipora dan Porites dikenal sebagai genera yang lebih eksis pada perairan yang relatif keruh dengan daya adaptasi yang tinggi untuk daerah-daerah bervisibility rendah seperti daerah rataan terumbu yang merupakan daerah terumbu yang dominan di perairan Selat Lembeh, sedangkan Fungia merupakan genus karang batu yang lebih memilih substrat pasir sebagai habitat utamanya. 200 Jumlah Koloni Montipora Acropora Porites Genera Fungia Pectinia Gambar 9. Dominasi jumlah koloni karang batu di Selat Lembeh

4 52 Acropora Non-Acropora Dead-Coral Algae Other Fauna Abiotic Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan % Penutupan Karang Batulubang Paudean Ps. panjang Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah Lokasi Gambar 10. Persentase tutupan dari kategori benthic lifeforms di Selat Lembeh Gambar 10 di atas memperlihatkan hasil analisis dari Line Intercept Transect (LIT) untuk kategori benthic lifeform dari karang batu, Acropora dan non-acropora, dead coral, algae, other fauna, dan abiotik di lokasi studi. Nilainilai dari kategori tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan kategori penilaian Yap dan Gomez (1984), penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di selat Lembeh umumnya cukup baik dengan rata-rata persentase tutupan karang hidup berkisar 35,28%. Persentase tutupan karang tertinggi diperoleh di lokasi Kareko sebesar 87,83%, dan terendah ditemukan di lokasi Aertembaga dengan presentase tutupan 0,00% (Gambar 11) % Penutupan Karang Lirang Nusu Kareko Binuang Pintu Kota Batuwoka Mawali Papusungan Batulubang Paudean Lokasi Ps.Panjang Kasawari Makawidey Tandurusa Aertembaga Manembo Tj.Merah Gambar 11. Persentasi tutupan karang hidup di Selat Lembeh

5 53 Pada Lampiran 2 dan 3 dapat dilihat peta sebaran persentase tutupan karang di pesisir Bitung dan peta sebaran persentase tutupan karang di Pulau Lembeh Karakteristik Lingkungan Perairan Karakteristik lingkungan perairan berperan penting bagi seluruh organisme perairan untuk menunjang proses kehidupannya. Dalam studi ini pengamatan karakteristik lingkungan perairan dilakukan dengan tujuan untuk menentukan present status kondisi perairan Selat Lembeh. Terdapat 17 stasiun pengamatan yang ditentukan dengan alat bantu GPS (Global Positioning System). Hasil pengamatan karakteristik lingkungan perairan dapat dilihat pada Lampiran 4. Untuk mengkaji karakteristik lingkungan perairan dianalisis dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) (Legendre dan Legendre, 1983; Ludwig dan Reynolds, 1988); (Bengen, 2000). Lebih lanjut Bengen (2000), menyatakan bahwa PCA dapat digunakan untuk memperoleh hubungan antara parameter biofisik sekaligus mendeterminasi pengelompokan stasiun berdasarkan parameter biofisik. Adapun matrik korelasi parameter kondisi perairan Selat Lembeh disajikan pada Tabel 8 berikut. Hasil Analisis matriks korelasi data karakteristik lingkungan perairan di kawasan Selat Lembeh memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama dari tiga sumbu adalah tinggi, yaitu 73,144% (Tabel 9). Dengan demikian berarti ketiga komponen utama sudah dapat menjelaskan sekitar 73,144% dari seluruh informasi yang terkandung dalam parameter. Gambar 12 dan 13 menjelaskan bahwa stasiun Tandurusa dan Papusungan dicirikan oleh parameter ph, kekeruhan, BOD 5, dan nitrat yang tinggi. Keasaman (ph) suatu perairan merupakan salah satu parameter kimia yang cukup penting dalam memantau kualitas perairan. Pada umumnya ph air laut nilainya relatif stabil, dengan kisaran antara 7,5 8,4. Perubahan nilainya sangat berpengaruh terhadap proses kimia maupun biologis dari jasad hidup yang berada dalam perairan tersebut (Pescod, 1978) dalam (Susana, 2005). Hasil pengamatan ph di perairan Selat Lembeh menunjukkan variasi yang normal untuk perairan pantai (Lampiran 4). Batas toleransi organisme akuatik terhadap nilai ph bervariasi, tergantung pada suhu air laut, konsentrasi oksigen terlarut serta adanya anion dan kation. (Pescod, 1978)

