BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Persediaan Menurut Keiso, Weygandt dan Warfield (2007:402) persediaan adalah pos-pos aktiva yang dimiliki oleh perusahaan untuk dijual dalam operasi bisnis normal, atau barang yang akan digunakan atau dikonsumsi dalam membuat barang yang akan dijual. Dalam PSAK 14 persediaan didefinisikan sebagai aset yang: 1. Dimiliki untuk dijual dalam kegiatan usaha normal 2. Dalam proses produksi untuk dijual 3. Dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa Persediaan perusahaan dagang terdiri atas barang yang diperoleh untuk dijual kembali, sedangkan dalam perusahaan manufaktur, persediaannya terdiri dari barang jadi, pekerjaan dalam proses, bahan baku dan perlengkapan pabrik. Persediaan merupakan aset lancar. Aset tidak lancar tidak diperlakukan sebagai bagian dari persediaan. Menurut Warren Reeve Fess (2008:398) Persediaan (inventory) digunakan untuk mengidentifikasi (1) barang dagang yang disimpan untuk kemudian 13
dijual dalam operasi bisnis perusahaan, dan (2) bahan yang digunakan dalam proses produksi atau yang disimpan untuk tujuan itu. Menurut Rudianto (2009:236) persediaan adalah sejumlah barang jadi, bahan baku, dan barang dalam proses yang dimiliki perusahaan dengan tujuan untuk dijual atau diproses lebih lanjut. 2.2 Jenis-jenis Persediaan Sebuah perusahaan mengklasifikasikan persediaannya tergantung pada bentuk perusahaan: apakah benrbentuk perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur. Persediaan pada perusahaan dagang memiliki karakteristik umum yaitu dimiliki oleh perusahaan dan persediaan tersebut siap untuk dijual. Sedangkan persediaan pada perusahaan manufaktur juga dimiliki oleh perusahaan, tetapi beberapa barang belum siap untuk dijual. Persediaan pada perusahaan manufaktur diklasifikasikan menjadi tiga kategori: 1. Persediaan barang jadi (Finished goods) Persediaan barang jadi adalah barang hasil proses produksi dalam bentuk final sehingga dapat segera dijual. 2. Persediaan barang dalam proses (Work in proses) Persediaan barang dalam proses adalah barang yang masih memerlukan proses produksi untuk menjadi barang jadi, sehingga persediaan barang dalam proses sangat dipengaruhi oleh lamanya produksi, yaitu waktu yang 14
dibutuhkan sejak saat bahan baku masuk keproses produksi sampai dengan saat penyelesaian barang jadi. 3. Bahan baku (direct material) Persediaan barang jadi yaitu barang persediaan milik perusahaan yang akan diolah lagi melalui proses produksi, sehingga akan menjadi barang setengah jadi atau barang jadi sesuai dengan kegiatan perusahaan. 2.3 Sistem Pencatatan Pesediaan 2.3.1 Sistem Perpetual (Perpetual Inventory System) Sistem persediaan perpetual secara terus-menerus melacak perubahan akun persediaan, yaitu semua pembelian dan penjualan (pengeluaran) barang yang dicatat secara langsung keakun persediaan pada saat terjadi. Karakteristik akuntansi dari sistem persediaan perpetual adalah: 1. Pembelian barang dagang untuk dijual atau pembelian bahan baku untuk produksi didebet kepersediaan dan bukan kepembelian. 2. Biaya transportasi masuk, retur pembelian, dan pengurangan harga, serta diskon pembelian didebet kepersediaan dan bukan keakun terpisah. 3. Harga pokok penjualan diakui untuk setiap penjualan dengan mendebet akun Harga Pokok Penjualan, dan mengkredit persediaan. 4. Persediaan merupakan akun pengendali yang didukung oleh buku besar pembantu yang berisi catatan persediaan individual. Buku besar pembantu memperlihatkan kuantitas dan biaya dari setiap jenis persediaan yang ada di tangan. 15
