BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggorengan merupakan salah satu metode tertua dan paling umum dalam teknik persiapan makanan. Penggorengan dengan minyak atau lemak lebih banyak dipilih sebagai cara pengolahan makanan karena mampu meningkatkan citarasa dan tekstur bahan pangan yang spesifik sehingga bahan pangan menjadi kenyal dan renyah dengan warna yang diinginkan. Hal tersebut membuat produk pangan yang diolah dengan cara digoreng sangat digemari, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia. Penggorengan dilakukan dengan memasukkan makanan dalam minyak panas dengan kontak antara minyak, udara, dan makanan pada suhu 150 0 C hingga 190 0 C. Minyak goreng bertindak sebagai media perpindahan panas dan berkontribusi terhadap tekstur dan rasa makanan yang digoreng. Terjadinya perpindahan panas dan massa minyak, makanan, dan udara selama penggorengan menghasilkan kualitas yang diinginkan dari makanan yang digoreng. Namun perubahan positif pada produk yang digoreng ternyata disertai dengan beberapa perubahan yang tidak diinginkan pada media penggoreng. Selama penggorengan terjadi reaksi oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi sehingga perubahan fisik dan kimia dalam minyak dapat terjadi. Reaksi oksidasi minyak telah diidentifikasi sebagai faktor terpenting yang mempengaruhi mutu minyak goreng, dan adanya oksigen menjadi faktor utama pemacu terjadinya degradasi oksidatif minyak selama penggorengan (Gupta, 2004; Fujisaki et al., 2000). 1
Produk pangan yang digoreng menyerap minyak dalam jumlah yang bervariasi, yaitu 5-10% pada kentang goreng, 15-20% pada daging ayam/ikan berbumbu atau berbalut tepung, 35-40% pada keripik kentang, dan 15-20% pada donat (Elisabeth, 2012). Produk pangan yang digoreng juga menyerap minyak yang telah mengalami oksidasi, hidrolisis, dan polimerisasi selama penggorengan, sehingga memberikan kontribusi cukup besar terhadap perubahan kualitas dari produk pangan tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut telah dilakukan beberapa perlakuan, misalnya dengan penambahan antioksidan baik alami maupun sintetis. Penelitianpenelitian sebelumnya telah melakukan penambahan zat antioksidan sintetis, seperti butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), lauryl tert butylated hydroquinone (LTBHQ), tert butylated hydroquinone (TBHQ), dan galat ke dalam minyak goreng (Blumenthal, 1991; Che Man and Tan, 1999; Zhang et al., 2004), namun masalah-masalah kesehatan akibat zat-zat sintesis tersebut telah meningkat sehingga penggunaannya perlu untuk dibatasi. Di sisi yang lain, banyak penelitian melaporkan penggunaan antioksidan organik untuk diaplikasikan ke dalam makanan misalnya penambahan sesamoil (Chung et al., 2006), asam sitrat alami (Warner and Gehring, 2009), serta ekstrak daun hazelnut dan zaitun (Aydenis and Yilmaz, 2012). Permasalahan selanjutnya yang muncul dalam penggunaan antioksidan sintetis adalah efek perlindungan yang diberikan hanya efektif di bawah suhu penggorengan. Apabila digunakan di atas 150 0 C, antioksidan tersebut menjadi kehilangan fungsinya. Hawrysh et al. (1990) melaporkan bahwa BHA, BHT, dan 2
