4. KONDISI HABITAT SIMPING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. KONDISI HABITAT SIMPING"

Transkripsi

1 4. KONDISI HABITAT SIMPING Kualitas habitat merupakan tempat atau keadaan dimana simping dalam melakukan proses-proses metabolisme, pertumbuhan, sampai produksi. Proses biologi tersebut ditentukan oleh multifaktor mulai dari factor pengatur (analog), pembatas (limiting) dan semu (masking) dalam keadaan sesuai. Semua factor tersebut menjadi factor yang menentukan kehidupan dan kelangsungan hidup simping. Faktor lingkungan tersebut diantaranya suhu, kecerahan, kekeruhan, TSS, derajat keasaman, salinitas, oksigen terlarut, BOD, COD dan redoks potensial serta sedimen. Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian dan analisa anova disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran Suhu Perairan Suhu perairan merupakan faktor pengendali (controlling), fisiologi, biologi serta habitat. Bagi simping suhu perairan berperan sebagai factor pengatur penetasan telur, pematangan gonad, dan reproduksi, serta tingkat kematangan gonad biasanya terjadi pada suhu tinggi. Suhu dapat menyebabkan gangguan yang menjadi titik kritis bagi kelangsungan hidup simping. Analisa anova terhadap rataan suhu antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan suhu antar zona di waktu T 1, T 2 dan T 3 tidak berbeda nyata. Rataan suhu pada waktu T 1 yaitu (31,3±0,166) o C pada waktu T 2 sebesar (29,37±0,384) o C dan waktu T 3 sebesar (30,65±0,100) o C. Secara keseluruhan suhu perairan selama penelitian diperoleh rata-rata antara 31,5 o C. Kisaran suhu tersebut masih tergolong normal untuk perkembangan populasi simping. Menurut Dharmaraj (2004) simping masih dapat bertahan sampai suhu 37 o C dalam kondisi normal. Menurut Silveira et al (2006), suhu perairan diatas 20 o C akan mampu menunjang kehidupan biota bentik hingga mencapai kelimpahan tertinggi Kecerahan Kecerahan perairan merupakan indikasi penetrasi cahaya matahari yang potensial bagi proses asimilasi, pembentukan biomas algae. Pembentukan biomas

2 48 algae tersebut nantinya menjadi sumber energi bagi pertumbuhan simping. Semakin tinggi kecerahan, maka semakin tinggi potensi pembentukan biomas algae. Analisa anova terhadap rataan kecerahan antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan kecerahan antar zona di waktu T 1, T 3 berbeda nyata, sedangkan pada waktu T 2 tidak berbeda nyata. Rataan kecerahan pada waktu T 1 tertinggi yaitu di zona 3 sebesar (2,96±0,138) m, kemudian di zona I sebesar (1,2±0,072) m dan terendah di zona 2 yaitu (1,1±1,00) m. Pada waktu T 3 tertinggi di zona 3 sebesar (1,1±0,045) m, kemudian di zona 2 (0,6±0,04) m dan terendah di zona I sebesar (0,4±0,008) m. Sedangkan rataan kecerahan pada waktu T 2 tingkat kecerahan sebesar (0,76 ±0,20) m. Perbedaan kecerahan di T 1 dan T 3 merupakan indikasi bahwa potensi pembentukan biomas algae meningkat di zona 1 dan di zona 3 yang penting bagi pertumbuhan. Dari urairan tersebut diatas, maka dapat dinyatakan bahwa kecerahan perairan di zona 1, 2 dan 3 makin meningkat dengan semakin dalamnya perairan. Menurut Olenin et al, 2004 perairan dengan tingkat kecerahan rendah biasanya adalah perairan dengan struktur sedimen lembut (soft sedimen) dan banyak dihuni oleh kelompok bivalvia Kekeruhan Kekeruhan merupakan pencerminan komponen padatan tersuspensi yang dipengaruhi hasil kelimpahan algae yang mempengaruhi kecerahan perairan. Kecerahan perairan berperan dalam pembentukan algae. Selain kecerahan, kekeruhan juga dapat berperan dalam mempengaruhi hidup simping karena pengaruh hasil adanya pembentukan padatan tersuspensi. Analisa anova terhadap rataan kekeruhan antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan kekeruhan antar zona diwaktu T 1, T 2 dan T 3 tidak berbeda nyata. Rataan kekeruhan pada waktu T 1 yaitu (11,48 ± 8,39) NTU pada waktu T 2 sebesar (4,51±2,1) NTU dan waktu T 3 sebesar (4,7±1.70) NTU. Kekeruhan yang tidak berbeda nyata, namun secara prinsip potensial mempengaruhi sintasan siklus stok stadia simping. Pengaruh perbedaan