2.3.2 Sistem Periodik (Periodic Inventory System) Menurut sistem persediaan periodik, alokasi dihitung pada akhir periode akuntansi. Pertama, tentukan biaya dari persediaan akhir. Kemudian, biaya dari persediaan akhir dikurangkan dari harga pokok barang tersedia untuk dijual guna menentukan harga pokok penjualan dengan mencatat semua pembelian persediaan selama periode akuntansi dicatat dengan mendebet akun pembelian. Total akun pembelian ada pada akhir periode akuntansi ditambahkan ke biaya persediaan di tangan pada awal periode untuk menentukan total biaya barang yang tersedia untuk dijual selama periode berjalan. Kemudian total biaya barang yang tersedia untuk dijual dikurangi dengan persediaan akhir untuk menentukan harga pokok penjualan. Dalam sistem persediaan periodik, harga pokok penjualan adalah jumlah residu yang tergantung pada hasil perhitungan persediaan akhir secara fisik. Untuk mengilustrasikan perbedaan antara sistem perpetual dengan sistem periodik, asumsikan bahwa PDAM Tirta Benteng memiliki transaksi-transaksi berikut selama tahun berjalan: Persediaan awal 100 unit @ Rp 25.000 = Rp 2.500.000 Pembelian 500 unit @ Rp 25.000 = Rp 12.500.000 Penjualan 400 unit @ Rp 30.000 = Rp 12.000.000 Persediaan akhir 200 unit @ Rp 25.000 = Rp 5.000.000 16
Ayat jurnal untuk mencatat transaksi tersebut selama tahun berjalan ditunjukkan sebagai berikut: Tabel 2.1 Perbedaan Pencatatan Sistem Perpetual dan Periodik No Sistem Persediaan Perpetual Sistem Persediaan Periodik 1. Persediaan awal, 100 unit @ Rp 25.000 Akun persediaan memperlihatkan Akun persediaan memperlihatkan persediaan di tangan senilai Rp 2.500.000 persediaan di tangan senilai Rp 2.500.000 2. Pembelian 500 unit @ Rp 25.000 Persediaan Rp 12.500.000 Hutang Usaha Rp 12.500.000 Pembelian Rp 12.500.000 Hutang Usaha Rp 12.500.000 3. Penjualan 400 unit @ Rp 30.000 Piutang Usaha Rp 12.000.000 Penjualan Rp 12.000.000 HPP Rp 10.000.000 Persediaan Rp 10.000.000 ( 400 unit @ Rp 25.000) 4. Ayat jurnal akhir periode untuk akun persediaan, 200 unit @ Rp25.000 Tidak diperlukan ayat jurnal. Akun persediaan memperlihatkan saldo akhir sebesar Rp 15.000.000 ( Rp 2.500.000 + Rp 12.500.000 Rp 10.000.000 ) Piutang Usaha Rp 12.000.000 Penjualan Rp 12.000.000 ( Tidak ada jurnal) Persediaan Rp 5.000.000 HPP Rp 10.000.000 Pembelian Rp 12.500.000 Persediaan awal Rp 2.500.000 17
2.4 Penilaian Persediaan 2.4.1 Penilaian Persediaan dengan Arus Harga Pokok Dalam pendekatan ini ada terdapat dua sistem pencatatan persediaan yaitu sistem periodik dan sistem perpetual yang masing-masing ada tiga cara penilaian persediaan yaitu sebagai berikut: 1. Metode First In First Out (Barang Masuk Pertama Keluar Pertama) Sebagian besar perusahaan mengeluarkan barang sesuai dengan urutan pembeliannya. Terutama untuk barang-barang yang tidak tahan lama dan produk-produk yang modelnya cepat berubah. Metode ini juga mengasumsikan bahwa barang yang terjual karena pesanan adalah barang yang mereka beli. Oleh karenanya, barang-barang yang dibeli pertama kali adalah barang-barang pertama yang dijual dan barang-barang sisa di tangan (persediaan akhir) diasumsikan untuk biaya akhir. 2. Metode Last In First Out (Barang Masuk Terakhir Keluar Pertama) Dalam metode ini, barang yang terakhir masuk diaggap lebih dulu keluar atau dijual sehingga nilai persediaan akhir terdiri atas persediaan barang yang dibeli atau yang masuk lebih awal. Sehingga harga pokok barang yang terjual dihitung berdasarkan pada harga barang yang dibeli terakhir sesuai dengan jumlah unitnya, atau nilai persediaan barang didasarkan pada harga barang yang dibeli pada awal, sesuai dengan jumlah unitnya. Metode LIFO membebankan biaya dari pembelian terakhir dan memberikan biaya yang paling tua di akun persediaan. 18
