Kembalinya Wabah Belalang di Sumba, Indonesia: Sebuah Analisis Situasi Cepat

dokumen-dokumen yang mirip
BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTAN (Studi Kasus di Desa Mio dan Desa Boentuka Kabupaten Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur)

BUDAYA MASYARAKAT DAN KEBAKARAN HUTA

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

Bab Satu Pendahuluan Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

H. Sudarsono: Hama belalang kembara (Locusta migratoria manilensis) di Provinsi Lampung 53

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Tetap 2013 dan Angka Ramalan I 2014)

Geografi KEARIFAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM I. K e l a s. Kurikulum 2013

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

Versi ke 3 akan diluncurkan tahun 2013

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

EFEKTIVITAS KREDIT KETAHANAN PANGAN (KKP) DALAM UPAYA PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DI KECAMATAN KUPANG TIMUR, KABUPATEN KUPANG TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Proyeksi Populasi Sapi dan Nasional

STABILISASI HARGA PANGAN

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2013)

BAB I PENDAHULUAN. secara signifikan yang pada akhirnya menimbulkan dampak dampak negatif

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Ramalan II 2015)

WALIKOTA BATU PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PENGADAAN, PENGELOLAAN, DAN PENYALURAN CADANGAN PANGAN

PEDOMAN TEKNIS KRITERIA DAN PERSYARATAN KAWASAN, LAHAN, DAN LAHAN CADANGAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

STATISTIK DAERAH KECAMATAN AIR DIKIT.

PENGEMBANGAN LABORATORIUM LAPANGAN INOVASI PERTANIAN (LLIP) KAWASAN PERBATASAN RI-RDTL PROVINSI NTT

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

[Sabu yang Lestari] Cabrejou Foundation

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014)

A. Usaha pertanian dipengaruhi oleh kondisi lingkungan:

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

LAPORAN AKHIR. Edi Basuno Ikin Sadikin Dewa Ketut Sadra Swastika

Ketika Negara Gagal Mengatasi Asap. Oleh: Adinda Tenriangke Muchtar

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

BALAI BESAR LITBANG SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Sementara Tahun 2015)

Memperkuat Kapasitas Kelembagaan PemerintahDaerah untuk Mengintegrasikan Adaptasi Perubahan Iklim dalam Rencana Pembangunan Daerah

PEMANFAATAN DATA SIDIK DALAM PENETAPAN LOKASI DAN AKSI PRIORITAS ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Ekologi Padang Alang-alang

BAB I PENDAHULUAN. hortikultura,dan 12,77 juta rumah tangga dalam perkebunan. Indonesia

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR 109 TAHUN 2016 TENTANG

DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN.5 2. MENGENAL LEBIH DEKAT MENGENAI BENCANA.8 5W 1H BENCANA.10 MENGENAL POTENSI BENCANA INDONESIA.39 KLASIFIKASI BENCANA.

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

PENDAHULUAN Latar Belakang

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Strategis Kementerian Pertanian tahun adalah meningkatkan

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang terletak di daerah tropis

I. PENDAHULUAN. rakyat secara merata dan adil, penyediaan pangan dan gizi yang cukup memadai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pembangunan pertanian dan sebagai makanan utama sebagian besar masyarakat

Moch Taufiq Ismail_ _Agroekoteknologi_2013

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

VI RISIKO PRODUKSI SAYURAN ORGANIK

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah diperkirakan masuk ke Indonesia antara tahun Namun

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI BULUKUMBA NOMOR : 15 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan

KEADAAN UMUM LOKASI. Tabel 7. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW, RT, dan KK di Kabupaten Jepara Tahun Desa/ Kelurahan

I. PENDAHULUAN. terhadap iklim secara langsung maupun tidak langsung akibat aktivitas manusia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN PERTANIAN. Budidaya. Izin Usaha.

Oleh : Sri Wilarso Budi R

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Kewenangan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Keadaan Umum Kabupaten Lampung Selatan. Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105.

PENDAHULUAN. Latar Belakang

ADAPTASI DAN MITIGASI FENOMENA EL NIÑO DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

ANALISIS TIME SERIES TERHADAP PENGELOLAAN SUT KACANG HIJAU BELU (klon berhipokotil Putih) DI LAHAN KERING SETELAH PANEN JAGUNG

HASIL PENCACAHAN LENGKAP SENSUS PERTANIAN 2013 DAN SURVEI PENDAPATAN RUMAH TANGGA USAHA PERTANIAN 2013

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (Angka Sementara Tahun 2014)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Komoditas Caisin ( Brassica rapa cv. caisin)

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan

Transkripsi:

ISSN 2339-0638 Kembalinya Wabah Belalang di Sumba, Indonesia: Sebuah Analisis Situasi Cepat Jonatan A. Lassa (Senior Lecturer, Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University, Australia; Senior Fellow at Institute of Resource Governance and Social Change, Indonesia) Maddi Djara (Penerjemah ke Bahasa Indonesia) June 2017 Kutipan: Lassa, JA. 2017. Kembalinya Wabah Hama Belalang di Sumba, Indonesia: Sebuah Analisis Situasi Cepat, Kertas Kerja #17, Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kertas Kerja IRGSC No. 17 www.irgsc.org/publication[issn 2339-0638] Tulisan ini disajikan di sini untuk meminta pendapat untuk perbaikan. Pandangan yang diutarakan dalam Kertas Kerja IRGSC adalah pandangan penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan Institute of Resource Governance and Social Change. Kertas Kerja ini belum melewati tinjauan dan persetujuan akademis formal. Tulisan-tulisan ditampilkan dalam rangkaian ini untuk mendapatkan umpan balik serta mendorong perdebatan tentang tantangan kebijakan public tentang pembangunan dan sumber daya yang berisiko. Hak cipta dipegang oleh (para) penulis. Tulisan hanya dapat diunduh untuk kepentingan pembelajaran dan penelitian.