6 54 dalam (Susana, 2005), memberikan batasan nilai ph yang ideal bagi kehidupan biota laut yaitu berkisar antara 6,5 8,5. Alaert & Santika (1987), menyatakan bahwa kekeruhan perairan berasal dari partikel-partikel run-off, aliran sungai, buangan industri dan rumah tangga. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produsen. Hasil pengukuran kekeruhan diperairan Selat Lembeh berkisar antara 0,12 1,51 ntu (Lampiran 4). Stasiun Tandurusa dan Papusungan dicirikan oleh parameter kekeruhan, hal tersebut diduga bahwa pada lokasi tersebut telah terjadi masukan zat-zat/bahan-bahan yang dapat menurunkan kualitas perairan. Namun demikian kadar kekeruhan tersebut masih di bawah baku mutu yang ditetapkan oleh Kepmen KLH/51/2004 yakni 5 ntu. Menurut Monoarfa (2002), BOD adalah jumlah oksigen yang digunakan untuk mendegrdasi bahan organik secara biokimia, juga dapat diartikan sebagai ukuran bahan yang dapat dioksidasi melalui proses biokimia. Oleh karena itu, tujuan pemeriksaan BOD adalah untuk menentukan pencemaran air akibat limbah domestik atau limbah industri. Kandungan BOD 5 memperlihatkan nilai yang cukup bervariasi selama pengamatan, nilainya berkisar antara 1,10 3,80 mg/l (Lampiran 4). Lokasi/stasiun Tandurusa memiliki kandungan BOD 5 sebesar 2,52 mg/l dan Papusungan 3,80 mg/l. Menurut Effendi (2000), Nitrogen di dalam perairan dapat berupa nitrogen anorganik maupun organik. Nirogen organik terdiri dari bentuk ammonia (NH 3 ), ammonium (NH 4 ), nitrit (NO 2 ), nitrat (NO 3 ) serta molekulmolekul nitrogen (N 2 ) berupa gas. Sementara itu nitrogen organik adalah berupa protein, asam amino dan urea. Di dalam perairan, bentuk-bentuk tersebut akan selalu mengalami perubahan bentuk atau dikenal dengan siklus nitrogen. Nitrat merupakan komponen nitrogen yang sangat penting bagi proses-proses biologis di laut antara lain dalam fotosintesis organisme autotrof. Kandungan nitrat diperairan dapat dijadikan sebagai indikator tingkat kesuburan perairan. Menurut Wetzel (1975), perairan dikatakan dalam kondisi oligotrofik bila kandungan nitratnya antara 0 1 mg/l, mesotrofik antara 1 5 mg/l, dan eutrofik berkisar antara 5 50 mg/l. Hasil pengukuran terhadap kandungan nitrat di lokasi penelitian memperlihatkan nilai yang cukup bervariasi antar stasiun, yaitu berkisar antara

