Politik Pencitraan - Pencitraan Politik Edisi 2, oleh Prof. Dr. Anwar Arifin Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-4462135; 0274-882262; Fax: 0274-4462136 E-mail: info@grahailmu.co.id Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memper banyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. ISBN: 978-602-262-130-0 Cetakan ke I, tahun 2014
* Tidak melakukan pencitraan sesunguhnya adalah pencitraan, karena pencitraan itu bersifat serbahadir dan multiragam serta melekat secara kodrati dalam kehidupan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. *** Strategi pencitraan politik adalah keseluruhan keputusan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan saat ini, guna mencapai tujuan politik di masa depan. *
KATA PENGANTAR Politik pencitraan dalam perspektif politik sangat diperlukan terutama karena adanya persaingan yang seru dalam memperebutkan kekuasaan. Politik pencitraan dalam perspektif komunikasi juga harus dilaksanakan, karena khalayak itu keras kepala dan memiliki daya saring (filter konseptual) yang dapat menjelma menjadi daya tangkal. (Anwar Arifin) Politik pencitraan (imaging policy) atau pencitraan politik (political imaging), berkembang di Indonesia, sejalan dengan perkembangan demokrasi, terutama pada masa awal pelaksanaan pemilihan langsung presiden tahun 2004, sebagai buah reformasi tahun 1998. Perkembangan itu telah berlangsung hampir satu dekade dengan segala dampak dan implikasi sosial politiknya bagi bangsa Indonesia. Sistem politik demokrasi yang diterapkan pasca Orde Baru itu, memang bukanlah produk asli Indonesia melainkan di impor dari Barat terutama dari Amerika Serikat dengan meniru cara dan model komunikasi politik dalam upaya memperoleh atau merebut kekuasaan melalui pemilihan umum. Hal itu telah memdorong berkembangnya politik pencitraan dan pencitraan politik sebagai sasaran pemasaran politik, public relations politik, dan atau kampanye politik dengan tujuan untuk memperoleh dukungan opini publik. Sejalan dengan
viii Anwar Arifin -- Politik Pencitraan - Pencitraan Politik itu penggunaan iklan politik sebagai bagian dari politik pencitraan atau pencitraan politik, dipandang sangat strategis, meskipun harus dibarengi dengan biaya politik yang sangat mahal. Secara historis disebutkan bahwa urgensi politik pencitraan atau pencitraan politik, maju dan berkembang di negara-negara yang menganut budaya politik orang mencari kekuasaan dimana para politikus memperebutkan kekuasaan terutama dalam pemilihan umum berdasarkan suara terbanyak. Hal itu dipandang sebagai salah satu unsur penting dalam sistem politik demokrasi, terutama yang bersumber dari ideologi libertarian. Sebaliknya politik pencitraan tidak terlalu berkembang di negara-negara yang menganut ideologi otoritarian, karena kekuasaan pada dasarnya tidak diperebutkan. Demikian juga politik pencitraan tidak begitu berkembang di negara - negara yang menganut ideologi komunis, yang mengembangkan budaya politik kekuasaan mencari orang. Hal itu dilakukan oleh satu lembaga yang disebut Politbiro dalam Partai Komunis yang sangat berperanan selaku satu-satunya partai politik (partai tunggal). Di negara komunis dianut sistem politik demokrasi rakyat atau demokrasi nasional, sebagai bentuk khusus demokrasi yang memenuhi fungsi diktator proletariat untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat. Budaya politik kekuasaan mencari orang, juga pernah terjadi di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru, dengan Golongan Karya (Golkar) selaku organisasi politik yang memiliki peran dominan, sebagai mayoritas tunggal dalam DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Pada masa itu Indonesia menerapkan model birokratik - teknokratik dalam sistem politik Demokrasi Pancasila yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat, sehingga politik pencitraan tidak terlalu berkembang. Pada masa itu tidak dikenal adanya pemilihan langsung presiden, karena presiden dipilih dan ditetapkan oleh MPR. Sedang anggota DPR dipilih dalam pemilu yang menggunakan sistem proposional tertutup, sehingga yang dipilih oleh rakyat adalah tanda gambar partai politik.
