PENGERINGAN OSMOTIK PADA IRISAN BUAH ARUMANIS (Mangifera indica L.) DENGAN PELAPISAN KITOSAN SKRIPSI MIFTAHUL JANNAH F

dokumen-dokumen yang mirip
METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARAKTERISTIK BUAH MANGGA

III. METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

METODOLOGI PENELITIAN

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Parameter Pengeringan dan Mutu Irisan Mangga

TINJAUAN PUSTAKA. Buah labu kuning atau buah waluh (Jawa Tengah), labu parang (Jawa Barat),

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN

sebesar 15 persen (Badan Pusat Statistik, 2015).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tidak rata karena mata tunas dan warna daging dari putih hingga kuning

PENDAHULUAN. segar mudah busuk atau rusak karena perubahan komiawi dan kontaminasi

I. PENDAHULUAN. Produksi buah pisang di Lampung setiap tahunnya semakin meningkat. Lampung

TEKNIK PENGEMASAN DAN PENYIMPANAN Interaksi Bahan dan Teknologi Pengemasan

PEMBUATAN KITOSAN DARI KULIT UDANG PUTIH (Penaeus merguiensis) DAN APLIKASINYA SEBAGAI PENGAWET ALAMI UNTUK UDANG SEGAR

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belimbing terdiri atas dua jenis, yaitu belimbing manis (Averrhoa carambola L.)

METODOLOGI PENELITIAN

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

Pengeringan Untuk Pengawetan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. tahun. Menurut data FAO (2008), pada tahun konsumsi kentang. di Indonesia adalah 1,92 kg/kapita/tahun.

METODE PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

2016 ACARA I. BLANCHING A. Pendahuluan Proses thermal merupakan proses pengawetan bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Proses thermal digunak

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 9. Pola penyusunan acak

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian Jurusan

Prinsip-prinsip Penanganan dan Pengolahan Bahan Agroindustri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

KULIAH KE VIII EDIBLE FILM. mampu membuat kemasan edible yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan.

PENGOLAHAN TALAS. Ir. Sutrisno Koswara, MSi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center IPB 2013

3 Metodologi Penelitian

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Buah Jambu Biji. Buah jambu biji mengalami perubahan sifat fisik dan kimia selama waktu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di

III. METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN. Buah-buahan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk segar, tetapi sebagian

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor

I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. ulangan. Faktor pertama adalah jenis pati bahan edible coating (P) yang

9/6/2016. Hasil Pertanian. Kapang; Aspergillus sp di Jagung. Bakteri; Bentuk khas, Dapat membentuk spora

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN LAJU RESPIRASI DENGAN PERLAKUAN PERSENTASE GLUKOMANAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Anorganik, Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas

PENGOLAHAN BUAH-BUAHAN

BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan A.1Alat yang digunakan : - Timbangan - Blender - Panci perebus - Baskom - Gelas takar plastik - Pengaduk -

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA BAHAN AJAR KIMIA DASAR

Proses Pembuatan Madu

BAB II LANDASAN TEORI

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

I PENDAHULUAN. Masalah, (3) Maksud dan tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka. Penelitian, (6) Hipotesis, dan (7) Tempat Penelitian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

MANISAN KERING JAHE 1. PENDAHULUAN 2. BAHAN

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

3. Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Buah Jambu Biji. dalam jumlah yang meningkat drastis, serta terjadi proses pemasakan buah.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

3 Metodologi Penelitian

I. PENDAHULUAN. Buah jambu biji (Psidium guajava L.) merupakan salah satu produk hortikultura.

KARAKTERISTIK EDIBLE FILM BERBAHAN DASAR KULIT DAN PATI BIJI DURIAN (Durio sp) UNTUK PENGEMASAN BUAH STRAWBERRY

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sistematika Ilmiah dan Botani Tanaman Krisan. Klasifikasi ilmiah tanaman krisan menurut Direktorat Jendral Hortikultura

I. PENDAHULUAN. sehingga memiliki umur simpan yang relatif pendek. Makanan dapat. dikatakan rusak atau busuk ketika terjadi perubahan-perubahan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengasapan Ikan. Pengasapan adalah salah satu teknik dehidrasi (pengeringan) yang dilakukan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi Tanaman Pisang. Menurut Cronquist (1981) Klasifikasi tanaman pisang kepok adalah sebagai. berikut: : Plantae

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2)

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. interaksi antara perlakuan umur pemanenan dengan konsentrasi KMnO 4. Berikut

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Rekayasa

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengawetan pangan dengan pengeringan

III. BAHAN DAN METODE

Transkripsi:

PENGERINGAN OSMOTIK PADA IRISAN BUAH MANGGA ARUMANIS (Mangifera indica L.) DENGAN PELAPISAN KITOSAN SKRIPSI MIFTAHUL JANNAH F147128 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 211

OSMOTIC DEHYDRATION OF SLICE OF MANGO ARUMANIS (Mangifera indica L.) WITH CHITOSAN-COATING Miftahul Jannah* and Leopold O. Nelwan** *Under Graduate Student at Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 22, Bogor, West Java, Indonesia. e-mail: mita.tepers@gmail.com **Lecturer at Department of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 22, Bogor, West Java, Indonesia. ABSTRACT Osmotic dehydration with sugar solution as the osmo-active substance was commonly applied to fruits, for example the mango. The objective of this research was to investigate the effect of Chitosan-coating, temperature and concentration of solution on Water Loss (WL) and Solid Gain (SG) during osmotic dehydration of mango. The treatment of solution temperatures of 3 o C and 5 o C and solution concentrations of 42 o Brix, 54 o Brix and 66 o Brix were applied to this research. The variable of the mass of the sample, moisture content, solid content, and the volume of the sample were measured during this research. Measurement was done at minute, 3, 6, 9, 12, 18, 24, and 3. The sample non-coating, high temperature and high concentration of the solution increases WL, while the use of chitosan, low temperature and high concentration of the solution decreases SG. The largest values of PR was 12.2 at E1T1C3 treatment (using the chitosan, solution temperature 3 o C, and concentration of the solution 66 o Brix) with the WL values was 49.65 % and the SG values was 4.5 %. Azuara s model was suitable for modeling the WL and SG on the osmotic dehydration of mango slices. Keywords: dehydration, osmotic, mango, chitosan-coating

MIFTAHUL JANNAH. F147128. Pengeringan Osmotik pada Irisan Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica L.) dengan Pelapisan Kitosan. Di bawah bimbingan Leopold Oscar Nelwan. 211. RINGKASAN Mangga (Mangifera indica L.) merupakan salah satu dari buah-buahan tropikal musiman, dimana produksinya akan melimpah pada waktu panen dan menjadi langka pada waktu di luar musim panen. Buah mangga juga termasuk bahan pangan yang mudah rusak (perishable) sehingga umur simpannya relatif pendek. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk dapat memperpanjang masa penyimpanan yaitu salah satunya dengan cara pengeringan. Diubahnya buah mangga menjadi produk olahan industri agar dapat mempertahankan cita rasa dan komposisi produk itu sendiri selama mungkin tanpa adanya penurunan mutu produk. Tujuan penelitian adalah mengetahui pengaruh pemberian edible coating, suhu larutan dan konsentrasi larutan osmotik sehingga dapat menentukan perlakuan yang mempunyai rasio kinerja pengeringan yang maksimum. Selain itu dilakukan pemodelan Water Loss dan Solid Gain dengan menggunakan model Azuara. Penelitian dilakukan di laboratorium pindah panas dan massa serta laboratorium energi dan listrik pertanian pada bulan Juli dan Agustus 211. Perlakuan pada sampel dibedakan atas ada atau tidak adanya kitosan pada sampel, suhu larutan osmotik (3 o C dan 5 o C) dan konsentrasi larutan osmotik (42 o Brix, 54 o Brix dan 66 o Brix). Jadi, dari ketiga jenis perlakuan yang berbeda akan diperoleh 12 kombinasi perlakuan. Pengeringan osmotik dilakukan selama 5 jam. Pengukuran massa sampel, kadar air, dan volume sampel dilakukan pada menit ke-, 3, 6, 9, 12, 18, 24, dan 3. Sampel untuk tiap perlakuan memiliki kadar air awal yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 647.82~858.74 %b.k. Perlakuan E1T2C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 5 o C dan konsentrasi larutan 66 o Brix) memiliki kadar air akhir yang rendah yaitu 127.35 %b.k. dengan penurunan kadar air yang paling tinggi dari kadar air awalnya, sedangkan kadar air akhir yang paling tinggi terjadi pada perlakuan E1T1C1 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C dan konsentrasi larutan 42 o Brix) sebesar 293.6 %b.k. Water Loss (WL) menunjukkan tingkat kehilangan air dari sampel ke larutan osmotik. Nilai WL yang paling tinggi terjadi pada perlakuan E1T2C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 5 o C dan konsentrasi larutan 66 o Brix) yaitu 64.68 %, sedangkan nilai WL yang paling rendah terjadi pada perlakuan E1T1C1 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C dan konsentrasi larutan 42 o Brix) 27.7%. Solid Gain (SG) merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya jumlah padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel. Nilai SG yang paling tinggi terjadi pada perlakuan ET2C1 (tanpa kitosan, suhu larutan 5 o C, dan konsentrasi larutan 42 o Brix) yaitu 12.75%. Sedangkan nilai SG yang paling rendah terjadi pada perlakuan E1T1C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C, dan konsentrasi larutan 66 o Brix) yaitu 4.5%. Berdasarkan koefisien determinasi yang diperoleh, model Azuara dapat dikatakan layak untuk pemodelan nilai WL dan SG pada pengeringan osmotik irisan buah mangga. Sampel tanpa kitosan, suhu yang tinggi dan konsentrasi larutan yang tinggi dapat meningkatkan pergerakan air keluar dari sampel ke larutan osmotik. Hal tersebut ditandai dengan kadar air akhir yang rendah dan nilai WL yang tinggi. Selain mempengaruhi pergerakan air, penggunaan kitosan, suhu larutan dan konsentrasi larutan juga mempengaruhi banyaknya padatan terlarut dari larutan osmotik yang masuk ke dalam jaringan sampel. Sampel yang tidak diberi kitosan, suhu larutan yang tinggi dan konsentrasi larutan yang rendah menyebabkan nilai SG menjadi tinggi. Untuk mengukur tingkat kinerja dari pengeringan dapat dilihat dari nilai Performance Ratio (PR). Agar diperoleh nilai PR yang tinggi, maka nilai WL harus ditingkatkan dan nilai SG yang diperoleh seminimal mungkin. Nilai PR terbesar terdapat pada perlakuan E1T1C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C, dan konsentrasi larutan 66 o Brix) yaitu sebesar 12.2 dengan nilai WL 49.65 % dan nilai SG 4.5 %.

PENGERINGAN OSMOTIK PADA IRISAN BUAH MANGGA ARUMANIS (Mangifera indica L.) DENGAN PELAPISAN KITOSAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh MIFTAHUL JANNAH F147128 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 211

Judul Skripsi Nama NIM : Pengeringan Osmotik pada Irisan Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica L.) dengan Pelapisan Kitosan : Miftahul Jannah : F147128 Menyetujui, Dosen Pembimbing Akademik Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP., M.Si. NIP. 197128 19993 1 1 Mengetahui : Ketua Departemen, Dr. Ir. Desrial, M.Eng. NIP. 19661228 19923 1 3 Tanggal lulus :

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengeringan Osmotik pada Irisan Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica L.) dengan Pelapisan Kitosan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, November 211 Yang membuat pernyataan Miftahul Jannah F147128

BIODATA PENULIS Miftahul Jannah. Lahir di Jakarta pada tanggal 6 Desember 1989. Penulis merupakan anak kelima dari enam bersaudara dari Ayahanda H. Muhammad Toha dan Ibunda Hj. Marhati. Penulis menamatkan pendidikan SMU pada tahun 27 dari MA. Al-Falah Jakarta dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dari Kementrian Agama RI. Penulis memilih Program Studi Teknik Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Pada tahun 29 penulis pernah menjadi pengajar bimbel mahasiswa TPB IPB untuk mata kuliah kimia yang dikoordinasikan oleh CSS MoRA IPB. Penulis aktif pada beberapa kegiatan dalam suatu kepanitiaan, diantaranya eksmus 27, up grading CSS MoRA 28, LCT (Lomba Cepat-Tepat) CSS MoRA, Techno-F 29, dan SAPA 29. Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa di bidang kewirausahaan (PKMK) yang didanai oleh Dikti pada tahun 29 dengan judul Pencitraan Motif Batik dalam Miniatur Rumah Adat Indonesia. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan pada tahun 21 di PT. PG Rajawali II Unit PG Sindanglaut Cirebon, Jawa Barat dengan judul Aspek Keteknikan Pertanian dan Penggunaan Energi dalam Produksi Gula Tebu di PT PG Rajawali II Unit PG Sindanglaut, Cirebon.