3 49 kekeruhan tersebut dapat tercermin dari struktur kelimpahan stadia simping. Hasil pengamatan dilokasi penelitian kekeruhan berkisar antara 2,1-10,3 NTU. Dari uraian diatas maka dapat dinyatakan bahwa kekeruhan yang tidak berbeda nyata namun nilainya yang tinggi potensial mempengaruhi kelangsungan hidup stadia simping. Diperkirakan kelompok stadia spat yang memiliki tingkat adaptasi yang rendah yang terkena dampaknya, serta memberikan dampak dari kekeruhan yang sama di tiap zona. Pantai yang keruh karena struktur sedimen yang berlumpur memungkinkan biota dewasa seperti Atactodea striata, Dona faba hidup dengan baik (Baron, et al, 1992) atau jenis Montastrea cavernosa (Moyer et al, 2003), sehingga daerah pesisir memerlukan perhatian yang lebih layak terutama daerah neritik dan kurang dari 100 m (Narvaez et al. 2004) TSS (Total Suspended Solid) TSS merupakan komponen yang mempengruhi kecerahan serta ketersediaan nutrient yang dapat bermanfaat bagi pertumbuhan simping. Namun begitu, apabila keberadaan TSS melampaui 10 mg.l -1 dapat mengganggu system pernapasan dan filter penyaringan makanan simping dan melebihi baku mutu kepmen LH No 51 tahun 2004 tentang baku mutu perairan laut. Analisa anova terhadap rataan TSS antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan TSS antar zona diwaktu T 1, T 2 dan T 3 tidak berbeda nyata. Rataan TSS pada waktu T 1 yaitu (7,6±0,57) mg.l -1 pada waktu T 2 sebesar (16,4±10,59) mg.l -1 dan waktu T 3 sebesar (26,62±2,28) mg.l -1. Pada pengamatan T 1, nilai TSS berada dibawah baku mutu kepmen LH No 51 tahun 2004 tentang kualitas air untuk biota. Pada waktu T 2, T 3 kandungan TSS antar zona yang tidak berbeda nyata namun melampaui baku mutu. Keberadaan TSS pada waktu T 2 dan T 3 yang melampaui baku mutu tersebut diduga potensial menggangu system respirasi dan mempengaruhi potensi stok simping. Kesimpulan dari uraian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan TSS T 1 tidak melampaui baku mutu dan waktu T 2 dan T 3 melampaui baku mutu, sehingga potensi menggangu kehidupan simping. Namun demikian