Kembalinya Wabah Belalang di Sumba, Indonesia: A Rapid Situational Analysis Jonatan A. Lassa 1,2 1 Senior Lecturer, Emergency and Disaster Management, Charles Darwin University, Australia 2 Senior Fellow at Institute of Resource Governance and Social Change, Indonesia Maddi Djara 3 3 Penerjemah ke Bahasa Indonesia Abstrak. Wabah hama belalang dahsyat yang menyerang Pulau Sumba, Indonesia pada tahun 1997-2003 kembali terjadi. Pada tanggal 10 Juni 2017, berbagai media berita lokal, nasional serta media sosial menyorot serangan hama belalang pada sebuah bandara setempat di mana jutaan belalang mengganggu penerbangan akibat rendahnya jarak pandangan di dan sekitar bandara tersebut. Tulisan ini memberikan penjelasan cepat tentang apa yang terjadi, besaran skala kejadian, titik masalah serta tindakan kedaruratan yang telah diambil pemerintah serta apa yang perlu dilakukan dalam jangka pendek dan jangka yang lebih panjang. Secara ringkas penulis menyoroti lima puluh tahun sejarah wabah hama di Pulau Sumba Sumba. Lebih lanjut tulisan ini menyoroti pembelajaran dari kejadiankejadian tersebut serta menyajikan hikmah tentang hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi intensitas wabah tersebut saat ini dan di masa depan. Penulis mengusulkan penggunaan teknologi yang relatif murah seperti sistem pemantauan udara tanpa awak untuk memantau hama sehingga dapat memantau dan mengendalikan wabah. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana melakukan transformasi terhadap sistem tata kelola agar lebih adaptif dan responsif, tidak hanya menghadapi perubahan dinamis keadaan lingkungan termasuk iklim, tetapi juga dalam hal pemanfaatan teknologi baru untuk pemantauan yang efisien dan intervensi yang efektif. Kata Kunci Wabah hama belalang, guncangan iklim, El-Nino, risiko bencana, pengelolaan risiko, pencegahan wabah Pengantar: Kembalinya Wabah Hama Belalang di Sumba Serangan wabah hama belalang kembara yang terjadi di Sumba Timur, Indonesia baru-baru ini telah mengakibatkan krisis lokal di mana tanpa ada peringatan dini, hama tersebut menyerang dan mengganggu pelayanan Bandara Umbu Mehang Kunda di Waingapu, Sumba Timur pada tanggal 10 Juni 2017. Kejadian itu langsung menjadi pemberitaan media nasional karena penyebaran gambar kejadian di media maupun media sosial. Lebih dari seratus posting dan pemutakhiran status Facebook dalam waktu 10-14 Juni 2017 menerangkan tentang serangan belalang kembara di beberapa tempat dan rumah di Kota Waingapu (mis. Killa 2017, Pada 2017; Maubokul 2017). Sebuah foto melaporkan bahwa hanya dalam sehari, belalang menghabiskan semua daun pohon bambu di sebuah lingkungan (Lodji 2017). Wabah tersebut sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2016 ketika belalang menguasai kebun, semak dan pohon. Menurut pejabat daerah, pusat sebaran hama belalang saat ini hanya di enam (dari 22) kecamatan di Sumba Timur, yaitu Pahunga Lodu, Rindi, Umalulu, Kambata Mapambuhang, Pandawai dan Kambera. Pejabat daerah juga mengeluarkan pernyataan senada 2

tentang titik masalah yang sama pada bulan Juni 2016 (VOA Indonesia 2016). Sebulan setelah wabah pertama, bupati Sumba Timur mengumumkan keadaan darurat pada tanggal 13 July 2016 (Dengi 2016). Karena penurunan intensitas serangan pada bulan Agustus 2016 dan bulan-bulan berikutnya, pemerintah daerah menurunkan tingkat kewaspadaannya (Lintas NTT 2016b). Karena itu, skala serangan belalang pada tahun berikutnya bisa menyerang wilayah yang lebih luas dari pada yang wilayah diklaim pemerintah daerah sebagai titik masalah. Salah satu masalah yang dihadapi adalah keenam kecamatan tersebut mencakup 27 persen wilayah Kabupaten Sumba Timur (7000 km 2 ) sedangkan di Dinas Pertanian Kabupaten Sumba Timur hanya terdapat sepuluh petugas yang bertanggung jawab atas serangga, yang bekerja siang dan malam untuk mengurangi intensitas wabah tersebut (Yiwa 2017). Hal ini diperparah dengan kurangnya teknologi untuk memantau hama. Pendekatan utama yang diambil oleh pemerintah daerah untuk mengendalikan wabah yang terjadi adalah penyemprotan pestisida di wilayah yang mengalami wabah. Pendekatan serupa telah digunakan sejak tahun lalu. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) misalnya, dilibatkan dalam upaya mengurangi intensitas wabah hama belalang dengan menyemprot semak-semak terdekat (Lintas NTT 2016a). Dampak yang termati dapat dilihat langsung dari kerusakan dan gagal panen di kecamatankecamatan yang disebut di atas. Baik tanaman padi maupun jagung terkena dampak dari hama ini. Namun demikian, terdapat laporan yang saling bertentangan dari pihak pemerintah daerah. Salah satu versi berita baiknya menyatakan bahwa serangan ini terjadi setelah panen terakhir sehingga tampaknya berita tentang kerusakan tertunda sampai ada pemberitahuan lebih lanjut (Aziz 2017). Berita baik lainnya adalah bahwa tidak seperti wabah tahun 1998-2003 (Lihat Gambar 2A dan 2B), sebagian besar padi yang berada dalam masa pertumbuhan masih belum diserang. Karena itu, perhitungan rinci masih perlu dilakukan. Pertanyaannya adalah bagaimana dan siapa yang akan melaksanakannya? Sejumlah langkah yang telah diambil pemerintah daerah adalah: Pertama, pemerintah cepat mengadakan koordinasi antar lembaga dan memberi tanggapan. Dinas Pertanian, Dinas Sosial, dan Badan Penanggulangan Bencana serta lembaga pemerintah lain telah turun ke lapangan memantau dan mengambil tindakan (Yiwa 2017). Kedua, pemerintah daerah telah membagikan pestisida kepada masyarakat untuk memberantas larva belalang. Dengan bantuan TNI, tenaga entomologi telah menyemprot wilayah yang dicurigai sebagai tempat perkembangbiakan belalang serta wilayah yang terserang belalang. Pada tingkatan tertentu, pendekatan ini dapat mengurangi wabah, terutama di wilayah-wilayah terisolir tempat konsentrasi populasi belalang yang masih berada pada tahap paling awal siklus hidupnya sehingga dapat dikendalikan. Strategi ketiga yang diumumkan pemerintah daerah memanfaatkan 100 ton persediaan beras. Strategi ini merupakan standar operasional yang ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan, di mana masing-masing kabupaten menyimpan 100 ton beras untuk cadangan kedaruratan (Bere 2017). Keempat, diadakan koordinasi vertikal dengan pemerintah provinsi dan pusat untuk memobilisir lebih banyak dukungan guna mengantisipasi adanya peningkatan serangan. Tindakan pada tingkat masyarakat antara lain termasuk intervensi berikut: Pertama, setiap petani mengusir belalang dari sisa tanaman di kebun masing-masing menggunakan tongkat atau 3

