HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

dokumen-dokumen yang mirip
POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN FITOPLANKTON DI TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Menentukan Stasiun dan Titik Pengambilan Contoh

HUBUNGAN ANTARA SUKSESI FITOPLANKTON DENGAN PERUBAHAN RASIO N DAN P DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Oseanografi. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

PENDAHULUAN Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Laut Belawan merupakan pelabuhan terbesar di bagian barat Indonesia

2. TINJAUAN PUSTAKA. cahaya, sudut datang cahaya, kondisi permukaan perairan, bahan yang terlarut,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

MODUL PRAKTEK PENGUKURAN KUALITAS PERAIRAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

METODE PENELITIAN. Tabel 1. Waktu sampling dan pengukuran parameter in situ di perairan Pesisir Maros

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

3. METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 1. Diagram TS

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRODUKTIVITAS DAN KESUBURAN PERAIRAN

Suhu, Cahaya dan Warna Laut. Materi Kuliah 6 MK Oseanografi Umum (ITK221)

KAJIAN SPASIAL FISIKA KIMIA PERAIRAN ULUJAMI KAB. PEMALANG

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERUBAHAN MUSIM TERHADAP BEBAN MASUKAN NUTRIEN DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM PENDAHULUAN

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN

Suhu rata rata permukaan laut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

BAB I. Kegiatan manusia di sekitar perairan dapat mengakibatkan masuknya

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

ANALISA KEKERUHAN DAN KANDUNGAN SEDIMEN DAN KAITANNYA DENGAN KONDISI DAS SUNGAI KRUENG ACEH

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kultur Chaetoceros sp. dilakukan skala laboratorium dengan kondisi

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian tingkat kesesuaian lahan dilakukan di Teluk Cikunyinyi,

PARAMETER KUALITAS AIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

HIDRODINAMIKA FISIKA KIMIA PERAIRAN MUARA SUNGAI PORONG SIDOARJO

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 4, Tahun 2013, Halaman Online di :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB 2 BAHAN DAN METODE

n, TINJAUAN PUSTAKA Menurut Odum (1993) produktivitas primer adalah laju penyimpanan

Bab V Hasil dan Pembahasan

5. HASIL PENELITIAN 5.1 Distribusi Spasial dan Temporal Upaya Penangkapan Udang

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Penentuan Titik Sampling 3.3 Teknik Pengumpulan Data Pengambilan Contoh Air

3. METODE PENELITIAN

IV KONDISI UMUM TAPAK

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

Transkripsi:

HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD) mendapat tekanan yang cukup berat, dengan adanya pemanfaatan lahan atas untuk daerah pemukiman mengakibatkan sedimentasi di daerah pantai. Adanya sedimentasi dapat mengakibatkan hilangnya terumbu karang di Teluk Ambon Dalam (Wouthuyzen 2001). Sedimentasi menyebabkan peningkatan kekeruhan air yang menghalangi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air dan mengganggu organisme yang memerlukan cahaya. Menurut Dahuri (2003), sedimen yang berasal dari lahan pertanian yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi dapat menimbulkan eutrofikasi. Dengan tingginya kekeruhan akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan selanjutnya akan menurunkan produktivitas fitoplankton pada perairan. Cahaya matahari yang menembus laut mengalami dua perubahan penting. Pertama, energinya akan semakin berkurang secara eksponensial, dan kedua, lebar spektrumnya semakin menyempit. Di perairan samudera, makin dalam cahaya menembus makin menyempit spektrum ke arah warna biru (475 nm). Dengan kata lain telah diserap pada lapisan lebih atas. Di perairan pantai hal ini bergeser ke gelombang yang lebih panjang (hijau sampai kuning) bergantung pada banyaknya zat terlarut dan tersuspensi dalam air. Proses fotosintesis fitoplankton hanya dapat berlangsung bila ada cahaya pada kolom perairan (Nybakken 1992). Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat diperoleh mulai dari lapisan permukaan sampai ke kedalaman dengan nilai intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya di permukaan air, dan kedalaman ini merupakan batas bawah zona eufotik. Selanjutnya Domingues et al. (2005) menyatakan cahaya dapat menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton, terutama sel-sel fitoplankton. Cahaya matahari yang memasuki suatu medium optik seperti air, intensitasnya akan berkurang atau mengalami peredupan bergantung pada materi yang terkandung dalam kolom air itu sendiri. Pada kolom air yang memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi, tingkat peredupannya juga tinggi. Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikelpartikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut seperti lumpur pasir halus, plankton, dan mikroorganisme (APHA 1989). Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan intensitas cahaya dengan kekeruhan di perairan Teluk Ambon Dalam. METODE PENELITIAN Pengukuran kekeruhan menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687. Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. Intensitas cahaya matahari permukaan diukur dengan alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Ambon. Besarnya 21