7 55 0,011 0,078 mg/l. Stasiun Tandurusa memiliki nilai 0,078 mg/l dan Papusungan dengan nilai 0,042 mg/l. Stasiun Pasir Panjang, Paudean, Tanjung Merah, Batulubang, Makawidey, Kareko, dan Mawali dicirikan oleh parameter substrat, salinitas, ammonia, dan kecepatan arus yang tinggi. Menurut Brower dan Zar (1997), tekstur substrat terdiri atas campuran pasir, lumpur dan liat. Tidak ada substrat yang terdiri atas satu fraksi saja. Menurut Blott dan Pye (2001), berdasarkan diameter butirannya, maka sedimen dibagi atas beberapa kelas yaitu batuan besar (boulder), kerikil (gravel), pasir (sand), lumpur (silt) dan liat (clay). Hasil pengamatan substrat di lokasi penelitian bervariasi, yaitu Pasir berlumpur; karang berpasir dan pasir. Lebih lanjut Blott dan Pye (2001), menyatakan bahwa perbedaan dalam komposisi sedimen dan distribusi butirannya disebabkan oleh perbedaan energi gelombang dan arus yang terjadi antar lokasi penelitian, selain sumber sedimennya. Hasil pengamatan substrat di Selat Lembeh menunjukkan bahwa stasiun bagian utara dan selatan memiliki substrat lebih kasar dibandingkan dengan stasiun di bagian tengah Selat Lembeh, hal ini disebabkan oleh lebih besarnya energi gelombang dan kecepatan arus-nya. Hasil pengukuran salinitas di lokasi tersebut adalah masing-masing berkisar 32,6 0 / 00, 32,6 0 / 00, 32,5 0 / 00, 32,6 0 / 00, 32,4 0 / 00, 32,4 0 / 00, 32,6 0 / 00, 32,4 0 / 00, dan 32,5 0 / 00. Menurut Hutabarat dan Evans (1986), salinitas akan turun secara tajam akibat oleh besarnya curah hujan. Lebih lanjut Nontji (2003), salinitas di lautan pada umumnya berkisar antara 33 0 / / 00. Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara / 00 (Romimohtarto dan Juwana, 1999), sedangkan untuk laut terbuka umumnya salinitas berkisar antara / 00 dengan rata-rata 35 0 / 00. Salinitas ini juga masih baik untuk kehidupan organisme laut, khususnya ikan. Ammonia (NH3-N) merupakan senyawa nitrogen yang pada kadar tinggi bersifat racun terhadap organisme perairan. Sumber ammonia pada air permukaan adalah air seni dan tinja, dan juga hasil oksidasi senyawa organik secara mikrobiologis, yang berasal dari air alam atau limbah industri dan domestik. Kadar ammonia yang tinggi dapat menimbulkan pencemaran dan membahayakan kehidupan biota laut. Hasil pengukuran kadar ammonia di stasiun Pasir Panjang, Paudean, Tanjung Merah, Batulubang, Makawidey, Kareko, dan Mawali, masing-masing 0,042 mg/l, 0,025 mg/l, 0,062 mg/l, 0,041 mg/l, 0,054

8 56 mg/l, 0,045 mg/l, 0,052 mg/l, 0,032 mg/l,, dan 0,047 mg/l. Kadar ini lebih rendah dari Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan oleh KMNLH (2004) untuk biota laut yakni sebesar 0,3 mg/l. Stasiun Kasawari, Lirang, Binuang, Nusu, Pintu Kota, dan Batuwoka dicirikan oleh parameter suhu, kecerahan, dan kedalaman yang tinggi, sedangkan lokasi Aertembaga dan Manembo-Nembo dicirikan oleh parameter COD dan fosfat yang tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa lokasi studi yang menerima limpahan air dari aliran sungai dan menerima limbah dari aktifitas industri dan pelabuhan sangat mempengaruhi parameter karakteristik lingkungan perairan. BPS Kota Bitung (2005), melaporkan bahwa terdapat 5 (lima) buah sungai utama yang bermuara ke Selat Lembeh, yaitu Sungai Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan dan Rinondoran. Sungai-sungai ini mengalir sepanjang tahun, anak sungai yang berada disekitarnya bersifat sungai tadah hujan. Pengukuran kondisi perairan Selat Lembeh yang dilakukan oleh Manengkey et al., (2005), menyimpulkan bahwa kondisi perairan wilayah Bitung Timur lebih banyak mendapat tekanan dari aktifitas industri dan aktifitas pelabuhan sehingga menyebabkan beberapa parameter seperti DO, TDS dan TSS cukup tinggi, namun demikian kondisi tersebut masih di bawah baku mutu. Pada dasarnya baku mutu air laut sesuai dengan peruntukannya, yakni: kategori air laut untuk wisata mandi, renang dan selam, untuk budidaya laut, untuk konservasi, untuk bahan baku industri, dan untuk keperluan umum. Hasil pengukuran suhu diperairan Selat Lembeh berkisar antara 27,5 0 C - 28,4 0 C (Lampiran 4). Stasiun Kasawari memiliki suhu perairan sekitar 28,4 0 C, Lirang C, Binuang C, Nusu C, Pintu Kota C, dan Batuwoka dengan nilai suhu peraoran sekitar C. Menurut Ilahude dan Liasaputra (1980), suhu dipermukaan laut yang normal berkisar antara 25,6-32,3 0 C dan antara C (Nybakken, Menurut Mulyanto (1992) suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara C. Sebaran rata-rata salinitas permukaan untuk semua lokasi/stasiun pengamatan secara umum tidak menunjukkan perubahan yang besar. Sebaran salinitas berkisar antara 32,0-32,6 0 / 00 (Lampiran 4). Cahaya dapat berubah dengan lintang dari variasi musiman terhadap panjang hari dan efek kisaran sudut jatuhnya cahaya terhadap karang dan