Kata Pengantar ix Tak dapat disangkal bahwa sejak akhir abad ke-20 hingga kini, ideologi libertarian yang diaplikasikan dalam bentuk liberalisasi ekonomi dan liberalisasi politik, telah melanda banyak negara di dunia, termasuk Indonesia yang menganut ideologi Pancasila. Sejalan dengan itu liberalisasi politik dengan kemasan demokratisasi politik yang bukan produk asli Indonesia itu, telah mendorong juga lahirnya persaingan bebas rakyat (politikus) dalam memperoleh atau memperebutkan kekuasaan. Hal itu dilakukan dalam pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara ter banyak setiap kandidat anggota legislatif. Demikian juga presiden, gubernur, dan bupati/walikota dipilih secara langsung berdasarkan suara terbanyak. Persaingan bebas tersebut membuat pentingnya politik pencitraan atau pencitraan politik, yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk menghalalkan perang iklan politik dalam berbagai media komunikasi. Para politikus menyadari betul bahwa dalam sistem pemilihan umum berdasarkan suara terbanyak yang diimpor dari Barat, terutama dari Amerika Serikat itu, telah membuat citra politik menjadi sangat penting, karena dapat mengalahkan mesin politik. Janji janji politik yang dikemas dalam bentuk iklan politik misalnya, melalui berbagai media merupakan salah satu bentuk politik pencitraan yang strategis. Hal itu telah membuat juga biaya politik menjadi sangat mahal terutama bagi Indonesia yang masih 40 % dari sekitar 238 juta jiwa penduduknya masih belum sejahtera. Model Amerika yang dimodifikasi itu, merupakan eksprimen politik yang penuh resiko bagi Indonesia. Hal itu telah menuai banyak kritik dari berbagai pihak sebagai kegiatan yang tidak relevan dengan budaya politik Indonesia yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Amerikanisasi itu dipandang juga bersifat ahistoris dan tidak kontesktual terutama penerapannya dalam kampanye politik pemilu (pemilihan umum).
x Anwar Arifin -- Politik Pencitraan - Pencitraan Politik Indonesia adalah negara besar dan kompleks yang terdiri atas 13.466 pulau dari Sabang sampai Merauke dengan luas mencapai 1.904.569 kilometer bujur sangkar yang didiami oleh sekitar 238 juta jiwa penduduk yang terdiri atas 397 suku bangsa yang menggunakan sekitar 215 bahasa dan beberapa agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghocu. Persebaran dan kepadatan penduduk dan kondisi sosial ekonomi setiap pulau, juga berbeda-beda satu dengan lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (plural societies) dan bersifat multikultural. Kondisi geografi, demografi, sosial, kultural, dan ekonomi Indonesia tersebut, niscaya sangat rentang terjadinya berbagai implikasi dan komplikasi dalam berbagai bentuk oleh penetrasi model Barat yang liberalis-kapitalis itu. Hal itu telah mulai terlihat dari berberbagai fenomena yang muncul dalam masyarakat, terutama pada besarnya biaya politik, termasuk pencitraan politik, yang dicurigai sebagai sumber terjadinya perilaku koruptif dikalangan sejumlah politikus. Sejarah menunjukkan bahwa urgensi politik pencitraan dan pencitraan politik di negara liberal-kapitalis yang telah diadopsi oleh banyak negara, sesungguhnya diawali oleh seruan Alquin, vox populi, vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) pada akhir abad ke-18, sejalan dengan berkembangnya kemerdekaan berserikat dan menyatakan pikiran di depan umum, sebagai salah satu elemen penting dalam liberalisasi politik. Suara rakyat yang dimaksud itu tidak lain dari pendapat umum atau opini publik (public opinion) yang disebut sebagai sebuah kekuatan politik yang sangat penting. Opini publik itu terbangun melalui citra politik, yang terwujud sebagai konsekuensi kognitif dan afektif komunikasi politik. Citra politik itu dapat dibentuk, dibangun, dibina, dan diperkuat dengan melakukan politik pencitraan (imaging politics) atau pencitraan politik (political imaging). Meskipun demikian pencitraan politik tidak mudah dilakukan, karena khalayak itu memiliki daya tangkal akan semua pengaruh yang berasal dari luar dirinya. Hal itu justru semakin