HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Jerami Padi

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

menjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan. Pakan dengan kualitas yang baik, memberikan efek terhadap

KAJIAN in vitro FERMENTASI DAN KECERNAAN RANSUM BERBASIS JERAMI PADI YANG DIOPTIMALISASI DENGAN PENGGUNAAN SUPLEMEN KAYA NUTRIEN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

PENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi

Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Diagram Alir Proses Pengolahan Ubi Kayu menjadi Tepung Tapioka Industri Rakyat Sumber : Halid (1991)

BAB I PENDAHULUAN. nutrisi makanan. Sehingga faktor pakan yang diberikan pada ternak perlu

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Konsentrasi NH3. protein dan non protein nitrogen (NPN). Amonia merupakan bentuk senyawa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

HASIL DAN PEMBAHASAN Suplementasi Biomineral

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.

MATERI DAN METODE. Materi

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan domba-domba lokal. Domba lokal merupakan domba hasil persilangan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan 100% Bahan Kering (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang

I. PENDAHULUAN. masyarakat meningkat pula. Namun, perlu dipikirkan efek samping yang

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Unsur-unsur Nutrien dalam Singkong (dalam As Fed)

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.

Okt ,30 75,00 257,00 Nop ,30 80,00 458,00 Des ,10 84,00 345,00 Jumlah 77,70 264, ,00 Rata-rata 25,85 88,30 353,34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

BAB I. PENDAHULUAN. tahun 2005 telah difokuskan antara lain pada upaya swasembada daging 2014

TINJAUAN PUSTAKA. baik dalam bentuk segar maupun kering, pemanfaatan jerami jagung adalah sebagai

senyawa humat (39,4% asam humat dan 27,8% asam fulvat) sebesar 10% pada babi dapat meningkatkan pertambahan bobot badan dan konversi pakan secara sign

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sumber nitrogen pada ternak ruminansia berasal dari non protein nitrogen

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Tanaman jagung termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan nama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Kappaphycus alvarezii

Tyas Widhiastuti. Pembimbing: Dr. Ir. Anis Muktiani, M.Si Dr. Ir. Mukh. Arifin, M.Sc

dengan bakteri P. ruminicola (98-100%), B. fibrisolvens (99%), C. eutactus (99%) dan T. bryantii (94%). Bakteri-bakteri tersebut diduga sering

II. TINJAUAN PUSTAKA. Unsur mineral merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan oleh

HASIL DAN PEMBAHASAN M0 9,10 MJ 6,92 MIL 7,31 MILT 12,95 SEM 1.37

BAB I PENDAHULUAN. rumen dalam menghasilkan produk metabiolit rumen (VFA, N-NH3 maupun protein

II. TINJAUAN PUSTAKA. penampilan barang dagangan berbentuk sayur mayur yang akan dipasarkan

I. PENDAHULUAN. dilakukan sejak tahun 1995, meliputi pengolahan dan tingkat penggunaan dalam

I. PENDAHULUAN. kontinuitasnya terjamin, karena hampir 90% pakan ternak ruminansia berasal dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. Sumber Protein secara In Vitro dilaksanakan pada bulan September November

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. sangat besar untuk memenuhi kebutuhan daging di tingkat nasional. Kenyataan

HASIL DAN PEMBAHASAN

OPTIMALISASI RANSUM KOMPLIT BERBASIS JERAMI DAN DEDAK PADI DENGAN SUPLEMEN KAYA NUTRIEN DITINJAU DARI FERMENTABILITAS DAN KECERNAAN in vitro

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

I. PENDAHULUAN. hijauan serta dapat mengurangi ketergantungan pada rumput. seperti jerami padi di pandang dapat memenuhi kriteria tersebut.

I. PENDAHULUAN. membuat kita perlu mencari bahan ransum alternatif yang tersedia secara

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I. PENDAHULUAN. pertanian atau sisa hasil pertanian yang bernilai gizi rendah sebagai bahan pakan

I. PENDAHULUAN. atau sampai kesulitan mendapatkan hijauan makanan ternak (HMT) segar sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

Animal Agricultural Journal, Vol. 1. No. 1, 2012, p Online at :

II. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai

Hasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang. peternak dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional (Hoddi et al.,

Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p Online at :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cara peningkatan pemberian kualitas pakan ternak. Kebutuhan pokok bertujuan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

HASIL DAN PEMBAHSAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang terdiri dari oksida rangkap seperti Al 2 O 3, SiO 2, Fe 2 O 3, CaO, dan

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Bahan pakan yang digunakan di dalam ransum perlakuan penelitian ini, merupakan limbah pertanian yaitu jerami padi dan dedak padi, limbah tempat pelelangan ikan (TPI) yaitu tepung ikan, limbah agroindustri yaitu molasses dan minyak kelapa, dan hijauan leguminosa yaitu daun lamtoro, ubi kayu, dan turi, yang belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga penggunaannya dapat menjadi pakan alternatif yang menguntungkan. Penanganan akan lebih mudah karena umumnya limbah tersebut terpusat pada suatu daerah dengan jumlah yang banyak sehingga memudahkan peternak untuk mendapatkan pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi ternak. Suplemen kaya nutrien dan ransum komplit yang dibuat dalam penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nutrien jerami padi agar lebih dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak untuk mengatasi rendahnya produksi hijauan pada musim kemarau. Ransum berbasis jerami padi disusun dengan komposisi ransum dapat dilihat pada Tabel 3. Ransum P1 merupakan ransum kontrol hanya jerami padi saja. Ransum P2 merupakan ransum P1 yang diberi suplemen dedak padi. Ransum P3 merupakan ransum P2 yang diberi SKN. Ransum P4 adalah ransum komplit berbasis jerami padi yang telah diperkaya dengan penggunaan dedak padi dan berbagai bahan yang terdapat di dalam SKN. Kandungan nutrien ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Komposisi SKN terdiri atas dedak padi (60%), daun ubi kayu (15%), daun lamtoro (9%), daun turi (5%), tepung ikan (10%) dan mineral mix (1%) berdasarkan BK. Berdasarkan hasil analisis laboratorium PAU IPB (2011), SKN memiliki kandungan BK 78,74%, PK 14,62%, SK 22,10%, LK 5,96%, BETN 41,90%, TDN 63,68%, Ca 1,92%, dan P 0,25% berdasarkan bahan kering (BK) (Tabel 2). Berdasarkan hasil perhitungan, kandungan PK dan TDN dalam penelitian ini berkisar 4,21-10,79% dan 47,41-53,97%. Kandungan PK terendah dimiliki oleh Ransum P1 yang merupakan ransum kontrol sebesar 4,21%, sedangkan kandungan PK untuk P2, P3, dan P4 berturut-turut adalah 4,92, 5,21, dan 10,79%. Penambahan 21

suplemen dalam ransum dan menurunnya komposisi jerami padi pada ransum tersebut akan sedikit meningkatkan kandungan PK (Tabel 4). Semakin meningkatnya penggunaan suplemen dalam ransum perlakuan akan meningkatkan kandungan BO kecuali untuk perlakuan ransum komplit (P4). Tingginya kandungan abu pada P4 diduga sebagai akibat penggunaan molasses, molasses mengandung abu sebesar 10,4% (Tillman et al.,1997) sehingga meningkatkan kandungan abu ransum komplit. Peningkatan BO pada perlakuan P1, P2, dan P3 ini disebabkan terjadinya penurunan kandungan abu dengan semakin meningkatnya penggunaan suplemen dalam ransum perlakuan. Tabel 4. Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan* Ransum dasar jerami padi + suplemen Nutrien # TS (P1) DP (P2) DP dan SKN (P3) RK (P4) (%) Bahan kering 87,50 88,10 87,83 81,75 Bahan organik 82,60 82,69 82,74 81,43 Abu 17,40 17,31 17,26 18,57 Protein kasar 4,21 4,92 5,21 10,79 Lemak kasar 1,44 1,88 1,99 3,25 Serat kasar 32,50 31,88 31,60 26,70 Beta-N 44,45 44,01 43,94 40,69 TDN 1) 47,41 48,50 48,94 53,97 Calsium 0,42 0,37 0,42 2,35 Phospor 0,28 0,39 0,38 0,29 Keterangan : * = %BK; # = Perhitungan berdasarkan data Sutardi (1980); 1) = Perhitungan nilai TDN dengan rumus TDN =25,6+0,53PK+1,7LK 0,474SK+0,732BETN (Sutardi, 1980); TS = tanpa suplemen; DP = dedak padi; SKN = suplemen kaya nutrien; RK = ransum komplit; (P1, P2, P3, P4) = perlakuan. Selain dapat meningkatkan kandungan PK ransum, penambahan suplemen yang semakin tinggi dalam ransum merubah kandungan SK, dimana SK mengalami penurunan tiap perlakuan dan perlakuan ransum komplit (P4) memiliki SK yang terendah dibandingkan perlakuan yang lain (Tabel 4). Rendahnya SK pada P4 diduga sebagai akibat dari komposisi jerami padi pada ransum tersebut sebesar 40%, lebih rendah dibandingkan perlakuan yang lain yang komposisi jerami padinya di atas 80% (Tabel 3). 22

Fermentabilitas Pakan yang masuk ke dalam rumen akan didegradasi dan difermentasi menjadi amonia (NH 3 ), VFA, dan CH 4. Amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba (Arora, 1989) dan bersama dengan kerangka C sumber energi akan disintesa menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Selain amonia, mikroba juga membutuhkan rantai karbon untuk pertumbuhannya dan ini dapat disuplai dari asam lemak terbang atau VFA yang merupakan hasil fermentasi karbohidrat dan protein (Mathius dan Sutrisno, 1994). Konsentrasi NH 3 dan VFA hasil penelitian disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Efek Perlakuan dan Waktu Inkubasi terhadap Rataan Konsentrasi Produk Fermentabilitas (NH 3 dan VFA) Peubah NH 3 VFA Ransum dasar jerami padi + suplemen Waktu Inkubasi TS (P1) DP (P2) DP dan SKN (P3) RK (P4) Rataan mm 1 Jam 2,34±0,20 2,56±0,01 2,55±0,03 3,41±0,10 2,71±0,47 C 3 Jam 2,76±0,02 2,61±0,01 2,67±0,04 3,58±0,12 2,91±0,45 B 5 Jam 2,96±0,01 3,37±0,07 3,81±0,02 3,83±0,16 3,49±0,42 A Rataan 2,68±0,32 D 2,85±0,45 C 3,01±0,70 B 3,61±0,21 A 3,04±0,53 1 Jam 33,03±4,89 39,16±11,03 51,15±9,60 81,37±11,44 51,18±21,49 Bb 3 Jam 35,35±4,42 48,60±8,76 55,33±2,93 84,46±9,03 55,94±20,75 Ba 5 Jam 52,78±11,60 70,55±11,04 76,23±8,93 102,21±13,84 75,44±20,45 A Rataan 40,39±10,80 D 52,77±16,11 C 60,90±13,44 B 89,35±11,25 A 60,85±21,86 Keterangan : P1 = Jerami padi (100%) tanpa suplemen; P2 = Jerami padi (82,78%) + Dedak padi (17,22%); P3 = Jerami padi (80,39%) + Dedak padi (16,72%) + Suplemen kaya nutrien (2,89%); P4 = Ransum komplit (100%). Superskrip huruf besar pada baris dan kolom yang sama menandakan sangat berbeda nyata (P<0,01). Superskrip huruf kecil pada baris dan kolom yang sama menandakan berbeda nyata (P<0,05). Konsentrasi NH 3 (Amonia) Protein pakan di dalam rumen akan didegradasi oleh mikroba, terutama bakteri proteolitik (penghasil enzim protease), menjadi bentuk senyawa yang lebih sederhana (polipeptida). Polipeptida mengalami degradasi lebih lanjut menjadi asam amino, peptida rantai pendek (oligopeptida), amonia (NH 3 ), dan CO 2. Sebagian asam amino selanjutnya akan dideaminasi menjadi asam keto alfa yang menghasilkan VFA, amonia, CH 4 dan CO 2 (Sutardi, 1979). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi amonia dipengaruhi oleh ransum perlakuan (faktor A) (P<0,01), waktu inkubasi (faktor B) (P<0,01), dan 23

interaksi antara kedua faktor (P<0,01), tetapi tidak dipengaruhi oleh kelompok yaitu cairan rumen yang digunakan. Uji ortogonal kontras memperlihatkan adanya perbedaan diantara perlakuan dan waktu inkubasi yang diterapkan. Uji ortogonal kontras pada faktor A menunjukkan bahwa penggunaan suplemen dapat meningkatkan konsentrasi amonia; konsentrasi amonia terendah dihasilkan oleh ransum jerami padi (JP) saja (P1) yang sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan ransum JP dengan suplemen dedak padi (P2). Kedua perlakuan tersebut sangat berbeda nyata dengan ransum JP dengan suplemen SKN (P3) dan ransum komplit (P4) (P<0,01). Perlakuan ransum komplit (P4) menghasilkan konsentrasi amonia yang sangat berbeda nyata dengan perlakuan P3 (P<0,01). Uji ortogonal kontras pada faktor B (perlakuan waktu inkubasi) menunjukkan bahwa meningkatnya waktu inkubasi dapat meningkatkan konsentrasi amonia. Konsentrasi amonia tertinggi dihasilkan pada waktu inkubasi 5 jam yang sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan waktu inkubasi 1 dan 3 jam. Hasil penelitian menunjukkan waktu inkubasi 5 jam menghasilkan rataan konsentrasi amonia yang paling optimal yaitu 3,49 mm, sedangkan waktu inkubasi 1 dan 3 jam menghasilkan rataan konsentrasi amonia sebesar 2,71 dan 2,91 mm, hal ini memperlihatkan bahwa waktu inkubasi 5 jam merupakan waktu yang optimal bagi mikroba rumen menggunakan amonia yang dihasilkan oleh pakan. Semakin tingginya produksi NH 3 pada ransum yang disuplementasi, baik pada 1 sampai 5 jam waktu inkubasi tanpa suplementasi dapat dijelaskan dengan beberapa pendekatan : (1) pada 1 jam waktu inkubasi NH 3 yang diproduksi pada keempat macam ransum dipengaruhi oleh solubilitas ransum itu sendiri dan belum dipengaruhi oleh aktivitas mikroba, mengingat pada saat itu merupakan langkah awal adaptasi dari mikroba. Kondisi ini diperjelas oleh Sutardi (1980) bahwa pada 1-1,5 jam waktu inkubasi pakan merupakan awal penentu dari kadar NH 3 dan atau VFA suatu pakan yang berasal dari solubilitas dari pakan itu sendiri; (2) produksi NH 3 pada 3 jam inkubasi meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan mikroba sudah mulai meningkat dengan kondisi ekologi yang lebih mantap, sehingga aktivitasnya dalam mendegradasi pakan juga meningkat. Pernyataan ini didukung oleh Erwanto (1995) bahwa proses fermentasi berjalan optimal bila seluruh rangkaian reaksi berjalan selaras (coupled reaction); dan (3) pada 5 jam inkubasi juga terjadi peningkatan produksi NH 3 sejalan 24

dengan semakin meningkatnya aktivitas mikroba mendegradasi pakan atau ransum. Hasil penelitian ini didukung oleh pernyataan Sutardi (1979) bahwa pada 3 sampai 4 jam setelah ternak ruminansia diberi makan secara in vivo dapat dijadikan sebagai patokan dalam penentuan populasi mikroba rumen dan aktivitas puncak fermentasinya serta produk yang dihasilkannya seperti VFA dan atau NH 3. Nuraeni (1993) menambahkan bahwa konsentrasi amonia juga dapat dipengaruhi oleh waktu inkubasi. Peningkatan rataan konsentrasi amonia pada perlakuan P1, P2, P3, dan P4 tidak terlalu signifikan, hal ini berkaitan dengan berbagai faktor. (1) Kandungan protein tiap perlakuan tergolong rendah berkisar 4,21-10,79%. Haaland et al. (1982) menyatakan bahwa semakin tinggi kandungan protein ransum diharapkan produksi amonia semakin meningkat. Menurut Shirley (1986) yang melaporkan bahwa tingkat kandungan PK di atas 13% dapat meningkatkan konsentrasi NH 3 cairan rumen. (2) Sumber protein pada ransum komplit dan suplemen kaya nutrien merupakan protein tidak terdegradasi atau Rumen Undegradable Protein (RUP) di rumen yang berasal dari tepung ikan dan tepung daun (daun ubi kayu, lamtoro, dan turi). Pada proses pembuatan tepung ikan, adanya proses pemanasan dalam pengolahannya sehingga protein mengalami denaturasi atau terjadi perubahan struktur alaminya (pemanasan mengakibatkan protein membuka struktur aslinya) yang mengakibatkan terjadinya perubahan kimiawi dan kelarutan proteinnya (McDonald et al., 1982). Bahan pakan penyusun tepung daun, yaitu daun lamtoro dan turi memiliki zat antinutrisi yaitu tanin, saponin dan mimosin. Tanin merupakan senyawa sekunder yang terdapat pada tumbuhan legum dan dapat berikatan dengan protein, sehingga menyebabkan protein resisten terhadap degradasi oleh protease di dalam rumen. Menurut Barry dan Blaney (1987), komplek tanin protein yang terbentuk oleh ikatan hidrogen, stabil pada ph sekitar 4-7, namun selain ph tersebut, komplek ini akan terpisah. Protein diikat oleh tanin dalam rumen, lalu setelah keluar dari rumen ikatan ini akan pecah di abomasum (ph 2,5-3,5) dan duodenum (ph 8-9) sehingga protein tersebut dapat dicerna dan diserap (Barry dan Blaney, 1987). McDonald et al. (2002) menyatakan sekitar 20-100% protein ransum dapat larut jika terdiri dari bahan pakan berupa hijauan tinggi protein, bungkil, dan biji - bijian. 25

Konsentrasi NH 3 (mm) Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi amonia semua perlakuan berkisar antara 2,68-3,61 mm, konsentrasi ini belum menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal yang berkisar antara 6-21 mm (McDonald et al., 2002), 4-12 mm (Sutardi, 1979), dan 3,57-15 mm (Satter dan Slyter, 1974). Kondisi ini dikarenakan jerami padi merupakan bahan pakan yang sedikit dalam penyediaan amonianya, bahan pakan penyusun SKN dan ransum komplit terdiri dari bahan pakan sumber protein yang sulit didegradasi dalam rumen yaitu tepung daun (daun lamtoro, daun turi, daun ubi kayu) dan tepung ikan, dan taraf suplementasi yang rendah. Pernyataan ini didukung oleh Satter dan Slyter (1974), produksi amonia yang kurang dari 3,57 mm menunjukkan bahwa protein pakan sulit dirombak oleh mikroba rumen. 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 0 1 2 3 4 5 6 Waktu Inkubasi (Jam) P1 P2 P3 P4 Gambar 3. Hubungan konsentrasi NH 3 (mm) dengan interaksi antara perlakuan ransum dengan waktu inkubasi (Jam) Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa adanya interaksi antara faktor A (perlakuan) dan faktor B (waktu inkubasi) dalam menghasilkan konsentrasi NH 3. Pada Gambar 3, interaksi P1, P2, dan P3 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi NH 3 dalam penelitian ini mengikuti persamaan kuadratik yaitu Y = - 26

0,0282X 2 + 0,324X + 2,0422 dengan nilai R 2 = 0,8634 (86,34%) untuk P1, Y = 0,087X 2-0,32X + 2,791 dengan nilai R 2 = 0,9888 (98,88%) untuk P2, dan Y = 0,1265X 2-0,442X + 2,8615 dengan nilai R 2 = 0,9978 (99,78%) untuk P3, sedangkan interaksi P4 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi NH 3 mengikuti persamaan linear yaitu Y = 0,1065X + 3,2872 dengan nilai R 2 = 0,6987 (69,87%). Konsentrasi VFA VFA total merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia yang menyediakan 70-80% kebutuhan energi ternak (Maurice, 1987). Asam lemak atsiri (VFA) merupakan hasil fermentasi karbohidrat dalam rumen dan terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana. Tahap berikutnya adalah fermentasi gula sederhana menjadi produk fermentasi diantaranya VFA (Preston dan Leng, 1987). Total VFA dihasilkan selain dari proses fermentasi karbohidrat (asam asetat, asam propionat dan asam butirat), juga berasal dari proses fermentasi protein berupa asam lemak rantai cabang (asam isobutirat, asam valerat dan asam isovalerat). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi VFA sangat dipengaruhi (P<0,01) oleh ransum perlakuan (faktor A), waktu inkubasi (faktor B), dan kelompok yaitu cairan rumen yang digunakan, tetapi tidak dipengaruhi oleh interaksi antara kedua faktor. Uji ortogonal kontras memperlihatkan adanya perbedaan diantara perlakuan dan waktu inkubasi yang diterapkan. Uji ortogonal kontras pada faktor A (perlakuan ransum) menunjukkan bahwa penggunaan suplemen dapat meningkatkan konsentrasi VFA total. Konsentrasi VFA total terendah dihasilkan oleh ransum jerami padi saja (P1), yang sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan ransum JP dengan suplemen dedak padi (P2), SKN (P3) dan ransum komplit (P4). Ketiga suplemen juga menghasilkan konsentrasi VFA total yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Uji ortogonal kontras pada faktor B (perlakuan waktu inkubasi) menunjukkan bahwa meningkatnya waktu inkubasi dapat meningkatkan konsentrasi VFA total. Konsentrasi VFA total tertinggi dihasilkan pada waktu inkubasi 5 jam yang sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan waktu inkubasi 1 dan 3 jam. Waktu inkubasi yang optimal menghasilkan konsentrasi VFA tertinggi adalah waktu inkubasi 5 jam yaitu sekitar 52,78-102,21 mm dengan rataan 75,44 mm. 27

Lamanya waktu inkubasi dapat mempengaruhi produksi VFA yang dihasilkan, proses metabolisme karbohidrat akan menghasilkan konsentrasi VFA yang tinggi pada awal inkubasi. Hungate (1966) menyatakan bahwa VFA naik pada jam ke-4 sampai ke-5 kemudian menurun lagi hingga mencapai jumlah yang sama dengan ketika berada pada awal fermentasi. Menurut Danirih (2004), suplementasi ke dalam ransum dapat memproduksi VFA total optimum sebesar 126,25-144,77 mm pada waktu inkubasi 2-4 jam. Rahmawati (2001) menyatakan semakin lamanya waktu inkubasi menyebabkan konsentrasi VFA menurun karena telah digunakan oleh mikroba rumen untuk membentuk protein mikroba. Hasil uji lanjut ortogonal polinomial menunjukkan bahwa hubungan antara konsentrasi VFA total dengan waktu inkubasi dalam penelitian mengikuti persamaan kuadratik Y = 7,3725X 2-19,971X + 217,31, dengan nilai R 2 = 0,677; Y adalah nilai duga konsentrasi VFA total (mm) dan X adalah waktu inkubasi dalam penelitian (jam), hal ini berarti, berdasarkan turunan dari persamaan tersebut, terlihat bahwa konsentrasi VFA total maksimum akan terjadi pada waktu inkubasi 1,35 jam dengan nilai diterminasi 67,7%. Kondisi ini dikarenakan solubilitas dari suplemen (dedak padi dan SKN) pada ransum berbasis jerami padi di dalam rumen bukan dikarenakan aktivitas dari mikroba rumen tersebut. Hal ini senada dengan Sutardi (1980) bahwa pada 1-1,5 jam waktu inkubasi pakan merupakan awal penentu dari kadar NH 3 dan atau VFA suatu pakan yang berasal dari solubilitas dari pakan itu sendiri. Terjadinya peningkatan konsentrasi VFA pada waktu inkubasi yang berbeda (Gambar 4) ini dikarenakan kondisi ekologi mikroba rumen yang lebih mantap sehingga meningkatnya aktivitas mikroba rumen dalam mencerna ransum berbasis jerami padi. Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian Novianto (2009) bahwa pada 6 jam waktu inkubasi, konsentrasi VFA total jerami padi lebih tinggi dibandingkan dengan rumput gajah dan serat sawit (110,9 vs 82,3 dan 88 mm) jika difermentasi oleh bakteri pencerna serat dari rayap dan rumen domba. Lamanya waktu inkubasi memberikan kesempatan kepada bakteri untuk memaksimalkan mencerna serat kasar. Selain itu, tingginya kandungan selulosa dari jerami padi kemungkinan akan lambat difermentasi dan adanya silika juga dapat melambatkan fermentasi sehingga produksi VFA yang tinggi baru dapat dicapai pada saat 6 jam inkubasi. 28

Konsentrasi VFA (mm) Pada Gambar 4 dapat dilihat interaksi P1, P2, P3, dan P4 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi VFA mengikuti persamaan kuadratik yaitu Y = 1,8878X 2-6,387X + 37,525 dengan nilai R 2 = 0,6208 (62,08%) untuk P1, Y = 1,5637X 2-1,537X + 39,137 dengan nilai R 2 = 0,6694 (66,94%) untuk P2, Y = 2,0882X 2-6,26X + 55,32 dengan nilai R 2 = 0,7145 (71,45%) untuk P3, dan Y = 1,8328X 2-5,787X + 85,324 dengan nilai R 2 = 0,4391 (43,91%) untuk P4. 140 120 100 80 60 40 P1 P2 P3 P4 20 0 0 1 2 3 4 5 6 Waktu Inkubasi (Jam) Gambar 4. Hubungan konsentrasi VFA (mm) dengan interaksi antara perlakuan ransum dengan waktu inkubasi (Jam) Konsentrasi rata - rata VFA total yang dihasilkan dari perlakuan P1 sebesar 40,39 mm. Hasil ini belum termasuk produksi normal VFA menurut McDonald et al. (1995), dengan rataan sebesar 70-150 mm. Perlakuan penambahan suplemen dapat meningkatkan konsentrasi VFA total pada P2, P3, dan P4. Komposisi pakan suplemen yang digunakan pada perlakuan P2, P3, dan P4 memiliki nilai fermentabilitas yang lebih baik daripada jerami padi, sehingga penambahan dedak padi, tepung daun, tepung ikan, minyak kelapa, molasses, dan mineral mix meningkatkan konsentrasi VFA total dari perlakuan P1. Produksi VFA cairan rumen dipengaruhi oleh sumber energi (Bampidis dan Robinson, 2006) dan jenis pakan, 29

VFA yang tinggi menunjukkan peningkatan kandungan protein dan karbohidrat mudah larut dari pakan (McDonald et al., 1995). Dalam rumen, karbohidrat hampir sepenuhnya difermentasi menjadi VFA sehingga memasok sumber energi bagi pertumbuhan mikroba rumen (Bergman, 1990). Pengaruh karbohidrat mudah terfermentasi terhadap kadar VFA cairan rumen masih beragam antar peneliti. Percobaan Hristov et al. (2005) menghasilkan total VFA ransum yang mengandung dekstrosa jagung lebih rendah daripada ransum dengan sumber karbohidrat lainnya. Golombeski et al. (2006) menghasilkan total VFA yang sama antara ransum yang mengandung gula mudah terfermentasi dan ransum tanpa gula. Khosarani et al. (2001) yang menggunakan barley sebagai sumber karbohidrat nonstrukturalnya, memperoleh total VFA cairan rumen yang lebih tinggi daripada yang menggunakan jagung. Persamaan hasil percobaan sebelumnya dengan percobaan ini adalah penggunaan karbohidrat mudah larut dari pakan seperti dedak padi, molasses, minyak kelapa (CPO), barley, dan pakan sumber karbohidrat mudah larut lainnya dapat meningkatkan konsentrasi VFA total. Degradabilitas Degradabilitas menunjukkan tingkat degradasi oleh mikroba rumen. Daya degradasi bahan pakan berhubungan erat dengan penyediaan zat makanan bagi ternak. Semakin besar daya degradasi suatu bahan makanan maka semakin besar pula zat makanan yang diperoleh ternak, berlaku juga sebaliknya. Rataan DBK dan DBO hasil penelitian disajikan pada Tabel 6. Degradabilitas Bahan Kering (DBK) dan Bahan Organik (DBO) Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa DBK dan DBO dipengaruhi oleh ransum perlakuan (faktor A) (P<0,01), waktu inkubasi (faktor B) (P<0,01), dan kelompok yaitu cairan rumen yang digunakan (P<0,05), tetapi tidak dipengaruhi oleh interaksi antara kedua faktor. Uji ortogonal kontras memperlihatkan adanya perbedaan diantara perlakuan dan waktu inkubasi yang diterapkan. Uji ortogonal kontras pada faktor A (perlakuan ransum) menunjukkan bahwa penggunaan suplemen dapat meningkatkan nilai DBK dan DBO. Nilai DBK dan DBO terendah dihasilkan oleh ransum jerami padi (JP) saja (P1) yang berbeda nyata (P<0,05) dengan ransum JP dengan suplemen dedak padi (P2). Kedua perlakuan P1 30

dan P2 sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan perlakuan ransum JP dengan SKN (P3) dan ransum komplit (P4) yang dimana perlakuan ransum komplit (P4) sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan perlakuan ransum JP dengan SKN (P3). Uji ortogonal kontras pada faktor B (perlakuan waktu inkubasi) menunjukkan bahwa meningkatnya waktu inkubasi dapat meningkatkan nilai DBK dan DBO. Nilai DBK dan DBO tertinggi dihasilkan pada waktu inkubasi 5 jam saja, yang sangat berbeda nyata (P<0,01) dengan waktu inkubasi 1 dan 3 jam. Tabel 6. Efek Perlakuan dan Waktu Inkubasi terhadap Rataan Degradabilitas Bahan Kering dan Bahan Organik Peubah DBK DBO Ransum dasar jerami padi + suplemen Waktu Inkubasi TS (P1) DP (P2) DP dan SKN (P3) RK (P4) Rataan % 1 Jam 14,11±1,21 14,62 ±0,19 17,65 ±0,28 20,23 ±0,92 16,65±2,85 Bb 3 Jam 14,72 ±0,45 15,61 ±0,47 18,47 ±0,30 20,73±0,63 17,38±2,75 Ba 5 Jam 16,32 ±1,05 16,68 ±0,17 19,05 ±0,52 23,57±3,05 18,91±3,34 A Rataan 15,05±1,14 Cb 15,64±1,03 Ca 18,39±0,71 B 21,51±1,80 A 17,65±2,88 1 Jam 12,98±1,22 14,11 ±0,54 16,41±0,26 19,16±0,84 15,66±2,73 B 3 Jam 14,01±0,66 14,46 ±0,65 16,89±0,72 19,22±0,57 16,15±2,41 B 5 Jam 14,82±0,97 16,10±0,73 17,59±0,77 21,42±3,01 17,48±2,86 A Rataan 13,93±0,92 Cb 14,89±1,06 Ca 16,96±0,59 B 19,93±1,29 A 16,43±2,55 Keterangan : P1 = Jerami padi (100%) tanpa suplemen; P2 = Jerami padi (82,78%) + Dedak padi (17,22%); P3 = Jerami padi (80,39%) + Dedak padi (16,72%) + Suplemen kaya nutrien (2,89%); P4 = Ransum komplit (100%). Superskrip huruf besar pada baris dan kolom yang sama menandakan sangat berbeda nyata (P<0,01). Superskrip huruf kecil pada baris dan kolom yang sama menandakan berbeda nyata (P<0,05). Berdasarkan hasil penelitian, waktu inkubasi 5 jam merupakan waktu inkubasi yang optimal menghasilkan nilai degradabilitas tertinggi dibandingkan waktu inkubasi yang lain (P<0,01), hal ini karena BK dan BO yang terdegradasi semakin tinggi sejalan lamanya proses fermentasi, jika fermentasi terjadi lebih lama maka aktivitas mikroba rumen dalam mendegradasi pakan semakin meningkat. Kondisi ini sesuai dengan Lubis (1992) yang menyatakan pengukuran degradasi dalam rumen sangat ditentukan oleh faktor kelarutan bahan pakan dan waktu inkubasi. Hasil uji ortogonal polinomial menunjukkan bahwa hubungan antara nilai DBK dan DBO dengan waktu inkubasi dalam penelitian mengikuti persamaan linier Y = 2,2556X + 63,82, dengan nilai R 2 = 0,7368 dan Y = 1,8158X + 60,272 dengan nilai R 2 = 0,6492; Y adalah nilai duga DBK dan DBO (%) dan X adalah waktu 31

Nilai DBO (%) Nilai DBK (%) inkubasi dalam penelitian (jam), hal ini berarti, setiap tambahan 1 jam waktu inkubasi akan menghasilkan peningkatan DBK dan DBO sebesar 2,2556 dan 1,8158% dengan nilai diterminasi 73,68 dan 64,92%. 35 30 25 20 15 10 5 P1 P2 P3 P4 0 0 1 2 3 4 5 6 Waktu Inkubasi (Jam) 30 25 20 15 10 P1 P2 P3 P4 5 0 0 1 2 3 4 5 6 Waktu Inkubasi (Jam) Gambar 5. Hubungan Nilai DBK dan DBO (%) dengan interaksi antara perlakuan ransum dengan waktu inkubasi (Jam) Pada Gambar 5 dapat dilihat interaksi P1, P2, dan P3 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi DBK dalam penelitian ini mengikuti persamaan linier yaitu Y = 0,5509X + 13,397, dengan nilai R 2 = 0,503 (50,3%) untuk P1, Y = 32

0,5167X + 14,087, dengan nilai R 2 = 0,9042 (90,42%) untuk P2, Y = 0,352X + 17,333, dengan nilai R 2 = 0,7331 (73,31%) untuk P3, hal ini berarti, setiap tambahan 1 jam waktu inkubasi akan menghasilkan peningkatan DBK sebesar 0,5509% untuk P1, 0,5167% untuk P2, dan 0,352% untuk P3. Sedangkan untuk P4 mengikuti persamaan kuadratik yaitu Y = 0,2923X 2-0,9177X + 20,854, dengan nilai R 2 = 0,4355 (43,55%), hal ini berarti, berdasarkan turunan dari persamaan tersebut, terlihat bahwa nilai DBK maksimum akan terjadi pada waktu inkubasi 1,57 jam. Interaksi P1 dan P3 dengan waktu inkubasi dalam menghasilkan konsentrasi DBO dalam penelitian ini mengikuti persamaan linier yaitu Y = 0,4592X + 12,557, dengan nilai R 2 = 0,4247 (42,47%) untuk P1, dan Y = 0,2948X + 16,076, dengan nilai R 2 = 0,4227 (42,27%) untuk P3, hal ini berarti, setiap tambahan 1 jam waktu inkubasi akan menghasilkan peningkatan DBO sebesar 0,4592% untuk P1 dan 0,2948% untuk P3. Efek interaksi P2 dan P4 dengan waktu inkubasi terhadap DBO dalam penelitian ini mengikuti persamaan kuadratik yaitu Y = 0,1616X 2-0,4732X + 14,426, dengan nilai R 2 = 0,6917 (69,17%) untuk P2, dan Y = 0,2671X 2-1,0372X + 19,929, dengan nilai R 2 = 0,2919 (29,19%) untuk P4, hal ini berarti, berdasarkan turunan dari persamaan tersebut, terlihat bahwa nilai DBO maksimum akan terjadi pada waktu inkubasi 1,46 jam untuk P2 dan 1,94 jam untuk P4. Nilai rataan DBK dan DBO terendah terdapat pada perlakuan P1 yaitu 15,05 dan 13,93% (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan P2. Pemberian jerami padi tanpa penambahan suplemen dan waktu inkubasi yang pendek merupakan faktor penyebabnya. Jerami padi memiliki komponen SK yang tinggi, SK biasanya kaya akan lignin dan selulosa (Sutardi, 1980). Selulosa berfungsi sebagai penguat pada batang tumbuhan, lignin untuk melindungi selulosa dari aksi kimiawi maupun biologis, sedangkan hemiselulosa pengikat selulosa dengan lignin (Lee, 1992). Jerami padi terdiri atas 37,7% selulosa, 22,0% hemiselulosa dan 16,6% lignin (Dewi, 2002). Kandungan lignin yang tinggi memperlambat aktivitas mikroba rumen (Selly, 1994) sehingga pakan menjadi sukar larut dan jumlah pakan yang didegradasi menjadi sedikit. Meskipun dilindungi oleh lignin, jerami padi masih dapat dihidrolisis menjadi glukosa oleh mikroorganisme selulotik seperti Trichoderma ressei maupun Aspergillus niger (Aderemi dkk., 2008). 33

Perlakuan kedua penambahan dedak padi sebesar 17,22% meningkatkan nilai DBK dan DBO sebesar 15,64 dan 14,89% dibandingkan perlakuan pertama, hal ini karena adanya zat pati dalam karbohidrat mudah larut pada dedak padi yang akan digunakan oleh mikroorganisme rumen pada tahap awal pertumbuhannya sebagai energi, setelah itu diikuti oleh penggunaan nutrien lainnya, akibatnya mikroorganisme dapat berkembang dengan baik, lebih banyak mengeluarkan enzim pencerna sehingga aktivitasnya lebih aktif, akibatnya degradabilitas meningkat. Perlakuan ketiga penambahan dedak padi sebesar 16,72% dan SKN sebesar 2,89% meningkatkan nilai DBK dan DBO sebesar 18,39 dan 16,96% dibandingkan perlakuan kedua dan pertama, hal ini karena (1) rasio jerami padi yang menurun sejalan dengan meningkatnya rasio SKN, perubahan rasio ini mengakibatkan menurunnya fraksi serat yang terutama berasal dari jerami padi sehingga memudahkan proses degradasi atau fermentasi serat tersebut; (2) adanya zat pati dalam karbohidrat mudah larut pada dedak padi yang akan digunakan oleh mikroorganisme rumen pada tahap awal pertumbuhannya sebagai energi, setelah itu diikuti oleh penggunaan nutrien lainnya, akibatnya mikroorganisme dapat berkembang dengan baik, lebih banyak mengeluarkan enzim pencerna sehingga aktivitasnya lebih aktif, akibatnya degradabilitas meningkat; (3) penggunaan beberapa bahan pakan seperti tepung ikan dan tepung daun juga dapat menyediakan beberapa zat makanan yang dibutuhkan mikroorganisme rumen; (4) sumber protein pada SKN (tepung daun yaitu daun turi) dapat mempengaruhi peningkatan nilai degradabilitas karena daun turi mengandung zat antinutrisi yaitu saponin. Saponin merupakan agen defaunasi protozoa sehingga mampu menjaga keseimbangan ekosistem dalam rumen dimana populasi bakteri meningkat akibatnya lebih banyak mengeluarkan enzim pencerna sehingga aktivitasnya lebih aktif, akibatnya degradabilitas meningkat. Perlakuan ransum komplit (P4) merupakan perlakuan yang optimal dibandingkan yang lain dalam menghasilkan nilai DBK dan DBO yaitu sebesar 21,51 dan 19,93%, hal ini karena beberapa faktor berikut : (1) Komposisi bahan pakan pada ransum komplit (P4) mengandung bahan pakan sumber karbohidrat mudah dicerna (readily available carbohydrate, RAC) yaitu dedak padi, molasses, dan minyak kelapa serta agen defaunasi protozoa yaitu minyak kelapa dan daun turi 34

pada tepung daun. Sari (1989) menyatakan bahwa penambahan molasses pada ransum dapat mengakibatkan mikroorganisme rumen mampu merombak SK pada dinding sel sehingga serat kasar menjadi lebih cepat dicerna dan molasses merupakan karbohidrat mudah larut dan banyak energi dari bahan tersedia yang mampu mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dengan cepat. Lebih lanjut Sutardi (1995) menjelaskan bahwa minyak kelapa memiliki daya defaunasi protozoa yakni 44% sehingga mampu menjaga keseimbangan ekosistem dalam rumen dimana populasi bakteri meningkat; kondisi ini menyebabkan pengeluaran enzim pencerna lebih banyak sehingga aktivitasnya lebih aktif, akibatnya degradabilitas meningkat. (2) Sumber protein pada ransum komplit (tepung daun yaitu daun turi) dapat mempengaruhi peningkatan nilai degradabilitas karena daun turi mengandung zat antinutrisi yaitu saponin. Saponin merupakan agen defaunasi protozoa yang dapat menyebabkan meningkatnya populasi bakteri dalam ekosistem rumen yang terjaga keseimbangannya; peningkatan ini menyebabkan peningkatan produksi enzim pencerna dan aktivitas yang lebih aktif sehingga proses degradasi menjadi lebih tinggi. (3) Imbangan penggunaan jerami padi dengan SKN dalam ransum komplit yang berubah, dimana rasio jerami padi menjadi lebih kecil daripada jerami padi dalam perlakuan lainnya. Penggunaan jerami padi yang semakin kecil menandakan berkurangnya fraksi serat yang sulit dicerna, dan sebaliknya bertambahnya fraksi zat makanan yang mudah dicerna; keadaan ini akan memudahkan proses pencernaan. Kecernaan Kecernaan didefinisikan dengan cara menghitung bagian zat makanan yang tidak dikeluarkan melalui feses, zat makanan tersebut akan diserap oleh ternak (McDonald et al., 1995). Kecernaan pakan biasanya dinyatakan berdasarkan BK dan BO sebagai suatu koefisien atau presentase (%). Kecernaan zat-zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan kualitas suatu bahan pakan. KCBK dan KCBO hasil penelitian disajikan pada Tabel 7. 35

Tabel 7. Efek Perlakuan terhadap Rataan Koefisien Kecernaan Bahan Kering dan Organik (KCBK dan KCBO) Ransum dasar jerami padi + suplemen Peubah TS (P1) DP (P2) DP dan SKN (P3) RK (P4) % KCBK 21,86±9,29 C 22,89±9,56 C 25,69±8,53 B 28,77±8,33 A KCBO 20,64±9,55 C 21,27±9,42 C 25,18±8,45 B 27,71±8,24 A Keterangan : P1 = Jerami padi (100%) tanpa suplemen; P2 = Jerami padi (82,78%) + Dedak padi (17,22%); P3 = Jerami padi (80,39%) + Dedak padi (16,72%) + Suplemen kaya nutrien (2,89%); P4 = Ransum komplit (100%). Superskrip huruf besar pada baris yang sama menandakan sangat berbeda nyata (P<0,01). Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO) Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa KCBK dan KCBO dipengaruhi oleh ransum perlakuan (P<0,01) dan blok yaitu cairan rumen yang digunakan (P<0,01). Uji ortogonal kontras memperlihatkan adanya perbedaan diantara perlakuan yang diterapkan. KCBK dan KCBO terendah pada perlakuan P1 tanpa suplementasi sebesar 21,86% dan 20,64% (P<0,05). Menurut Setyadi (2006), nilai KCBK dan KCBO wafer ransum berbasis jerami padi yang ditambahkan bahan perekat (molasses) sebesar 19,10% dan 26,94%. Rendahnya kecernaan perlakuan P1 dalam percobaan ini dikarenakan komponen SK yang tinggi pada perlakuan tersebut. Jerami padi memiliki komponen SK yang tinggi, SK yang kaya lignin dan selulosa (Sutardi, 1980). Sofyan dkk (2004) menilai SK, selulosa, dan lignin jerami padi sebesar 35,1%, 33,0%, dan 6,95%. Kandungan lignin yang tinggi memperlambat aktivitas mikroba rumen (Selly, 1994) sehingga pakan menjadi sukar larut dan jumlah pakan yang dicerna menjadi sedikit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa KCBK dan KCBO semakin meningkat dengan adanya perbaikan pada pakan. Pada perlakuan kedua dengan penambahan dedak padi sebesar 17,22% mampu meningkatkan KCBK dan KCBO dibandingkan perlakuan pertama walaupun hasil uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini dikarenakan dengan adanya zat pati dalam karbohidrat yang relatif lebih mudah larut pada dedak padi yang akan digunakan oleh mikroorganisme rumen pada tahap awal pertumbuhannya sebagai sumber energi, setelah itu diikuti oleh penggunaan nutrien lainnya, akibatnya mikroorganisme dapat berkembang dengan 36

baik, lebih banyak mengeluarkan enzim pencerna sehingga aktivitasnya lebih aktif, akibatnya kecernaan meningkat. Optimalisasi ransum berdasar jerami padi dengan penambahan SKN pada perlakuan P3 menghasilkan nilai rataan kecernaan yang sangat berbeda nyata dengan perlakuan kedua dan pertama (P<0,01). Sumber protein pada SKN (tepung ikan dan tepung daun) dapat mempengaruhi dalam peningkatan nilai kecernaan. Pada proses pembuatan tepung ikan, adanya proses pemanasan dalam pengolahannya sehingga protein mengalami denaturasi atau terjadi perubahan struktur alaminya (pemanasan mengakibatkan protein membuka struktur aslinya) yang mengakibatkan terjadi perubahan kimiawi dan kelarutan proteinnya menjadi lebih sukar di dalam rumen (McDonald et al., 1982) sehingga tahan akan degradasi oleh mikroba rumen. Bahan pakan penyusun tepung daun, yaitu daun lamtoro dan turi memiliki zat antinutrisi yaitu tanin. Tanin merupakan senyawa sekunder yang terdapat pada tumbuhan legum dan dapat berikatan dengan protein, sehingga menyebabkan protein resisten terhadap degradasi oleh protease di dalam rumen, tetapi protein tersebut diharapkan masih dapat dicerna dan diserap setelah keluar dari rumen. KCBK dan KCBO juga dapat dipengaruhi oleh kandungan protein pakan karena setiap sumber protein memiliki kelarutan dan ketahanan degradasi yang berbeda (Sutardi, 1980). Ransum komplit pada perlakuan P4 merupakan perlakuan yang optimal menghasilkan KCBK dan KCBO tertinggi sebesar 28,77% dan 27,71% (P<0,01), hal ini dikarenakan komposisi bahan pakan pada ransum komplit (P4) mengandung bahan pakan sumber energi (karbohidrat) dan protein sukar larut di dalam rumen seperti dedak padi, molasses, minyak kelapa, tepung daun, dan tepung ikan, dengan perbandingan rasio yang lebih besar dibandingkan dengan perlakuan P3. Hasil KCBK dan KCBO semua perlakuan berkisar 21,86-28,77% dan 20,64-27,71% masih tergolong rendah. Hogan dan Leche (1981) melaporkan bahwa komponen jerami padi tanpa perlakuan tambahan yang dapat dicerna secara in vitro sebesar 45-50%. Anitasari (2008) melaporkan kisaran normal KCBK yaitu 50,7-59,7%. Perbedaan ini dapat diakibatkan oleh sumber jerami padi, umur panen dan komposisi zat makanan yang berbeda, selain itu, dapat juga dikarenakan cairan rumen yang digunakan kemungkinan memiliki populasi mikroorganisme (terutama bakteri) yang rendah, ini dibuktikan dengan penelitian Sari (2011) yang melaporkan 37

bahwa populasi bakteri total dan protozoa pada cairan rumen yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 5,24 (x10 8 sel/ml) dan 11,23 (x10 5 sel/ml), hal ini berbeda dengan Pradhan (1994) yang melaporkan bahwa jumlah bakteri dan protozoa rumen pada sapi yang diberi pakan berserat tinggi sebesar 13,2 (x10 8 sel/ml) dan 1,15 (x10 5 sel/ml). Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulan, ph fermentasi, suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel, dan larutan penyangga (buffer) (Selly, 1994). 38