9 57 simbionnya sebagaimanan ketergantungannya terhadap kedalaman perairan (Campbell dan Aarup, 1989). Pengaruh keberadaan cahaya terhadap distribusi karang pada berbagai kedalaman dan lintang kemungkinan mempunyai perbedaan yang kecil pada kecerahan perairan, suhu, pertumbuhan musiman mikroalga, kebutuhan cahaya zooxanthellae dan mekanisme foto adaptasi. Di wilayah yang berbeda letak lintangnya, misalnya di Izu Jepang (35 0 LU) dan Pulau Lord Howe (31,5 0 LS) serta Kepulauan Houtman Abrolhos (28,5 0 LS), karang secara reguler ditemukan pada perairan jernih sampai kedalaman 30 m dan kadang juga ditemukan di kedalaman 40 m dimana suatu substrat horizontal yang sesuai tersedia. Hasil pengukuran rara-rata kedalaman di lokasi penelitian berkisar antara meter. Tabel 9. Akar ciri dan persentase konstribusi setiap sumbu faktorial terhadap total variansi F1 F2 F3 Akar Ciri % variance Cumulative %

10 58 Variables (axes F1 and F2: %) 1 Arus DO Suhu Sal. Ammonia Substrat ph Keruh BOD5 Nitrat COD -0.5 Kecerahan Kedalaman Fosfat axis F1 (46.02 %) --> 8 Observations (axis F1 and F2: %) Tandurusa Pasir panjang Paudean Tj.M erah Kareko Makawidey Batulubang Papusungan Mawali Kasawari Binuang Aertembaga Lirang Nusu Pintu Kota Batuwoka Manembo axis F1 (46.02 %) --> Gambar 12. Grafik analisis komponen utama parameter fisika-kimia perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen utama kedua (F2): A : Lingkaran korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan

11 59 Variables (axes F1 and F3: %) 1 Sal. ph 0.5 Kedalaman Kecerahan DO Ammonia Substrat Arus Suhu BOD5 Keruh COD Fosfat Nitrat axis F1 (46.02 %) --> 8 Observations (axis F1 and F3: %) Batuwoka Pintu Kota Batulubang Lirang Paudean Mawali Papusungan Nusu Pasir panjang Tj.M erah Kareko Manembo Makawidey Kasawari Aertembaga Tandurusa Binuang axis F1 (46.02 %) --> Gambar 13. Grafik analisis komponen utama parameter kondisi perairan antara komponen utama pertama (F1) dengan komponen uatama kedua (F3): A : Lingkaran korelasi antar parameter, dan B : Penyebaran lokasi pengamatan