22 intensitas cahaya matahari di tiap kedalaman dihitung berdasarkan persamaan Beer-Lambert (Walsby 2001) sebagai berikut: I z = I o e -kz Dimana : I z adalah intensitas cahaya pada kedalaman z, I o adalah intensitas cahaya permukaan, k adalah koefisien peredupan. Koefisien peredupan dapat dihitung berdasarkan persamaan matematis yang dikemukakan oleh (Tillman et al. 2000): k = 0.191 + 1.242/S d Sd (dalam satuan meter) adalah kedalaman penetrasi cahaya yang diukur mempergunakan cakram sechi ( secchi disc ) berdiameter 30 cm Selanjutnya untuk mengetahui distribusi intensitas cahaya dan kekeruhan secara temporal dan spasial dianalisis dengan ANOVA satu arah. Apabila pada analisis ini terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-doc Duncan. Intensitas Cahaya Matahari HASIL DAN PEMBAHASAN Intensitas cahaya matahari permukaan perairan umumnya menunjukkan adanya fluktuasi pada setiap musim. Rata-rata intensitas cahaya terendah pada Musim Timur (169.22 sampai 330.72 µmol foton m -2 det -1 ) dan tertinggi pada Musim Peralihan II (300.49 807.84 µmol foton m -2 det -1 ) (Gambar 10 dan 11). Hasil analisis secara temporal intensitas cahaya menunjukkan ada perbedaan antar musim (ANOVA ;P<0.01), dimana Musim Timur berbeda sangat nyata dengan musim-musim lainnya. Karena pada Musim Timur rata-rata intensitas cahaya rendah (253.87 µmol foton m -2 det -1 ) dan tercatat hari-hari dengan curah hujan yang tinggi yaitu hari hujan 25 sampai 28 hari (data BMG Stasiun Laha Ambon). Sedangkan pada Musim Peralihan II didominasi hari-hari dengan ratarata intensitas cahaya matahari permukaan yang tinggi (619.16 µmol foton m -2 det - 1 ) dan pada Musim Barat dan Musim Peralihan I, intensitas cahaya matahari relatif stabil dengan kisaran masing-masing 482.24 sampai 568.17 µmol foton m -2 det -1 dan 439.41 sampai 674.16 µmol foton m -2 det -1. Sedangkan intensitas cahaya maksimum pada daerah tropis berkisar dari 765.88 sampai 903.29 µmol foton m - 2 det -1 (Barnabe and Barnabe-Quet 2000). Gambar 11 memperlihatkan bahwa pada bulan Oktober dan November intensitas cahaya pada permukaan laut berada pada kisaran intensitas cahaya maksimum daerah tropis.

23 Gambar 10 Fluktuasi intensitas cahaya rata-rata pada Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I di permukaan laut TAD (Sumber data : BMG Stasiun Ambon 2011-2012) Gambar 11 Fluktuasi intensitas cahaya pada setiap bulan di permukaan laut (Sumber data : BMG Stasiun Laha Ambon 2011-2012) Kedalaman Penetrasi Cahaya (Secchi Depth) dan Koefisien Peredupan Distribusi rata-rata kedalaman penetrasi cahaya (kecerahan) pada Musim Timur di TAD berkisar dari 2.83 sampai 5.83 m (4.60±0.96), dengan kedalaman penetrasi cahaya terendah sekitar daerah (St 3) yang berdekatan dengan muara sungai. Sebaliknya tertinggi di (St 8) bagian tengah antara dan. Menurut Mainassy et al. (2005) kecerahan perairan pada bulan Juli (musim Timur) berkisar dari 6.10 sampai 10.5 m. Pada Musim Peralihan II rata-rata kedalaman penetrasi cahaya berkisar dari 5.17 sampai 8.18 m (7.07±0.99), kedalaman penetrasi cahaya terendah di daerah Dermaga (St 1) dan tertinggi di (St 8) sekitar bagian tengah antara

