BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Penyelesaian piutang perbankan BUMN pra Putusan Mahkamah

PROBLEMATIKA PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Wiwin Sri Rahyani, SH., MH *

Oleh Oktaviaa Ester Pangaribuan,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. merangsang dan menumbuhkan motivasi masyarakat untuk meningkatkan. produktifitas di bidang usahanya. Meningkatnya pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Bank selaku lembaga penyedia jasa keuangan memiliki peran penting

KAJIAN PENDALAMAN. Perkara Nomor 1/PUU-XVI/2018

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. Perbankan mempunyai peranan penting dalam menjalankan. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan diatur bahwa:

BAB I PENDAHULUAN bagian Menimbang huruf (a). Guna mencapai tujuan tersebut, pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan. adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. piutang ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang saat ini tengah. melakukan pembangunan di segala bidang. Salah satu bidang pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perbankan) Pasal 1 angka 11, menyebutkan : uang agar pengembalian kredit kepada debitur dapat dilunasi salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 18/PUU-XV/2017 Daluwarsa Hak Tagih Utang Atas Beban Negara

BAB I PENDAHULUAN. di Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran koperasi

BAB I PENDAHULUAN. seperti Perseroan Terbatas. Hal tersebut menjadi alasan dibuatnya Undang-

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. usahanya mengingat modal yang dimiliki perusahaan atau perorangan biasanya tidak

BAB I PENDAHULUAN. untuk selanjutnya dalam penulisan ini disebut Undang-Undang Jabatan

BAB I PENDAHULUAN. oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. Belanda yaitu sejak tahun 1908 pada saat Vendu Reglement diumumkan dalam

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 57/PUU-XII/2014 Penghitungan Pajak Penghasilan

BAB I PENDAHULUAN. dari pelepasan kredit dan pendapatan berbasis biaya (fee based income). Lambatnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. bidang ekonomi termasuk sektor keuangan dan perbankan harus segera

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyediaan dana secara cepat ketika harus segera dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan prinsip kehati-hatian. Penerapan prinsip kehati-hatian tersebut ada

Jakarta V. Yang diteliti oleh peneliti tersebut adalah pembentukan dan. (PT. PPA) dan Tim Koordinasi Penyelesaian Penanganan Tugas-tugas TP-

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 111/PUU-XIII/2015 Kekuasaan Negara terhadap Ketenagalistrikan

No Restrukturisasi Perbankan, Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan tentang Penanganan Permasalahan Solvabilitas Bank Sistemik, Peraturan Lembaga

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga tersebut dimaksudkan sebagai perantara pihak-pihak yang. pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 1

BAB I PENDAHULUAN. mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

I. PENDAHULUAN. dunia perbankan semakin ketat. Tantangan di dunia perbankan akan semakin sulit

BAB I PENDAHULUAN. pada tanggal 15 Januari Dalam Perubahan Undang-Undang Nomor 30

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB 1 PENDAHULUAN. perjanjian dalam hukum perdata berlaku saat melakukan perjanjian kredit. Saat

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. fungsi intermediary yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya

&DIKTI. Keuangan Negara DEPARTEMEN KAJIAN & AKSI STRATEGIS

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai badan hukum. Jika perseroan terbatas menjalankan fungsi privat dalam kegiatan

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT

BAB I PENDAHULUAN. badan-badan yang dibentuk di beberapa negara, serta komite-komite yang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan secara terus menerus dan berkesinambungan, yaitu pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini jumlah perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Badan Usaha Milik

DESAIN TATA KELOLA MIGAS MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI 1

BAB I PENDAHULUAN. mengenai nasabah serta dana yang disimpannya dari pihak-pihak yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia meminjamkan uang kepada

BAB I PENDAHULUAN. faktor yaitu faktor sosial,pendidikan, dan ekonomi yang luar biasa pada

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

I. PENDAHULUAN. bentuk investasi kredit kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Dengan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 58/PUU-VI/2008 Tentang Privatisasi BUMN

BAB I PENDAHULUAN. semakin dahsyat dengan datangnya kapitalis dunia. P. Berger dalam meramalkan, dalam era

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 85/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. nasabah merupakan kegiatan utama bagi perbankan selain usaha jasa-jasa

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 12/PUU-XVI/2018 Privatisasi BUMN menyebabkan perubahan kepemilikan perseroan dan PHK