12 Keterkaitan Karakteristik Lingkungan Perairan dengan Penutupan Karang Terumbu karang sangat sensitif terhadap bahan pencemar yang dihasilkan dari kegiatan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Perairan Selat Lembeh menampung berbagai bahan pencemar limbah kota Bitung. Limbah tersebut berupa buangan industri, aktifitas pelabuhan, buangan rumah tangga, dan sedimentasi, bahan pencemar ini dibawa ke perairan Selat Lembeh. Berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para pakar menunjukkan adanya pengaruh buruk bahan pencemar terhadap komunitas karang, seperti pengaruh minyak bumi terhadap karang (Loya dan Rinkevich, 2000, Peter et al., 2001), limbah rumah tangga (Dollar, 2001) pengaruh limbah panas (Jokiel dan Coles, 2000, Suharsono dan Brown, 1990), pengaruh sedimentasi (Chansang et al., 2001, Dollar dan Grigg, 2001, Yamazato, 1996, pengaruh logam berat (Harland, 1989) dalam Suharsono Distribusi persentase tutupan dari kategori benthic lifeforms karang batu, Acropora, non-acropora, dead coral, algae, other fauna, dan abiotik pada setiap stasiun dan keterkaitannya dengan karakteristik lingkungan perairan dikaji dengan menggunakan Analisis Faktor Koresponden (Correspondence Analysis/CA). Kategori benthic lifeforms yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan Acropora, non-acropora, dead coral, algae, other fauna, dan abiotik merupakan baris dalam matriks data yang digunakan dalan AFK. Sedangkan kolom dalam matriks data adalah stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil Analisis Faktorial Koresponden (CA) memperihatkan informasi utama sebaran dari kategori benthic lifeforms pada setiap lokasi pengamatan, bahwa penyebaran lifeforms terpusat pada 3 sumbu faktor utama (F1, F2 dan F3) yang masing-masing sumbu mampu menjelaskan sebesar 38,99 %, 28,86 % dan 15,14 % dari ragam total (Tabel 10).

13 61 Tabel 10. Akar ciri dan kontribusi inersi total pada 3 sumbu utama faktorial F1 F2 F3 Akar Ciri Kontribusi Inersi Total Cumulative % Dengan menggunakan Analisis Faktor Koresponden (CA), maka Sumbu Utama Faktorial yang dikaji untuk mendapatkan informasi adalah 3 (tiga) sumbu faktor utama. Hal ini ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa dengan mengambil 3 (tiga) sumbu faktor tersebut (F1, F2 dan F3), maka sudah dapat merepresentasikan 83,00% dari variabel total atau sebaran kategori benthic lifeforms pada setiap stasiun pengamatan. Hasil analisis yang telah dilakukan mampu mengelompokkan titik-titik pengamatan beberapa kelompok besar asosiasi atau yang mempunyai keterkaitan antara kategori benthic lifeforms dengan stasiun. Hasil analisis pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2) dapat memisahkan 3 (tiga) kelompok asosiasi atau dicirikan oleh kategori benthic lifeforms dengan stasiun pengamatan. Kelompok I dicirikan oleh alga, non- Acropora dan dead coral yang tinggi dan berasosiasi dengan stasiun Binuang, Kasawari, dan Makawidey yang memiliki parameter kedalaman, kecerahan, suhu, kecepatan arus yang tinggi. Kelompok II terdiri dari lokasi Papusungan, Manembo-Nembo, Tandurusa dan Aertembaga yang dicirikan oleh abiotik yang tinggi. Sedangkan kelompok III adalah Acropora dan other fauna yang berasosiasi dengan lokasi Pintu Kota, Batuwoka, Nusu, Lirang, Mawali, Batulubang, Paudean, Pasir Panjang, Kareko dan Tanjung Merah yang memiliki parameter substrat, ammonia dan salinitas yang tinggi (Gambar 14).

14 62 2 Symmetric Plot (axes F1 and F2: %) 1.5 Mawali Algae Batulubang Other Fauna Binuang Batuwoka Lirang Pintu Kota Kasawari Motto Papusungan Non-Acropora Tj.M erah Manembo Paudean Makawidey Dorbolaang Tandurusa Dead-Coral Abiotic Nusu Acropora Pancuran Ps. panjang Posokan Kareko Aertembaga axis F1 (39.00 %) --> Gambar 14. Analisis Faktorial Koresponden lokasi dengan kategori benthic lifeforms pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 2 (F1 dan F2). Hasil asosiasi tersebut menujukkan bahwa kategori benthic lifeforms pada kelompok yang sama mempunyai kemiripan dan dapat digunakan sebagai pencirian stasiun. Dengan demikian asosiasi dari ketiga kelompok ini, menujukkan hubungan keeratan antara lifeforms dengan karakteristik lingkungan perairan. Hasil asosiasi pada masing-masing lokasi ini menunjukkan keeratan hubungan antara lifeforms pada beberapa stasiun. 2 Symmetric Plot (axes F1 and F3: %) Batuwoka Kareko Algae Pintu Kota Binuang Kasawari Acropora Paudean Papusungan Aertembaga Posokan Non-Acropora Tj.M erah Abiotic Ps. panjang Manembo Nusu Lirang Motto Tandurusa Batulubang Mawali Pancuran MakawideyOther Fauna Dead-Coral Dorbolaang axis F1 (39.00 %) --> Gambar 15. Analisis Faktorial Koresponden lokasi dengan kategori benthic lifeforms pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3)