24 dan. Distribusi rata-rata kedalaman penetrasi cahaya pada Musim Barat bervariasi dari 5.83 sampai 8.83 m (7.27±0.96), dengan kedalaman terendah di sekitar daerah (St 3) dan tertinggi di daerah depan Dermaga Angkatan Laut (St 5). Kedalaman penetrasi cahaya di Musim Peralihan I berkisar dari 5.50 sampai 6.17 m (5.80±0.25), kedalaman terendah di sekitar daerah (St 3), depan Dermaga Angkatan laut (St 5) dan (St 7), sebaliknya yang tertinggi di (St 2) bagian tengah antara Dermaga dan. Kedalaman penetrasi cahaya tertinggi pada keempat musim terdapat di Stasiun 2, Stasiun 5 dan Stasiun 8 yang terletak pada bagian tengah teluk dengan kekeruhan yang rendah. Distribusi kedalaman penetrasi cahaya secara temporal memperlihatkan perbedaan nyata (ANOVA;P<0.01), artinya musim sangat berpengaruh terhadap kedalaman penetrasi cahaya. Analisis lanjutan menunjukkan bahwa Musim Timur berbeda nyata terhadap Musim Peralihan I dan sangat nyata terhadap Musim Peralihan II dan Musim Barat. Pada Musim Timur, Peralihan II, dan Barat kedalaman penetrasi cahaya terendah pada Zona-1 sedangakan pada Musim Peralihan I pada Zona-2 (Tabel 11) Musim Timur distribusi kedalaman koefisien peredupan berkisar antara 0.41 sampai 0.64 meter (0.49±0.08). Musim Peralihan II yaitu 0.36 sampai 0.49 meter (0.40±0.04), dan Musim Barat yaitu 0.34 sampai 0.41 meter (0.37±0.02) dan Musim Peralihan I yaitu 0.43 sampai 0.49 meter (0.45±0.02). Pada Musim Timur, Peralihan II dan Barat kedalaman penetrasi cahaya sangat berkorelasi dengan koefisien peredupan masing-masing (Pearson s r = -0.992, r = -0.913 dan r = -0.982;P<0.01) (Lampiran 1, 2, dan 3), hal ini menunjukkan bahwa dengan bertambahnya kedalaman penetrasi cahaya, maka koefisien peredupan semakin rendah atau sebaliknya Pada beberapa stasiun menunjukkan koefisien peredupan yang tinggi, tetapi cenderung intensitas cahaya matahari yang menembus kolom air relatif kecil, sebaliknya pada beberapa stasiun dengan koefisien peredupan yang rendah, cenderung intensitas matahari yang masuk ke kolom air relatif besar (Gambar 12 dan Gambar 13). Stewart (2002) menyatakan bahwa peredupan intensitas cahaya disebabkan oleh penyerapan pigmen-pigmen dan molekul-molekul serta partikelpartikel yang tersebar dalam air. Secara temporal distribusi kedalaman koefisien peredupan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01). Analisis lanjutan menunjukkan bahwa Musim Barat dan Musim Peralihan II berbeda dengan Musim Peralihan I dan Musim Timur. Rata-rata kedalaman koefisien peredupan lebih dalam pada Musim Timur, Peralihan II, Barat, dan Peralihan I di Zona-1 (Tabel 12). Tabel 11 Rerata kedalaman penetrasi cahaya (m) pada setiap zona Zona MSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I 1 4.17 6.50 6.92 5.83 2 4.72 7.28 7.50 5.72 3 5.06 7.61 7.50 5.83

25 Tabel 12 Rerata kedalaman koefisien peredupan (m) pada setiap zona Zona MSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I 1 0.53 0.41 0.38 0.46 2 0.48 0.39 0.37 0.46 3 0.45 0.38 0.37 0.44 Gambar 12 Profil kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan koefisien peredupan pada Teluk Ambon Dalam (Juni s/d November 2011) Musim Timur, koefisien peredupan berkorelasi dengan kekeruhan (Pearson s r = 0.662;P<0.05), hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya kekeruhan maka akan meningkatkan koefisien peredupan. Sedangkan pada bulan Oktober dan November dengan intensitas cahaya yang tinggi masing-masing (749.15 dan 807.84 µmol foton m -2 det -1 ) (data BMG Stasiun Ambon) dengan rata-rata curah hujan yang rendah masing-masing (9.5 mm dan 4.4 mm) (data BMG Stasiun Laha Ambon), terdapat koefisien peredupan yang rendah tetapi