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

STATUS KEKAYAAN NEGARA PADA BUMN

2014, No c. bahwa guna memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan Pencegahan dalam rangka pengurusan Piutang Negara dan tidak dilaksanakannya

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh kerangka hukum formal yang komprehensif pada 30. September 1999 melalui Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang

BAB II GAMBARAN UMUM INSTANSI. 2.1 Sejarah Singkat Berdirinya Kantor Wilayah VIII Direktorat Jenderal

I. PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam rangka memelihara

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya, maka berbagai macam upaya perlu dilakukan oleh pemerintah. lembaga keuangan yang diharapkan dapat membantu meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di bidang ekonomi terlihat dalam Undang-Undang Dasar

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 84/PUU-XI/2013 Penyelenggaraan RUPS

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 80/PUU-XII/2014 Ketiadaan Pengembalian Bea Masuk Akibat Adanya Gugatan Perdata

2017, No Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 ten

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 62/PUU-XI/2013 Definisi Keuangan Negara dan Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan

PUTUSAN Nomor 77/PUU-IX/2011 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam menjalankan roda perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan kegiatan usaha

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PENGHAPUSAN PIUTANG NEGARA/DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perbankan. Sektor perbankan memiliki peran sangat vital antara lain sebagai

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 102/PUU-XV/2017 Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari kekayan negara yang dipisahkan, merupakan salah satu pelaku

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV PEMBAHASAN. A. Dasar hukum Majelis Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam. memutus putusan perkara nomor 05/KPPU-I/2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat yang sejahtera adil dan makmur berdasarkan Pancasila

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. satu jasa yang diberikan bank adalah kredit. sebagai lembaga penjamin simpanan masyarakat hingga mengatur masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS SISTEM KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. inovatif dalam mengembangkan dan memperoleh sumber-sumber dana. baru. Dengan liberalisasi perbankan tersebut, sektor perbankan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 98/PUU-XV/2017 Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian Bagi Aparatur Sipil Negara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional yang telah dilaksanakan selama ini telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam. Khusus mengenai pembangunan hukum, diarahkan untuk mendukung terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan; mengatur permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, terutama dunia usaha dan dunia industri; serta menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, terutama penegakan dan perlindungan hukum. 1 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku dalam perekonomian nasional telah merambah hampir pada semua sector usaha/industri, seperti: jasa keuangan (perbankan, asuransi), pertambangan, perikanan, perkebunan, perlistrikan, telekomunikasi transportasi, perdagangan, konstruksi, dan lain lain. Tujuan didirikannya BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 Pasal 2 Ayat (1) adalah mencari keuntungan, namun penjelasan Pasal 2 huruf b disebutkan meskipun pendirian BUMN adalah mencari keuntungan, dalam hal-hal tertentu untuk melakukan 2014 1 Buku III Rencana Pembangunan Jangka Menangah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-1

2 pelayanan umum, persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Sejalan dengan hal tersebut, kedudukan dan peranan BUMN harus ditata berdasarkan 3 bentuk: department goverment enterprise (Perjan), statutory public corporation (Perum), commercial companies (Persero) yang merupakan beberapa pelaku ekonomi nasional, disamping swasta dan koperasi. Untuk kebutuhan tersebut diperlukan sinkronisasi dari berbagai peraturan, seperti undang-undang BUMN, Perseroan terbatas, koperasi, penanaman modal dan pasar modal. 2 Berdasarkan data yang ada pada Kementerian BUMN jumlah BUMN sebanyak 141 perusahaan yang bergerak pada 18 sektor. 3 Terkait dengan pengelolaan BUMN, permasalahan dan tantangan dalam pembinaan dan pengawasanya adalah sebagai berikut: (a) masih terdapatnya ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan penafsiran yang berpengaruh terhadap kepastian hukum di bidang pengurusan, pengawasan, dan pembinaan BUMN; (b) kondisi ekonomi baik nasional, regional, maupun global yang sedang dalam tahap pemulihan; (c) persaingan usaha yang makin ketat; (d) pelaksanaan otonomi daerah yang sering tidak kondusif bagi pengembangan usaha; serta (e) pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance). 4 2 Ibrahim R., 2007, Landasan Filosofis Dan Yuridis Keberadaan BUMN: Sebuah Tinjauan, Vol. 26, hlm. 5 3 Website Kementerian BUMN, http://www.bumn.go.id/daftar-bumn 4 Buku II Rencana Pembangunan Jangka Menangah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014