4 50 menurut Heilmeyer (2004) kandungan TSS yang berasal dari algae seperti Isocharis galbama diperlukan sebagai sumber makanan larva simping Derajat Keasaman (ph) ph sebagai penyangga respirasi-fotosintesa. Keberadaan simping ditentukan oleh keberadaan habitat simping pada ph yang ada. ph netral menunjang sintasan pertumbuhan simping. Perubahan temporal ph memberikan indikasi bagi ruang perubahan simping dan sintasan pertumbuhan. Derajat keasaman (ph) merupakan pencerminan keberadaan ion H + di suatu perairan sehingga menjadi asam (ph<4), netral (ph 7-8) dan basa (ph>9). Keberadaan ph ditentukan oleh berbagai interaksi dengan fotosintesa-respirasi algae. Respirasi biota serta proses bio-degradasi bahan organik. Pada ph nentral (ph 7-8) sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. Pada ph basa (ph>9) dapat menghambat proses pertumbuhan simping sedangkan pada ph asam (ph<4) selain menghambat proses respirasi juga diiringi dengan kematian. Analisa anova terhadap rataan ph antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan ph antar zona diwaktu T 1, T 3, tidak berbeda nyata, sedangkan pada waktu T 2 berbeda nyata. Rataan ph pada waktu T 1 yaitu (7,05±0,097), pada waktu T 3 sebesar (6,88±0,096) Sedangkan rataan ph pada waktu T 2 tertinggi di zona 3 yaitu (7,2±0,05) kemudian zona 2 sebesar (6,7±0,05) dan terendah zona 1 sebesar (6,5±0,16). Rentang keberadaan ph di zona 1, 2 dan 3 termasuk sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. Dari uraian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan ph di zona 1, 2 dan 3 cukup sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. ph perairan yang tidak tergolong asam maupun basa masih baik untuk perkembangan biota lainnya. Menurut Darmaraj (2004) ph normal untuk simping yait antara 7,0-8,0 atau dalam batasan 6,4-7,7 (SEAFDEC, 2000). Menurut Silveira et al, 2006 kelimpahan tertinggi umumnya pada ph diatas 7 dengan fluktuasi yang rendah Salinitas Salinitas merupakan factor salt (masking) bagi sintasan pertumbuhan simping. Pada tingkat iso-osmotik salinitas sesuai bagi pertumbuhan simping,

5 51 pada kondisi hiper osmotik dapat menghambat pertumbuhan bahkan potensial mematikan. Pada kondisi hippo osmotik akan menghambat proses osmoregulasi stadia muda dan spat. Keberadaaan simping ditentukan oleh kemampuan simping beradaptasi terhadap salinitas. Pada kondisi iso-osmotik metabolisme dan respirasi normal dan menunjang pertumbuhan, sedangkan pada hipo atau hiper-osmotik keberadaan simping dangat ditentukan oleh keberhasilan menyesuaikan diri terhadap salinitas dilapangan. Perubahan terhadap salinitas memberikan indikasi perubahan kesesuaian salinitas terhadap ruang distribusi dan tingkat kelimpahan simping. Analisa anova terhadap rataan salinitas antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan salinitas antar zona di waktu T 1, T 2 dan T 3 tidak berbeda nyata. Rataan salinitas pada waktu T 1 yaitu (29,38±1,27) o / oo pada waktu T 2 sebesar (27,66±1,12) o / oo dan waktu T 3 rataan salinitas sebesar (28,52±0,66) o / oo. Secara keseluruhan salinitas rata-rata berkisar antara o / oo dan termasuk sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. Dari uraian diatas dapat dinyatakan bahwa rataan salinitas di zona 1, 2 dan 3 sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping. Pada penelitian Darmaraj (2004) kisaran salinitas yang sesuai bagi simping yaitu o / oo. Penelitian (SEAFDEC, 2000) di Philipina kerang simping dapat hidup pada salinitas antara o / oo. Menurut Cusson et al (2005) salinitas dari biota bentik berkisar dari 4-45 o / oo m dengan rata-rata 26,5 o / oo. Dengan demikian salinitas antara 27,66-29,38 o / oo di perairan Kronjo tergolong sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) merupakan pembatas bagi proses respirasi-oksidasi sintasan dengan proses osmoregulasi yang dikendalikan oksigen terlarut bersifat diurnal. Bagi proses metabolism oksigen dapat menurut deplesi (deficit) apabila dipakai untuk asimilasi bahan organic dan dapat mematikan. Pada kondisi DO 5-6 ppm metabolism respirasi normal menunjang sintasan pertumbuhan simping. Akibat deplesi dan defisit oksigen terlarut akan potensial mematikan simping,