15 63 Hasi Analisis pada Sumbu Utama Faktorial 1 dan 3 (F1 dan F3) dapat memisahkan 2 (dua) kelompok asosiasi atau dicirikan oleh kategori benthic lifeforms dengan stasiun pengamatan. Kelompok I terdiri dari Abiotik yang berasosiasi dengan lokasi Papusungan, Aertembaga, Manembo-Nembo dan Tandurusa yang memiliki parameter ph, BOD5, Kecerahan, COD, fosfat dan nitrat yang tinggi. Hasil studi ini memperkuat hasil penelitian Suharsono dan Yosephine (1994), menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara persentase tutupan karang hidup dengan kecerahan air di 27 pulau di Kepulauan Seribu. Semakin rendah transparasi air semakin kecil pula persentase tutupan karang hidup. Terlihat ada korelasi negatif antara pertumbuhan karang Porites lutea dan kecerahan air (r 2 =0,2;P<0,02). Scoffin (1996), menyatakan bahwa semakin tinggi kekeruhan air semakin lambat pertumbuhan karang. Lebih lanjut, Anderson et al. (2004), menyatakan bahwa peran nutrient N, P, C, Fe yang berasal dari bahan organik dan anorganik dari perairan laut akan berperan penting dalam pengkayaan nutrien laut dan berpengaruh nyata terhadap keberadaan bakteri laut (Atlas, 1993). Masuknya sedimentasi dan nutrien yang dibawa oleh aliran sungai juga menyebabkan terjadinya pengayaan nutrien di Selat Lembeh. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan meningkatnya kadar fosfat dan nitrat di Selat Lembeh, khususnya di kawasan Pesisir Bitung. Akibat adanya pengayaan nutrien menyebabkan terjadinya ledakan populasi algae. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan diperkirakan mempunyai efek yang cukup nyata bagi kehidupan terutama dalam menentukan struktur dan komposisi organisme penyusunnya. Salah satu penyebabnya adalah bahwa hewan karang memerlukan perairan yang sangat bersih pada habitat yang dihuninya, salah satu aspek paling krusial dari kualitas air tersebut adalah konsentrasi nutrien dalam perairan. Nutrien adalah elemen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan semua mahluk hidup dan bila mereka tidak tersedia dengan cukup, maka organisme tidak akan mampu untuk tumbuh dengan baik. Di perairan pesisir, dua nutrien utama yaitu nitrogen dan fosfor hadir dengan konsentrasi rendah sehingga mereka akan menghalangi pertumbuhan yang penuh (full growth). Terumbu karang adalah ekosistem yang memerlukan nutrien lingkungan dengan konsentrasi rendah, seperti di lautan tropis, dimana tumbuhan dan