3 Salah satu permasalahan dan tantangan dalam pembinaan dan pengawasan yang disebutkan dalam RPJM tahun 2010-2014 adalah masih terdapatnya ketidakharmonisan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan penafsiran yang berpengaruh terhadap kepastian hukum di bidang pengurusan, pengawasan, dan pembinaan BUMN. Dalam menjalankan usahanya BUMN baik yang bergerak di bidang perbankan maupun non perbankan tidak terlepas dari persoalan piutang bermasalah yang akhirnya piutang tersebut dinyatakan macet. BUMN dalam upaya penyelesaian piutang yang dinyatakan macet tunduk pada ketentuan terkait yang mengatur hal tersebut. Program penghapusan piutang terhadap kredit macet secara umum sudah lazim dilakukan oleh kalangan perbankan di seluruh dunia. Penghapusan kredit macet dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk menyiasati tingginya angka rasio NPL (Non Performing Loan) atau kredit bermasalah, karena tingginya angka rasio NPL dapat menurunkan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Meskipun tindakan semacam itu tergolong umum dan lazim, namun program penghapusan piutang terhadap kredit macet pada perbankan harus tetap mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu : UU Perbankan, UU Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia dan UU Perseroan Terbatas. Khusus untuk BUMN perbankan yang mayoritas sahamnya dipegang oleh negara/pemerintah, maka pelaksanaannya harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu : Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara,

4 Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Undang- Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006. Sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006, pengelolaan piutang BUMN masih banyak diatur oleh pemerintah sehingga dalam banyak hal terdapat tindakan yang dapat mempengaruhi kinerja BUMN. Dimana pengurusan piutang macet BUMN dilaksanakan oleh PUPN berdasarkan Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960. Dengan dasar hukum tersebut, PUPN bersama-sama DJKN melakukan penagihan dengan Surat Paksa dan upaya-upaya lainnya untuk mempercepat penyelesaian piutang macet tersebut antara lain melakukan pencegahan bepergian ke Luar Negeri, melakukan pemblokiran dan penyitaan harta kekayaan debitor, dan/atau melakukan paksa badan. 5 Paradigma penyelesaian piutang macet BUMN yang disamakan penyelesaiaannya dengan piutang negara telah berpengaruh terhadap efektifitas penyelesaian piutang macet dimaksud. Kenyataan inilah yang kemudian mendasari pemerintah secara bertahap memberikan kemandirian penuh kepada BUMN termasuk bank BUMN untuk mengelola usahanya secara mandiri sesuai mekanisme korporasi yang kemudian diimplementasikan oleh pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penghapusan Piutang 5 Media Kekayaan Negara, Zero Outstanding 2014, Edisi No. 05 Tahun II/2011, hlm. 6

5 Negara/Daerah guna mendorong kemandirian BUMN, termasuk bank BUMN agar dapat menyelesaikan piutang macet yang dimilikinya secara mandiri tanpa perlu melibatkan Panitia Penguruan Piutang Negara (PUPN). Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 Tahun 2006 merupakan revisi PP No. 14 Tahun 2005 yang berlaku sejak 6 Oktober 2006, mengatur pengurusan piutang BUMN (termasuk piutang bank BUMN) tidak lagi melibatkan Pemerintah (Menteri Keuangan cq PUPN) dan DPR, tetapi cukup ditangani oleh masing masing BUMN sesuai mekanisme korporasi yaitu setelah disahkan oleh RUPS sebagaimana diatur dalam Pasal 75-91 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta Pasal 14 UU No. 19 Tahun 2007 tentang BUMN beserta peraturan pelaksanaannya. Kondisi yang diharapkan dengan adanya peraturan tersebut adalah terciptanya suatu kepastian hukum dalam rangka optimalisasi upaya penanganan kredit bermasalah dan adanya level of playing field yang sama dengan bank-bank swasta, dalam penyelesaian NPL khususnya kewenangan untuk melakukan hapus tagih dan penjualan NPL. Tujuan utama dari PP No. 33 Tahun 2006 adalah untuk mendongkrak kinerja BUMN terutama di sektor perbankan karena dengan menghapuskan piutang macet pada perbankan akan memberikan dampak berganda (multiplier effect) mulai dari kenaikan nilai buku perusahaan hingga potensi peningkatan harga saham. Kemampuan penggalangan dana juga akan lebih besar, sehingga kemampuan kredit bisa meningkat. Namun seharusnya diikuti dengan peraturan lain yang mendukung upaya dimaksud baik dari Bank Indonesia