6 52 khususnya stadia spat dan muda. Ketersediaan DO ditentukan oleh pola aerasi dari photosintesa, produksi-respirasi serta dekomposisi bahan organik. Keberadaan simping ditentukan oleh kemampuan simping beradaptasi dari ketersediaan oksigen terlarut di lapangan. Perubahan temporal oksigen terlarut (DO) memberikan indikasi perubahan kesesuaian habitat bagi ruang distribusi simping. Pada kondisi DO < 3 ppm atau meningkat melampaui > 8,5 ppm potensial mematikan. Analisa anova terhadap rataan oksigen terlarut (DO) antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan oksigen terlarut (DO) antar zona diwaktu T 1, tidak berbeda nyata sedangkan waktu T 2 dan T 3 berbeda nyata. Rataan oksigen terlarut (DO) pada waktu T 1 yaitu (2,18±0,34) ppm. Pada waktu T 2 rataan tertinggi di zona 3 yaitu (7,7±0,26) ppm, kemudian di zona 2 yaitu (2,92±0,14) ppm dan terendah pada zona 1 yaitu (2,74±0,06) ppm. pada waktu T 3 DO tertinggi di zona 3 sebesar (2,66±0,002) ppm, di zona 2 yaitu (2,37±0,02) ppm dan terendah di zona 1 yaitu (2,20±0,007) ppm. Pada waktu T 1 meskipun tidak berbeda nyata, namun keberadaaan DO tidak sesuai bagi kehidupan simping (DO< 3 ppm). Begitu juga halnya pada T 2 dan T 3 keberadaaan DO yang berbeda nyata, namun keberadaan DO termasuk buruk yaitu DO < 3 ppm, kecuali DO pada zona 3 waktu T 2. Secara keseluruhan DO di zona 1, 2 dan 3 termasuk kurang sesuai kecuali sewaktu T 2 di zona 3. Keberadaan DO tentu akan berimplikasi terhadap sintasan dari pertumbuhan stadia simping. Dari uraian diatas, maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan DO di zona 1, 2 dan 3 kurang sesuai bagi sintasan pertumbuhan simping kecuali di zona 3 sewaktu T 2. Pada kegiatan budidaya P placenta di Philipina oksigen terlarut tercatat antara 2,5-5 ppm (SEAFDEC, 2000) Kandungan Bahan Organik (BOD) Kandungan bahan organik yang dapat diurai oleh mikroba degradasi dinyatakan sebagai jumlah DO yang dipergunakan untuk proses penguraian bahan organik (BOD). Nilai BOD mencerminkan tingkat keberadaan bahan organik yang dapat diuraikan. Makin tinggi jumlah bahan organik yang diuraikan, maka makin besar juga oksigen yang diperlukan.

7 53 Keberadaan bahan organik tersebut potensial mengakibatkan deplesi oksigen (DO). Konsekuensinya sewaktu malam hari low fotosintesa (DO nol) sedangkan respirasi (tetap) maka akan semakin tinggi nilai BOD dan potensial mengakibatkan DO defisit. Fenomena ini sering mengakibat terjadinya kematian massal. Analisa anova terhadap rataan BOD antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan BOD antar zona diwaktu T 1, T 2 dan T 3 tidak berbeda nyata. Rataan BOD pada waktu T 1 yaitu (3,01±1,07) mg.l -1 pada waktu T 2 sebesar (2,28±0,46) mg.l -1 dan waktu T 3 sebesar (1,97±1,67) mg.l -1. Walaupun tidak berbeda nyata, nilai BOD terlihat makin menurun dengan makin dalamnya perairan. Dengan hasil tersebut terlihat kandungan rataan BOD sewaktu T 1 maupun T 2 dan T 3 pada rentang aman bagi penetral diurnal bahan organik. Keadaan ini memberikan indikasi kandungan BOD kurang mempengaruhi kehidupan simping. Kandungan BOD belum melampaui tingkat membahayakan kehidupan simping. Dari hasil tersebut maka dapat dinyatakan bahwa keberadaaan BOD belum potensial menghambat kehidupan simping COD (Kebutuhan Oksigen Kimiawi) COD merupakan parameter jumlah oksigen yang diperlukan untuk proses oksidasi seluruh sintasan kimiawi. Nilai COD mencerminkan tingkat kandungan sintesa kimia yang dapat dioksidasi untuk mengurangi tingkat pencemaran perairan. Semakin tinggi nilai COD, potensial berimplikasi terhadap kelangsungan hidup simping. Analisa anova terhadap rataan COD antar zona di setiap waktu T 1, T 2, dan T 3 diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan COD antar zona diwaktu T 1, T 2 dan T 3 tidak berbeda nyata. Rataan COD pada waktu T 1 yaitu (140±21,85) mg.l -1 pada waktu T 2 sebesar (177,3±30,55) mg.l -1 dan waktu T 3 sebesar (123,62±14,09) mg.l -1. Dari uraian tersebut diatas maka dapat dinyatakan bahwa keberadaan COD antar zone yang tidak berbeda nyata pada T 1, T 2 dan T 3 potensial mempengaruhi kehidupan. Kandungan COD waktu T 1, T 2 dan T 3 lebih tinggi dari baku mutu