3. Metode Average (Metode Rata-Rata) Metode biaya rata-rata tertimbang didasarkan pada asumsi bahwa seluruh barang tercampur sehingga mustahil untuk menentukan barang mana yang terjual dan barang mana yang tertahan di persediaan. Harga persediaan ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang dibayarkan untuk barang tersebut, yang ditimbang menurut jumlah yang dibeli. Harga pokok per unit barang dihitung dengan rumus: (nilai persediaan awal + nilai pembelian) / (jumlah persediaan awal + jumlah pembelian). Harga pokok per unit ini akan berubah setiap kali terjadi pembelian dengan harga yang berbeda. Untuk mengilustrasikan perbedaan antara metode FIFO, LIFO dan Average dengan mengasumsikan bahwa PDAM Tirta Benteng memiliki transaksi-transaksi berikut: 1 Januari 2013 -Saldo awal persediaan 100 unit dengan harga @ Rp.50.000,- 3 Januari 2013 -Penjualan 75 unit. 5 Januari 2013 -Pembelian 50 unit, harga Rp.55.000,- 14 Januari 2013 -Penjualan 30 unit 21 Januari 2013 -Pembelian 75 unit, harga Rp.59.000,- 23 Januari 2013 -Pembelian 25 unit, harga Rp.63.000,- 25 Januari 2013 -Penjualan 50 unit 29 Januari 2013 -Penjualan 15 unit 19
Tabel 2.2 Metode FIFO Tanggal Pembelian Penjualan Saldo Unit Harga Total Unit Harga Total Unit Harga Barang 01/01/2013 - - - - - - 100 Rp 50.000 Rp 5.000.000 03/01/2013 - - - 75 Rp50.000 Rp 3.750.000 25 Rp 50.000 Rp 1.250.000 05/01/2013 50 Rp 55.000 Rp 2.750.000 - - - 25 Rp 50.000 Rp 1.250.000 50 Rp 55.000 Rp 2.750.000 14/01/2013 - - - 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 5 Rp55.000 Rp 275.000 45 Rp 55.000 Rp 2.475.000 21/01/2013 75 Rp 59.000 Rp 4.425.000 - - - 45 Rp 55.000 Rp 2.475.000 75 Rp 59.000 Rp 4.425.000 23/01/2013 25 Rp 63.000 Rp 1.575.000 - - - 45 Rp 55.000 Rp 2.475.000 75 Rp 59.000 Rp 4.425.000 25 Rp 63.000 Rp 1.575.000 25/01/2013 - - - 45 Rp 55.000 Rp 2.475.000 5 Rp 59.000 Rp 295.000 70 Rp 59.000 Rp 4.130.000 25 Rp 63.000 Rp 1.575.000 29/01/2013 - - - 15 Rp 59.000 Rp 885.000 55 Rp 59.000 Rp 3.245.000 25 Rp 63.000 Rp 1.575.000 Rp 8.930.000 80 Rp 4.820.000 Harga pokok barang yang terjual Rp 8.930.000 Nilai persdiaan akhir Rp 4.820.000 20
Tabel 2.3 Metode LIFO Tanggal Pembelian Penjualan Saldo Unit Harga Total Unit Harga Total Unit Harga Barang 01/01/2013 - - - - - - 100 Rp\50.000 Rp 5.000.000 03/01/2013 - - - 75 Rp50.000 Rp 3.750.000 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 05/01/2013 50 Rp55.000 Rp 2.750.000 - - - 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 50 Rp55.000 Rp 2.750.000 14/01/2013 - - - 30 Rp55.000 Rp 1.650.000 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 20 Rp55.000 Rp 1.100.000 21/01/2013 75 Rp59.000 Rp 4.425.000 - - - 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 20 Rp55.000 Rp 1.100.000 75 Rp59.000 Rp 4.425.000 23/01/2013 25 Rp63.000 Rp 1.575.000 - - - 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 20 Rp55.000 Rp 1.100.000 75 Rp59.000 Rp 4.425.000 25 Rp63.000 Rp 1.575.000 25/01/2013 - - - 25 Rp63.000 Rp 1.575.000 25 Rp59.000 Rp 1.475.000 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 20 Rp55.000 Rp 1.100.000 50 Rp59.000 Rp 2.950.000 29/01/2013 - - - 15 Rp59.000 Rp 885.000 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 20 Rp55.000 Rp 1.100.000 35 Rp59.000 Rp 2.065.000 Rp 9.335.000 80 Rp 4.415.000 21