KATA PENGANTAR Puji serta syukur kehadirat Allah SWT. atas limpahan rahmat, taufik, sertá hidayah-nya penyusun mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Penelitian dengan judul Pengeringan Osmotik pada Irisan Buah Mangga Arumanis (Mangifera indica L.) dengan Pelapisan Kitosan dilaksanakan di Laboratorium Energi dan listrik Pertanian serta Laboratorium Pindah Panas dan Massa IPB sejak bulan Juli hingga Agustus 211. Dari awal hingga akhir penyusunan skripsi ini tentu tak lepas dari partisipasi beberapa pihak, baik secara moril maupun materiil yang penulis dapatkan. Dalam kesempatan ini pula dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat penulis hanturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Leopold Oscar Nelwan, S.TP., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan kepada penulis sejak awal terlaksananya penelitian hingga tersusunnya laporan ini. 2. Dr. Ir. Gatot Pramuhadi, M.Si. dan Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si. selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang konstruktif bagi penulis. 3. Kedua orang tua, kakak-kakak serta adik yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis. 4. Kementrian Agama RI yang telah membantu penulis baik secara moril dan materiil. 5. Mila Sophia, Lovren Devter Simbolon dan M. Fauzi Kadarisman selaku teman satu bimbingan yang telah memberikan saran dan membantu dalam pelaksanaan penelitian. 6. Bapak Harto, Kak Darma dan Kak Firman yang telah meluangkan waktunya dan membantu penulis dalam pembuatan alat serta pengaturan finansial. 7. Teman-teman kos Green House yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian. 8. Novi Ardhi yang telah menjadi inspirasi dan memberikan semangat kepada penulis. 9. CSS MoRA IPB dan Ensemble TEP angkatan 44 sebagai teman-teman seperjuangan. 1. Para UKK Fateta yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian di malam hari. 11. UNU-Kirin fellowship program yang telah mendanai penelitian Osmotic Dehydration of Coated Mango by Using Sugar Solution Reconcentrated by Nanofiltration dengan nomor kontrak 6UU-21-536. 12. Semua pihak yang terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung dalam penelitian atas dukungan dan bantuan yang telah diberikan. Besar harapan bagi penulis agar tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, November 211 Miftahul Jannah i

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL...... iii DAFTAR GAMBAR.... iv DAFTAR LAMPIRAN...... vi I. PENDAHULUAN...... 1 A. LATARBELAKANG...... 1 B. TUJUAN...... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA...... 3 A. KARAKTERISTIK BUAH MANGGA... 3 B. PENGERINGAN OSMOTIK........... 6 C. EDIBLE COATING............ 8 III. METODOLOGI PENELITIAN...... 11 A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN...... 11 B. RANCANGAN PENELITIAN 11 C. BAHAN DAN ALAT.... 13 1. Bahan........ 13 2. Alat....... 13 D. METODE PENELITIAN......... 14 1. Pembuatan Larutan Osmotik.......... 14 2. Prosedur Penelitian Pengeringan Osmotik......... 15 E. PENGAMATAN... 15 1. Kadar Air... 15 2. Total Padatan Terlarut (TPT)... 16 3. Volume Sampel... 16 4. Water Loss dan Solid Gain... 16 5. Rasio Kinerja... 17 6. Pemodelan dalam Pengeringan Osmotik...17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN...... 19 A. KADAR AIR SAMPEL...... 19 B. PENYUSUTAN VOLUME. 22 C. TINGKAT KEHILANGAN AIR/WATER LOSS (WL)...... 23 D. PERTAMBAHAN PADATAN TERLARUT/SOLID GAIN (SG)........ 26 E. RASIO KINERJA/PERFORMANCE RATIO (PR)...... 28 V. PENUTUP...... 31 A. KESIMPULAN...... 31 B. SARAN...... 31 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Hasil analisa proksimal pada beberapa varietas buah mangga mature... 4 Tabel 2. Sepuluh produsen mangga terbesar pada tahun 27....... 5 Tabel 3. Kemungkinan penggunaan edible film/coating... 9 Tabel 4. Spesifikasi kitosan niaga...... 1 Tabel 5. Jenis dan kombinasi perlakuan...... 11 Tabel 6. Kadar air awal dan kadar air akhir sampel (dalam basis kering) selama pengukuran... 19 Tabel 7. Nilai parameter pengeringan dari perhitungan model Peleg... 21 Tabel 8. Nilai parameter dan koefisien determinasi dari perhitungan WL dengan menggunakan model Azuara... 25 Tabel 9. Nilai parameter dan koefisien determinasi dari perhitungan SG dengan menggunakan model Azuara... 28 Tabel 1. Nilai Performance Ratio (PR) dari hasil pengukuran dan perhitungan model Azuara untuk masing-masing perlakuan... 3 iii

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Buah mangga varietas arumanis... 5 Gambar 2. Proses osmosis dua liquid.. 6 Gambar 3. Pergerakan air karena perbedaan tekanan osmotik... 6 Gambar 4. Diagram alir rancangan penelitian 12 Gambar 5. (a) Komponen-komponen pada osmotic dehydrator, (b) Bagian dalam osmotic dehydrator.. 14 Gambar 6. Grafik penurunan kadar air terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 42 o Brix... 2 Gambar 7. Grafik penurunan kadar air terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 54 o Brix... 2 Gambar 8. Grafik penurunan kadar air terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 66 o Brix... 2 Gambar 9. Grafik penyusutan volume terhadap waktu pada konsentrasi larutan 42 o Brix... 22 Gambar 1. Grafik penyusutan volume terhadap waktu pada konsentrasi larutan 54 o Brix... 23 Gambar 11. Grafik penyusutan volume terhadap waktu pada konsentrasi larutan 66 o Brix... 23 Gambar 12. Grafik kenaikan WL terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 42 o Brix... 24 Gambar 13. Grafik kenaikan WL terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 54 o Brix... 24 Gambar 14. Grafik kenaikan WL terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 66 o Brix... 25 Gambar 15. Grafik kenaikan WL terhadap waktu untuk masing-masing perlakuan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Azuara... 26 Gambar 16. Grafik kenaikan SG terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 42 o Brix... 27 Gambar 17. Grafik kenaikan SG terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 54 o Brix... 27 Gambar 18. Grafik kenaikan SG terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 66 o Brix... 27 Gambar 19. Grafik kenaikan SG terhadap waktu untuk masing-masing perlakuan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Azuara... 28 Gambar 2. Grafik rasio kinerja pengeringan osmotik pada konsentrasi larutan osmotik 42 o Brix... 29 Gambar 21. Grafik rasio kinerja pengeringan osmotik pada konsentrasi larutan osmotik 54 o Brix... 29 Gambar 22. Grafik rasio kinerja pengeringan osmotik pada konsentrasi larutan osmotik 66 o Brix... 3 Gambar 23. Grafik perubahan massa terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 42 o Brix... 38 Gambar 24. Grafik perubahan massa terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 54 o Brix 38 Gambar 25. Grafik perubahan massa terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 66 o Brix 38 Gambar 26. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET1C1.. 39 Gambar 27. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET1C2.. 39 Gambar 28. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET1C3.. 39 Gambar 29. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET2C1.. 39 Gambar 3. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET2C2.. 4 Gambar 31. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET2C3.. 4 Gambar 32. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C1.. 4 Gambar 33. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C2.. 4 Gambar 34. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C3.. 41 iv

Gambar 35. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C1.. 41 Gambar 36. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C2.. 41 Gambar 37. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C3.. 41 Gambar 38. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET1C1... 42 Gambar 39. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET1C2... 42 Gambar 4. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET1C3... 42 Gambar 41. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET2C1.... 42 Gambar 42. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET2C2.... 43 Gambar 43. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET2C3.... 43 Gambar 44. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C1... 43 Gambar 45. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C2... 43 Gambar 46. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C3... 44 Gambar 47. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C1... 44 Gambar 48. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C2... 44 Gambar 49. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C3... 44 Gambar 5. Foto sampel ET1C1 setelah pengeringan osmotik. 45 Gambar 51. Foto sampel ET1C2 setelah pengeringan osmotik. 45 Gambar 52. Foto sampel ET1C3 setelah pengeringan osmotik. 45 Gambar 53. Foto sampel ET2C1 setelah pengeringan osmotik. 45 Gambar 54. Foto sampel ET2C2 setelah pengeringan osmotik. 45 Gambar 55. Foto sampel ET2C3 setelah pengeringan osmotik. 45 Gambar 56. Foto sampel E1T1C1 setelah pengeringan osmotik. 46 Gambar 57. Foto sampel E1T1C2 setelah pengeringan osmotik. 46 Gambar 58. Foto sampel E1T1C3 setelah pengeringan osmotik. 46 Gambar 59. Foto sampel E1T2C1 setelah pengeringan osmotik. 46 Gambar 6. Foto sampel E1T2C2 setelah pengeringan osmotik. 46 Gambar 61. Foto sampel E1T2C3 setelah pengeringan osmotik. 46 v

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data pengukuran kadar air awal dan kadar TPT awal sampel. 35 Lampiran 2. Data pengukuran kadar air akhir sampel... 36 Lampiran 3. Data pengukuran volume awal, volume akhir dan penyusutan volume sampel... 37 Lampiran 4. Grafik perubahan massa sampel terhadap waktu... 38 Lampiran 5. Grafik perbandingan WL pengukuran dan WL perhitungan..... 39 Lampiran 6. Grafik perbandingan SG pengukuran dan SG perhitungan... 42 Lampiran 7. Foto sampel setelah pengeringan osmotik. 45 vi

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Mangga (Mangifera indica L.) merupakan salah satu dari komoditas unggulan buah tropika Indonesia. Dilihat dari sisi aroma, bau ataupun rasanya sangat digemari baik dikonsumsi secara segar ataupun dalam bentuk produk olahan industri. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian, produksi mangga pada tahun 21 mencapai 1.29 juta ton. Besarnya jumlah mangga pada tahun tersebut membanjiri pasar hanya pada bulan-bulan tertentu saja. Hal ini dikarenakan buah mangga termasuk buah musiman dimana produksinya akan melimpah pada waktu panen dan menjadi langka pada waktu di luar musim panen. Selain itu buah mangga termasuk bahan pangan yang mudah rusak (perishable) sehingga umur simpannya relatif pendek. Diubahnya buah mangga menjadi produk olahan industri agar dapat mempertahankan cita rasa dan komposisi produk itu sendiri selama mungkin tanpa adanya penurunan mutu produk. Produk olahan mangga tetap dapat dikonsumsi pada saat kapanpun, sehingga nilai tambahnya juga meningkat. Secara umum buah-buahan mempunyai masa penyimpanan (shelf life) yang pendek atau relatif cepat mengalami perubahan fisiologis, kimia, dan fisik sehingga mutu buah akan turun dan mengalami kerusakan. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk dapat memperpanjang masa penyimpanan yaitu salah satunya dengan cara mengawetkan buah mangga tersebut. Teknologi pengawetan terus berjalan seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia akan adanya ketersediaan pangan. Cara pengawetan yang paling mudah dan telah dikenal sejak dahulu yaitu pengeringan. Pengeringan merupakan pengawetan secara fisik dengan cara menurunkan aktivitas air (Aw) melalui pengurangan kadar air pada makanan sampai pada kadar tertentu dimana tidak terjadi aktivitas mikroorganisme perusak pangan. Proses pengeringan dapat menggunakan sinar matahari maupun menggunakan mesin-mesin pengering. Pemanfaatan sinar matahari dapat menekan biaya sehingga proses ini dengan mudah ditemui pada masyarakat tradisional misalnya untuk pengeringan ikan maupun pengeringan padi. Tetapi metode pengeringan ini sangat tergantung pada cuaca dan kurang cocok dalam pengeringan buah-buahan karena dapat menurunkan mutu produk. Pemanfaatan mesin pengering banyak digunakan dalam skala industri maupun laboratorium, kelebihannya yaitu tidak tergantung cuaca dan prosesnya lebih bisa dikontrol. Akan tetapi energi yang dibutuhkan untuk proses pengeringan sangat besar. Salah satu teknologi alternatif untuk pengeringan buah-buahan adalah pengeringan osmotik. Pada proses pengeringan osmotik, buah-buahan dimasukkan ke dalam suatu media osmotik yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih besar dibandingkan konsentrasi zat terlarut pada bahan yang akan dikeringkan sehingga air keluar dari bahan ke arah media melalui dinding sel yang berperilaku sebagai membran semipermeabel untuk menyeimbangkan tekanan osmotik. Akibat pemindahan massa air dari bahan tanpa perubahan fase ialah bertahannya mutu produk, dalam hal ini mencakup warna, aroma, tekstur buah, serta meningkatkan rasa buah kering. Pada pengeringan osmotik tidak memerlukan energi yang besar, karena untuk mengeluarkan air dari bahan tidak memerlukan panas laten untuk mengubah fase air dari bahan tersebut. Sistem pengeringan osmotik dipakai di dalam pengawetan untuk memperbaiki akibat buruk pada beberapa produk yang diawetkan dengan cara pengeringan biasa seperti tekstur menjadi sangat keras dan kehilangan cita rasa. Penerapan pengeringan osmotik pada irisan buah mangga agar dapat menghasilkan produk mangga semi basah dengan aroma, warna, tekstur dan rasa mangga yang tidak mengalami perubahan akibat pengeringan. 1