8 54 COD untuk kualitas air menurut Kepmen LH No 51 tahun 2004 tentang kualitas air yaitu 100 mg.l Redoks Redok potensial merupakan parameter keberadaaan substansi reductive (CH 4, NH 3 dan H 2 S) dengan keberadaan oksigen yang terdapat di suatu substrat. Hasil substitusi reduktif dari hasil biodegradasi dan oksidasi akan memanfaatkan oksigen yang tersedia. Semakin tinggi nilai redok semakin potensial menjadi reductive dan mengarah keadaan anaerob. Perairan yang berada dalam kondisi anaerob akan menyulitkan perkembangan biota yang ada didalamnnya. Analisa anova terhadap rataan redoks antar zona di setiap waktu diperoleh hasil sebagai berikut. Rataan redoks antar zona diwaktu T 1, T 3, tidak berbeda nyata, sedangkan pada waktu T 2 berbeda nyata. Rataan redoks pada waktu T 1 yaitu (141,83±28,69) mv pada waktu T 3 sebesar (143,9±76,56) mv. Sedangkan rataan redoks pada waktu T 2 kandungan redoks tertinggi di zona 3 yaitu (148,6±421,55) mv kemudian zona 1 sebesar (119,6±20,22) mv dan terendah zona 2 sebesar (111,6±1,55) mv. Pada waktu T 2 redoks yang tinggi potensial menyebabkan anaerob terutama di zona 3. Kondisi ini potensial mempengaruhi keberadaan simping. Pada waktu T 1 dan T 3 keberadaan redok tidak berbeda nyata antara zona 1, 2 dan 3. Namun demikian secara umum kandungan redoks yang tinggi cenderung membahayakan kehidupan simping. Dari uraian diatas maka dapat dinyatakan bahwa keberadaaan redok pada T 1, T 2 dan T 3 berpengaruh. Keberadaan redoks yang cenderung tinggi dapat mengarahkan lingkungan pada kondisi anaerob. Performa oksigen yang rendah dapat jadi indikator bahwa redok potensial yang tinggi dan performa aktivitas dari biota benthic terutama malam hari (Wenzhofer et al, 2004) Substrat Sediment yang diamati adalah fraksi sedimen pada lokasi sampling yang menjadi habitat simping. Kawasan tersebut merupakan kawasan tempat hidup yang sesuai dengan biota simping. Komposisi substrate pada pada zona 1