sejenisnya (MaxFM 2017). Kedua, selain intervensi per rumah tangga, sejumlah masyarakat dan relawan menggunakan pestisida yang dibagikan untuk menyemprot kumpulan nimfa dan kawanan belalang dewasa. Dinas Pertanian Kabupaten bekerja sama dengan sejumlah masyarakat untuk menyemprot belalang kembara (MaxFM 2017). Pemerintah daerah menggabungkan berbagai upaya ini dan menggunakannya sebagai strategi utama komunikasi krisis guna menenangkan masyarakat. Namun demikian, jejaring sosial dan media yang peduli prihatin dengan pemanfaatan pestisida. Keprihatinan tersebut memiliki dasar tersendiri karena sebagian masyarakat lokal yang terlibat dalam upaya menangani wabah ini melakukan penyemprotan tanpa pengaman (mis. menggunakan kaki kosong dan tanpa menggunakan masker ketika menyemprot kawanan belalang). Namun demikian, pemerintah daerah juga memiliki keprihatinan untuk mencegah agar krisis ini tidak berubah menjadi bencana. Strategi serupa telah disusun pada tahun sebelumnya. Pola Wabah Belalang: Apa yang Kita Ketahui Sejauh ini? Pemahaman awal tentang wabah belalang bergantung pada tiga tahap, yaitu CMG. C merujuk kepada konsentrasi belalang, M adalah penggandaan dan G adalah gregarisasi (titik di mana serangga atau hama tunggal beralih menjadi kawanan (gregaria) akibat pertumbuhan populasi yang mendadak). Peralihan dari konsentrasi menuju penggandaan sampai ke gregarisasi bergantung pada konteks ekologi setempat. Dampak kekeringan akibat El-Nino kuat sering kali mengakibatkan musim kering yang panjang dengan besaran dan skala yang tidak dapat ditolerir sehingga sejumlah sumber daya biologis (seperti pemangsa alami seperti burung dan lalat parasitoid) menghilang dan belalang dapat menggandakan diri tanpa kendali (Roffey dan Popov 1968) khususnya ketika musim hujan tiba (Magor et. al. 2008). D Gambar 1. Pola Wabah Hama Belalang [Sumber: Disadur dari Lecoq dan Sukirno 1999:159] [Catatan dari Lecoq dan Sukirno 1999:159] B adalah peluang peningkatan populasi melalui perkembangbiakan; C, peluang peningkatan kepadatan dengan pembatasan wilayah yang ditempati; G, ambang gregarisasi (2000 belalang dewasa/ha); L, populasi belalang kembara; ne. populasi kompleks musuh alami; R, musim hujan; 1-5. Generasi berurutan dari belalang kembara (3 di musim hujan, 2 di musim kering). D ditambahkan penulis untuk mengindikasikan bahwa semakin besar selisih antara ne dan L dapat mengakibatkan wabah yang lebih besar. 4

Sejumlah pakar menyatakan bahwa periode kering pasti sangat penting bagi kondisi lingkungan yang sangat lembab ini, karena tingkat curah hujan lebih cocok dengan kebutuhan ekologis normal serangga ini. Selain itu, kekeringan pasti mengakibatkan penurunan populasi musuh alami yang tajam, yang berfungsi sebagai pengendali populasi normal belalang (Lecoq dan Sukirno 1999:155). Berdasarkan fenomena yang terjadi tahun 1997/1998 di Sumatera bagian selatan, Lecoq dan Sukirno (1999:159) (Gambar 1) mengemukakan hipotesis tentang dinamika populasi belalang kembara oriental dan dampak musuh alami pada pengendalian populasi belalang (B) (Lihat Gambar 1), peluang peningkatan populasi melalui perkembangbiakan (C) yang berpotensi menunu peluang konsentrasi populasi padat dengan membatasi wilayah yang ditempati; G adalah ambang gregarisasi yaitu 2000 belalang per ha. Yang perlu ditakuti adalah membesarnya selisih antara musuh alami dan populasi belalang di mana semakin besar selisih (D), semakin besar pula kerusakan yang terjadi akibat wabah. Cisse, S. et. al. 2015 mengungkap sebuah penelitian empiris di mana ambang gregarisasi bisa jadi lebih kompleks/rumit dibanding ambang yang dispekulasi/dihipotesiskan Lecoq dan Sukirno 1999). Yang lebih menarik adalah fakta bahwa gregarisasi bergantung pada beberapa faktor termasuk konteks ekologi dan perubahan kondisi lingkungan. Cease et. al. (2012) menyatakan bahwa penggembalaan ternak yang berat mendorong wabah belalang melalui mekanisme peralihan kandungan hara tumbuhan menuju kondisi lebih rendah nitrogen yang cocok untuk belalang jenis Oedaleus asiaticus. Perlu dilakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan apakah mekanisme ini yang terjadi di Sumba sehingga bisa didapatkan kesimpulan yang lebih kuat tentang ambang tersebut. Beberapa model pencegahan wabah telah diidentifikasi pada abad ke-20. Salah satu model yang paling tua adalah pendekatan in situ di mana dibentuk tim-tim daerah untuk memantau dan mengendalikan wilayah serangan. Model ini telah digunakan oleh pemerintah daerah pada tahun 2016 dan 2017. Pendekatan ini memiliki keunggulan kalau wilayah yang diserang kecil sehingga sampai tingkatan tertentu dapat dikendalikan. Namun demikian, pendekatan ini lebih bersifat reaktif dan kurang efektif untuk wilayah serangan yang lebih luas (Magor et. al. 2008). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa intervensi yang lebih awal dapat mencegah sejumlah wabah (Magor et. al. 2008). Intervensi dimaksud dapat dilakukan sebelum dimulainya hujan pasca musim kemarau atau kekeringan. Hal ini membutuhkan insentif dari pemerintah pusat dan daerah untuk menciptakan kondisi agar sebelum musim hujan tiba, dapat dilakukan tindakan kontrol dengan meningkatkan peluang mortalitas/kematian kumpulan nimfa dan kawanan belalang. Inovasi teknologi untuk memantau hama bukanlah sesuatu yang baru. Teknologi pengindraan jauh sudah lazim digunakan di banyak negara. Walaupun teknologi pengindraan jauh dapat membantu menyediakan informasi bagi petani dan pemerintah daerah tentang potensi wabah (Mahlein, AK. 2016), teknologi tersebut bisa jadi mahal dan asing bagi pejabat pemerintahan di Sumba. Dalam konteks kegiatan belalang juta (desert-locust), gagasan penggunaan teknologi pengindraan jauh sudah ada sejak 30-40 tahun lalu (lihat Tucker et. al. 2005; Despland et. al. 2004. Bryceson 1989; Tappan et. al. 1991). 5