Beberapa variabel dapat mempengaruhi kinerja dari proses pengeringan. Rasio kinerja dari proses pengeringan osmotik dinyatakan pada perbandingan Water Loss (WL) terhadap Solid Gain (SG). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi proses pengeringan ialah suhu. Suhu yang tinggi dapat meningkatkan proses pengeringan (Lenart & Lewicki, 199), tetapi suhu di atas 5 o C dapat menyebabkan terjadinya browning dan menurunkan cita rasa dari produk (Videv et al, 199). Transfer massa khususnya proses kehilangan air juga dipengaruhi oleh konsentrasi larutan osmotik (Rahman & Lamb, 199). Menurut Camirand et al. (1992), rasio kinerja dari proses pengeringan dapat ditingkatkan dengan pemberian lapisan (edible coating) seperti pencelupan irisan mangga dalam kalsium alginat. Fungsi dari pelapisan adalah mencegah terjadinya aliran padatan terlarut dari larutan osmotik ke dalam produk. Selain itu edible coating juga dapat bertindak sebagai membran semipermeabel, sehingga dapat meningkatkan water loss dan menurunkan solid gain. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh suhu, konsentrasi larutan osmotik, serta pemberian edible coating terhadap pengeringan osmotik pada buah, misalnya pada buah mangga, agar diperoleh kinerja pengeringan osmotik yang maksimum terhadap buah mangga. B. TUJUAN Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Mengukur perubahan Water Loss dan Solid Gain akibat pemberian edible coating, perbedaan suhu larutan dan konsentrasi larutan osmotik pada irisan buah mangga yang dikeringkan dengan teknik pengeringan osmotik. 2. Membuat model Water Loss dan Solid Gain pada pengeringan osmotik irisan buah mangga dengan menggunakan model Azuara. 3. Menentukan perlakuan yang mempunyai rasio kinerja pengeringan maksimum pada pengeringan osmotik irisan buah mangga arumanis. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. KARAKTERISTIK BUAH MANGGA Mangga berasal dari sekitar perbatasan India dengan Burma dan menyebar ke Asia Tenggara semenjak 15 tahun yang lalu. Nama buah ini berasal dari Malayalam maanga dan dipadankan dalam bahasa Indonesia menjadi mangga. Kata ini dibawa ke Eropa oleh orang-orang Portugis dan diserap menjadi manga (bahasa Portugis), mango (bahasa Inggris) dan lain-lain. Nama ilmiahnya yaitu Mangifera indica L. yang mengandung arti: (pohon) yang berbuah mangga, berasal dari India. Klasifikasi ilmiah dari buah mangga yaitu: Kingdom : Plantae Filum : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Sapindales Famili : Anacardiaceae Genus : Mangifera Spesies : Mangifera indica L. Pohon mangga termasuk tumbuhan tingkat tinggi yang struktur batangnya (habitus) termasuk kelompok arboreus, yaitu tumbuhan berkayu yang mempunyai tinggi batang lebih dari 5 m. Tinggi pohon mangga bisa mencapai 1-4 m (Wikipedia, 211). Bunga mangga merupakan bunga majemuk yang berkarang dalam malai bercabang banyak di ujung ranting. Karangan bunga biasanya berbulu, tetapi sebagian ada juga yang gundul, kuning kehijauan, dan panjang mencapai 4 cm. Bunga majemuk ini terdiri dari sumbu utama yang mempunyai banyak cabang utama. Setiap cabang utama ini mempunyai banyak cabang-cabang, yakni cabang kedua. Ada kemungkinan cabang bunga kedua ini mempunyai suatu kelompok yang terdiri dari 3 bunga atau mempunyai cabang tiga. Setiap kelompok tiga bunga terdiri dari tiga kuntum bunga dan setiap kuntum bertangkai pendek dengan daun kecil. Jumlah bunga pada setiap bunga majemuk bisa mencapai 1-6. Bunga-bunga dalam karangan berkelamin campuran, ada yang jantan dan ada pula yang hermafrodit (berkelamin dua). Besarnya bunga lebih kurang 6-8 mm. Bunga jantan lebih banyak daripada bunga hermafrodit, dan jumlah bunga hermafrodit inilah yang menentukan terbentuknya buah. Persentase bunga hermafrodit bermacam-macam, tergantung dari varietasnya, yaitu antara 1.25% - 77.9%, sementara bunga yang mempunyai bakal buah normal kira-kira 5-1%. Pembungaan pada tanaman mangga terjadi 1 ½ - 2 bulan sesudah musim kering dimulai. Waktu yang diperlukan pembungaan dan pembuahan kurang lebih 4 bulan kering dan selama waktu tersebut ada 15 hari hujan merata. Curah hujan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman mangga adalah kurang dari 6 mm/bulan dengan 4 6 bulan kering (Wikipedia, 211). Buah mangga terdiri tiga bagian utama yaitu kulit, daging dan biji. Sekitar 11-18% dari berat mangga utuh terdiri dari kulit. Berat biji berkisar 14-22% dari berat utuh mangga. Sedangkan daging buah mempunyai berat 6-7% dari berat keseluruhan mangga (Pracaya, 199). Panjang buah kirakira 2.5-3 cm. Pada bagian ujung buah, ada bagian yang runcing yang disebut paruh. Di atas paruh ada bagian yang membengkok yang disebut sinus, yang dilanjutkan ke bagian perut. Bagian belakang buah mangga disebut punggung (Pracaya, 1985). 3

Mangga mempunyai kulit buah agak tebal berbintik-bintik kelenjar, berwarna hijau, kekuningan atau kemerahan bila masak. Ciri-ciri daging buah masak yaitu berwarna merah jingga, kuning atau krem, berserabut atau tidak, manis sampai masam dengan banyak air, berbau kuat sampai lemah, penebalan lapisan bedak, pemunculan bintik coklat pada 2/3 lebih bagian panjang buah dan menghasilkan nada tinggi jika buah diketuk dengan jari. Biji berwarna putih, gepeng memanjang tertutup endokarp yang tebal, mengayu dan berserat. Pati yang terakumulasi selama proses pematangan buah ternyata kadarnya berkurang tajam pada saat buah matang, dimana ukuran granula pati yang ada di dalam kloroplas mengecil (Seymour et al., 1993). Hilangnya pati diiringi dengan kenaikan kadar amilase setelah proses pematangan selesai. Sebagai akibat hidrolisis pati, maka kadar gula juga meningkat selama pematangan, dimana gula yang terbentuk adalah fruktosa, glukosa dan sukrosa yang menggantikan monosakarida. Pada kebanyakan varietas mangga ternyata fruktosa ditemukan paling dominan. Seymour et al. (1993) menyatakan bahwa kadar TPT buah mangga yang mendekati tingkat kematangan akan semakin meningkat. Dengan meningkatnya kadar gula maka meningkat pula rasa manis pada buah mangga. Pracaya (199) menyatakan bahwa waktu berbunga buah mangga di pulau Jawa lebih kurang terjadi pada bulan Juli-Agustus, sedangkan musim panen terjadi pada bulan September-Desember. Pracaya (1985) juga menyatakan buah mangga sudah dapat dikatakan tua jika telah berumur > 79 hari, karena telah mencapai tingkat perkembangan maksimal dan proses pematangan yang sempurna. Terdapat perbedaan karakteristik fisik dan kimia untuk tiap jenis buah mangga. Hasil analisa sebuah penelitian mengenai karakteristik beberapa varietas mangga lokal dapat dilihat pada Tabel 1. Varietas Tabel 1. Hasil analisa proksimat pada beberapa varietas buah mangga masak Kadar air (%) TSS ( o Brix) TAT ( o Brix) Vit. C (mg/1 g) Total gula (%) Rasio gula dan asam Gedong 82.86 16..12 7.21 17.28 144.71 Arumanis 81.5 14.77.89 2.32 17.42 19.57 Manalagi 81.9 16.2.63 4.29 17.36 27.56 Cengkir 84.3 14.93.26 5.8 16.4 61.71 Golek 85.38 13.9.11 4.52 17.87 162.5 Sumber: Yulianingsih dan Laksmi (1988) Mangga merupakan buah klimakterik dengan umur simpan 6 8 hari pada suhu kamar yaitu 25±2 o C dan RH 85±5% (Jagatiani et al. 1988). Menurut Yuniarti dan Suhardi (1989) buah mangga golek yang dipanen pada umur 92 hari setelah pembungaan akan mencapai tingkat kematangan optimal setelah disimpan 8 hari pada suhu kamar. Broto et al. (1989) menyatakan bahwa mangga arumanis rata-rata terjadi pematangan secara penuh setelah pemanenan pada hari ke-8 pada kondisi suhu kamar 23-25 o C dan RH 7-8%. Mangga cengkir yang dipanen pada stadia ketuaan komersil hanya tahan simpan selama 8 hari (Pratikno dan Sosrodiharjo, 1989). Mangga terutama dihasilkan oleh negara-negara India, Tiongkok, Meksiko, Thailand, Pakistan, Indonesia, Brasil, Filipina, dan Bangladesh. Total produksi dunia di tahun 198-an sekitar 15 juta ton, namun hanya sekitar 9. ton (1985) yang diperdagangkan di tingkat dunia. Artinya, sebagian besar mangga dikonsumsi secara lokal. Sementara itu pasar utama mangga adalah Asia Tenggara, Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Singapura, Hong Kong dan Jepang merupakan pengimpor yang terbesar di Asia. Gambaran produksi mangga tahun 27 dapat dilihat pada Tabel 2. 4

Tabel 2. Sepuluh produsen mangga terbesar pada tahun 27 No Negara Produksi (ton) Catatan 1. India 13.51. F 2. China 3.752. F 3. Meksiko 2.5. F 4. Thailand 1.8. F 5. Pakistan 1.719.18 F 6. Indonesia 1.62. F 7. Brasil 1.546. F 8. Filipina 975. F 9. Nigeria 734. F 1. Vietnam 37. F Tingkat dunia 33.445.279 A Keterangan: F = Perkiraan FAO A = data gabungan (resmi, tak resmi, dan atau hasil perhitungan) Sumber: Food and Agricultural Organization of United Nations: Economic And Social Department: The Statistical Division. Salah satu varietas buah mangga yang banyak disukai untuk dikonsumsi ialah mangga arumanis (Gambar 1). Bentuk buahnya gemuk terkesan banyak daging buahnya, berparuh sedikit, dan ujungnya meruncing. Pangkal buah berwarna merah orange keunguan, sedangkan bagian lainnya berwarna hijau kebiruan. Mangga ini memiliki kulit yang tidak begitu tebal, berbintik kelenjar berwarna keputihan, jika tua terkesan mengkilap. Daging buahnya tebal, berwarna kuning kemerahmerahan, dagingnya lembut, sedikit berserat, dan tidak begitu banyak mengandung air. Rasanya manis segar, tetapi pada bagian ujungnya terkadang sedikit asam. Bijinya kecil, lonjong pipih, dan panjangnya antara 12-14 cm. Panjang buahnya berkisar 13~16 cm, dan rata-rata berat per buah berkisar 45 g. Mampu berbuah maksimal, bisa mencapai 6 kg/pohon (Agrobuah, 211). Gambar 1. Buah mangga varietas arumanis Sumber: agrobuah.com 5

B. PENGERINGAN OSMOTIK Osmosis merupakan suatu proses dimana suatu liquid dapat melewati suatu membran semipermeabel secara langsung. Apabila terdapat dua larutan yang memiliki konsentrasi zat terlarut yang berbeda dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel, maka akan terjadi perpindahan air dari larutan hipotonik (larutan dengan konsetrasi zat terlarut yang lebih rendah) ke larutan hipertonik (larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi). Misalnya yang terjadi dalam kasus dua buah liquid yang dipisahkan dengan suatu membran semipermeabel (Gambar 2) dimana pada salah satu kaki berisi pelarut murni misalnya air sebagai larutan hipotonik, dan satu kaki yang lain berisi larutan gula sebagai larutan hipertonik. Membran semipermeabel Larutan gula Pelarut murni (air) aliran air dari larutan hipotonik ke larutan hipertonik Gambar 2. Proses osmosis dua liquid Pori dalam membran semipermeabel terlalu kecil untuk dapat dilewati oleh molekul zat terlarut misalnya gula, tetapi cukup besar untuk dilewati molekul air. Molekul air dari larutan maupun dari pelarut murni secara random dapat melewati membran semipermeabel. Akan tetapi laju pergerakan molekul air dari air-larutan dengan laju pergerakan molekul air dari larutan-air ditentukan oleh besarnya entropi dan tekanan yang diaplikasikan ke salah satu kaki. Karena entropi larutan adalah lebih besar dibandingkan dengan entropi pelarut murni maka secara spontan laju molekul air yang melewati air-larutan akan lebih cepat dibandingkan dengan laju molekul air dari larutan-air. Oleh sebab itu bila kita membiarkan kedua larutan untuk selang waktu tertentu maka ketinggian permukaan larutan pada salah satu kaki akan mengalami kenaikan. Proses ini akan terus berlangsung sampai ketinggian h mencapai tinggi tertentu dimana pada ketinggian tersebut tekanan larutan memiliki tekanan yang dapat menyeimbangkan laju pergerakan molekul air dari larutan-air dan air-larutan. Tekanan inilah yang disebut sebagai tekanan osmotik. Gambar 3. Pergerakan air karena perbedaan tekanan osmotik Sumber : belajarkimia.com 6