9 55 didominasi oleh fraksi liat, kemudian debu dan yang terendah fraksi pasir. Pada zona 2 didominasi oleh komposisi debu, kemudian liat dan terendah pasir. Sedangkan pada zona 3 juga didominasi oleh debu, kemudian liat dan terendah fraksi pasir. Komposisi ini relative sama antara zona, sehingga tidak terdapat perbedaan yang nyata dari tiap zona baik pasir,liat maupun debu. Berdasarkan kedalaman terjadi perubahan komposisi dari dominasi liat menjadi debu. Kedalaman kurang dari 3 m dengan substrat berlumpur umumnya memiliki struktur komunitas bentik yang lebih komplek dibandingkan dengan yang lebih dalam atau substrate yang lebih kasar (Moyer et al, 2003). Substrat merupakan habitat dari biota simping yang muda dan dewasa. Preferensi habitat menunjukan pola sebaran biota simping. Sebagian besar simping hidup pada substrat dengan komposisi debu dan liat. Hasil analisa anova tidak terlihat perbedaan komposisi substrat pada tiap zona, dimana komposisi debu yang paling tinggi 47 %,, kemudian liat 42 % dan paling sedikit pasir 11 %. Sehingga dapat disimpulkan bahwa habitat simping adalah substrat yang sebagian besar mengandung fraksi debu dan liat. Menurut Connel et al, 2005 perbedaan substrate tidak berdampak pada nilai P/B rasio untuk kelas annelida. Hasil analisa kualitas air secara keseluruhan dalam kondisi kurang baik namun masih dalam batas syarat minimal untuk menndukung kehidupan simping. Kondisi kualitas air menurut waktu pengamatan T 1, T 2, dan T 3 secara keseluruhan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil evaluasi parameter kualitas air setiap waktu pengamatan No Parameter Waktu Pengamatan T 1 T 2 T 3 Anova BM* 1 Redoks 141,83 a 126,6 a 143,9 a Ns - 2 ph 7,05 a 6,7 a 6,8 a Ns 6,5-8,5 3 Suhu 31,3 a 29,3 a 30,6 a S Alami 4 Kecerahan 1,71 a 0,75 a 0,67 a Ns - 5 Kekeruhan 10,42 a 4,84 a 4,77 a Ns 5 6 Salinitas 29,55 a 28,44 a 28,52 a Ns Alami 7 DO 2,29 a 4,47 a 2,36 a Ns 4 8 COD 140 a 122,1 a 171,5 a Ns TSS 7,66 a 16,44 b 26,62 b S BOD 3,01 a 2,16 a 2,47 a ns 20 Ket: (S) signifikan pada SK 95% dan (Ns) tidak signifikan anova satu arah *) Kepmen LH No 51 Tahun 2004 ttg kualitas air, baku mutu untuk biota.

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Simping adalah kelompok moluska laut (bivalvia) yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Pemanfaatan tersebut di antaranya sebagai sumber makanan, maupun bahan baku

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA

KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA KUALITAS TANAH DAN KRITERIA UNTUK MENDUKUNG HIDUP DAN KEHIDUPAN KULTIVAN BUDIDAYA DAN MAKANANNYA Usaha pelestarian dan pembudidayaan Kultivan (ikan,udang,rajungan) dapat dilakukan untuk meningkatkan kelulushidupan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan KAJIAN KONSENTRASI TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS PERAIRAN DALAM UPAYA PENGELOLAAN LINGKUNGAN PESISIR DI KABUPATEN BANGKALAN Aries Dwi Siswanto dan Wahyu Andy Nugraha Jurusan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Batik merupakan suatu seni dan cara menghias kain dengan penutup lilin untuk membentuk corak hiasannya, membentuk sebuah bidang pewarnaan. Batik merupakan salah satu kekayaan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA

ADAPTASI FISIOLOGI. Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI Ani Rahmawati Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UNTIRTA ADAPTASI FISIOLOGI LINGKUNGAN Adaptasi : Proses penyesuaian diri secara bertahap yang dilakukan oleh suatu organisme terhadap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Ketaatan Terhadap Kewajiban Mengolahan Limbah Cair Rumah Sakit dengan IPAL Berdasarkan hasil pengamatan sarana pengolahan limbah cair pada 19 rumah sakit di Kota Denpasar bahwa terdapat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