6 maupun Kementerian Keuangan untuk memaksimalkan dampak multiplier tersebut, terutama peraturan yang berkaitan dengan prosedur penghapusan piutang dalam penyelesaian kredit bermasalah yang saat ini semakin meningkat jumlahnya. Ketidakleluasaan bank BUMN melakukan penghapusan piutang dalam penyelesaian kredit macet mengakibatkan tingkat pengembalian aset bank BUMN menjadi rendah. Akibatnya kredit bermasalah pun semakin menumpuk, sementara itu bank-bank swasta dengan mudah dan leluasanya melakukan penghapusan buku kredit macet. Meskipun pemerintah sudah memberikan keleluasaan kepada pengurus BUMN untuk melakukan penghapusan piutang sampai saat ini tidak ada yang berani melakukan penghapusan piutang macet atau kredit macet karena PP No. 33 Tahun 2006 tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan dapat menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Perlu diketahui bahwa pengelolaan Piutang Negara dalam PP No. 14 Tahun 2005 masih menggunakan dasar hukum UU No. 49 Prp tahun 1960, UU No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 1 Tahun 2004. Selama ini, landasan hukum pengurusan Piutang Negara adalah Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Undang-Undang tersebut memuat materi yang sangat ringkas sehingga tidak paripurna memberikan landasan hukum dalam pengurusan Piutang Negara. Kelemahan tersebut pada gilirannya, menjadi penyebab Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi pada sistem kelembagaan negara, pengelolaan

7 keuangan pemerintahan Negara Republik Indonesia, dan perubahan paradigma di dalam masyarakat yang menuntut adanya perhatian atas hak asasi manusia, asas keadilan, kepastian hukum, pemulihan hak negara, serta asas transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaran negara. Berdasarkan Undang-Undang tersebut pengertian Piutang Perusahaan Negara masih dianggap sebagai bagian dari piutang negara sehingga pengelolaan piutang perusahaan negara/bumn masih harus melibatkan PUPN/DJKN/KP2LN. Dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 definisi piutang negara atau hutang kepada negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun. Dalam penjelasannya piutang negara sebagai hutang yang langsung terhutang kepada negara dan oleh karena itu harus dibayar kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah serta terhutang kepada badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki Negara, misalnya Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan Perbekalan Persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya. Ada perbedaan yang mendasar defenisi piutang negara pada Undang- Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004. Dalam undang-undang perbendaharaan negara, defenisi Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak

8 Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Dalam undang-undang perbendaharaan, piutang negara tidak termasuk dalam piutang yang dimiliki oleh Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara. Dalam penyelesaian piutang negara yang dilakukan oleh PUPN, khususnya piutang negara yang diserahkan oleh Bank-bank Negara dan Perusahaan Terbatas Negara, pada tahun 2011 sejumlah perusahaan (PT Sarana Apalindo Padang, PT Bumi Aspalindo Aceh, PT Medan Aspalindo, PT Perintis Aspalindo Curah, PT Karya Aspalindo Cirebon dan PT Sentra Aspalindo Riau) melakukan pengujian materiil kewenangan PUPN tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Adapun salah satu latar belakang adanya uji materiil ini dikarenakan adanya kepastian hukum yang tidak adil dan pelakuan yang tidak sama dihadapan hukum akibat adanya Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960 tentang PUPN, salah satu contohnya adalah para pemohon kehilangan haknya untuk memperoleh pemotongan hutang pokok dari Bank BUMN selaku kreditur, sedangkan jika nasabah dari Bank Swasta dapat menikmati pemotongan hutang pokok padahal sama-sama nasabah Bank yang bentuk Perseroan Terbatas. Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi menerangkan bahwa tugas PUPN dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp tahun 1960 mengenai pengawasan terhadap piutang-piutang yang telah dikeluarkan oleh badanbadan negara. Untuk itu terhadap ketentuan tersebut, telah mengalami

9 tumpang tindih dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Termasuk juga tumpang tindih juga terhadap Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Berdasarkan hal-hal tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa: 1. Frasa atau badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini, dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Frasa badan-badan negara dalam Pasal 4 ayat (4) Undang-undang Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 3. Frasa atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat 4. Frasa atau badan-badan negara dalam Pasal 12 ayat (1) Undang- Undang Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan adanya keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi yang bersifat final ini, maka memberikan akibat hukum yang mengikat semua pihak. Akibat hukumnya antara lain adalah bahwa frasa