Proses osmosis dapat juga diaplikasikan pada proses pengeringan pangan. Meningkatkan kualitas produk makanan yang diawetkan, memberikan kisaran kadar air dan zat terlarut bahan yang diinginkan untuk proses pengolahan selanjutnya, meminimalisasi stress pada bahan akibat panas dan mengurangi input energi pada pengeringan konvensional merupakan beberapa keuntungan dari pengeringan osmotik dalam proses stabilisasi konvensional (Chottanom et al., 25). Pengeringan osmotik dilakukan dengan menciptakan lapisan semipermeabel dengan cara merendam produk ke dalam larutan gula, larutan garam, sorbitol, gliserol, dan sebagainya sebelum proses pengeringan. Proses ini biasa dilakukan dalam pembuatan produk pangan semi basah. Selanjutnya produk dikeringkan dengan penjemuran atau pengeringan buatan. Proses pengeringan osmosis dapat digunakan untuk perlakuan pengeringan awal yang dapat menurunkan kadar air bahan sampai 5% dari kadar air awal bahan (Karathanos et al., 1995). Metode pengeringan osmotik dikombinasikan dengan pengeringan udara terbukti mampu menghasilkan buah kering awet dengan kadar air sekitar 14%, sehingga kerusakan kimiawi, biologis dan enzimatis dapat dihindari. Perendaman irisan daging buah mangga kweni dalam larutan gula 6 o Brix selama 1 jam, kemudian dikeringkan pada suhu 55 o C dan kelembaban 6% selama 9 jam menghasilkan manisan mangga kweni kering, berpenampilan menarik, warna kuning merata, manis, dan memiliki kadar air optimum yaitu 14.41% (Broto, 23). Pengeringan osmotik melibatkan dua aliran material yang berlawanan arah dan terjadi secara simultan, yaitu keluarnya air dari jaringan produk ke larutan osmotik dan aliran padatan terlarut dari larutan osmotik ke dalam jaringan produk. Laju kehilangan air dari jaringan produk dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya suhu, komposisi dan konsentrasi larutan osmotik, fase kontak, karakteristik produk, perlakuan awal terhadap produk, ukuran dan bentuk geometri produk, tingkat pengadukan, dan lamanya proses pengeringan (Khan et al., 28). Suhu memberikan pengaruh positif (sebanding) dengan kehilangan air dan kenaikan padatan pada buah mangga dengan perlakuan pengeringan osmotik. Pada buah nanas yang telah dilakukan pengeringan osmotik selama 6 jam, dengan suhu 3, 4 and 5 ºC dalam larutan hipertonik (6% sukrosa), menunjukkan bahwa penurunan kadar air nanas mempunyai fungsi linier terhadap suhu perendaman. Makin tinggi suhu, makin turun kadar air nanas, kadar sukrosa dalam buah makin tinggi (Ramalo dan Mascheroni, 25). Jenis dan konsentrasi larutan osmotik sangat mempengaruhi laju pengeringan dan mutu yang dihasilkan. Karathanos et al. (1995) menemukan bahwa larutan glukosa dengan konsentrasi 45% memberikan laju kehilangan air yang paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi larutan 3% dan 15%. Kalsium klorida umumnya digunakan pada konsentrasi.5 1.% sebagai tambahan pada bahan osmosis yang sebenarnya, terutama untuk menguatkan struktur jaringan sayuran atau buahbuahan. Natrium klorida sangat cepat menghasilkan efek pengeringan osmosis, tetapi mempunyai kelemahan yaitu molekul NaCl cepat mempenetrasi bahan dan mengubah rasa. Akibat adanya perubahan organoleptik, maka disarankan untuk menggunakan konsentrasi 1% bagi sayuran, dan 1-3% sebagai tambahan pada media osmosis utama untuk mengeringkan buah-buahan. Larutan NaCl juga telah ditemukan mempunyai efek inhibitor terhadap aktifitas polyphenol oksidase (Lenart, 1996). Sukrosa dianggap merupakan bahan osmosis yang terbaik, kehadiran sukrosa pada permukaan bahan yang dikeringkan membantu menghalangi kontak dengan oksigen yang berakibat terhadap penurunan laju pencoklatan enzimatik (enzymatic browning). Sukrosa lebih dapat diterima jika ditinjau dari segi rasa, tetapi rasa manis dapat tidak cocok digunakan bagi sayur-sayuran. Maltodekstrin dan sirup pati dianjurkan untuk menurunkan kadar air sayur-sayuran dan buah-buahan terutama jika efek kemanisan yang diakibatkan oleh sukrosa pada produk akhir tidak diinginkan. Monteiro et al. (23) melakukan pengeringan osmotik pada potongan buah mangga untuk memperoleh kondisi perlakuan dengan rasio kinerja pengeringan yang maksimum. Rasio kinerja 7

maksimum diperoleh pada kondisi suhu larutan 46 o C dan konsentrasi larutan 65.5 o Brix untuk sampel yang tidak dilapisi alginat. Untuk sampel yang dilapisi alginat, rasio kinerja maksimum diperoleh pada perlakuan suhu larutan 44 o C dan konsentrasi larutan 65.5 o Brix. Rasio kinerja maksimum yang diperoleh masing-masing perlakuan tersebut yaitu 5.16 dan 9.51, sehingga pemberian alginat pada sampel dapat meningkatkan kehilangan air dan menurunkan pemasukan padatan terlarut pada sampel. C. EDIBLE COATING Polimer biodegradable adalah molekul-molekul besar yang dapat dihancurkan atau diurai mikroorganisme, khususnya bakteri dan jamur. Salah satu metode yang sedang dikembangkan adalah kemasan edible, yaitu kemasan yang dapat dimakan, antara lain dengan teknik coating (lapisan). Teknik ini sering disebut sebagai edible film dan/atau edible coating. Coating diaplikasikan dan dibentuk secara langsung pada produk yang dikemas. Sedangkan film dibentuk menyerupai lapisan tipis terlebih dahulu, kemudian diaplikasikan ke produk makanan yang dikemas. Edible film / coating merupakan lapisan tipis dan kontinyu, terbuat dari bahan-bahan yang dapat dimakan, dengan melapisi komponen makanan atau diletakkan di antara komponen makanan. Lapisan ini berfungsi sebagai penahan (barrier) yang baik untuk perpindahan massa (kelembaban, lipid, cahaya, zat terlarut, gas O 2 dan CO 2, sebagai bahan tambahan, serta dapat mencegah hilangnya senyawa-senyawa volatile pada aroma atau rasa khas suatu produk pangan. Sehingga kemasan edible film/coating harus memiliki sifat diantaranya: (1) Menahan kehilangan kelembaban produk. (2) Memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu. (3) Mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk memepertahankan warna pigmen alami dan gizi. (4) Menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. Aplikasi edible film/coating dapat digunakan pada potongan buah atau sayuran dengan cara pencelupan, pembuihan, penyemprotan, penetesan, dan penetesan terkendali. Cara aplikasinya tergantung pada jumlah, ukuran, sifat produk dan hasil yang diinginkan. Bahan dasar pembuatan edible film/coating dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu hidrokoloid (protein, polisakarida, turunan selulosa, alginat, pektin, dan pati), lipida (asam lemak, wax, asilgliserol), serta campuran (hidrokoloid dan lemak). Edible film/coating dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan penggunaannya dan jenis film yang sesuai, yang dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kemungkinan penggunaan edible film/coating 8

Penggunaan Menghambat penyerapan uap air Menghambat penyerapan gas Menghambat penyerapan minyak dan lemak Menghambat penyerapan zat-zat larut Meningkatkan kekuatan struktur atau memberi kemudahan penanganan Menahan zat-zat volatile Pembawa bahan tambahan makanan Jenis edible film/coating yang sesuai Lipida, komposit Hidrokoloid, lipida, atau komposit Hidrokoloid Hidrokoloid, lipida, atau komposit Hidrokoloid, lipida, atau komposit Hidrokoloid, lipida, atau komposit Hidrokoloid, lipida, atau komposit Sumber : Donhowe dan Fennema (1994) dalam Krochta et al. (1994) Salah satu jenis edible coating ialah kitosan. Kitosan merupakan bahan pelapis berupa polisakarida yang berasal dari limbah pengolahan udang (Crustaceae). Misalnya limbah padat pengolahan yang terdiri atas kulit, kaki dan kepala, dapat mencapai hingga 4% dari total produksi udang. Untuk memperoleh kitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi), sedangkan untuk mendapatkan kitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi dengan menggunakan basa kuat NaOH atau KOH. Dalam chitosan terdapat unsur butylosar yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Butylosar yang telah didapatkan itu hanya larut dalam asam encer dan cairan tubuh manusia. Zat itu merupakan satusatunya selulosa yang dapat dimakan, mempunyai muatan positif yang kuat, dan dapat mengikat muatan negatif dari senyawa lain. Selain itu, zat ini mudah mengalami degradasi secara biologis dan tidak beracun. Kitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pengawet makanan, karena kitosan memiliki polikation bermuatan positif sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Wardaniati, 29) dan mampu berikatan dengan senyawa-senyawa yang bermuatan negatif seperti protein, polisakarida, asam nukleat, logam berat dan lain-lain (Murtini dkk, 28). Selain itu, molekul kitosan memiliki gugus N yang mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan protein dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan kitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen (Rochima, 29). Kitosan tidak larut di dalam air, alkali pekat, alkohol dan aseton, tetapi larut dalam asam lemah seperti asetat dan formiat. Asam organik seperti asam hidroklorida dan asam netral dapat melarutkan kitosan pada ph tertentu dalam keadaan hangat dan pengadukan lama, tetapi hanya sampai derajat terbatas. Kitosan diketahui mempunyai kemampuan untuk membentuk gel, film dan fiber, karena berat molekulnya yang tinggi dan solubilitasnya dalam larutan asam encer. Kitosan telah digunakan secara luas di industri makanan, kosmetik, kesehatan, farmasi dan pertanian serta pada pengolahan air limbah. Di industri makanan, kitosan dapat digunakan sebagai suspensi padat, pengawet, penstabil warna, penstabil makanan, bahan pengisi, pembentuk gel, tambahan makanan hewan dan sebagainya. Berikut ini disajikan spesifikasi kitosan niaga pada Tabel 4. 9

Tabel 4. Spesifikasi kitosan niaga Parameter Ukuran partikel Ciri Serpihan sampai bubuk Kadar air 1. % Kadar abu 2. % Warna larutan Tidak berwarna N-deasetilasi 7. % Kelas viskositas (cps) - Rendah - Medium - Tinggi pelarut organik - Sangat tinggi < 2 2 799 8 2 >2 Sumber: Purwatiningsih S et al., 29 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kitosan mempunyai potensi yang cukup baik sebagai pelapis pada benih dan buah-buahan misalnya pada tomat (El-Ghaouth et al., 1992). Sifat lain kitosan adalah dapat menginduksi enzim chitinase pada jaringan tanaman yaitu enzim yang dapat mendegradasi kitin yang merupakan penyusun dinding sel fungi (Baldwin, 1994). Nisperos-Carriedo et al. (1994) menyatakan bahwa pelapis dari karbohidrat dapat menyerap uap air. Oleh karena itu, penghambatan transpirasi dari dalam ke luar buah tergantung pada tinggi rendahnya konsentrasi kitosan yang digunakan. 1

III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Juli 211 hingga Agustus 211 di Laboratorium Energi dan Listrik Pertanian serta Laboratorium Pindah Panas dan Massa, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. B. RANCANGAN PENELITIAN Perlakuan yang digunakan dalam penelitian terdiri dari: Perlakuan 1: E = tanpa menggunakan kitosan (chitosan) E1 = menggunakan kitosan (chitosan) sebagai pelapis (edible coating) Perlakuan 2: T1 = suhu larutan osmotik 3 o C T2 = suhu larutan osmotik 5 o C Perlakuan 3: C1 = konsentrasi larutan osmotik 42 o Brix C2 = konsentrasi larutan osmotik 54 o Brix C3 = konsentrasi larutan osmotik 66 o Brix Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan faktorial dengan 3 perlakuan dengan masing-masing 2 dan 3 taraf perlakuan. Jadi, dari ketiga jenis perlakuan yang berbeda akan diperoleh 12 kombinasi perlakuan yang dapat dilihat pada Tabel 5. Sedangkan diagram alir rancangan penelitian terdapat pada Gambar 4. Tabel 5. Jenis dan kombinasi perlakuan Perlakuan Notasi Perlakuan Pemberian Coating Suhu Larutan Konsentrasi Larutan Non-coating 3 o C 42 o Brix ET1C1 54 o Brix ET1C2 66 o Brix ET1C3 5 o C 42 o Brix ET2C1 54 o Brix ET2C2 66 o Brix ET2C3 Coating 3 o C 42 o Brix E1T1C1 54 o Brix E1T1C2 66 o Brix E1T1C3 5 o C 42 o Brix E1T2C1 54 o Brix E1T2C2 66 o Brix E1T2C3 11