8. PEMBAHASAN Habitat Simping

8. PEMBAHASAN Habitat Simping 8. PEMBAHASAN 8.1. Habitat Simping Habitat simping diperairan terdapat habitat bagi peluang dan pembentukan stok simping. Kesesuaian habitat terhadap perkembangan simping tercermin dari perubahan distribusi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Laut Belawan Perairan Laut Belawan yang berada di Kecamatan Medan Belawan Provinsi Sumatera Utara banyak digunakan oleh masyarakat setempat untuk berbagai aktivitas.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Perairan Ekosistem merupakan tingkat organisasi yang lebih tinggi dari komunitas atau merupakan kesatuan dari suatu komunitas dengan lingkungannya dimana terjadi antar

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Migrasi ikan adalah adalah pergerakan perpindahan dari suatu tempat ke tempat yang lain yang mempunyai arti penyesuaian terhadap kondisi alam yang menguntungkan

Lebih terperinci

HASIL PENELITIAN. Kondisi Kualitas Air

HASIL PENELITIAN. Kondisi Kualitas Air HASIL PENELITIAN Kondisi Kualitas Air Kualitas Air pada Tahap Eksplorasi Salinitas yang digunakan sebagai perlakuan didasarkan pada penelitian pendahuluan yang menghasilkan petunjuk batas kisaran optimal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1)

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1) LAMPIRAN 48 Lampiran 1. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Way Perigi Parameter Satuan Baku Mutu Kelas I 1) Baku Mutu Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Kelas III 2) Stasiun 1

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Pantai Pantai memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid Makroavertebrata benthik atau sering kita sebut benthos adalah hewan yang tidak bertulang belakang yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dari 0,5 mm. Menurut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN. Universitas Sumatera Utara LAMPIRAN Lampiran 1. Alat dan Bahan Penelitian DO Meter ph Meter Termometer Refraktometer Kertas Label Botol Sampel Lampiran 1. Lanjutan Pisau Cutter Plastik Sampel Pipa Paralon Lampiran 2. Pengukuran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari 7 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari daratan. Sebagian besar estuari

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah

Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian. Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata. Dekstruksi Basah Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan Sampel Rhizophora apiculata Dekstruksi Basah Lampiran 1. Lanjutan Penyaringan Sampel Air Sampel Setelah Diarangkan (Dekstruksi Kering) Lampiran 1. Lanjutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

PARAMETER KUALITAS AIR

PARAMETER KUALITAS AIR KUALITAS AIR TAMBAK PARAMETER KUALITAS AIR Parameter Fisika: a. Suhu b. Kecerahan c. Warna air Parameter Kimia Salinitas Oksigen terlarut ph Ammonia Nitrit Nitrat Fosfat Bahan organik TSS Alkalinitas Parameter

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Kerang tahu (Meretrix meretrix L. 1758)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Kerang tahu (Meretrix meretrix L. 1758) 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Kerang Tahu (Meretrix meretrix) Kerang merupakan hewan filter feeders yang memasukkan pasir kedalam tubuhnya kemudian mengakumulasikan pasir tersebut dilapisan tubuhnya.

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Laut Belawan Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia yang berjarak ± 24 km dari kota Medan berhadapan dengan Selat Malaka yang sangat padat lalu lintas kapalnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk mengetahui toleransi dan kemampuan ikan untuk hidup dan dinyatakan sebagai perbandingan

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pengaruh kosentrasi limbah terhadap gerakan insang Moina sp Setelah dilakukan penelitian tentang gerakan insang dan laju pertumbuhan populasi Moina sp dalam berbagai kosentrasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

PERSYARATAN PENGAMBILAN. Kuliah Teknologi Pengelolaan Limbah Suhartini Jurdik Biologi FMIPA UNY

PERSYARATAN PENGAMBILAN. Kuliah Teknologi Pengelolaan Limbah Suhartini Jurdik Biologi FMIPA UNY PERSYARATAN PENGAMBILAN SAMPEL Kuliah Teknologi Pengelolaan Limbah Suhartini Jurdik Biologi FMIPA UNY Pengambilan sampel lingkungan harus menghasilkan data yang bersifat : 1. Obyektif : data yg dihasilkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan terhadap ikan didapatkan suatu parameter pertumbuhan dan kelangsungan hidup berupa laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan derajat kelangsungan