Sejarah Singkat Wabah Belalang di Sumba Timur Serangan hama belalang dan tikus menjadi bagian dari kepercayaan tradisional di Sumba. Sebagai contoh, Kapita (1976:362) menggarisbawahi fakta bahwa penduduk setempat berdoa meminta Tuhan mengirimkan burung hantu untuk mencegah bencana dari hama seperti tikus, belalang dan wereng. Pengamatan empiris juga menunjukkan bahwa pembakaran terkendali telah digunakan sebagai strategi penghidupan utama untuk mengendalikan belalang (Russell-Smith, J. et. al. 2007). Namun demikian, masih perlu ada penjelasan lebih lanjut tentang bagaimana pembakaran terkendali selalu dapat dilakukan petani dan bagaimana strategi tersebut dapat memecahkan masalah belalang dalam jangka panjang. Sayangnya, sebagian besar penelitian ilmu sosial di Sumba sama sekali tidak membahas masalah wabah hama belalang. Beberapa pustaka telah mencatat pengalaman terbaru tentang hama belalang kembara khususnya dalam 60 tahun terakhir. Lecoq dan Sukirno (1999) mencatat bahwa wabah hama belalang terjadi pada tahun 1973/1976. Sejarah lisan dari desa-desa seperti Napu, Haharu, Sumba Timur, mengindikasikan bahwa pada tahun 1957 terjadi ledakan hama besar-besaran sehingga mengakibatkan kelaparan (Tabel 1). NOAA mencatat tahun 1957/1958 sebagai tahun El-Nino kuat. Teka-teki cerita-cerita masyarakat (dan/atau sejarah lisan) ini sejalan dengan dokumen yang tak diterbitkan seperti proses partisipatif yang dilaksanakan PMPB Kupang tahun 2003 dan 2007 yang menunjukkan bahwa sebagian besar wabah belalang di Sumba dalam 60 tahun terakhir terjadi pada saat kejadian El-Nino kuat (Tabel 1). Hal ini bisa berarti bahwa kekeringan yang parah dan sangat parah mengakibatkan hilangnya sejumlah pemangsa alami saat daerah tersebut memasuki musim hujan, dan hama tidak terawasi sehingga berkembang tanpa kendali. Tabel 1 Sejarah Wabah Belalang di Sumba 1950an-2017 Tahun El-Nino [berdasarkan catatan NOAA] Tahun Wabah Hama Belalang Kejadian bencana (masa sulit/paceklik) Intervensi yang dilakukan 1957-1958 [El-Nino kuat] 1957 Serangan hama (terutama ledakan Populasi Wereng) Pangan masa paceklik dari hutan setempat 1963/1964 [El-Nino sedang] 1965/1966 [El-Nino kuat] 1965 El-Nino kuat Kekeringan Menjual ternak dan pangan masa paceklik dari hutam setempat 1972/1973 [El-Nino kuat] 1974 1975 Serangan belalang Ubi liar dari hutan setempat (iwi) 1997/1998 [El- Nino sangat kuat] 1997/1998 Kekeringan akibat El-Nino Pangan masa paceklik dari hutan setempat dan mandara 2002/2003 [El- Nino sedang] 1998-2003 Serangan belalang Eskalasi wabah hama belalang dimulai Pangan masa paceklik dari hutan setempat dan mandara 6

2015/2016 [El- Nino sangat kuat] 2016-2017 El-Nino Kekeringan mengakibatkan wabah hama belalang Eskalasi wabah hama belalang tahun 2016 dan 2017. Sumber: Lassa 2011; PMPB Kupang, Laporan PRA di Sumba Timur 2003; dan berbagai sumber termasuk klasifikasi tahun El-Nino dan La-Nina dari NOAA. Ke-empat kabupaten di Sumba termasuk kabupaten termiskin di Indonesia. Salah satu alasannya adalah warisan bahaya dan risiko alamiah termasuk kerentanan terhadap wabah hama belalang sekurang-kurangnya dalam 70 tahun terakhir (Lassa 2011). Sejumlah praktik dan gagasan lokal untuk menangani risiko wabah hama belalang telah diidentifikasi oleh LSM dan masyarakat lokal (PMPB Kupang 2003): Pada bulan November, saat musim tanam hampir dimulai dan nyali (ulat panjang) muncul, petani memutuskan untuk tidak menanami lahan karena lebih berpeluang gagal. Jika terdapat ombak besar pada bulan September dan Oktober serta masyarakat menanam jagung pada bulan November karena dipandang sebagai tanda musim normal, maka panen akan baik. Namun jika ombak muncul di akhir Oktober dan November, tanaman lebih berpeluang gagal. Yayasan Tananua di Waingapu mengadakan penilaian risiko di desa-desa atau masyarakat tempat kerjanya, dari berbagai sudut. Mereka mengatakan bahwa gagasan yang tepat tentang adaptasi iklim adalah penganekaragaman pilihan penghidupan termasuk di dalamnya penganekaragaman pangan. Ini merupakan cara paling kreatif menghadapi risiko terkait iklim (Randandma 2011). Sebagai contoh, di desa Meurumba, Sumba Timur, Tananua mendapati bahwa masyarakat setempat mengidentifikasi opsi-opsi penghidupan mereka untuk mengatasi ketidakpastian iklim. Pertama, mereka menanam tanaman seperti, jagung, umbi-umbian dan kacang-kacangan. Kedua, mereka menanam komoditi hutan non kayu (dikenal sebagai tanaman umur panjang) seperti pohon kemiri, pinang, kopi, mahoni, jati putih dan sirih. Ketiga, mengakses layanan simpan pinjam. Keempat menanam dan menjual sayur dan akhirnya melibatkan diri dalam kegiatan mandara (barter). Selain itu, penduduk desa Meurumba juga memandang beras murah sebagai tanaman pilihan. Hutan masyarakat dan rumah tangga adalah pilihan berikutnya. Opsi terakhir merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan jumlah ternak kecil. Patut dicatat bahwa ketika masyarakat setempat diminta menyebutkan opsi-opsi untuk adaptasi dan penurunan risiko dalam konteks kelaparan dan kekeringan, jawaban yang diberikan kurang lebih sama dengan yang diperoleh dari proses PMPB tahun 2003 di desa Napu. Dampak Wabah Hama Belalang di Sumba Timur Sejak 1990 Jejak wabah hama belalang di Sumba sejak tahun 1990 dapat dilihat pada Gambar 2a dan 2b. Catatan resmi dari Statistik Pertanian menunjukkan bahwa semua panen tanaman pangan termasuk jagung, padi, kedelai, kacang hijau dan kacang tanah mencapai nol (Gambar 2a). Kacang-kacangan merupakan kelompok tanaman yang paling rentan seperti terlihat dari fakta 7

bahwa masyarakat setempat tidak bisa mendapatkan hasil panen sama sekali pada tahun 1998, 2001 dan 2003. Pada periode 1998-2003, kedelai dapat dipanen pada tahun 1999. Produksi padi dan jagung pada tahun 1998, 2001 dan 2002 gagal total. Masyarakat setempat hidup dari penghidupan alternatif serta bantuan pangan dan subsidi. Gambar 2b menunjukkan bahwa kesenjangan semakin meningkat antara karbohidrat yang diproduksi (gabungan padi dan jagung) dengan kebutuhan total (diukur dengan setara beras 400 gram per hari). Dampak wabah hama belalang di Sumba secara umum dan di Sumba Timur khususnya, sangat merusak. Menurut klasifikasi terbaru daerah tertinggal (daerah miskin) di Indonesia, versi bulan Juni 2017, semua kabupaten di Sumba dimasukkan sebagai daerah prioritas oleh presiden untuk tahun anggaran 2017 dan 2018 (Pemerintah Indonesia 2017). Hal ini memperkuat pola yang sudah ada selama 20 tahun di mana semua kabupaten di Sumba termasuk dalam kabupaten termiskin di NTT. Sumba Timur sering kali masuk urutan pertama kerusakan dan kerugian panen. Sebagai contoh, dalam jangka waktu tanpa wabah hama belalang, Sumba Timur mengalami kerugian sebesar 29.4% dalam bentuk gagal panen di tahun 2009 (WFP 2011). Gambar 3 menyajikan Atlas Kerentanan dan Ketahanan Pangan /Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2010 yang disusun World Food Program (WFP) dan Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT. Ukuran FSVA ketahanan pangan antara lain adalah akses pangan. Konsentrasi kemiskinan yang tinggi juga terjadi di Sumba Timur. Survey Ekonomi Nasional terakhir pada tahun 2013 menunjukkan bahwa di Sumba Timur masih terdapat 260.000 orang yang hidup di bawah garis kemiskinan (sekitar 28 persen dari total penduduk). Gambar 2a Kecenderungan Panen Tanaman Pangan 1990-2015. Sumber: Penulis, berdasarkan Statistik Pertanian 2016 8

Gambar 2b. Kecenderungan Produksi jagung dan padi 1990-2015 Sumber: Penulis, berdasarkan Statistik Pertanian 2016 Gambar 3. Atlas Kerentanan Pangan, NTT Sumber: World Food Program 2011 Memahami Kerentanan Ganda Sumba terhadap Guncangan Iklim Iklim yang tak menentu di Sumba berpengaruh terhadap produksi tanaman pangan dan angka panen. Sumba Timur sering kali dikelompokkan ke dalam tipe iklim dengan musim hujan yang lebih pendek, yaitu hanya 0-2 bulan basah. Sering kali jumlah hari hujan yang lebih pendek, serta hari tanpa hujan yang panjang. Lebih dari separuh lahan di Sumba adalah sabana, yang cocok untuk pertanian lahan kering serta pengembangan peternakan. Selain dari beberapa tempat di Sumba Barat dan Tengah, pulau ini memiliki intensitas curah hujan yang rendah. Secara umum, iklim di Sumba tidak menentu (Lihat Lassa et. al. 2013). Salah satu pertanyaan yang patut diajukan adalah: apa saja implikasi jangka panjang wabah hama 9

belalang bagi coping mechanism /mekanisme pemecahan masalah masyarakat? Kegagalan total tanaman pertanian yang terjadi dalam 20 tahun terakhir mendorong masyarakat setempat untuk melakukan penyesuaian sementara dari pola penghidupan yang berbasis tanaman pangan menuju pola penghidupan yang berbasis padang rumput melalui promosi bersama agro-forestry (yang mendukung tanaman perdagangan melalui Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) serta pertanian dan hortikultura (untuk mendukung penganekaragaman tanaman pangan). Penulis berpendapat bahwa HHNK perlu menjadi kunci untuk menghadapi ketidakpastian iklim dalam di daerah pedesaan. HHNK mempunyai kontribusi besar terhadap pendapatan dan penghidupan masyarakat. Secara tradisional masyarakat Sumba dikenal memiliki tiga tingkatan sosial: kaum bangsawan (maramba), kaum menengah (kabihu) dan kaum hamba (ata). Kekuasaan tradisional para marambas disimbolkan dengan kendali atas kaum ata atas serta aset penghidupan lain seperti lahan dan ternak (kuda, kerbau dan sapi) (Twikromo 2008). Walaupun saat ini Sumba muncul sebagai masyarakat tanpa kelas (PMPB 2003), sistem kelas telah memberi dampak positif sekaligus negatif. Dampak positifnya adalah terdapat pengaturan berbagi risiko informal di mana kelas yang berkedudukan tinggi dapat mentransfer sumber daya kepada kaum ata saat terjadi kedaruratan. Sementara itu, kaum ata mendapatkan kewenangan sendiri dalam produksi pangan, khususnya tenaga kerja peternakan dan pertanian. Sayangnya, penelitian menunjukkan bahwa perubahan tutupan hutan di seluruh Sumba mengalami penurunan dari sekitar 50% pada tahun 1927 menjadi 10% pada tahun 1997,dan baru-baru ini mencapai 8%. Kenyataannya, tutupan hutan bersih mungkin kurang dari 6,5% (Burung Indonesia 2009). Degradasi hutan dan vegetasi banyak dikaitkan dengan pemanfaatan hasil hutan yang tidak berkelanjutan serta pengelolaan pemanfaatan lahan yang tak berkelanjutan (dalam bentuk pembakaran padang rumput tak terkendali). Sebuah studi yang dilakukan PMPB Kupang tentang Napu secara singkat menghubungkan penghidupan, pangan, dan risiko. Napu terletak di ketinggian sekitar 150 meter di atas muka air laut rata-rata (MSL). Desa ini memiliki bentangan alam yang khas Sumba yang didominasi bukit padang rumput dengan ketinggian 150 400 MSL. Desa ini mempunya dua dusun. Dusun pertama adalah Napu dengan lahan yang sangat kering dan dusun kedua adalah Prailangina dengan kondisi yang lebih subur. Secara keseluruhan terdapat 180 rumah tangga (806 jiwa) pada tahun 2003. Penghidupan utama di Napu adalah: Tanaman pangan sebagai pilihan terbaik pertama. Tanaman pangan termasuk jagung, padi lahan kering, ubi-ubian (termasuk ubi kayu, ubi jalar/ubi manis serta varietas ubi jalar lokal lainnya) serta berbagai jenis kacang-kacangan. Ternak besar termasuk sapi, kuda, dan kerbau. Ternak kecil yang terdiri dari babi, ayam, dan kambing. Nelayan subsisten sering kali memanen hasil dari laut menggunakan peralatan tradisional. Input non pertanian lain seperti kerajinan dan tenun. 10

Tabel 2 Kalendar musiman untuk semua kegiatan penghidupan di Napu, Sumba Timur Bulan dalam setahun Keterangan No Kegiatan 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 1 Musim hujan status quo XX X XX XX Keragaman iklim 2 Jagung - status quo X X X X X X Kegiatan biasa 3 Padi lahan kering X X X X Kegiatan biasa 4 Ubi kayu X X X X X X X Kurang informasi 5 Kacang tanah X X X X X Kegiatan biasa 6 Kacang hitam Kegiatan biasa 7 Panen kemiri X X X X X HHNK 8 Panen asan X X X X HHNK 9 Panen kutu lak X X X X HHNK 10 Masa paceklik/krisis pangan X X X X X Kegiatan biasa 11 Tahun ajaran baru mulai X X X X Kegiatan biasa 12 Menjual ternak besar X X X X X Kegiatan biasa 13 Menjual ternak kecil X X X X Kegiatan biasa 14 Mandara (barter) X X Kegiatan biasa 15 Menjual tenaga X X X X X X X X X X Kegiatan biasa 16 Membakar padang oleh ata X X X X X Kegiatan biasa 17 Ubi manis/jalar Kegiatan biasa 18 Tanam ubi-ubian domestikasi X X X Antisipasi kekeringan 19 Panen ubi-ubian liar X X X Antisipasi kekeringan Sumber: Lassa et. al. 2011, disadur dari PMPB Kupang dan Sandelwood 2003 Barter, yang disebut mandara, sering kali menjadi sarana pertukaran, terutama pada bulan Juli-Agustus setelah akhir kegiatan tanaman pangan di desa Napu. Mandara sering kali dilakukan di Lewa, yang merupakan lahan pertanian. Informasi anekdotal menunjukkan bahwa makanan yang diperoleh dari Mandara sering kali disimpan dan dimakan 11

selama masa paceklik, khususnya bulan Desember-Februari ketika persediaan makanan sudah menipis (PMPB Kupang 2003). Perlu dicatat bahwa berdasarkan pengamatan mendalam (Killa 2011 dalam Lassa 2011), Mandara sering kali diaktifkan dan dipraktikkan oleh mereka yang memiliki kedekatan jejaring sosial (jarang sekali dilakukan dengan orang asing). Karena itu, ciri utama transaksi dan transfer sumber daya mandara adalah hubungan kekerabatan dan kepercayaan sosial. Berdasarkan berbagai survei dasar yang dilakukan World Vision dan Pemerintah Daerah Sumba Timur (dengan 2.134 responden), ditemukan bahwa masyarakat pedesaan memiliki lima opsi untuk mengakses pangan: (1) Tanaman pangan79,7% Membeli dari pasar setempat 88% Mendapatkan dari hutan 14% Mandara 13% Lain-lain 2% Dari survei yang sama ditemukan bahwa di 65% rumah tangga tanaman pangannya hanya dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga selama 3 bulan, dan di 22% rumah tangga tanaman pangannya dapat memenuhi kebutuhan selama 6 bulan. Para responden juga mencatat bahwa penghalang utama akses pangan adalah kegagalan produksi (48%) dan ketiadaan akses lahan (41%). 1 Ata (kaum hamba) sering kali 'menjual' tenaga mereka sebagai penjaga ternak (Table 2, #16). Pendapatan yang diperoleh sering kali dalam bentuk bagi hasil dengan rasio 1:5. Dalam praktiknya, untuk setiap 5 ternak, kaum ata mendapatkan 1 ternak. Terdapat mekanisme lain seperti intensif bagi mereka yang berhasil meningkatkan bobot ternak (khususnya sapi). Praktik ini sering kali mengakibatkan proses pembakaran padang rumput, karena dengan membakar padang rumput, kaum ata akan mendapatkan keuntungan berupa rumput yang cepat tumbuh kembali, sehingga menjadi sumber pakan ternak. Studi yang dilakukan Tacconi dan Ruchiat (2006:72) di Sumba Timur (Desa Lukuwingir-Kiritana) menunjukkan bahwa struktur khas pendapatan rumah tangga di Sumba Timur adalah sebagai berikut: Tanaman pangan 36% Pohon-pohonan 4.2% Ternak 23.8%, Hasil Hutan Non Kayu 30.7% Padang rumput 5.3% Tabel 3 Hasil Hutan Non Kayu: produksi lak 2010-2014 Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 Kutu lak (ton) 20 80 117 96 360 1 Survei dasar bersama yang dilakukan World Vision Waingapu dan Pemerintah Daerah Sumba Timur 2007 [Tidak terbit] 12

Sumber: Dinas Kehutanan Sumba 2011, Sumba Timur Dalam Angka 2016 dan Lassa 2011. Pemerintah Daerah di Sumba mengakui tiga sumber utama HHNK yaitu asam, kemiri dan lak/seedlac (dari kutu lak atau laccifer lacca) 2. Sumba Timur menghasilkan 791 ton dan 899 ton kemiri berturut-turut pada tahun 2007 dan 2014. Kabupaten ini juga menghasilkan 592 ton kutu lak pada tahun 2007. Pada tahun 2011, setiap kg kutu lak dihargai Rp 12.000 (A$1.2) (Lassa 2011). Walaupun terjadi sedikit penurunan produksi (Tabel 3), Kutu Lak konsisten memberikan sumbangan terhadap ekonomi daerah bersama dengan hasil HNK lainnya. Catatan Akhir Pemantauan dan pengendalian hama memerlukan teknologi dan inovasi. Sebagai tindak lanjut, hal yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah penggunaan drone untuk pemantauan hama (Tammen 2015). Hal ini dapat dilakukan karena harga drone semakin murah dan generasi baru drone bisa cocok untuk melaksanakan tugas pemantauan dan pengendalian wabah hama. Masalahnya bukan apakah pemerintah daerah dapat mengakses dan menggunakan teknologi tersebut, tetapi bagaimana pemerintah daerah menggunakannya untuk memberikan informasi sebagai dasar bagi peringatan dini untuk tindakan dan tanggap awal. Yang menjadikan wilayah terpencil seperti Sumba Timur dan wilayah lain rentan terhadap risiko iklim adalah kinerja lembaga formal yang rendah. Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman pribadi penulis, data iklim tidak dikumpulkan secara konsisten dalam 20 tahun terakhir. Mutu pengumpulan data iklim terlalu rendah sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar tindakan awal. Selain itu, terdapat kesalahan sistemik dalam pemasukan data iklim di tingkat kabupaten (Lassa 2011). Selalu ada data yang kurang dari separuh stasiun pengukur curah hujan dan hal ini dikaitkan dengan angka perpindahan staf yang tinggi, kinerja SDM yang di bawah standar, serta ketidaktahuan mengenai pentingnya data iklim untuk penyusunan kebijakan pertanian di Sumba Timur. Dalam pencegahan dan tanggap cepat terhadap wabah hama belalang, perlu ada upaya peningkatan kemampuan yang berarti bagi tenaga pemerintah yang sudah ada. Pencegahan dan tanggap cepat membutuhkan respon krisis strategis yang beroperasi secara terus menerus. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya agar dinas pertanian bekerja secara lebih strategis dan responsif terhadap risiko bencana. Bagaimana mengelola desentralisasi agar memberi dampak positif bagi orang miskin dan kelompok yang paling rentan? Bagaimana memberi pemahaman kepada para pejabat pemerintah yang baru terpilih tentang kerumitan masalah lokal serta tantangan pembangunan di desa? Tentang bagaimana koordinasi antar lembaga serta tanggap bersama dapat berkontribusi terhadap terkendalinya situasi krisis, penulis menyarankan perlunya studi sistimatis terhadap situasi saat ini Selain itu, pencegahan wabah hama belalang harus dijadikan sarana peningkatan mutu layanan 2 Kutu lak atau seedlac merupakan sekresi dari serangga bernama Laccifer yang digunakan sebagai bahan mentah kosmetika, cat dll. 13

ekosistem termasuk perlindungan hutam alami dan hutan masyarakat. Dengan demikian, pengaturan dan pengelolaan wabah hama belalang secara kewilayahan dan kepemerintahan berada di luar lingkup teknis tugas para pakar serangga dan pakar pertanian daerah. Referensi Aziz, N. 2017. Belalang menyerang Sumba Timur ketika panen hampir usai. BBC Indonesia. Bere, SM. 2017. Millions of locusts attacked Waingapu Airport in Sumba Timur. Kompas 12/06/2017. Bryceson, K.P. 1989. The use of landsat MSS data to determine the distribution of locust eggbeds in the Riverina region of New South Wales, Australia. International Journal of Remote Sensing 10(11):1749-1762 Burung Indonesia 2009. Forest and birds in Sumba Island. Cease, A.J. 2012. Heavy livestock grazing promotes locust outbreaks by lowering plant nitrogen content. Science 335(6067):467-469 Cisse, S. et. al. 2015. Estimation of density threshold of gregarization of desert locust hoppers from field sampling in Mauritania. Entomologia Experimentalis et Applicata 156: 136 148. DOI: 10.1111/eea.12323 Chapuis, M.-P 2008. Do outbreaks affect genetic population structure? A worldwide survey in Locusta migratoria, a pest plagued by microsatellite null alleles. Molecular Ecology 17(16):3640-3653 Dengi, H. 2016. Serangan Belalang Kembara, Bupati Sumba Timur Nyatakan Darurat Bencana. KBR.id Online 14 July 2016. http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-40247285 [Last accessed 13 June 2017. Despland, E., Rosenberg, J., Simpson, S.J. 2004. Landscape structure and locust swarming: A satellite's eye view. Ecography 27(3): 381-391. David, C. 2011. Interview with Christ David, Director of Kopesda in Waingapu, on 22 Sept 2011. Hutabarat, S. 2006. Forestry development through development of non-timber forest products in East Nusa Tenggara in S. Djoeroemana et. al. Eds. Integrated rural development in East Nusa Tenggara, Proceedings of a workshop to identify sustainable rural livelihoods, held in Kupang, Indonesia, 5 7 April 2006. GoI (2017). Central government included 122 regions are disadvantaged regions 2015-2019. http://setkab.go.id/122-daerah-ini-ditetapkan-pemerintah-sebagai-daerah-tertinggal-2015-2019/ [Last accessed 14 June 2017] Michel Lecoq and Sukirno 1999. Drought and an Exceptional Outbreak of the Oriental Migratory Locust, Locusta migratoria manilensis (Meyen 1835) in Indonesia (Orthoptera: Acrididae). Journal of Orthoptera Research 8:153-161 Killa, M. 2017. Facebook update, 11 June 2017, viewed 11 June 2017 Lintas NTTa 2016. TNI Bantu Berantas Hama Belalang di Sumba, Lintas NTT 16 July 2017. http://www.lintasntt.com/tni-bantu-berantas-hama-belalang-di-sumba/ Last accessed 13 June 2017 Lintas NTT 2016b. The locust outbreak have been de-escalated (Serangan Hama Belalang di Sumba 14

Mulai Berkurang). Lintas NTT 9 August 2016. www.lintasntt.com/serangan-hama-belalang-disumba-mulai-berkurang/ Last accessed 13 June 2017. Lodji, RR. 2017. Facebook update with photos from the field, 13 June 2017, viewed 13 June 2017. Lassa, J. et al. 2011. Final Report Feasibility Study on Nusa Tengara Timur Province: Rural Livelihoods and Food Security Under Changing Climate and Disaster Risks Context. Circle Report to Lutheran World Relief to Circle Indonesia October 2011. 15

Lassa, J. et. al. 2013. Impact of Climate Change of Agriculture and Food Security: Options for Local Adaptation in East Nusa Tenggara, Indonesia. Working Paper #8, IRGSC Indonesia Magor, JI., Lecoq, M. and Hunter, D.M. 2008.Preventive control and Desert Locust plagues. Crop Protection 27(12):1527-1533. Mahlein, AK. 2016. Plant Disease Detection by Imaging Sensors Parallels and Specific Demands for Precision Agriculture and Plant Phenotyping. Plant Disease, 100(2):241-251. https://doi.org/10.1094/pdis-03-15-0340-fe. MaxFM 2017. Kembara attacks getting crazier in Kambaniru. maxfmwaingapu.com/2017/06/serangan-kembara-menggila-di-kambaniru/ Last accessed 13 June 2017 Maubokul 2017, Facebook update, 10 June 2017, viewed 13 June 2017 Pada, E. 2017. Facebook update, 11 June, viewed 12 June 2017 PMPB 2003. Food and Livelihoods Monitoring System, PMPB Kupang and Yayasan Sandelwood). Unpublished draft report 1 April 2003. Radandima, H. Staff Tananua. Personal interviewed in June 2011 by the author. Russell-Smith, J. et. al. 2007. Rural Livelihoods and Burning Practices in Savanna Landscapes of Nusa Tenggara Timur, Eastern Indonesia. Human Ecology, 35(3):345-359. Roffey, J and Popov, G. 1968. Environmental and Behavioural Processes in a Desert Locust Outbreak. Nature 219(5153):446-450. Tammen, G. 2015. Using unmanned aerial systems to detect emerging pest insects, diseases in food crops. https://phys.org/news/2015-03-unmanned-aerial-emerging-pest-insects.html [Last accessed June 13 2017] Tacconi, Luca and Ruchiat, Yayat 2006. Livelihoods, fire and policy in eastern Indonesia. Singapore Journal of Tropical Geography 27 pp. 67 81. Tappan, G. Moorej, D.G., and Kanusenberger, W.I. 1991. Monitoring grasshopper and locust habitats in sahelian africa using gis and remote sensing technology! International Journal of Geographical Information Systems 5(1):123-135. Tucker, C.J., Hielkema, J.U., Roffey, J. 1985. The potential of satellite remote sensing of ecological conditions for survey and forecasting desert-locust activity. International Journal of Remote Sensing 6(1): 127-138 Twikromo YA. 2008. The local elite and the appropriation of modernity : a case in Sumba Timur, Indonesia. Ph. D. Radboud Universiteit Nijmegen 2008. Yiwa, R. 2017. Facebook update on 13 June 2017, followed by personal correspondence on 13 June 2017. VOA Indonesia 2016. Locust pest attacked hundreds of land in Sumba Timur (Bahasa: Hama Belalang Serang Ratusan Hektar Lahan di Sumba Timur. VoA Indonesia 11 July 2016. Last accessed 13 June 2017 www.voaindonesia.com/a/hama-belalang-serang-ratusan-hektar-lahandi- sumba-timur/3413083.html WFP 2010. Nutrition Security and Food Security in Seven Districts in NTT Province, Indonesia: Status, Causes and Recommendations for Response. UN Joint Food Security Assessment 16

Lampiran 1. Foto belalang kembara yang menguasai Sumba Timur Lampiran 1.1. Landasan Bandara Waingapu ditempati jutaan belalang tanggal 10 Juni 2017 Photo Credit: Kompas/Zainal Ismail [http://regional.kompas.com/read/2017/06/12/11460031/jutaan.belalang.serang.bandara.waingapu.di. sumba.timur] Lampiran 1.2. Anggota militer membantu pemerintah daerah memerangi kumpulan nimfa dan kawann belalang Photo credit: Kompas/Letnan Kolonel Infanteri Elvin T Saragi http://sains.kompas.com/read/2017/06/14/160500023/dilema.sumba.timur.hadapi.serangan.belalang. 10.tahun.sekali 17

WP No: Working Paper No. 17 Title: The Return of Locust Outbreak in Sumba, Indonesia: A Rapid Situational Analysis Keywords Author(s): Locust outbreak, climatic shocks, El-Nino, disaster risk, risk management, outbreak prevention Jonatan A. Lassa Date: June 2017 Link: (corresponding author: jonatan.lassa@cdu.edu.au) http://www.irgsc.org/pubs/wp.html Using empirically grounded evidence, IRGSC seeks to contribute to international and national debates on resource governance, disaster reduction, risk governance, climate adaptation, health policy, knowledge governance and development studies in general. IRGSC Working Paper series is published electronically by Institute of Resource Governance and Social Change. The views expressed in each working paper are those of the author or authors of the paper. They do not necessarily represent the views of IRGSC or its editorial committee. Citation of this electronic publication should be made in the following format: Author, Year. "Title", IRGSC Working Paper No. Date, http://www.irgsc.org/pubs/wp.html Ermi ML. Ndoen, PhD Gabriel Faimau, PhD Dominggus Elcid Li, PhD Dr. Jonatan A. Lassa Dr. Saut S. Sagala Editorial committee: Institute of Resource Governance and Social Change RW Monginsidi II, No 2B Kelapa Lima Kupang, 85227, NTT, Indonesia www.irgsc.org 18