Harga barang pokok yang terjual Rp 9.335.000 Nilai persediaan akhir Rp 4.415.000 Tabel 2.4 Metode Average Tanggal Pembelian Penjualan Saldo Unit Harga Total Unit Harga Total Unit Harga Barang 01/01/2013 - - - - - - 100 Rp50.000 Rp 5.000.000 03/01/2013 - - - 75 Rp50.000 Rp 3.750.000 25 Rp50.000 Rp 1.250.000 05/01/2013 50 Rp55.000 Rp2.750.000 - - - 75 Rp53.333 Rp 4.000.000 14/01/2013 - - - 30 Rp53.333 Rp 1.599.990 45 Rp53.333 Rp 2.399.985 21/01/2013 75 Rp59.000 Rp4.425.000 - - - 120 Rp56.875 Rp 6.824.985 23/01/2013 25 Rp63.000 Rp1.575.000 - - - 145 Rp57.931 Rp 8.399.985 25/01/2013 - - - 50 Rp57.931 Rp 2.896.550 95 Rp 7.931 Rp 5.503.445 29/01/2013 - - - 15 Rp57.931 Rp 868.965 80 Rp57.931 Rp 4.634.480 Rp 9.115.505 80 Rp 4.634.480 Harga barang pokok yang terjual Rp 9.115.505 Nilai persediaan akhir Rp 4.634.480 2.4.2 Penilaian Persediaan Selain Pendekatan Arus Harga Pokok Biaya merupakan dasar utama untuk penilaian persediaan. Menurut Warren Reeve Fess ada dua macam penilaian persediaan selain dengan pendekatan arus harga pokok, yaitu: 1. Penilaian pada Mana yang Lebih Rendah antara Harga Pokok atau Harga Pasar Jika biaya penggantian suatu persediaan lebih rendah daripada biaya pembeliannya maka metode mana yang lebih rendah antara harga 22
pokok atau harga pasar (lower of cost or market- LCM method) digunakan untuk menilai persediaan. Harga pasar yang digunakan dalam LCM, adalah biaya untuk mengganti barang dagang pada tanggal persediaan. Nilai pasar ini didasarkan pada jumlah yang biasanya dibeli dari sumber pemasok yang biasa. Keunggulan utama dari metode LCM adalah bahwa laba kotor (dan laba bersih) akan berkurang dalam periode terjadinya penurunan ilai pasar. Dalam menerapkan metode LCM, biaya dan biaya penggantian dapat ditentukan dengan salah satu dari tiga cara. Biaya dan biaya penggantian (replacement cost) dapat ditentukan untuk (1) setiap jenis barang dalam persediaan, (2) kelas atau kategori utama persediaan, dan (3) persediaan secara keseluruhan. Sebagai ilustrasi, asumsikan bahwa terdapat 400 unit barang A yang identik dalam persediaan, yang dibeli dengan harga $10,25 per unit. Jika pada tanggal persediaan barang tersebut akan memerlukan biaya $10,50 untuk menggantinya, maka harga sebesar $10,25 akan dikalikan dengan 400 untuk menentukan nilai persediaan. Pada sisi lain, jika barang tersebut dapat diganti dengan harga $9,50 per unit, biaya penggantian sebesar $950 akan digunakan untuk tujuan penilaian. 23
Tabel 2.5 Metode yang Terendah Antara Harga Pokok atau Harga Pasar Harga Total Barang Jumlah Biaya Pasar Persediaan Per unit per Unit Biaya Pasar LCM A 400 $ 10,25 $ 9,50 $ 4.100 $ 3.800 $ 3.800 B 120 22,50 24,10 2.700 2.892 2.700 C 600 8,00 7,75 4.800 4.650 4.650 D 280 14,00 14,75 3.920 4.130 3.920 Total $ 15,520 $ 15.472 $ 15.070 Jadi, jumlah penurunan nilai pasar, $450 ($15.520 - $15.070), laba bersih akan berkurang sebesar penurunan harga pasar. 2. Penilaian pada Nilai Realisasi Bersih Seperti yang mungkin telah Anda perkirakan, barang dagang yang telah usang, rusak, cacat, atau hanya bisa dijual dengan harga dibawah harga pokok harus diturunkan nilainya. Barang yang semacam itu harus dinilai realisasi bersih. Nilai realisasi bersih (net realizable value) adalah estimasi harga jual dikurangi biaya pelepasan langsung, seperti komisi penjualan. Sebagai contoh, asumsikan bahwa barang yang telah rusak, dengan harga pokok $1.000, hanya dapat dijual dengan harga $800, dan beban penjualan langsung diestimasikan sebesar $150. Persediaan ini harus dinilai sebesar $650 ($800 - $150), yang merupakan nilai realisasi bersihnya. 24