16 64 organisme autotrof lainnya seringkali memanfaatkan nitrogen dan fosfor yang tersedia. Kondisi nutrien yang kaya di perairan (perairan eutrofik) akan membahayakan karang dan bahkan mampu membunuh terumbu karang, salah satunya adalah akibat kompetisi antara karang dengan alga yang sudah sangat luas terjadi di sejumlah terumbu karang dengan melibatkan sejumlah interaksi. Pergantian secara luas komunitas karang yang didominasi oleh makroalga sering mengindikasikan adanya gangguan eksternal, tidak hanya akibat kompetisi overgrowth, namun juga sampai pada penghambatan kompetitif rekruitmen karang dengan konsekuensi terhalangnya pemulihan terumbu karang. berdasarkan uraian tersebut diduga pemulihan terumbu karang melalui rekruitmen karang di Pesisir Bitung khususnya lokasi/stasiun dekat industri dan pelabuhan akan terhalang akibat tingginya kandungan nutrien di perairan dibandingkan dengan Pulau Lembeh. Kelompok II terdiri Acropora, non-acropora, dead coral, algae, dan other fauna yang berasosiasi dengan lokasi Binuang, Kasawari, Makawidey, Pintu Kota, Batuwoka, Nusu, Lirang, Mawali, Batulubang, Pancuran, Pasir Panjang, Kareko, dan Tanjung Merah yang memiliki parameter Suhu, Substrat, Ammonia, Kecepatan arus, kekeruhan, kedalaman dan salinitas yang tinggi. Hasil studi ini mendukung pendapat Suharsono dan Yosephine (1994), bahwa terdapat korelasi positif antara kedalaman maksimum karang hidup dengan kecerahan air (r 2 = 0,49; P < 0,0004). Kedalaman maksimum karang yang hidup di pulau yang dekat dengan Jakarta lebih dangkal jika dibandingkan dengan pulau-pulau yang lebih jauh dari Jakarta. Degradasi komunitas karang di Selat Lembeh berhubungan erat dengan penurunan kualitas perairan. Penurunan kualitas perairan ini sebagai dampak negatif aktivitas pertanian di Pulau Lembeh dan aktivitas industri di Pesisir Bitung. Pertambahan penduduk yang sangat pesat dan cepatnya perkembangan industri-industri kecil sampai berskala besar membutuhkan pembukaan lahan baru untuk pemukiman dan industri. Semua ini membawa dampak penambahan bahan buangan dari daerah pembukaan lahan baru, bahan pencemaran dari berbagai industri, pertanian dan buangan rumah tangga yang akhirnya masuk ke perairan Selat Lembeh.

17 65 Hasil asosiasi tersebut menujukkan bahwa kategori benthic lifeforms pada kelompok yang sama mempunyai kemiripan dan dapat digunakan sebagai penciri dari masing-masing stasiun (Gambar 15). Dengan demikian asosiasi dari ke-dua kelompok ini, menunjukkan keeratan hubungan antara kategori benthic lifeforms dengan karakteristik lingkungan perairan pada setiap stasiun. Hasil asosiasi pada masing-masing stasiun menunjukkan keeratan hubungan antara kategori benthic lifeforms pada beberapa stasiun. D Elia dan Webb (1977) dalam Mann (1992), menyatakan bahwa koloni Pocillopora elegans aktif mengambil senyawa nitrat dalam air laut pada siang hari maupun malam hari. Demikian pula dengan ammonia, jumlah pengambilan ammonia dua kali lebih besar dari jumlah pengambilan nitrat. Hal tersebut membuktikan bahwa nitrogen yang diambil oleh Pocillopora, 2/3 bagian diperoleh dari ammonium dan 1/3 sisanya dari nitrat, dimana proses ini dilakukan oleh zooxanthellae. Selain nitrat dan ammonium langsung diambil dari air laut sebagian sumber nitrogen, ketersediaan zooplankton dan detritus juga merupakan sumber nitrogen bagi karang dalam jumlah yang kecil, karena sebagian besar nutrient bagi karang diperoleh dari hasil fotosintesis zooxanthellae.

18 Tabel 8. Matrik korelasi parameter karakteristik lingkungan perairan Selat Lembeh Parameter Suhu Salinitas ph DO BOD5 Keruh COD Ammonia Fosfat Nitrat Kecerahan Kedalaman Arus Substrat Suhu Salinitas ph DO BOD Keruh COD Ammonia Fosfat Nitrat Kecerahan Kedalaman Arus Substrat In bold, significant values (except diagonal) at the level of significance alpha=0.050 (two-tailed test) 54