Lebih terperinci

BAB 1 KIMIA PERAIRAN

BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kimia Perairan 1 BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di perairan A. Definisi dan Komponen Penyusun Air Air merupakan senyawa kimia yang sangat

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id II.KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN I.PENDAHULUAN

bio.unsoed.ac.id II.KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN I.PENDAHULUAN KUALITAS FAKTOR FISIK PERAIRAN KOLAM IKAN Oleh: Dra.Erie Kolya Nasution.M.Si I.PENDAHULUAN Jumlah wilayah desa dan kota di Indonesia di dominasi oleh desa, namun masyarakat pedesaan lebih tertinggal dari

Lebih terperinci

stasiun 2 dengan stasiun 3 dengan stasiun 3 Stasiun 1 dengan Stasiun 1 Morishita Horn

stasiun 2 dengan stasiun 3 dengan stasiun 3 Stasiun 1 dengan Stasiun 1 Morishita Horn Didapatkan hasil sungai Wonorejo Surabaya mempunyai indeks kesamaan komunitas makrozoobenthos antara stasiun 1 dengan stasiun 2 yaitu 0.88. Perbandingan dari kedua stasiun ini memiliki indeks kesamaan

Lebih terperinci

Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya

Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya Kondisi Lingkungan (Faktor Fisika-Kimia) Sungai Lama Tuha Kecamatan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya Amirunnas * Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Pengambilan sampel di lapangan Pengeringan Udara Sampel Lampiran 1. Lanjutan Sampel sebelum di oven Sampel setelah menjadi arang Lampiran 1. Lanjutan. Tanur (Alat yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai Brantas adalah sungai terpanjang yang ada di provinsi Jawa Timur. Panjangnya yaitu mencapai sekitar 320 km, dengan daerah aliran seluas sekitar 12.000 km 2

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Tingkat Toksisitas Limbah Cair Industri Gula Tebu Tanpa Melalui Proses IPAL Terhadap Daphnia magna telah dilakukan. Hasil penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pengukuran Konsentrasi Logam Sebenarnya

Lampiran 1. Pengukuran Konsentrasi Logam Sebenarnya LAMPIRAN 55 Lampiran 1. Pengukuran Konsentrasi Logam Sebenarnya Pengukuran konsentrasi logam berat dengan menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrofotometry) menurut Siaka (2008) dapat dihitung menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 85 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisa Karakteristik Limbah Pemeriksaan karakteristik limbah cair dilakukan untuk mengetahui parameter apa saja yang terdapat dalam sampel dan menentukan pengaruhnya

Lebih terperinci

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD)

PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) PENURUNAN KONSENTRASI CHEMICAL OXYGEN DEMAND (COD) Diperoleh penurunan kadar COD optimum pada variasi tumbuhan Tapak Kuda + Kompos 1 g/l. Nilai COD lebih cepat diuraikan dengan melibatkan sistem tumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN . HASIL DAN PEMBAHASAN.. Hasil Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pola distribusi vertikal oksigen terlarut, fluktuasi harian oksigen terlarut, produksi primer, rincian oksigen terlarut, produksi

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 - Agustus 2006 dengan lokasi penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. Pengambilan contoh air dan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Panggang adalah salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang memiliki berbagai ekosistem pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan.

Gambar 2. Peta lokasi pengamatan. 3. METODOLOGI 3.1. Rancangan penelitian Penelitian yang dilakukan berupa percobaan lapangan dan laboratorium yang dirancang sesuai tujuan penelitian, yaitu mengkaji struktur komunitas makrozoobenthos yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Sibolga yang terletak di pantai barat Pulau Sumatera, membujur sepanjang pantai dari utara ke selatan dan berada pada kawasan teluk yang bernama Teluk Tapian Nauli,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci