BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perubahan konsep pelayanan dalam suatu rumah sakit sebagai instansi yang bergerak di bidang jasa pelayanan kesehatan masyarakat, salah satunya adalah pergeseran orientasi dari semula hanya berorientasi sosial, menjadi berfokus pada orientasi pelanggan (Mukti, Hamzah, Nyorong, 2013). Sebagai instansi yang berorientasi pada pelanggan (consumeroriented), suatu rumah sakit harus mampu bersaing dengan rumah sakit lain untuk tetap dapat mempertahankan pertumbuhan jumlah pelanggan yang mengunjungi rumah sakit tersebut setiap tahunnya. Dewasa ini, pelanggan suatu rumah sakit, bukan hanya pasien yang berkunjung dengan tujuan untuk mendapatkan fasilitas pengobatan atau penanganan medis. Rumah sakit yang memiliki fungsi tambahan sebagai rumah sakit pendidikan, tidak hanya bertugas memfasilitasi pasien sebagai pelanggan yang ingin mendapatkan pelayanan medis atau pengobatan, namun juga pengguna yang berkepentingan untuk melakukan praktik keprofesian atau penelitian. Oleh sebab itu, sebagai lembaga yang berorientasi pada pelanggan, suatu rumah sakit diharapkan dapat mempertahankan jumlah pelanggan baik pasien maupun orang dengan kepentingan praktik keprofesian atau penelitian dari tahun ke tahun. Sumber daya manusia merupakan aset terpenting dalam suatu organisasi karena perannya sebagai penggerak sumber daya lainnya (Buwono, Steven, Nugroho, 2014). Sumber daya manusia merupakan modal intelektual (intellectual capital) yang dimiliki oleh suatu rumah sakit sebagai organisasi. Sumber daya manusia di suatu rumah sakit sebagai modal intelektual yang dimiliki oleh suatu organisasi, berperan dalam membantu proses pencapaian tujuan organisasi. Peranan sumber daya manusia sebagai modal 1
2 intelektual dalam membantu proses pencapaian tujuan organisasi terletak pada kapasitas mereka yang ditunjukkan dengan ide-ide berkualitas, informasi, pengetahuan, keahlian, serta komitmen yang mereka miliki. Modal intelektual organisasi yang dikelola dengan baik dapat meningkatkan aset secara signifikan, baik berupa profit, kinerja, kepuasan kerja, kepuasan pelanggan, maupun pihak-pihak yang berkepentingan dalam suatu organisasi (Hendriani, 2011). Rumah sakit merupakan organisasi yang padat sumber daya manusia (Sumarni, 2011). Peraturan Menteri Kesehatan nomor 56 Tahun 2014 menyebutkan bahwa sumber daya manusia dalam suatu rumah sakit tentunya merupakan syarat berdirinya suatu rumah sakit. Sumber daya manusia yang harus ada agar memenuhi syarat terbentuknya suatu rumah sakit meliputi tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan lain, dan tenaga non-kesehatan. Keberadaan sumber daya manusia dalam suatu rumah sakit, disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan rumah sakit (Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009). Sumber daya manusia di suatu rumah sakit, dalam praktik pelayanannya tidak hanya menitikberatkan pada pasien sebagai pelanggannya, namun juga pada orang-orang yang membutuhkan keberadaan suatu rumah sakit untuk kepentingan lain, seperti: praktik pendidikan profesi, penelitian, atau kepentingan yang lain. Hal tersebut merupakan ciri suatu rumah sakit pendidikan sebagai instansi yang memiliki keberagaman sumber daya manusia melebihi rumah sakit yang hanya berfokus pada pasien sebagai pelanggan. Semakin banyak keberagaman sumber daya manusia dalam suatu rumah sakit, kompleksitas pengelolaan sumber daya manusianya tentu semakin kompleks (Sumarni, 2011). Oleh karena itu, kajian tentang pengelolaan sumber daya manusia dalam suatu rumah sakit pendidikan menjadi menarik karena kompleksitas yang ada di dalamnya.
3 Keberagaman sumber daya manusia yang dibutuhkan suatu rumah sakit dibandingkan dengan organisasi lain merupakan sebuah kompleksitas dan kekhususan tersendiri. Kompleksitas dan kekhususan dalam mengelola sumber daya manusia di suatu rumah sakit terletak pada pentingnya membangun interaksi yang baik antara tenaga medis (medical staff), manajemen (Administrator/Chief Executive Officer), dan governing body. Interaksi timbal-balik yang suportif antar sumber daya manusia rumah sakit dapat mempermudah terwujudnya tujuan rumah sakit dalam menjalankan fungsinya guna melayani pelanggan baik pasien yang berobat, pengguna fasilitas praktik profesi, penelitian, maupun kepentingan lainnya. Salah satu kunci dalam tercapainya visi, misi, dan tujuan organisasi adalah dengan adanya dukungan dari sumber daya manusia yang berkomitmen tinggi terhadap organisasi (Hendriani, 2011). Karyawan yang berkomitmen tinggi terhadap organisasi tempat mereka bekerja, dapat membantu kelangsungan hidup suatu organisasi. Bahkan, beberapa organisasi memasukkan komitmen organisasi sebagai syarat untuk mengemban tugas dalam suatu jabatan (Trihapsari & Nashori, 2011). Kajian tentang komitmen organisasi merupakan komponen penting dalam mempelajari perilaku pegawai dalam suatu organisasi karena berpengaruh terhadap sikap dan perilaku pegawai saat bekerja. Pegawai yang berkomitmen terhadap organisasi dapat membantu proses peningkatan efektivitas pencapaian tujuan organisasi. Komitmen Organisasi adalah perilaku pegawai berupa identifikasi dan keterlibatan diri terhadap organisasi (Luthans, 2011). Mowday. Porter, dan Steers (Miner, 1992) mengelompokkan ciri-ciri individu dengan komitmen organisasi, yaitu: percaya dan menerima nilai-nilai dan tujuan organisasi, bersedia berusaha melakukan yang terbaik demi kepentingan organisasi, dan memilih untuk bertahan sebagai anggota suatu organisasi.
4 Meyers dan Allen (1997) membedakan komitmen organisasi menjadi tiga komponen, yaitu : komitmen afektif, komitmen normatif, dan komitmen berkelanjutan. Komitmen afektif (affective commitment) adalah kesediaan pegawai untuk bertahan, peduli, dan rela memberikan usaha lebih untuk organisasi tempatnya bekerja. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) adalah kesediaan pegawai untuk bertahan karena pertimbangan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan lain atau pengorbanan usaha, waktu, dan biaya yang tinggi untuk dapat diterima bekerja dalam suatu organisasi. Komitmen normatif (normative commitment) adalah keinginan pegawai untuk bertahan dalam suatu organisasi karena kepatuhan terhadap organisasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya komitmen pegawai terhadap organisasi adalah kepuasan kerja. Anoraga (1992) dalam Handayani (2014) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap positif menyangkut penyesuaian diri yang sehat dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja di dalamnya, yang meliputi: upah, kondisi sosial, kondisi fisik, dan kondisi psikologis. Individu dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan menunjukkan sikap positif, sebaliknya individu yang merasa kurang puas dengan pekerjaannya akan menunjukkan sikap negatif (Robbins, 2003). Kepuasan kerja dianggap mempengaruhi jalannya organisasi secara keseluruhan (Sijabat, 2011). Kepuasan kerja karyawan juga dapat membantu peningkatan efisiensi dan produktivitas organisasi bisnis (Akpinar, 2007). Karyawan yang merasa puas dengan pekerjaan yang mereka jalani menjadi tidak mudah frustrasi dan lebih memilih untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu organisasi, lebih sehat dan berumur panjang, serta memberikan dampak positif pada berbagai aspek kehidupan, baik di tempat kerja, kehidupan sosial, dan kehidupan keluarga (Allahyari, 2013; dalam Ravindranath, Joy, dan Thomas, 2014).
5 Kepuasan kerja dan komitmen organisasi merupakan minat utama dalam mempelajari sikap manusia pada lingkup perilaku organisasi dan praktik pengelolaan sumber daya manusia. Kepuasan kerja berfokus pada hubungan antara pegawai dengan pekerjaannya, sedangkan komitmen organisasi berfokus pada hubungan antara pegawai dengan organisasi tempat mereka bekerja (Luthans, 2011). Penelitian Ravindranath, Joy, dan Thomas (2014) yang dilakukan terhadap perawat di sebuah rumah sakit di India yang mengkaji mengenai hubungan antara kepuasan kerja dengan komitmen afektif, berkelanjutan, maupun normatif menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa karyawan yang merasa puas dengan pekerjaan yang mereka jalani, menunjukkan komitmen terhadap organisasi karena adanya rasa cinta dan ikatan emosional terhadap organisasi. Kepuasan karyawan terhadap pekerjaan yang mereka jalani juga berdampak terhadap komitmen karyawan sebagai bentuk pertimbangan keuntungan dan kerugian jika meninggalkan organisasi tempat mereka bekerja. Selain itu, kepuasan karyawan terhadap pekerjaan yang sedang mereka jalani juga berdampak terhadap keinginan karyawan untuk mempertahankan keanggotaan dalam suatu organisasi sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap atasan yang sudah mempekerjakan dan menggaji mereka. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berfokus untuk membahas hubungan antara sikap karyawan terhadap pekerjaannya sebagai bentuk kepuasan kerja dengan keinginan karyawan untuk mempertahankan keanggotaannya dalam suatu organisasi.
6 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepuasan pegawai terhadap pekerjaan yang dijalani dengan komitmen pegawai terhadap organisasi. Komitmen pegawai terhadap organisasi dilihat dari komponen afektif, berkelanjutan, dan normatif. C. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Menambah khasanah pengetahuan di bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai hubungan antara kepuasan terhadap pekerjaan yang sedang dijalani dengan komitmen karyawan terhadap organisasi, khususnya dalam rumah sakit yang berperan sebagai rumah sakit pendidikan. Komponen-komponen dalam komitmen organisasi tersebut meliputi: komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif. b. Manfaat Praktis 1. Memberikan informasi kepada pihak pengelola rumah sakit mengenai ada tidaknya hubungan antara kepuasan pegawai terhadap pekerjaan yang dijalani dengan komitmen mereka terhadap organisasi. Komitmen pegawai terhadap organisasi yang akan ditinjau meliputi : komitmen afektif, komitmen berkelanjutan, dan komitmen normatif; 2. Memberikan masukan kepada pihak pengelola rumah sakit untuk memberlakukan pemeliharaan karyawan (employee retention) yang baik, terkait kepuasan kerja dan komitmen organisasi dari pegawai.