26 cenderung intensitas cahaya yang masuk ke kolom air relatif besar. Peningkatan intensitas cahaya dengan pengurangan kekeruhan (run off) akan mengurangi koefisien peredupan pada kolom air (Madhu et al. 2007). Gambar 13 Profil kedalaman penetrasi cahaya (secchi depth) dan koefisien peredupan pada Teluk Ambon Dalam (Desember 2011 s/d Mei 2012) Hal ini terlihat di bulan Juni pada daerah dari Dermaga sampai daerah (St 1, St 2, St 3) dan daerah Hunut (St 6) dengan kedalaman penetrasi cahaya 2.5 m, dan tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.69 m. Hal ini disebabkan terdapat tingkat kekeruhan yang tinggi (1.76 sampai 3.27 FT. Sedangkan di bulan Juli pada daerah (St 4), (St 8) bagian tengah antara dan dan Nania (St 9) dengan kedalaman penetrasi cahaya 6.5 m, tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.38 m dan di bulan Oktober pada depan Dermaga Angkatan Laut (St 5) dan Stasiun 8, bulan Januari pada Stasiun 5 dan di bulan April pada Stasiun 2 dan Hunut (St 6) masing-masing dengan kedalaman penetrasi cahaya 10.5 m tercatat kedalaman koefisien peredupan 0.31 m. Hal ini

disebabkan dengan bertambahnya kedalaman penetrasi cahaya, maka koefisien peredupan semakin rendah. 27 Daerah Mixing dan Eufotik Rasio Zmix:Zeu secara spasial dan temporal diperoleh dari perbandingan antara kedalaman tercampur berdasarkan salinitas dengan kedalaman perairan dimana intensitas cahaya tinggal 1% (Gambar 14). Distribusi rasio Zmix:Zeu pada setiap musim relatif sama pada semua stasiun, pada saat terjadi percampuran vertikal hanya berlangsung dalam zona eufotik. Menurut Nybakken (1992) bila percampuran vertikal berlangsung dalam zona eufotik, sel-sel fitoplankton hanya diangkut ke bawah menempuh jarak yang pendek sehingga sel-sel masih tetap tinggal di suatu wilayah di mana cahaya cukup untuk fotosintesis. Musim Peralihan I rasio Zmix:Zeu cenderung memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi (45.97 %), sedangkan Musim Peralihan II dengan rata-rata nilai rasio yang lebih rendah (33.87 %). Pada Musim Peralihan I memiliki rasio Zmix:Zeu lebih tinggi, disebabkan karena rata-rata zona eufotik yang rendah, sedangkan pada Musim Peralihan II memiliki zona eufotik yang lebih dalam, disebabkan intensitas cahaya permukaan lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis, maka lapisan tercampur berlangsung dalam zona eufotik yang terjadi TAD. Gambar 14 Rasio Zmix:Zeu (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam Rasio Zmix:Total Depth secara spasial dan temporal diperoleh dari perbandingan antara kedalaman tercampur dengan kedalaman total perairan (Gambar 15). Distribusi rasio pada setiap musim relatif sama, kecuali pada Stasiun 3, 9, dan 10, pada ketiga stasiun ini terdapat nilai rasio yang tinggi disebabkan lebih dalamnya zona mixing. Rata-rata rasio Zmix:Total Depth tertinggi terdapat pada Musim Peralihan I (21.67 %), sedangkan rata-rata rasio terendah pada Musim Timur (16.56%). Rendahnya rata-rata rasio Zmix:Total Depth pada Musim Timur disebabkan oleh lebih dangkal zona mixing. Hal ini menunjukan bahwa lapisan tercampur tidak sampai di dasar perairan.

28 Gambar 15 Rasio Zmix:Total Depth (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam Rasio Zeu:Total Depth secara spasial dan temporal diperoleh dari perbandingan antara kedalaman eufotik dengan kedalaman total perairan (Gambar 16). Distribusi rasio pada setiap musim relatif sama, kecuali pada Stasiun 3, 9, dan 10, dengan kedalaman masing-masing 7 meter, 10 meter, dan 16 meter. Pada ketiga stasiun ini terdapat nilai rasio yang tinggi disebabkan lebih dalamnya zona eufotik, disamping itu zona eufotik mendekati atau sampai di dasar perairan. Rata-rata rasio Zeu:Total Depth tertinggi terdapat pada Musim Barat (52.96 %), sedangkan rata-rata rasio terendah pada Musim Timur (43.78%). Tingginya rata-rata rasio Zeu:Total Depth pada Musim Barat disebabkan oleh lebih dalamnya zona eufotik, sedangkan Musim Timur sebaliknya. Gambar 16 Rasio Zeu : Total Depth (%) pada perairan Teluk Ambon Dalam Hubungan Intensitas cahaya dengan Kekeruhan Kekeruhan (turbiditas) perairan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan suatu perairan dapat disebabkan oleh bahan-bahan organik, seperti plankton dan organisme lainnya, serta bahan anorganik seperti lumpur dan pasir halus. Tingkat kekeruhan perairan