Mulai Penentuan sampel: 1. Mangga varietas arumanis 2. Memiliki kadar air dan kadar TPT yang mendekati sama Persiapan alat dan bahan penelitian Penentuan 24 potongan mangga (ukuran 3cm x 4cm x.8cm) sebagai sampel Pembuatan larutan bahan tambahan pangan (BTP) yaitu asam askorbat 1% dan asam sitrat.2% Pembuatan larutan gula Pengukuran awal sampel: 1. Berat awal 2. Volume awal 3. Kadar air awal 4. Kadar TPT awal Pencelupan sampel ke dalam larutan BTP Tanpa edible coating Penggunaan kitosan 1.5% sebagai edible coating Penentuan suhu dan konsentrasi larutan 3 o C, 42 o Brix 5 o C 42 o Brix 3 o C 54 o Brix 5 o C 54 o Brix 3 o C 66 o Brix 5 o C 66 o Brix Pengukuran setelah perlakuan: 1. Berat akhir sampel 2. Volume akhir sampel 3. Kadar air akhir sampel Perhitungan WL dan SG berdasarkan pengukuran Pemodelan WL dan SG dengan model Azuara Perlakuan dengan nilai PR terbesar Selesai Gambar 4. Diagram alir rancangan penelitian 12

C. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan utama sebagai sampel dalam penelitian adalah buah mangga yang telah dipotong dengan ukuran panjang 3 cm, lebar 4 cm dan tebal.8 cm. Buah mangga yang digunakan jenisnya sama untuk setiap perlakuan, yaitu buah mangga arumanis yang diupayakan mempunyai umur panen yang sama. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah kadar air awal dan kadar TPT dari buah mangga mendekati sama. Bahan tambahan lainnya yaitu larutan osmotik berupa campuran antara gula dan aquades; larutan asam askorbat 1% b/v dan asam sitrat.2% b/v; dan kitosan 1.5% b/v sebagai edible coating. Larutan kitosan diperoleh dari laboratorium biotek, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Cara pembuatannya yaitu kitosan sebanyak 15 gram dilarutkan dengan 1 liter larutan asam asetat 2%. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian di antaranya: a. Osmotic Dehydrator Berupa panci terbuat dari baja tahan karat (stainless steel) yang dirangkai dengan elemen pemanas (heater), termostat, pengaduk (stirer), dan saringan sampel. Heater yang digunakan sebanyak 2 unit dengan daya masing-masing sebesar 1 Watt. Termostat berfungsi mengontrol suhu larutan osmotik agar konstan selama pengukuran. Stirer digunakan untuk menggerakkan/mengaduk larutan osmotik agar panas yang diterima dapat merata ke semua sisi wadah. Stirer digerakkan oleh motor DC dengan kecepatan putar 125 RPM. Saringan sampel terbuat dari stainless steel. Saringan digunakan sebagai wadah potongan buah mangga agar mudah dalam pengambilan potongan buah mangga yang akan ditimbang. Foto dan keterangan alat dapat dilihat pada Gambar 4. b. Drying oven, cawan, tray, dan penjepit cawan c. Refraktometer d. Timbangan digital e. Desikator f. Gelas ukur g. Pipet tetes h. Pinset i. Pisau j. Mortar k. Stopwatch l. Kertas saring/tissue m. Mistar dan jangka sorong 13

Pompa stirer Batang stirer Insulator Tombol on-off heater Tombol pengatur suhu pada termostat Penyangga panci pemanas (a) (b) Gambar 5. (a) Komponen-komponen pada osmotic dehydrator, (b) Bagian dalam osmotic dehydrator D. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Larutan Osmotik Larutan osmotik yang digunakan adalah campuran dari gula dan aquades. Konsentrasi larutan osmotik yang digunakan pada penelitian terdiri dari larutan gula 42 o Brix, 54 o Brix, dan 66 o Brix. Misalnya dalam pembuatan larutan gula 42 o Brix, gula putih dilarutkan dengan sejumlah aquades. Kemudian diukur kadar TPT (total padatan terlarut) dengan menggunakan refraktometer. Jika angka menunjukkan < 42 o Brix maka ditambahkan gula ke dalam larutan, dan sebaliknya ditambahkan aquades jika angka menunjukkan > 42 o Brix. Begitu pula dalam pembuatan larutan gula 54 o Brix dan 66 o Brix menggunakan prosedur yang sama, akan tetapi dengan angka o Brix yang berbeda. 14

2. Prosedur Penelitian Pengeringan Osmotik Langkah kerja dalam pengeringan osmotik adalah sebagai berikut: a. Mangga dicuci, dibersihkan, dikupas kulitnya, dan dipotong dengan ukuran panjang x lebar x tebal yaitu 3 cm x 4 cm x.8 cm. b. Semua potongan mangga ditimbang untuk mengetahui berat awal keseluruhan. c. Semua potongan mangga dicelupkan ke dalam larutan asam askorbat 1% b/v dan asam sitrat.2% b/v selama 6 detik. d. Dari semua potongan mangga diambil secara acak 24 potongan mangga sebagai sampel pengukuran berat sampel, kadar air, dan volume sampel untuk tiap waktu pengukuran. Waktu pengukuran terdiri dari pengukuran pada menit ke-, 3, 6, 9, 12, 18, 24, dan 3. Masingmasing waktu pengukuran terdapat tiga sampel yang diukur. e. Masing-masing sampel (24 potongan mangga) ditimbang berat awalnya dan diukur volume awalnya. f. Untuk sampel dengan perlakuan menggunakan edible coating, sampel dicelupkan ke dalam larutan kitosan 1.5% b/v selama 3 detik, kemudian diangin-anginkan. g. Untuk mengetahui kadar air dan kadar TPT awal mangga (sebelum pengeringan osmotik) dilakukan pegukuran pada ketiga sampel untuk menit ke-. Masing-masing sampel dipotong menjadi dua bagian, yaitu satu bagian untuk pengukuran kadar air dan satu bagian lagi untuk pengukuran kadar TPT. h. Sampel yang lain dimasukkan ke dalam saringan. i. Larutan osmotik dimasukkan ke dalam panci heater. Perbandingan berat sampel dengan larutan osmotik yaitu 1 : 15. Selanjutnya heater dinyalakan dan tombol pada termostat diatur sesuai suhu yang akan digunakan. j. Saringan yang berisi sampel dimasukkan ke dalam panci heater hingga seluruh sampel terendam dalam larutan gula. Kemudian panci ditutup dan stirer dinyalakan pada kecepatan putar 125 rpm. k. Pengeringan osmotik dilakukan selama 5 jam. Diambil masing-masing 3 sampel untuk dilakukan pengukuran berat sampel, kadar air dan volume sampel tiap 3 menit untuk 2 jam pertama dan tiap 6 menit untuk 3 jam berikutnya. Setiap sebelum dilakukan pengukuran, sampel harus dikeringkan dengan cara dilap dengan menggunakan kertas saring. E. PENGAMATAN 1. Kadar Air (Metode Oven) Pengukuran kadar air sampel (potongan buah mangga) dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan metode oven. Langkah awal dalam pengukuran kadar air sampel dengan mengeringkan cawan kosong di dalam oven bersuhu 15 o C selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel yang telah dipotong-potong sejumlah a gram dimasukkan ke dalam cawan tersebut dan sampel dikeringkan di dalam oven bersuhu 1 o C. Setelah 6 jam sampel tersebut dikeluarkan dari dalam oven dan dimasukkan ke dalam desikator untuk didinginkan. Beberapa saat kemudian sampel dikeluarkan dari desikator dan ditimbang. Perbedaan berat sampel sebelum dan sesudah pengeringan dihitung sebagai persen kadar air. 15

= 1%... (1) Dimana: m = kadar air sampel dalam basis basah (%b.b.) a = berat sampel sebelum dikeringkan (gram) b = berat sampel setelah dikeringkan (gram) 2. Total Padatan Terlarut (TPT) Kadar TPT larutan osmotik dan sampel diukur dengan menggunakan hand refractometer yang berskala ~32 o Brix. Brix merupakan jumlah zat padat semu yang larut (dalam gram) setiap 1 gram larutan. Refraktometer dikalibrasi dengan cara meneteskan aquades pada lensa refraktometer hingga menunjukkan angka o Brix. Untuk pengukuran kadar TPT larutan osmotik dapat dilakukan dengan meneteskan larutan ke lensa refraktometer. Sedangkan pengukuran kadar TPT sampel dilakukan dengan mengekstrak sampel terlebih dahulu dengan menggunakan mortar. Setelah itu, ekstrak dari sampel diletakkan di atas lensa refraktometer. Refraktometer dibidik untuk membaca angka pengukuran kadar TPT. 3. Volume Sampel (cm 3 ) Gelas ukur diisi dengan larutan gula sesuai dengan kadar brix dari sampel setinggi h o. Kemudian sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur tersebut hingga semua bagian dari sampel tercelup ke dalam larutan dan tinggi muka larutan menjadi h 1 ml. Selisih tinggi muka larutan setelah dan sebelum sampel dimasukkan merupakan volume dari sampel tersebut (dapat dilihat pada Persamaan 2). = h h... (2) Dimana: V = volume sampel (cm 3 ) h = tinggi muka larutan sebelum sampel dimasukkan h 1 = tinggi muka larutan setelah sampel dimasukkan Penyusutan volume sampel ( V) dihitung dengan menggunakan Persamaan 3. % = 1%... (3) Dimana: V t = volume sampel pada waktu t (cm 3 ) V = volume sampel pada waktu ke- menit (cm 3 ) Tanda (-) menunjukkan adanya pengurangan volume sampel. 4. Water Loss (WL) dan Solid Gain (SG) Water Loss menunjukkan banyaknya air yang keluar dari sampel selama proses pengeringan osmotik. Sedangkan Solid Gain menunjukkan banyaknya padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel. WL dan SG dinyatakan dalam gram sampel per gram sampel awal. Menurut Souza et al. (27), untuk mengetahui besarnya WL dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 4, sedangkan untuk mengetahui SG dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 5. 16

=... (4) =... (5) Dimana: w = berat sampel pada waktu ke- menit (gram) w = berat sampel pada waktu t (gram) m = Kadar air sampel pada waktu ke- menit (%b.b.) m = Kadar air sampel pada waktu t (%b.b.) 5. Rasio Kinerja/Performance Ratio (PR) Rasio kinerja (performance ratio = PR) dari proses pengeringan osmotik dapat dihitung dengan membandingkan jumlah air yang keluar dari sampel terhadap padatan terlarut yang masuk ke sampel (Persamaan 6). =...,... (6) 6. Pemodelan dalam Pengeringan Osmotik Peleg (1988) mengusulkan model empiris untuk menggambarkan kinetika penyerapan air selama rehidrasi, yaitu: = ±... (7) Dimana M adalah kadar air pada waktu t (%b.k.), Mi adalah kadar air awal (%b.k.), K 1 adalah parameter kinetik dan K 2 adalah parameter lain yang terkait dengan kadar air keseimbangan (Meq). Ketika t, kadar air keseimbangan dapat dihitung dengan: = ±... (8) Persamaan 7 dapat dilinierkan menjadi: = +... (9) Azuara et al. (1992) menghitung Water Loss dan Solid Gain selama pengeringan osmotik melalui persamaan dengan dua parameter yang diperoleh dari kesetimbangan massa. Jika dilinierkan maka persamaan menjadi: =. =. =... (1) =... (11) 17

= +... (12). = +... (13). Dimana: S 1 = konstanta yang berkaitan dengan water loss = konstanta yang berkaitan dengan solid gain S 2 WL = water loss pada saat kesetimbangan SG = solid gain pada saat kesetimbangan 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KADAR AIR SAMPEL Pengukuran kadar air sampel dilakukan sebelum pengeringan osmotik, selama pengeringan osmotik dan setelah pengeringan osmotik. Pengukuran kadar air sampel sebelum pengeringan osmotik dilakukan untuk memperoleh kadar air awal dari sampel. Sampel untuk tiap perlakuan memiliki kadar air awal yang berbeda-beda yaitu berkisar antara 647.82~858.74 %b.k. Setelah sampel dimasukkan ke dalam larutan gula selama 5 jam, terjadi penurunan kadar air. Adanya perbedaan konsentrasi zat terlarut antara sampel dan larutan gula menyebabkan adanya perbedaan tekanan osmotik antara air dalam jaringan sampel dengan larutan gula. Hal ini yang menyebabkan keluarnya sejumlah air dari jaringan sampel ke larutan gula, sehingga terjadi penurunan kadar air sampel untuk selang waktu tertentu selama proses pengeringan osmotik. Kadar air akhir sampel yang diperoleh berbeda-beda sesuai dengan perlakuan yang diberikan (dapat dilihat pada Tabel 6). Tabel 6. Kadar air awal dan kadar air akhir sampel (dalam basis kering) selama pengukuran Perlakuan Sampel Kadar Air Awal (%b.k.) Kadar Air Akhir (%b.k.) ET1C1 718.49 256.75 ET1C2 847.22 218.9 ET1C3 762.75 193.7 ET2C1 647.82 24.26 ET2C2 836.6 168.76 ET2C3 718.36 123.42 E1T1C1 675.43 293.6 E1T1C2 665.6 27.7 E1T1C3 858.74 274.34 E1T2C1 816.35 191.44 E1T2C2 756.36 131.37 E1T2C3 842.7 127.35 Pada awal proses pengeringan, penurunan kadar air berlangsung cepat dan semakin lambat di akhir proses pengeringan. Hal ini terlihat pada Gambar 6, 7 dan 8, dimana grafik penurunan kadar air terlihat curam pada waktu awal dan semakin landai pada waktu akhir proses pengeringan, hingga mencapai keseimbangan. Pada awal proses pengeringan, massa air bebas yang terdapat dalam permukaan sampel sangat besar dan perbedaan tekanan osmotik juga masih besar, sehingga air dalam permukaan sampel lebih cepat keluar ke larutan osmotik. Keluarnya air bebas menyebabkan tekanan permukaan sampel menurun, sehingga air pada sampel bergerak menuju permukaan dan bergerak ke larutan osmotik. Penurunan massa air ini berlangsung terus menerus dengan pergerakan air dari 19

sampel yang semakin lambat dan mencapai kondisi kesetimbangan. Grafik penurunan massa sampel terhadap waktu dapat dilihat pada Lampiran 4. Kadar Air (%b.k.) 1 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 42 o Brix coating, 3 o C, 42 o Brix non-coating, 5 o C, 42 o Brix coating, 5 o C, 42 o Brix Gambar 6. Grafik penurunan kadar air terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 42 o Brix Kadar Air (%b.k.) 1 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 54 o Brix coating, 3 o C, 54 o Brix non-coating, 5 o C, 54 o Brix coating, 5 o C, 54 o Brix Gambar 7. Grafik penurunan kadar air terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 54 o Brix Kadar Air (%b.k.) 1 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 66 o Brix coating, 3 o C, 66 o Brix non-coating, 5 o C, 66 o Brix coating, 5 o C, 66 o Brix Gambar 8. Grafik penurunan kadar air terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 66 o Brix 2