TBHQ menguap selama penggorengan dan tidak efektif dalam mempertahankan stabilitas oksidatif pada minyak goreng. Mohamed and Nor (2011) dalam patennya yang bernomor US2011/0033601 A1 melaporkan bahwa penambahan ekstrak dari bagian tumbuhan Rutaceae mampu mempertahankan kualitas minyak goreng yang digunakan. Salah satu tanaman dari famili Rutaceae adalah jeruk. Produksi jeruk di Indonesia yang mencapai 1.818.949 ton selama tahun 2011 (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa buah ini tersedia melimpah sehingga sangat berpotensi sebagai bioaktif alami untuk stabilisasi minyak goreng. Keberadaan air dalam minyak goreng selama ini diasumsikan hanya menimbulkan dampak negatif bagi kualitas minyak goreng. Fakta lain menunjukkan bahwa ternyata keberadaan air mampu memperbaiki stabilitas media penggorengan dan meningkatkan kualitas dari produk pangan yang digoreng. Gertz (2003) menunjukkan bahwa penambahan fase air dalam emulsi mampu menahan pembentukan senyawa polar, meningkatkan stabilitas oksidatif, dan mengurangi penyerapan minyak goreng pada french fries. Stabilisasi minyak goreng diduga dapat dilakukan dengan menambahkan fase air menggunakan sistem pembawa berupa mikroemulsi air dalam minyak (water in oil, W/O). Mikroemulsi merupakan sistem termodinamika stabil yang terbentuk secara spontan dengan ukuran droplet yang sangat kecil (r<25nm), sehingga kenampakannya cenderung transparan atau translucent (Graves and Mason, 2008). Dengan ukuran yang sangat kecil droplet air dapat tersebar merata sehingga efek penambahan komponen larut air dari jeruk akan lebih efektif. Penambahan ekstrak larut air dari kulit jeruk ke dalam minyak goreng melalui 3
mikroemulsi diharapkan semakin memperkuat efek stabilisasi terhadap minyak goreng. B. Rumusan Masalah Kerusakan minyak selama penggorengan merupakan hal yang harus dicegah karena menimbulkan dampak yang buruk terhadap kualitas minyak goreng dan kualitas produk pangan yang digoreng. Komponen-komponen hasil dekomposisi minyak goreng akan mengurangi umur pemakaian minyak dan dampak yang paling parah adalah apabila terserap ke dalam produk pangan. Penyelesaian masalah ini akan dilakukan dengan memasukkan ekstrak larut air dari kulit jeruk ke dalam minyak kelapa menggunakan mikroemulsi W/O dengan kombinasi surfaktan food grade. Permasalahan yang dihadapi di dalam penelitian ini adalah : 1. Berapa banyak senyawa fenolik yang bisa diekstrak dari kulit jeruk menggunakan air mendidih? 2. Berapa banyak ekstrak kulit jeruk yang dapat ditambahkan ke dalam mikroemulsi W/O? 3. Bagaimana efektivitas penambahan mikroemulsi W/O yang mengandung ekstrak kulit jeruk dalam memperbaiki stabilitas minyak kelapa? C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempertahankan stabilitas minyak kelapa selama penggorengan menggunakan mikroemulsi W/O yang mengandung ekstrak larut air dari kulit jeruk. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 4
1. Mendapatkan dan menentukan jumlah komponen fenolik dari ekstrak larut air kulit jeruk. 2. Mendapatkan mikroemulsi W/O yang stabil dan mengetahui kemampuan mikroemulsi W/O untuk membawa ekstrak kulit jeruk. 3. Mengetahui efektivitas mikroemulsi W/O yang mengandung ekstrak kulit jeruk dalam menghambat kerusakan minyak kelapa selama penggorengan, dibandingkan dengan Butylated Hydroxyanisole (BHA). D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terkait dengan usaha untuk memperpanjang umur pemakaian minyak goreng menggunakan komponen larut air dari ekstrak kulit jeruk. Selain itu penggunaan kulit jeruk sebagai komponen bioaktif juga mampu menjadi alternatif untuk mengatasi masalah limbah dari industri jeruk yang selama ini tidak dimanfaatkan dengan maksimal. Akhirnya, hasil penelitian ini akan membantu menyelesaikan masalah penggunaan antioksidan sintetis yang berpotensi menimbulkan bahaya kesehatan masyarakat. 5