mempengaruhi tingkat kedalaman pencahayaan matahari. Semakin keruh suatu badan air, sinar matahari yang masuk ke dalam air akan semakin terhambat. Berdasarkan distribusi kekeruhan rata-rata pada Musim Timur di TAD berkisar dari 0.78 sampai 3.27 FT (1.61±0.72). Pada Musim Timur kekeruhan tertinggi pada bulan Juni (Tabel 13 dan Gambar 17). Kekeruhan tertinggi di Musim Timur di Zona-1 pada sekitar daerah (St 3) dan terendah sekitar daerah (St 7) dan Stasiun 5 pada Zona-2. Tingginya kekeruhan pada Stasiun 3 disebabkan karena stasiun tersebut berdekatan dengan muara sungai. Kekeruhan yang disebabkan oleh lumpur dan partikel yang dapat mengendap digunakan sebagai faktor pembatas, sedangkan kekeruhan yang disebabkan oleh organisme, merupakan indikasi produktivitas (Odum 1971). 29 P.A M B O N Neg. Lama Neg. Lama Juni 2011 Juli 2011 Agustus 2011-3.67 LS -3.66 L S -3.65 LS -3.64 LS -3.63 LS MT 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128. 24 BT 128.25 BT 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128. 24 BT 128.25 BT 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128.24 BT 128.25 BT -3.67 LS -3.66 LS -3.65 LS -3.64 L S -3.63 L S September 2011 Oktober 2011 November 2011 Neg. Lama MP2 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128.24 BT 128.25 BT 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128.24 BT 128.25 BT 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128. 24 BT 128.25 BT Desember 2011 Januari 2012 Februari 2012 MB 128. 19 BT 128.2 BT 128. 21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128.24 BT 128.25 BT 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128.24 BT 128.25 BT 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128.24 BT 128.25 BT Neg. Lama Maret 2012 April 2012 Mei 2012 MP1 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128.24 BT 128. 25 BT 128.19 BT 128.2 BT 128. 21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128. 24 BT 128.25 BT 128.19 BT 128.2 BT 128.21 BT 128.22 BT 128.23 BT 128.24 BT 128. 25 BT Turbiditas [FT] 0.0 1.2 2.4 3.6 4.8 6.0 Gambar 17 Peta distribusi kekeruhan di perairan Ambon Dalam