Tabel 6 menunjukkan bahwa perlakuan E1T2C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 5 o C dan konsentrasi larutan 66 o Brix) memiliki kadar air akhir yang rendah yaitu 127.35 %b.k. dengan penurunan kadar air yang paling tinggi dari kadar air awalnya. Sedangkan kadar air akhir yang paling tinggi terjadi pada perlakuan E1T1C1 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C dan konsentrasi larutan 42 o Brix) sebesar 293.6 %b.k. Penggunaan kitosan sebagai coating mempengaruhi penurunan kadar air sampel. Adanya kitosan dapat menghambat pergerakan air keluar dari sampel. Pada perlakuan suhu 3 o C, sampel yang menggunakan kitosan memiliki penurunan kadar air yang lebih rendah dibandingkan sampel yang tidak menggunakan kitosan. Sedangkan pada perlakuan suhu 5 o C, sampel yang menggunakan kitosan memiliki penurunan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan sampel yang tidak menggunakan kitosan. Pada suhu yang tinggi molekul-molekul yang terdapat dalam larutan gula bergerak dengan cepat dan tidak teratur. Molekul-molekul gula bergerak mendekati permukaan sampel, sehingga terjadi perbedaan konsentrasi zat terlarut yang besar antara jaringan sampel dan sekitar permukaan sampel. Oleh karena itu, air dalam jaringan sampel akan cepat dan banyak keluar ke larutan gula. Kenaikan suhu larutan dapat meningkatkan penurunan kadar air sampel. Suhu larutan yang tinggi dapat meningkatkan pindah panas dari larutan ke permukaan dan pusat sampel. Perpindahan panas ini meningkatkan pergerakan molekul air pada sampel sehingga mempercepat perpindahan massa air dari pusat sampel ke permukaan sampel dan dari permukaan sampel ke larutan gula. Akan tetapi suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya browning pada sampel. Hal selanjutnya yang mempengaruhi penurunan kadar air sampel adalah konsentrasi larutan osmotik. Semakin tinggi konsentrasi larutan maka semakin tinggi pula penurunan kadar air dari sampel. Pada proses osmosis, air akan bergerak dari larutan hipotonik ke larutan hipertonik. Kedua larutan ini dibedakan atas konsentrasi zat terlarut dalam pelarutnya, dalam percobaan ini gula sebagai zat terlarut dan air sebagai zat pelarut. Jika perbedaan konsentrasi gula semakin besar maka perbedaan tekanan osmotik antara sampel dengan larutan osmotik akan semakin besar. Perbedaan tekanan osmotik yang menyebabkan perpindahan air dari jaringan sampel ke larutan osmotik akan terjadi semakin cepat. Tabel 7. Nilai parameter pengeringan dari perhitungan model Peleg Perlakuan Sampel K 1 K 2 R 2 ET1C1.53.23.984 ET1C2.53.15.972 ET1C3.56.163.976 ET2C1.31.223.993 ET2C2.43.141.98 ET2C3.55.161.972 E1T1C1.89.243.972 E1T1C2.118.232.931 E1T1C3.39.163.985 E1T2C1.3.154.99 E1T2C2.24.156.993 E1T2C3.29.134.99 21

Nilai K 1 merupakan parameter kinetik yang mempengaruhi laju perpindahan massa air dari sampel ke larutan osmotik. Nilai K 1 berbanding terbalik dengan perpindahan massa air dan sangat bergantung pada suhu larutan osmotik. Semakin tinggi suhu larutan osmotik maka nilai K 1 semakin kecil. Begitu juga dengan nilai K 2 menurun pada suhu larutan yang tinggi. Nilai K 2 merupakan parameter yang terkait dengan kadar air kesetimbangan pada waktu yang tak hingga. Koefisien determinasi (R 2 ) dari model Peleg memiliki kisaran nilai antara.931~.99 (dapat dilihat pada Tabel 7), sehingga model Peleg memiliki kelayakan yang tinggi untuk menghitung nilai parameter kadar air dari pengeringan osmotik mangga. B. PENYUSUTAN VOLUME Volume dari sampel terdiri dari volume air dan volume padatan. Adanya sejumlah air yang keluar dari sampel dapat menyebabkan adanya perubahan volume sampel. Volume sampel diukur dari volume awal sampel untuk masing-masing perlakuan. Berdasarkan Gambar 9, 1 dan 11, penyusutan volume sampel akan meningkat terhadap waktu. Gambar 11 memiliki grafik yang lebih curam dibandingkan dengan gambar lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa laju penyusutan volume untuk perlakuan konsentrasi 66 o Brix lebih cepat jika dibandingkan dengan perlakuan konsentrasi 42 o Brix dan 54 o Brix. Perlakuan yang diberikan pada sampel dapat mempengaruhi penyusutan volume sampel. Pemberian kitosan, suhu larutan yang rendah dan konsentrasi larutan yang rendah dapat menurunkan penyusutan volume. Sebaliknya, sampel yang tidak diberi kitosan, suhu larutan yang tinggi dan konsentrasi larutan yang tinggi akan mengalami peningkatan dalam penyusutan volume. Kitosan dapat bertindak sebagai membran yang melapisi permukaan dari sampel, sehingga kitosan pada sampel dapat mempertahankan bentuk dari sampel tersebut. Suhu larutan yang rendah dan konsentrasi larutan yang rendah dapat menurunkan intensitas keluarnya air dari sampel. Jika air yang keluar dari sampel sedikit, maka penyusutan volume yang terjadi akan rendah. Penyusutan volume terendah terjadi pada perlakuan ET2C1 (tanpa kitosan, suhu larutan 5 o C, dan konsentrasi larutan 42 o Brix) dan penyusutan volume tertinggi terjadi pada perlakuan ET2C3 (tanpa kitosan, suhu larutan 5 o C, dan konsentrasi larutan 66 o Brix). Data penyusutan volume sampel untuk semua perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 3. Penyusutan Volume (%V/V) 6 5 4 3 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 42 o Brix coating, 3 o C, 42 o Brix non-coating, 5 o C, 42 o Brix coating, 5 o C, 42 o Brix Gambar 9. Grafik penyusutan volume terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 42 o Brix 22

Penyusutan Volume (%V/V) 6 5 4 3 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 54 o Brix coating, 3 o C, 54 o Brix non-coating, 5 o C, 54 o Brix coating, 5 o C, 54 o Brix Gambar 1. Grafik penyusutan volume terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 54 o Brix Penyusutan Volume (%V/V) 6 5 4 3 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 66 o Brix coating, 3 o C, 66 o Brix non-coating, 5 o C, 66 o Brix coating, 5 o C, 66 o Brix Gambar 11. Grafik penyusutan volume terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 66 o Brix C. TINGKAT KEHILANGAN AIR/WATER LOSS (WL) Semakin tinggi nilai WL maka menunjukkan tingginya tingkat kehilangan air pada sampel. Dari data yang diperoleh, nilai WL yang paling tinggi terjadi pada perlakuan E1T2C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 5 o C dan konsentrasi larutan 66 o Brix) yaitu 64.68 %, sedangkan nilai WL yang paling rendah terjadi pada perlakuan E1T1C1 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C dan konsentrasi larutan 42 o Brix) yaitu sebesar 27.7 %. Hal ini menunjukkan tingginya nilai persentase WL berbanding terbalik dengan kadar air akhir dari sampel. Kadar air akhir sampel yang rendah menunjukkan sampel mengalami banyak kehilangan air sehingga nilai WL tinggi, dan sebaliknya kadar air akhir sampel yang masih tinggi berarti sampel mengalami sedikit kehilangan air sehingga nilai WL rendah. Oleh karena itu, faktor-faktor yang menyebabkan tinggi-rendahnya kadar air juga menyebabkan tinggi-rendahnya tingkat kehilangan air pada sampel selama proses pengeringan osmotik. Meningkatnya nilai WL dipengaruhi oleh pemberian kitosan pada sampel. Sampel yang diberi kitosan pada perlakuan suhu 3 o C memiliki nilai WL yang lebih rendah dibandingkan dengan sampel 23

tanpakitosan pada perlakuan suhu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian kitosan dapat menurunkan tingkat kehilangan air pada sampel sehingga nilai WL menjadi rendah. Perlakuan selanjutnya yaitu perbedaan suhu larutan osmotik. Dari perlakuan suhu larutan 3 o C dan suhu larutan 5 o C, diperoleh bahwa nilai WL untuk perlakuan suhu larutan 3 o C lebih rendah dari pada nilai WL untuk perlakuan suhu larutan 5 o C. Jadi, semakin tinggi suhu maka tingkat kehilangan air pada sampel juga semakin tinggi. Adanya perbedaan konsentrasi larutan osmotik yang digunakan juga mempengaruhi nilai WL. Dari Gambar 12, 13 dan 14 diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan maka nilai WL semakin tinggi dan bentuk grafik semakin curam. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan maka laju kehilangan air semakin cepat dan tingkat kehilangan air pada sampel semakin tinggi. WL (%) 7 6 5 4 3 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 42 o Brix coating, 3 o C, 42 o Brix non-coating, 5 o C, 42 o Brix coating, 5 o C, 42 o Brix Gambar 12. Grafik kenaikan WL terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 42 o Brix WL (%) 7 6 5 4 3 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 54 o Brix coating, 3 o C, 54 o Brix non-coating, 5 o C, 54 o Brix coating, 5 o C, 54 o Brix Gambar 13. Grafik kenaikan WL terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 54 o Brix 24

WL (%) 7 6 5 4 3 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 66 o Brix coating, 3 o C, 66 o Brix non-coating, 5 o C, 66 o Brix coating, 5 o C, 66 o Brix Gambar 14. Grafik kenaikan WL terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 66 o Brix Peningkatan WL pada menit-menit awal percobaan sangat besar dan peningkatan tidak terjadi secara signifikan pada akhir waktu percobaan. Dapat dilihat pada Gambar 12, 13 dan 14, dimana bentuk grafik meningkat tajam dan semakin landai pada menit-menit berikutnya. Bentuk grafik akan menjadi konstan hingga mencapai nilai WL untuk waktu yang tak hingga (kondisi kesetimbangan). Besarnya angka WL juga dipengaruhi oleh adanya pemberian kitosan, suhu larutan dan konsentrasi larutan. Tanpa pemberian kitosan, suhu larutan yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi akan meningkatkan WL. Nilai WL dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai parameter dan koefisien determinasi dari perhitungan WL dengan menggunakan model Azuara Perlakuan Sampel WL S 1 R 2 ET1C1 34.48.3.963 ET1C2 5..13.968 ET1C3 55.56.21.978 ET2C1 34.48.39.978 ET2C2 58.82.21.974 ET2C3 66.67.17.961 E1T1C1 28.57.45.987 E1T1C2 4..26.954 E1T1C3 55.56.29.982 E1T2C1 55.56.34.979 E1T2C2 62.5.37.977 E1T2C3 71.43.26.974 25