10 badan-badan yang terdapat Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang PUPN bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya bahwa seluruh piutang negara yang telah diserahkan oleh badan-badan kepada PUPN tidak dapat lagi penyelesainnya dilakukan oleh PUPN. Dengan demikian berarti seluruh piutang negara yang sudah diserahkan ke PUPN harus dikembalikan kepada pihak yang telah menyerahkannya. Selanjutnya penyelesaian piutang tersebut menggunakan mekanisme yang berlaku dalam pasar sesuai dengan undang-undang. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana efek/dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011 terhadap penanganan perkara penyelesaian piutang perbankan BUMN? 2. Bagaimana penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011? C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011 sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti, akan tetapi pernah ada penelitian yang serupa, yaitu:

11 1. Tesis yang ditulis oleh Fairuz 6 pada tahun 2009 yang berjudul ANALISIS YURIDIS PENYELESAIAN KREDIT MACET PADA BANK BUMN KAITANNYA DENGAN KEKAYAAN NEGARA YANG DIPISAHKAN (Studi Kasus Di PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk) yang merupakan penelitian Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada Kelas Jakarta dimana yang menjadi perumusan masalahnya adalah mengapa piutang dari kredit macet pada Bank BRI sebagai perusahaan perseroan dapat dikategorikan sebagai piutang negara, apakah Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan kredit macet pada Bank BRI sebagai perusahaan perseroan, serta bagaimana seharusnya menurut hukum penyelesaian kredit macet pada Bank BRI sebagai perusahaan perseroan. 2. Tesis yang ditulis oleh Budi 7 pada tahun 2010 yang berjudul, ANALISIS YURIDIS TANGGUNG JAWAB DIREKSI PT BANK MANDIRI (PERSERO) TBK DALAM PENYALURAN KREDIT SEBAGAI RISIKO BISNIS (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1145K/Pid/2006) yang merupakan penelitian Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada Kelas Jakarta dimana yang menjadi perumusan masalahnya adalah sejauh mana tanggung jawab direksi atas keputusan penyaluran kredit, mengapa kredit macet Bank Mandiri yang berpotensi merugikan pihak 6 Fairuz, 2009, Analisis Yuridis Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank BUMN Kaitannya Dengan Kekayaan Negara Yang Dipisahkan (Studi Kasus Di PT. Bank Rakyat Indonesia Tbk), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Kelas Jakarta 7 Budi, Analisis Yuridis Tanggung Jawab Direksi PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dalam Penyaluran Kredit Sebagai Risiko Bisnis (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1145K/Pid/2006), Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Kelas Jakarta

12 bank dikategorikan sebagai merugikan keuangan negara, bukan sebagai risiko bisnis, serta bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap direksi dalam hal terjadi kerugian akibat adanya kredit macet 3. Tesis yang ditulis oleh Lupita 8 pada tahun 2010 yang berjudul, PENYELESAIAN KREDIT MACET DENGAN JAMINAN FIDUSIA DI BANK BRI CABANG KATAMSO YOGYAKARTA yang merupakan penelitian Tesis S-2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada dimana yang menjadi perumusan masalahnya adalah bagaimana cara penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia di Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta, bagaimana upaya Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta terhadap terjadinya pelanggaran undang-undang fidusia dalam hal debitur menjual benda jaminan kepada pihak lain, serta bagaimana peran notaris dalam pengikatan jaminan fidusia di BRI Cabang Katamso Yogyakarta. Berbeda dengan kedua hasil penelitian tersebut di atas, yaitu penelitian pertama lebih memfokuskan pada penyelesaian kredit macet. Penelitian kedua lebih memfokuskan pada tanggung jawab direksi dalam penyaluran kredit. Penelitian ketiga lebih memfokuskan pada penyelesaian kredit macet dengan jaminan fidusia Sedangkan penelitian yang penulis lakukan lebih memfokuskan pada penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penelitian ini adalah penelitian asli. 8 Lupita, 2010, Penyelesaian Kredit Macet Dengan Jaminan Fidusia Di Bank BRI Cabang Katamso Yogyakarta, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

13 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum kenotariatan yang terkait dengan penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak yang terkait penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011. E. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan mengkaji efek/dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011 terhadap penanganan perkara penyelesaian piutang perbankan BUMN 2. Untuk mengetahui dan mengkaji penyelesaian piutang perbankan BUMN pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77 Tahun 2011