30 Tabel 13 Kisaran dan rerata kekeruhan permukaan laut TAD pada Musim Timur dan Peralihan II Kekeruhan (FT) Nilai Musim Timur Peralihan II Juni Juli Agustus September Oktober November Maksimum 6.04 1.69 2.07 2.03 0.55 1.71 Minimum 1.00 0.70 0.64 0.77 0.31 0.46 Rerata 2.65 1.02 1.17 1.07 0.45 0.90 Standar Deviasi 1.52 0.29 0.47 0.36 0.08 0.41 Distribusi kekeruhan pada Musim Peralihan II berkisar dari 0,60 sampai 1.17 FT (0.81±0.20). Rata-rata kekeruhan pada bulan September lebih tinggi dari bulan Oktober dan November (Tabel 13). Pada bulan September rata-rata kekeruhan tinggi disebabkan oleh tingginya konsentrasi klorofil-a (1.46 µg/l). Pada musim ini, kekeruhan berkorelasi dengan nitrat dan nitrit masing-masing (Pearson s r = 0.842 dan r = 0.808;P< 0.01) Hal ini menunjukkan bahwa dengan meningkatnya nitrat dan nitrit, akan meningkatkan kekeruhan atau konsentrasi klorofil-a. Distribusi kekeruhan pada Musim Barat berkisar dari 0.74 sampai 1.43 FT (0.92±0.21). Pada Musim Barat rata-rata kekeruhan pada bulan Desember lebih tinggi (Tabel 14 dan Gambar 17), Kekeruhan yang tinggi pada bulan Desember disebabkan oleh rata-rata suhu tinggi (30.93 o C) sehingga meningkatkan proses dekomposisi. Dan kekeruhan berkorelasi negatif dengan densitas (Pearson s r = - 0.742;P<0.05), hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kekeruhan oleh proses dekomposisi yang disebabkan oleh suhu yang tinggi, akan menurunkan densitas dan sebaliknya. Pada musim ini rata-rata curah hujan yang sangat rendah (6.3 sampai 6.9 mm). Tabel 14 Kisaran dan rerata kekeruhan permukaan laut pada Musim Barat dan Musim Peralihan I Kekeruhan (FT) Nilai Musim Barat Peralihan I Desember Januari Pebruari Maret April Mei Maksimum 1.18 1.47 1.65 1.83 0.63 2.50 Minimum 0.78 0.64 0.64 1.04 0.44 0.77 Rerata 0.98 0.83 0.94 1.25 0.54 1.37 Standar Deviasi 0.15 0.25 0.30 0.22 0.06 0.50 Distribusi kekeruhan pada Musim Peralihan I berkisar dari 0.81 sampai 1.44 FT (1.05±0.17). Pada Musim Peralihan I rata-rata nilai kekeruhan yang tinggi pada bulan Mei (Tabel 14). Rata-rata kekeruhan yang tinggi pada bulan Mei (1.37 FT) disebabkan oleh rata-rata konsentrasi klorofil-a tinggi (0.77 µg/l). Secara temporal dan spasial, rata-rata konsentrasi kekeruhan di permukaan perairan (Gambar 17) menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01). Musim Timur kekeruhan lebih tinggi (1.61 FT) dibandingkan dengan ketiga musim yang lain. Kekeruhan berkorelasi dengan klorofil-a (Pearson s r = 0.810;P<0.01) (Lampiran 1). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan klorofil-a

akan meningkatkan kekeruhan. Pada Musim Timur nilai kekeruhan lebih tinggi di Zona-1 dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a tinggi (1.06 µg/l) dan rendah di Zona-2 dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a (0.78 µg/l). Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I nilai kekeruhan tinggi pada Zona-3 dan rendah pada Zona-1(Tabel 15). Tabel 15 Rerata kekeruhan (FT) permukaan laut pada setiap zona Zona MSIM Timur Peralihan II Barat Peralihan I 1 2.15 0.67 0.82 1.02 2 1.18 0.83 0.82 1.07 3 1.33 0.96 1.13 1.08 31 Gambar 18 menunjukkan hubungan antara intensitas cahaya dan kekeruhan. Hubungan intensitas cahaya dengan kekeruhan pada Musim Timur dan Barat tidak menunjukkan perbedaan (ANOVA;P=0.067,P=0.28), akan tetapi Musim Peralihan II dan Peralihan I menunjukkan perbedaan (ANOVA;P<0.001). Hasil analisis regresi pada Musim Peralihan I dan Peralihan II diperoleh berturut-turut nilai koefisien korelasi (r) adalah 0.885 dan 0.884. hal ini menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara intensitas cahaya dengan kekeruhan, lagi pula semakin tinggi intensitas cahaya, maka semakin rendah kekeruhan. Gambar 18 Hubungan kekeruhan dengan intensitas cahaya. Kekeruhan sangat berhubungan dengan konsentrasi klorofil-a, hal ini terlihat pada Musim Timur (Gambar 11) dengan rata-rata intensitas cahaya yang rendah (254 µmol foton /m 2 /det), kekeruhan berkorelasi sangat kuat dengan rata-rata konsentrasi klorofil-a (Pearson s r =0.810;P<0.01). Hal ini disebabkan konsentrasi klorofil-a yang tinggi (0.94 µg/l) meningkatkan kekeruhan di perairan. Pada musim-musim yang lain rata-rata intensitas cahaya tinggi, maka konsentrasi

32 klorofil-a menurun. Menurut Lalli and Parsons (1993) intensitas cahaya yang tinggi akan menurunkan fotosintesis. SIMPLAN Secara nyata rata-rata intensitas cahaya pada keempat musim berbeda, mulai dari tertinggi keterendah pada Musim Peralihan II, Musim Barat, Musim Peralihan I dan Musim Timur. Sedangkan rata-rata kekeruhan sebaliknya. Hubungan antara intensitas cahaya dan kekeruhan menunjukkan korelasi yang kuat hanya pada Musim Peralihan I dan Musim Peralihan II.