WL (%) 7 6 5 4 3 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Waktu ( menit) non-coating, 3 o C, 42 o Brix non-coating, 3 o C, 54 o Brix non-coating, 3 o C, 66 o Brix non-coating, 5 o C, 42 o Brix non-coating, 5 o C, 54 o Brix non-coating, 5 o C, 66 o Brix coating, 3 o C, 42 o Brix coating, 3 o C, 54 o Brix coating, 3 o C, 66 o Brix coating, 5 o C, 42 o Brix coating, 5 o C, 54 o Brix coating, 5 o C, 66 o Brix Gambar 15. Grafik kenaikan WL terhadap waktu untuk masing-masing perlakuan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Azuara Koefisien determinasi (R 2 ) dari model Azuara untuk perhitungan nilai WL memiliki kisaran nilai antara.954~.987, sehingga persamaan pada model Azuara layak untuk menghitung nilai WL pada pengeringan osmotik irisan buah mangga. Untuk mengukur tingkat validasi dari model Azuara, maka dilakukan penggabungan antara grafik WL hasil pengukuran dan grafik WL hasil perhitungan dengan menggunakan model Azuara (terdapat pada Lampiran 5). Penggabungan kedua grafik tersebut dapat dilihat bahwa WL hasil pengukuran mendekati sama dengan WL hasil perhitungan. Walaupun tidak semua titik-titik pada pengukuran berhimpit dengan garis grafik WL hasil perhitungan. D. PERTAMBAHAN PADATAN TERLARUT/SOLID GAIN (SG) Pengeringan osmotik melibatkan dua aliran material yang berlawanan arah dan terjadi secara simultan, yaitu keluarnya air dari jaringan sampel ke larutan osmotik dan aliran padatan terlarut dari larutan osmotik ke dalam jaringan sampel. Nilai SG merupakan parameter yang menunjukkan banyaknya jumlah padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel. Semakin tinggi nilai SG maka jumlah padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel semakin banyak. Sebaliknya, semakin rendah nilai SG maka jumlah padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel semakin sedikit. Dalam pengeringan osmotik diupayakan nilai SG serendah mungkin, karena padatan terlarut yang masuk ke sampel dapat mempengaruhi rasa dari sampel terutama tingkat kemanisan dari sampel. Dari data yang diperoleh, nilai SG yang paling tinggi terjadi pada perlakuan ET2C1 (tanpa kitosan, suhu larutan 5 o C, dan konsentrasi larutan 42 o Brix) yaitu 12.75%. Sedangkan nilai SG yang paling rendah terjadi pada perlakuan E1T1C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C, dan konsentrasi larutan 66 o Brix) sebesar 4.5%. Peningkatan kehilangan air dari sampel tidak selalu diikuti dengan peningkatan jumlah padatan terlarut yang masuk ke dalam sampel. Nilai SG juga dipengaruhi oleh pemberian kitosan, suhu larutan, dan konsentrasi dari larutan osmotik. Pemberian coating berupa kitosan pada sampel dapat menurunkan nilai SG. Fungsi dari kitosan yaitu sebagai membran yang dapat menghalangi masuknya padatan terlarut dari larutan osmotik ke jaringan sampel. Nilai SG pada perlakuan suhu 3 o C lebih rendah dari pada nilai SG pada 26

perlakuan suhu 5 o C, dimana kondisi perlakuan yang lain adalah sama. Jadi, semakin tinggi suhu menyebabkan nilai SG semakin tinggi. Pori dalam membran semipermeabel terlalu kecil untuk dapat dilewati oleh molekul gula, tetapi cukup besar untuk dilewati molekul air. Dengan adanya peningkatan suhu larutan dapat memperbesar pori dalam membran semipermeabel, sehingga memungkinkan molekul gula dapat lebih banyak masuk ke dalam jaringan sampel. Tingkat konsentrasi larutan berbanding terbalik dengan kenaikan nilai SG. Semakin tinggi konsentrasi larutan maka nilai SG semakin rendah, tetapi laju kenaikan nilai SG semakin cepat. Larutan dengan konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi mempunyai molekul-molekul gula yang lebih banyak. Molekul-molekul gula tersebut bergerak acak mendekati sampel dan membentuk membrane pada permukaan sampel. Membran ini dapat berfungsi mencegah masuknya padatan terlarut ke dalam jaringan sampel. SG (%) 15 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 42 o Brix coating, 3 o C, 42 o Brix non-coating, 5 o C, 42 o Brix coating, 5 o C, 42 o Brix Gambar 16. Grafik kenaikan SG terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 42 o Brix SG (%) 15 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 54 o Brix coating, 3 o C, 54 o Brix non-coating, 5 o C, 54 o Brix coating, 5 o C, 54 o Brix Gambar 17. Grafik kenaikan SG terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 54 o Brix SG (%) 15 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 66 o Brix coating, 3 o C, 66 o Brix non-coating, 5 o C, 66 o Brix coating, 5 o C, 66 o Brix Gambar 18. Grafik kenaikan SG terhadap waktu untuk konsentrasi larutan 66 o Brix 27

Tabel 9. Nilai parameter dan koefisien determinasi dari perhitungan SG dengan menggunakan model Azuara Perlakuan Sampel SG S 2 R 2 ET1C1 11.49.14.969 ET1C2 11.76.13.944 ET1C3 1.1.11.962 ET2C1 12.99.33.955 ET2C2 13.7.9.93 ET2C3 8.77.18.94 E1T1C1 11.76.5.984 E1T1C2 1.64.2.932 E1T1C3 4.37.27.917 E1T2C1 9.9.17.935 E1T2C2 11.24.26.978 E1T2C3 8.85.23.928 Pengukuran SG pada saat percobaan tidak diukur secara langsung. Nilai SG diperoleh dari pengurangan berat total sampel terhadap berat air yang terkandung dalam sampel. Nilai yang diperoleh dihitung dengan Persamaan 5. Koefisien determinasi (R 2 ) untuk perhitungan nilai SG dengan menggunakan model Azuara memiliki kisaran nilai.917~.984. Penggabungan grafik SG hasil pengukuran dengan grafik hasil perhitungan model Azuara akan menunjukkan validasi dari model. Banyak nilai SG hasil pengukuran berada di atas dan di bawah grafik SG hasil perhitungan model Azuara. Penggabungan kedua grafik tersebut dapat dilihat pada Lampiran 6. SG (%) 12 1 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 42 o Brix non-coating, 3 o C, 54 o Brix non-coating, 3 o C, 66 o Brix non-coating, 5 o C, 42 o Brix non-coating, 5 o C, 54 o Brix non-coating, 5 o C, 66 o Brix coating, 3 o C, 42 o Brix coating, 3 o C, 54 o Brix coating, 3 o C, 66 o Brix coating, 5 o C, 42 o Brix coating, 5 o C, 54 o Brix coating, 5 o C, 66 o Brix Gambar 19. Grafik kenaikan SG terhadap waktu untuk masing-masing perlakuan berdasarkan perhitungan dengan menggunakan model Azuara 28

Seperti halnya Water Loss, grafik nilai SG juga berbentuk curam pada waktu awal percobaan dan makin landai pada waktu akhir percobaan hingga mencapai nilai SG maksimum untuk waktu yang tak hingga yang dinotasikan dengan SG. Nilai SG juga dipengaruhi oleh pemberian kitosan, suhu dan konsentrasi larutan. Pemberian kitosan dan konsentrasi larutan yang tinggi akan menurunkan nilai SG, sedangkan suhu larutan yang tinggi dapat meningkatkan SG. Nilai SG dapat dilihat pada Tabel 9. E. RASIO KINERJA/PERFORMANCE RATIO (PR) Performance Ratio (PR) merupakan tingkat kinerja dari proses pengeringan osmotik. Nilai PR yang tinggi menunjukkan proses pengeringan berjalan efektif. Untuk meningkatkan nilai PR, maka nilai WL harus ditingkatkan dan nilai SG yang diperoleh seminimal mungkin. Dari Gambar 2, 21 dan 22 dapat dikatakan bahwa sebagian besar nilai PR konstan tiap waktunya, walaupun ada beberapa nilai PR yang berfluktuatif. PR 4 3 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 42 o Brix coating, 3 o C, 42 o Brix non-coating, 5 o C, 42 o Brix coating, 5 o C, 42 o Brix Gambar 2. Grafik rasio kinerja pengeringan osmotik pada konsentrasi larutan osmotik 42 o Brix 4 3 PR 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 54 o Brix coating, 3 o C, 54 o Brix non-coating, 5 o C, 54 o Brix coating, 5 o C, 54 o Brix Gambar 21. Grafik rasio kinerja pengeringan osmotik pada konsentrasi larutan osmotik 54 o Brix 29

4 3 PR 2 1 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 66 o Brix coating, 3 o C, 66 o Brix non-coating, 5 o C, 66 o Brix coating, 5 o C, 66 o Brix Gambar 22. Grafik rasio kinerja pengeringan osmotik pada konsentrasi larutan osmotik 66 o Brix Pada Tabel 1 terdapat nilai PR untuk masing-masing perlakuan pada waktu akhir proses pengeringan osmotik. Diperoleh bahwa nilai PR terbesar yaitu 12.2 terdapat pada perlakuan E1T1C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C, dan konsentrasi larutan 66 o Brix). Tabel 1. Nilai Performance Ratio (PR) dari hasil pengukuran dan perhitungan model Azuara untuk masing-masing perlakuan Perlakuan Sampel Hasil Pengukuran Hasil Perhitungan dari Model Azuara WL (%) SG (%) PR WL (%) SG (%) PR ET1C1 32.49 9.28 3.5 3.98 9.3 3.3 ET1C2 43.65 1.37 4.2 39.97 9.35 4.3 ET1C3 49.32 8.57 5.8 47.88 7.71 6.2 ET2C1 33.31 12.75 2.6 31.75 11.78 2.7 ET2C2 51.22 11.88 4.3 5.71 1.6 5. ET2C3 62.6 8.14 7.7 55.78 7.43 7.5 E1T1C1 27.7 7.32 3.8 26.61 6.94 3.8 E1T1C2 37.81 5.1 7.4 35.45 4.34 8.2 E1T1C3 49.65 4.5 12.2 49.78 3.88 12.8 E1T2C1 5.96 9.1 5.7 5.64 8.24 6.1 E1T2C2 59.23 1.25 5.8 57.34 9.96 5.8 E1T2C3 64.68 8.7 7.4 63.17 7.72 8.2 Berdasarkan hasil perhitungan nilai PR yang paling tinggi juga diperoleh pada perlakuan E1T1C3 yaitu 12.8. Jadi dapat dikatakan bahwa nilai PR dari hasil pengukuran tidak berbeda jauh dengan nilai PR hasil perhitungan dengan model Azuara. 3

V. PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: 1. Perlakuan sampel tanpa kitosan, suhu yang tinggi dan konsentrasi larutan yang tinggi menyebabkan kadar air akhir sampel menjadi rendah. Sebaliknya penggunaan kitosan, suhu yang rendah dan konsentrasi yang rendah menyebabkan kadar air akhir sampel masih tinggi. 2. Perlakuan sampel tanpa kitosan, suhu yang tinggi dan konsentrasi larutan yang tinggi menyebabkan nilai water loss menjadi tinggi. Sebaliknya penggunaan kitosan, suhu yang rendah dan konsentrasi yang rendah menyebabkan nilai water loss rendah. 3. Sampel yang tidak diberi kitosan, suhu yang tinggi dan konsentrasi larutan yang rendah menyebabkan nilai solid gain menjadi tinggi. Sebaliknya sampel yang diberi kitosan, suhu yang rendah dan konsentrasi larutan yang tinggi menyebabkan nilai solid gain rendah. 4. Penyusutan volume dapat meningkat pada perlakuan tanpa pemberian kitosan pada sampel, suhu larutan yang tinggi dan konsentrasi larutan yang tinggi. Sebaliknya, penyusutan volume menurun jika sampel diberi kitosan, suhu larutan rendah dan konsentrasi larutan rendah. 5. Perlakuan terbaik yang mempunyai nilai (PR) paling tinggi berdasarkan penelitian ini adalah perlakuan E1T1C3 (menggunakan kitosan, suhu larutan 3 o C, dan konsentrasi larutan 66 o Brix) dengan nilai PR sebesar 12.2. 6. Model Azuara dapat dikatakan layak dalam memodelkan water loss dan solid gain dalam pengeringan osmotik irisan buah mangga. B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, disarankan agar dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya menggunakan beberapa edible coating pada sampel agar diperoleh penggunaan coating yang terbaik untuk pengeringan osmotik pada mangga, model matematis lain untuk menghitung nilai WL dan SG dalam pengeringan osmotik mangga serta penerapan pengeringan osmotik pada beberapa varietas buah mangga atau pada buah lainnya. 31

DAFTAR PUSTAKA Agrobuah. 211. Mangga Arumanis/Pelem Gadung. Alamat URL: http://agrobuah.com/tag/manggaarumanis. [2 September 211]. Baldwin EA. 1994. Edible coatings for fresh fruits and vegetables: past, present and future. In : Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO (Eds.). Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Lancaster. Technomic Pub. Co. Inc. Broto W. 23. Mangga: Budi Daya. Pascapanen. dan Tata Niaganya. Jakarta: Agromedia Pustaka. Broto W, SD Sabari dan Siswadi. 1989. Penundaan pematangan buah mangga (Mangifera indica L.) arumanis dengan pembungkusan rapat per buah dalam kantong plastik. Dalam: Faizal A. 1997. Pengawetan Segar Buah Mangga [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Camirand et al. 1992. Properties of some edible carbohydrate polymer coatings for potential use in osmotic dehydration. Carbohydrate Pol., 17(1): 39-49. Chottaom et al. 25. Moisture desorption isotherms for fresh and osmotically treated mangoes. Pakistan Journal of Biological Science 8(2): 239-243. El-Ghaouth A, Ponnampalan R, Castaigne F, Arul J. 1992. Chitosan coating to extend storage life of tomatoes. HortScience 27 : 116-118. Krochta JM. EA Baldwin. dan MO Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company. New York. NY. FAO. 27. Data Produsen Mangga. Dalam: http://id.wikipedia.org/wiki/mangga. [2 Feb 211]. Indigomorie. Tekanan Osmotik. http://belajarkimia.com/tekanan-osmotik/. [2 Feb 211]. Jagatiani J et al. 1988. Tropical Fruit Processing. Academic Press. Inc. New York. Karathanos VT, AE Kostrapoulos, and GD Saravacos. 1995. Air drying kinetics of osmoticalily dehydrated fruits. Drying Technology 13(5-7): 153-1521. Kementrian Pertanian Indonesia. 28. Basis data pertanian. Alamat URL: http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/hasil_kom.asp. [31 Okt 211]. Khan MAM, Ahrne L, Oliveira JC, and Oliveira FAR. 28. Prediction of water and soluble solids concentration during osmotic dehydration of mango. Food and Bioproducts Processing 86:7-13. Lenart A and PP Lewicki. 199. Osmotic dehydration of apples at high temperature. In: Mujumbar, A.S. (ed.) Drying 89. Bristol: Hemisphere. Lenart A. 1996. Osmo convective of fruits and vegetables: Technology and applications. Drying Technology 14(2): 391-413. Monteiro H et al. 23. Maximization of the performance ratio of osmotic dehydration of mango cubes. Proc. Interamer. Soc. Trop. Hort. 47:2-22. Murtini JT, Dwiyitno dan Yusma. 28. Penurunan kandungan kolesterol pada cumi-cumi dengan kitosan larut asam dan pengepresan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan V Hasil Kelautan Tahun 28. Jakarta.

Nisperos-Carriedo MO. 1994. Edible coating and film based on polysaccharides In Krochta JM, Baldwin EA, Nisperos-Carriedo MO, (Eds.) Edible Coatings And Films to Improve Food Quality. Lancaster. Technomic Pub. Co. Inc. Pracaya (a). 1985. Bertanam mangga. Dalam: Leonard S. 21. Mempelajari Beberapa Teknologi Olah Minimal pada Buah Mangga Arumanis (Mangifera Indica L.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Pracaya (b). 199. Bertanam mangga. Dalam: Leonard S. 21. Mempelajari Beberapa Teknologi Olah Minimal pada Buah Mangga Arumanis (Mangifera Indica L.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Pratikno, Sosrodiharjo. 1989. Dalam: Faizal A. 1997. Pengawetan Segar Buah Mangga [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Rahman MS and J Lamb. Osmotic dehydration of pineapple. 199. J. Food Sci. Techn., 27(3): 15-152. Statsoft. 1995. Statistica for Windows [Computer program manual]. Tulsa: StatSoft. Ramalo LA, Mascheroni RH. 25. Rate of water loss and sugar uptake during the osmotic dehydration of pineapple. Brazilian Archives Of Biology And Technology An International Journal 48: 761-77. Rochima E. 29. Karakterisasi kitin dan kitosan asal limbah rajungan Cirebon Jawa Barat. Alamat URL: resources.unpad.ac.id/unpad.../makalah-5.karakterisasi%2kitin.pdf [9 Nov 211]. Seymour GB et al. 1993. Biochemistry of fruit ripening. Dalam: Leonard S. 21. Mempelajari Beberapa Teknologi Olah Minimal pada Buah Mangga Arumanis (Mangifera Indica L.) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Souza JS et al. 27. Optimization of osmotic dehydration of tomatoes in a ternary system followed by air-drying. Journal of Food Engineering 83: 51-59. Sugita P et al. 29. Kitosan Sumber Biomaterial Masa Depan. Bogor: IPB Press. Videv K, S Tanchev, RC Sharma, and VK Joshi. 199. Effect of sugar syrup concentration and temperature on the rate of osmotic dehydration of apples. J. Food Sci. Techn., 27(5): 37-38. Wardaniati RA dan Sugiyani S. 29. Pembuatan chitosan dari kulit udang dan aplikasinya untuk pengawetan bakso. Alamat URL: http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf [9 Nov 211]. Yulianingsih, Laksmi DS. 1988. Analisa sifat fisik dan kimia buah mangga. Dalam: Faizal A. 1997. Pengawetan Segar Buah Mangga [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Yuniarti, Suhardi. 1989. Perubahan sifat fisik dan kimia buah mangga golek selama penyimpanan. Dalam: Faizal A. 1997. Pengawetan Segar Buah Mangga [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. IPB.

LAMPIRAN

Tabel Lampiran 1. Data Pengukuran Kadar Air Awal dan Kadar TPT Awal Sampel Berat sampel sebelum di-oven (gram) Berat sampel setelah di-oven (gram) Kadar air awal (%b.b.) Kadar TPT awal ( o Brix) Perlakuan Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Rataan Sampel Sampel Sampel Rataan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 ET1C1 4.51 4.8 4.36.53.52.53 88.25 87.25 87.84 87.78 1. 1. 9.8 9.9 ET1C2 3.92 4.11 3.47.37.44.4 9.56 89.29 88.47 89.44 11.4 1.6 1. 1.7 ET1C3 3.76 3.78 3.68.46.4.44 87.77 89.42 88.4 88.41 11.2 9.6 1.8 1.5 ET2C1 6. 6.47 6.31.82.85.84 86.33 86.86 86.69 86.63 13.2 12. 13.2 12.8 ET2C2 3.55 4. 3.67.35.44.41 9.14 89. 88.83 89.32 9.6 9.4 11.2 1.1 ET2C3 3.68 4.19 3.36.45.45.46 87.77 89.26 86.31 87.78 12.8 11. 1.8 11.5 E1T1C1 6.37 6.66 5.74.8.87.75 87.44 86.94 86.93 87.1 11.4 12. 13. 12.1 E1T1C2 3.19 4.1 3.29.38.52.48 88.9 87.32 85.41 86.94 9.8 11. 11. 1.6 E1T1C3 3.67 3.87 3.58.4.4.36 89.1 89.66 89.94 89.57 1. 8.4 9. 9.1 E1T2C1 5.82 6.3 7.27.67.67.77 88.49 89.37 89.41 89.9 9.8 9.2 9.2 9.4 E1T2C2 3.67 3.96 3.59.43.46.42 88.28 88.38 88.3 88.32 9.8 11.4 9.8 1.3 E1T2C3 3.62 3.73 3.57.34.43.39 9.61 88.47 89.8 89.39 1.4 1.8 1.8 1.7 35

Tabel Lampiran 2. Data Pengukuran Kadar Air Akhir Sampel Berat sampel sebelum dioven (gram) Berat sampel setelah di-oven (gram) Kadar air akhir (%b.b.) Perlakuan Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rataan 1 2 3 1 2 3 ET1C1 3.98 3.15 3.19 1.15.85.9 71.11 73.2 71.79 71.97 ET1C2 3.2 3.18 2.75.87 1..93 71.19 68.55 66.18 68.64 ET1C3 3.56 3.23 3.19 1.6 1.16 1.17 7.22 64.9 63.32 65.88 ET2C1 5.64 4.76 4.84 1.8 1.64 1.56 68.9 65.55 67.77 67.13 ET2C2 3.7 3.43 3.31 1.31 1.35 1.22 64.59 6.64 63.14 62.79 ET2C3 3.45 3.52 3.67 1.5 1.46 1.81 56.52 58.52 5.68 55.24 E1T1C1 4.65 4.79 4.44 1.18 1.13 1.21 74.62 76.41 72.75 74.59 E1T1C2 3.31 3.18 3.25.85.91.87 74.32 71.38 73.23 72.98 E1T1C3 3.52 3.57 3.44.93.88 1. 73.58 75.35 7.93 73.29 E1T2C1 3.86 4.8 4.2 1.27 1.41 1.49 67.1 65.44 64.52 65.69 E1T2C2 3.14 3.34 3.56 1.38 1.54 1.41 56.5 53.89 6.39 56.78 E1T2C3 2.9 2.36 2.47 1.23 1.11 1.5 57.59 52.97 57.49 56.1 36

Tabel Lampiran 3. Data Pengukuran Volume Awal, Volume Akhir dan Penyusutan Volume Sampel Perlakuan Volume awal sampel (cm 3 ) Volume akhir sampel (cm 3 ) Penyusutan volume (%V/V) Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rataan Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rataan Sampel 1 Sampel 2 Sampel 3 Rataan ET1C1 9.4 9.6 9.8 9.6 8. 7.6 6.8 7.5 14.9 2.8 3.6 22.1 ET1C2 1. 1. 9. 9.7 6. 6. 5.4 5.8 4. 4. 4. 4. ET1C3 9.8 9.2 8.8 9.3 6. 4.8 4.2 5. 38.8 47.8 52.3 46.3 ET2C1 9.6 1. 9.8 9.8 7.8 7.8 7.8 7.8 18.8 22. 2.4 2.4 ET2C2 9.8 9.4 9.6 9.6 5.6 5. 5. 5.2 42.9 46.8 47.9 45.9 ET2C3 1. 1. 9.8 9.9 4. 5. 3.4 4.1 6. 5. 65.3 58.4 E1T1C1 1.4 9.8 9.8 1. 7.6 7.8 8. 7.8 26.9 2.4 18.4 21.9 E1T1C2 1.2 1. 9.8 1. 6.4 6.2 6. 6.2 37.3 38. 38.8 38. E1T1C3 9.8 1. 1. 9.9 5. 5.8 5. 5.3 49. 42. 5. 47. E1T2C1 9.4 9.6 9.8 9.6 6. 5.8 7.6 6.5 36.2 39.6 22.4 32.7 E1T2C2 9.8 9.4 1. 9.7 4. 4. 5.2 4.4 59.2 57.4 48. 54.9 E1T2C3 9.8 8.8 9. 9.2 5.2 5. 4.8 5. 46.9 43.2 46.7 45.6 37

Lampiran 4. Grafik Perubahan Massa Sampel terhadap Waktu Massa Sampel (gram) 12 1 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 42 o Brix coating, 3 o C, 42 o Brix non-coating, 5 o C, 42 o Brix coating, 5 o C, 42 o Brix Gambar 23. Grafik perubahan massa terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 42 o Brix Massa Sampel (gram) 12 1 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 54 o Brix coating, 3 o C, 54 o Brix non-coating, 5 o C, 54 o Brix coating, 5 o C, 54 o Brix Gambar 24. Grafik perubahan massa terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 54 o Brix Massa Sampel (gram) 12 1 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 non-coating, 3 o C, 66 o Brix coating, 3 o C, 66 o Brix non-coating, 5 o C, 66 o Brix coating, 5 o C, 66 o Brix Gambar 25. Grafik perubahan massa terhadap waktu pada konsentrasi larutan osmotik 66 o Brix 38

Lampiran 5. Grafik Perbandingan WL Pengukuran dan WL Perhitungan WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 26. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET1C1 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 27. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET1C2 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 28. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET1C3 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 29. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET2C1 39

WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 3. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET2C2 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 31. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan ET2C3 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 32. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C1 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 33. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C2 4

WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 34. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C3 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 35. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C1 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 36. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C2 WL (%) 8 6 4 2 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 37. Grafik WL hasil pengukuran dan WL hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C3 41

Lampiran 6. Grafik Perbandingan SG Pengukuran dan SG Perhitungan 15 SG (%) 1 5 Model Azuara Pengukuran 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Gambar 38. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET1C1 15 SG (%) 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 39. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET1C2 15 SG (%) 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 4. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET1C3 15 SG (%) 1 5 Model Azuara Pengukuran 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Gambar 41. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET2C1 42

SG (%) 15 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 42. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET2C2 15 SG (%) 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 43. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan ET2C3 15 SG (%) 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 44. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C1 15 SG (%) 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 45. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C2 43

SG (%) 15 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 46. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T1C3 15 SG (%) 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 47. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C1 15 SG (%) 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 48. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C2 15 SG (%) 1 5 3 6 9 12 15 18 21 24 27 3 Model Azuara Pengukuran Gambar 49. Grafik SG hasil pengukuran dan SG hasil perhitungan pada perlakuan E1T2C3 44

Lampiran 7. Foto Sampel Setelah Pengeringan Osmotik Gambar 5. Foto sampel ET1C1 setelah pengeringan osmotik Gambar 53. Foto sampel ET2C1 setelah pengeringan osmotik Gambar 51. Foto sampel ET1C2 setelah pengeringan osmotik Gambar 54. Foto sampel ET2C2 setelah pengeringan osmotik Gambar 52. Foto sampel ET1C3 setelah pengeringan osmotik Gambar 55. Foto sampel ET2C3 setelah pengeringan osmotik 45

Gambar 56. Foto sampel E1T1C1 setelah pengeringan osmotik Gambar 59. Foto sampel E1T2C1 setelah pengeringan osmotik Gambar 57. Foto sampel E1T1C2 setelah pengeringan osmotik Gambar 6. Foto sampel E1T2C2 setelah pengeringan osmotik Gambar 58. Foto sampel E1T1C3 setelah pengeringan osmotic Gambar 61. Foto sampel E1T2C3 setelah pengeringan osmotik 46