19 Gambar 16. Peta sebaran ekosistem pesisir dan lokasi penyelaman di Selat Lembeh (Mitra Pesisir Sulut, 2005) 68

20 Gambar 17. Peta kesesuaian kawasan konservasi terumbu karang Selat Lembeh, Kota Bitung 72

21 Gambar 18. Peta kesesuaian pengembangan pariwisata bahari Selat Lembeh, Kota Bitung 73

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN.. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Selat Lembeh Kota Bitung Provinsi Sulawesi Utara yang secara geografis berada pada posisi 0 0 0 0 0 0 LU dan 0 0

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Kondisi alami sampel karang berdasarkan data (Lampiran 1) dengan kondisi tempat fragmentasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu signifikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

Stasiun. Perbedaan suhu relatif sangat kecil. Hal ini disebabkan karena pengambilan

Stasiun. Perbedaan suhu relatif sangat kecil. Hal ini disebabkan karena pengambilan BASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian Perairan Sungai Siak sekitar Kotamadya Pekanbaru merupakan bagian pertengahan dari perairan Sungai Siak secara keseluruhan dengan kedalaman rata-rata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika Perairan 4.1.1 Suhu Setiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian.

3. METODOLOGI. Koordinat stasiun penelitian. 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan pesisir Bahodopi, Teluk Tolo Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan September 2007 dan Juni 2008. Stasiun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

4. KONDISI HABITAT SIMPING

4. KONDISI HABITAT SIMPING 4. KONDISI HABITAT SIMPING Kualitas habitat merupakan tempat atau keadaan dimana simping dalam melakukan proses-proses metabolisme, pertumbuhan, sampai produksi. Proses biologi tersebut ditentukan oleh

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata merupakan salah satu sektor yang mengalami perkembangan sangat pesat saat ini. Perkembangan pariwisata dunia telah melahirkan bentuk pariwisata baru pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak pada garis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian METODOLOGI. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini terdiri dari tahapan, yakni dilaksanakan pada bulan Agustus 0 untuk survey data awal dan pada bulan FebruariMaret 0 pengambilan data lapangan dan

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN PINGGIR PANTAI

DAMPAK PEMBANGUNAN PINGGIR PANTAI DAMPAK PEMBANGUNAN PINGGIR PANTAI Disusun Oleh : Arini Qurrata A yun (H2114307) Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar 2014 Dampak Pembangunan Pinggir

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

V. PEMANFAATAN DAN PERUNTUKAN KAWASAN TERUMBU KARANG

V. PEMANFAATAN DAN PERUNTUKAN KAWASAN TERUMBU KARANG V. PEMANFAATAN DAN PERUNTUKAN KAWASAN TERUMBU KARANG Pengelolaan kawasan terumbu karang merupakan kebutuhan yang mendesak dalam setiap pembangunan wilayah pesisir dan laut di Indonesia, tidak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi penelitian Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Sungai ini bermuara ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis TINJAUAN PUSTAKA Perairan Sungai Perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang)

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Parameter fisika dan kimia perairan sangat mempengaruhi kehidupan biota laut khususnya terumbu karang. Parameter yang tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA Umar Ode Hasani Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan UHO Email : umarodehasani@gmail.com Ecogreen Vol. 2 No. 2, Oktober

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian terletak di belakang Perumahan Nirwana Estate, Cibinong yang merupakan perairan sungai kecil bermuara ke Situ Cikaret sedangkan yang terletak di belakang Perumahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA

BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA DAFTAR ISI Kata Pengantar... i Daftar Isi... iii Daftar Tabel... vi Daftar Gambar... ix Daftar Grafik... xi BAB I KONDISI LINGKUNGAN HIDUP DAN KECENDERUNGANNYA A. LAHAN DAN HUTAN... Bab I 1 A.1. SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN ABSTRAK

ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN ABSTRAK ANALISIS PARAMETER FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI SALO TELLUE UNTUK KEPENTINGAN BUDIDAYA PERIKANAN Jalil 1, Jurniati 2 1 FMIPA Universitas Terbuka, Makassar 2 Fakultas Perikanan Universitas Andi Djemma,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika dan kimia bertujuan untuk mengetahui kondisi kualitas perairan dalam system resirkulasi untuk pertumbuhan dan kelangsungan

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci