I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

dokumen-dokumen yang mirip
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. Berdasarkan hasil dan pembahasan Bab V sampai dengan Bab VII,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada masa pemulihan krisis ekonomi lalu muncul tuntutan ketidakpuasan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses multidimensional yang mencakup berbagai

BAB I PENDAHULUAN. saat ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan. Jumlah penganggur

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

DAMPAK KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN TERHADAP TINGKAT PENGANGGURAN DAN PEREKONOMIAN INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH DISERTASI EVI LISNA

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. of The Republic of Indonesia. Jakarta, 1992, page 18. Universitas Indonesia. Pengaruh upah minimum..., Gianie, FE UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang

BAB I PENDAHULUAN. (growth). Pembangunan ekonomi yang mengalami pertumbuhan yaitu apabila tingkat

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusiinstitusi

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat. Indonesia sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Suatu negara yang melakukan kegiatan perekonomian biasanya ditujukan

PENDAHULUAN. Keadaan pasar kerja yang dualistik dengan kelebihan penawaran tenaga kerja dan

BAB IV KONDISI TENAGA KERJA KONSTRUKSI. Tenaga kerja konstruksi merupakan bagian dari sektor konstruksi yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Semakin banyak penduduknya maka semakin besar pula kesempatan kerja yang dibutuhkan.

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pekerja terus berlanjut, yakni melalui pemberlakuan Peraturan Pemerintah

JUNIAR HENDRO NUGROHO

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. dalam penetapan tingkat upah. Kebijakan ini disebut dengan kebijakan upah

Daftar Isi. Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Daftar Gambar... vii 1. PENDAHULUAN...1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pengangguran merupakan masalah ketenagakerjaan yang sering dihadapi

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

BAB III KEBIJAKAN PENGUPAHAN DI INDONESIA. A. Perumusan Kebijakan Upah Buruh di Indonesia

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEMPATAN KERJA DI SUMATERA BARAT ( )

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

V. DESKRIPSI PERKEMBANGAN MIGRASI, PASAR KERJA DAN PEREKONOMIAN INDONESIA. penting untuk diteliti secara khusus karena adanya kepadatan dan distribusi

BAB I PENDAHULUAN. telah resmi dimulai sejak tanggak 1 Januari Dalam UU No 22 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesempatan kerja merupakan salah satu indikator pembangunan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. syarat mutlak dalam mencapai keberhasilan pembangunan nasional. Tujuan dari

BAB I PENDAHULUAN. tenaga kerja. Biasanya semakain tinggi pertumbuhan ekonomi cenderung

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

BAB I PENDAHULUAN. hasil berupa suatu karya yang berupa ide maupun tenaga (jasa). Menurut Dinas. kualitas kerja yang baik dan mampu memajukan negara.

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

I. PENDAHULUAN. industrialisasi dan pembangunan industri sebenarnya merupakan satu jalur

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pengangguran merupakan salah satu masalah yang selalu dihadapi dan sulit

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS ANDALAS

BAB IV KEPENTINGAN INDONESIA DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PERBURUHAN. 95 memang terkait dengan tidak mewajibkan meratifikasi konvensi tersebut.

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat memperluas

Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah utama dan mendasar dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. setiap negara, terutama di negara-negara berkembang. Negara terbelakang atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan dalam bidang ketenagakerjaan merupakan bagian dari usaha

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. tujuan pembangunan ekonomi secara makro adalah

I. PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi banyak dilakukan di beberapa daerah dalam

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat berperan penting dalam

9. Keputusan /2 ATE\MW\DATAWAHED\2016\PER.GUB\NOVEMBER

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. ketertinggalan dibandingkan dengan negara maju dalam pembangunan

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah bersama dengan kebijakan moneter dan sektoral. Kebijakan fiskal

Dampak Kebijakan Upah Minimum terhadap Tingkat Upah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Daerah Perkotaan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan pengupahan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi suatu negara adalah dilihat dari kesempatan kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial, yaitu berupa kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENYERAPAN TENAGA KERJA DI INDONESIA. Oleh: Iwan Setiawan*)

Perluasan Lapangan Kerja

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Di Provinsi Sulawesi Barat

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan ketenagakerjaan disadari bersifat kompleks karena

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses pembangunan yang. dilaksanakan oleh suatu daerah atau negara dalam rangka memakmurkan warga

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional yang

BAB I PENDAHULUAN. bawah garis kemiskinan (poverty line), kurangnya tingkat pendidikan,

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan oleh program pembangunan nasional ( Propenas ) yakni di

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. usaha memajukan pembangunan bangsa karena terkait dengan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sampai era tahun 1980-an, para analis ketenagakerjaan pada umumnya menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius (Depnakertrans, 2004a). Argumennya adalah karena pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja masih relatif seimbang. Pendapat itu ditunjang oleh bukti historis, antara lain, sampai era 1980-an angka pengangguran terbuka masih sekitar dua persen dari total angkatan kerja. Namun perkembangan angka pengangguran pada tahun 1990-an dan tahun 2000-an menunjukkan kecenderungan yang semakin memburuk. Hal ini tercermin dari besarnya penambahan angkatan kerja yang tidak sebanding dengan penambahan lapangan kerja. Tabel 1 memperlihatkan bahwa permasalahan ketenagakerjaan Indonesia sepertinya masih akan sulit diatasi karena adanya ketidakseimbangan antara pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja. Ketidakseimbangan ini dapat berakibat pada penyerapan angkatan kerja yang relatif terbatas dan tidak proporsional sehingga angka penganguran diperkirakan dapat terus bertambah. Jika perkiraan pertumbuhan ekonomi pada 2007 dan 2008 sebesar 5.91 persen dan 6.50 persen, maka angka pengangguran terbuka tahun 2008 diperkirakan meningkat menjadi 9.12 juta orang atau 8.00 persen dari angkatan kerja. Di balik fakta permasalahan semakin meningkatnya angka pengangguran di Indonesia, selanjutnya sejak tahun 1999 pemerintah telah memberikan wewenang

2 Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Terbuka di Indonesia Periode* Jumlah Angkatan Kerja (juta) Angkatan Kerja Baru (juta) Pertumbuhan Ekonomi (%) Jumlah Orang yang Bekerja (juta) Tambahan Lapangan Kerja (juta) Pertambahan Lapangan Kerja per Pengangguran Terbuka 1 % Pertumbuhan Ekonomi (ribu) (juta) (%) 1997 91.32 3.13 4.70 87.05 3.15 670.21 4.28 4.69 1998 92.73 1.41-13.13 87.67 0.62-47.22 5.06 5.46 1999 94.85 2.11 0.79 88.82 1.44 143.03 6.03 6.36 2000 95.65 0.94 4.92 89.84 1.00 208.25 5.81 6.07 2001 98.81 3.16 3.44 90.81 0.97 281.98 8.00 8.10 2002 100.78 1.97 3.66 91.65 0.84 229.51 9.13 9.06 2003 102.63 1.85 4.10 92.81 1.16 282.93 9.82 9.50 2004 103.97 1.34 5.05 93.72 0.91 180.20 10.25 9.86 2005 105.80 1.83 5.60 94.95 1.23 219.64 10.85 10.26 2006 106.28 0.48 6.11 95.18 0.23 37.64 11.11 10.44 2007 112.23 2.17 5.91 101.94 1.96 331.64 10.29 9.19 2008 114.37 2.14 6.50 105.25 3.31 509.23 9.12 7.97 *Keterangan: Untuk tahun 1997-2004 menggunakan angka Sakernas-BPS. Untuk tahun 2000 tanpa Provinsi Maluku. Untuk tahun 2001-2006 menggunakan defenisi pengangguran terbuka yang disempurnakan dan termasuk Provinsi Maluku. Untuk tahun 2007-2008 menggunakan angka proyeksi Bappenas. Sumber: Depnakertrans, 2007.

3 kepada daerah untuk mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya melalui UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Otonomi daerah (otda)merupakan era dimana pemerintah diharuskan melakukan pembangunan daerah dengan fokus utama pada pelimpahan wewenang pemerintahan, perimbangan keuangan, dan pengayaan politik dan sosial budaya penduduk daerah setempat (Oentarto, 2004). Namun, diantara tiga aspek tersebut implikasi otonomi daerah bagi penduduk dan sumberdaya manusia belum banyak mendapat perhatian. Fokus utama bidang ketenagakerjaan adalah penting karena salah satu pihak yang melaksanakan dan merasakan dampak otda adalah penduduk. Perhatian tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan analisis situasi, merencanakan, serta memonitor proses pembangunan yang bertumpu pada ketenagakerjaan. Dalam kaitan ini, semacam informasi ketenagakerjaan dan perekonomian akan sangat membantu sebagai dasar perumusan alternatif kebijakan. Potensi penduduk Indonesia yang besar dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya selayaknya kita ketengahkan dalam analisis ekonomi secara makro dalam era otda. Beberapa penelitian terdahulu telah melakukan kajian dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar tenaga kerja dan beberapa indikator ekonomi makro Indonesia (Safrida, 1999; Adriani, 2000; Zulkifli, 2002; Hadi, 2002; Suryahadi, 2003). Namun dalam studi sebelumnya belum dikaji secara eksplisit bagaimana pengaruh perubahan di pasar tenaga kerja akibat penerapan kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan transmisinya pada perekonomian Indonesia di era otonomi daerah.

4 1.2. Perumusan Masalah Keberhasilan program pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004 dapat diukur dari pencapaian sejumlah indikator ekonomi makro. Indikator-indikator tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi ditargetkan meningkat secara bertahap sehingga mencapai 6-7 persen, inflasi terkendali sekitar 3-5 persen, menurunkan tingkat pengangguran menjadi sekitar 5.1 persen dan menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi sekitar 14 persen pada tahun 2004. Namun, data menunjukkan bahwa sasaran kuantitatif tersebut tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2004 masih sekitar 5.13 persen. Sementara angka pengangguran menurut Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2004 masih sekitar 9.86 persen dari total angkatan kerja yang berjumlah 103.97 juta jiwa. Sampai saat ini pasar tenaga kerja Indonesia masih dicirikan oleh adanya ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Hasil kajian Depnakertrans menyimpulkan bahwa pada tahun 1990-an Indonesia dikategorikan sebagai Labour Surplus Economy yaitu negara yang mempunyai masalah dengan jumlah angkatan kerja yang berlebih (Depnakertrans dan BPPS,1999). Ekses angkatan kerja ini berlangsung sampai saat memasuki era otda sehingga angka pengangguran dari tahun ke tahun cenderung terus meningkat. Berdasarkan data statistik, karakteristik pengangguran Indonesia didominasi oleh TK berpendidikan rendah seperti pada Tabel 2.

5 Tabel 2. Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan di Era Otda Tahun Jumlah Pengangguran Berdasarkan Pendidikan (Ribu Orang) Rendah Menengah Tinggi 2001 4 531.31 2 933.49 540.23 2002 5 368.13 3 244.13 519.84 2003 5 688.61 3 397.01 445.47 2004 5 970.49 3 695.51 585.36 Rata-rata 5 389.64 3 317.54 522.73 Sumber : BPS, 2007. Menurut Depnakertrans, distribusi tenaga kerja menurut status pekerjaan, tingkat pendidikan dan lapangan pekerjaan di Indonesia terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun sesuai dengan dinamika perkembangan teknologi dan pembangunan. Ada dua alasan mengapa terjadi pergeseran struktur tenaga kerja yaitu : (i) terjadinya penurunan peran tenaga kerja pada sektor yang mempunyai produktivitas rendah yaitu sektor pertanian dan (ii) perkembangan yang cepat dari buruh penerima upah yang terkonsentrasi di sektor industri. Perubahan distribusi tenaga kerja tersebut searah dengan dinamika pembangunan ekonomi yang awalnya bertumpu pada sektor pertanian kemudian beralih ke sektor industri. Pada periode tahun 1970-an sumbangan sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 45 persen dan pada tahun 2000-an telah turun menjadi kurang dari 16 persen. Selain karena bertambahnya angkatan kerja baru, pertambahan jumlah penganggur Indonesia juga disebabkan oleh peningkatan kasus Pemutusan Hubungan Kerja atau PHK seperti pada Tabel 3.

6 Tabel 3. Jumlah Pengangguran Terbuka dan Jumlah Tenaga Kerja Terkena PHK di Era Otda Tahun Jumlah PHK (orang) Jumlah Pengangguran Terbuka (000 orang) 2001 2002 2003 2004 85 537.00 116 176.00 85 020.00 66 009.00 8 005.03 9 132.10 9 531.09 10 251.35 Rata-rata 88 186.00 9299.89 Sumber: Depnakertrans, 2007. Tabel 3 memperlihatkan selama tahun 2002 jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan mencapai 116.176 orang. Jumlah ini telah mendekati jumlah pekerja yang terkena PHK selama puncak krisis tahun 1998 yang tercatat sebanyak 127.735 orang. Secara umum rata-rata jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan pada era otda lebih tinggi dibandingkan empat tahun sebelum memasuki era otda. Menekan angka pengangguran hingga mencapai tingkat sebagaimana ditargetkan Propenas tentunya memerlukan upaya keras dan sistematis. Angka pengangguran sampai tahun 2008 diperkirakan masih akan berjumlah sekitar 9.12 juta jiwa atau 7.97 persen dari total angkatan kerja. Seperti yang telah ditargetkan Propenas untuk menurunkan angka pengangguran, target Propenas untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi juga diramalkan jauh dari harapan, karena pada tahun 2007-2008 angka rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun diramalkan hanya sekitar 6 persen. Sejalan dengan permasalahan diatas, di sisi lain, pemerintah telah membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Kebijakan

ketenagakerjaan dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi normatif dan sisi kebijakan 7 penyediaan lapangan kerja. Sisi normatif merupakan kebijakan perlindungan norma-norma sosial ketenagakerjaan yang diatur oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Penyediaan lapangan kerja lebih banyak diatur secara bersamasama pada masing-masing sektor. Norma-norma hubungan kerja yang menjadi kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia meliputi: (1) kebijakan tentang pengupahan, (2) hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha serta pengaturan tentang penyelesaian perselisihan termasuk didalamnya pemogokan kerja dan pengaturan tentang permutusan hubungan kerja termasuk di dalamnya uang pesangon dan pengaturan jam kerja, dan (3) pengaturan organisasi pekerja termasuk serikat pekerja, jaminan sosial tenaga kerja, pelatihan dan lain-lain. Berkaitan dengan kebijakan normatif ketenagakerjaan, ada dua pihak yang seharusnya mendapat perhatian secara proporsional oleh pemerintah dalam memikirkan dan merealisasikan kebijakan sehingga tidak merugikan para pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk kondisi perekonomian Indonesia pada umumnya. Sebagai contoh dari sisi pengupahan, pemerintah membuat peraturan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang setiap tahunnya disesuaikan dengan tingkat inflasi. Di pihak pekerja, kebijakan ini bertujuan agar pekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM). Tetapi dibandingkan dengan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) periode 2001-2004 penetapan nilai upah minimum hanya mampu memenuhi rata-rata 89.63 persen dari KHM (BPS, 2006). Artinya kesejahteraan buruh yang menjadi target kebijakan upah minimum masih rendah. Sementara pihak pengusaha merasa diberatkan, seharusnya kebijakan tersebut tetap

8 memperhatikan kelangsungan perusahaan dan juga bagi perekonomian makro. Peningkatan upah minimum dapat berdampak pada rendahnya penanaman modal luar negeri dan memperburuk inflasi (karena upah yang meningkat akan dibebankan pada harga output). Selanjutnya pemerintah membuat keputusan Menteri no. 150 tahun 2000, Undang-undang ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 dan Undang-undang no 2 / 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Pihak pengusaha merasa diberatkan dengan berbagai kewajiban seperti pesangon untuk pekerja yang mengundurkan diri, proses PHK, uang pisah, pelanggaran berat, upah buruh mogok yang harus tetap dibayar dan juga dalam hal mempekerjakan tenaga kerja perempuan. Selanjutnya tentang adanya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Kep 226/ Men/ 2000 bahwa upah minimum untuk tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/ kota ditinjau ulang satu tahun sekali. Dalam pelaksanaan keputusan ini memunculkan masalah yang menimbulkan pro kontra diantara pihak buruh, pengusaha, pemerintah, maupun kelompok masyarakat lainnya (Simanjuntak, 2005). Ada banyak kontroversi seputar kebijakan ketenagakerjaan di atas. Menurut pihak pengusaha, kebijakan ketenagakerjaan ternyata membuat beban pengusaha dapat bertambah karena proses pemutusan hubungan kerja (PHK) ditetapkan pengadilan, pesangon berupa uang pisah untuk pengunduran diri dan pelanggaran berat (Wirahyoso, 2002). Disamping itu adanya UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 Pasal 76 tentang aturan mempekerjakan perempuan yang relatif dapat meningkatkan hiaya operasional perusahaan dapat menjadi pemicu tingginya tingkat pengangguran tenaga kerja perempuan. Demikian pula tentang kontroversi

9 keputusan upah yang terus berkepanjangan. Kebijakan normatif memang dibutuhkan sebagai elemen perlindungan bagi pekerja. Namun di sisi lain, kebijakan yang berlebihan dan protektif dapat mengurangi daya serap pasar kerja. Pada akhirnya hal tersebut justru akan berdampak negatif bagi pekerja dan perekonomian makro yang dapat tercermin pada tingginya tingkat pengangguran. Diperlukan suatu kajian secara ilmiah agar kebijakan ketenagakerjaan secara makro dapat memenuhi harapan pekerja dan pengusaha serta tidak memperburuk perekonomian Indonesia di era otda yang akan datang. Berkenaan dengan semakin meningkatnya permasalahan perburuhan, tingkat pengangguran dan adanya berbagai kebijakan ketenagakerjaan oleh pemerintah sebagai alat pemulihan perekonomian dan juga oleh pemerintah daerah sebagai alat kebijakan sosial, maka secara umum pertanyaan yang muncul adalah "Bagaimanakah dampak kebijakan ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah?". Secara lebih spesifik, studi ini akan menjawab beberapa pertanyaan berikut: 1. Bagaimanakah perilaku pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah dengan adanya faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan? 2. Bagaimanakah kemungkinan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otonomi daerah di masa lalu dan di masa yang akan datang?

10 1.3. Tujuan Penelitian Fokus penelitian diarahkan pada era otonomi daerah (otda). Secara khusus tujuan penelitian yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja didasarkan pada disagregasi tingkat pendidikan dan sektor ekonomi. 1. Mendeskripsikan isu-isu kebijakan ketenagakerjaan di era otda. 2. Menganalisis faktor-faktor kebijakan ketenagakerjaan yang mempengaruhi pasar tenaga kerja dan perekonomian lndonesia. 3. Mengevaluasi dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2001-2004. 4. Meramalkan dampak alternatif kebijakan ketenagakerjaan terhadap perubahan di pasar tenaga kerja dan perekonomian Indonesia di era otda tahun 2007-2010. 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Sebagai bahan pertimbangan perencanaan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih tepat dalam rangka menjaga kestabilan tingkat pengangguran dan indikator ekonomi makro lainnya pada era otonomi daerah di Indonesia, dan 2. Sebagai referensi pembanding dan stimulan bagi penelitian ketenagakerjaan selanjutnya. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 1. Dampak kebijakan yang dianalisis merupakan suatu analisis simulasi;

11 2. Kebijakan ketenagakerjaan yang dianalisis adalah kebijakan ketenagakerjaan dari sisi normatif dan sisi kebijakan penyediaan lapangan kerja; 3. Ruang lingkup pembahasan difokuskan pada tingkat pengangguran berdasarkan disagregasi tingkat pendidikan; 4. Cakupan penelitian adalah agregat nasional; 5. Data penelitian dari tahun 1980 sampai tahun 2004; 6. Kebijakan ketenagakerjaan yang dianalisis adalah kebijakan upah minimum dan kebijakan perselisihan hubungan industrial; 7. Cakupan sektoral dibatasi pada sektor pertanian, industri, dan jasa kemasyarakatan; 8. Data penawaran TK menggunakan data jumlah angkatan kerja; 9. Disagregasi penawaran TK dilakukan berdasarkan tingkat pendidikan rendah, menengah, dan tinggi; dan 10. Memburuknya perselisihan hubungan industrial diproksi dengan data jumlah kasus pemogokan dan unjuk rasa.