3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran 2). 3.2 Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) Enam unit bubu tambun untuk dua perlakuan, yaitu tiga unit bubu tambun yang ditutupi terumbu karang dan tiga unit lainnya untuk ditutupi karung goni sebanyak 70 %; 2) Alat dasar selam berupa masker, snorkel dan fin; 3) Alat pengukur panjang berupa papan pengukur dengan skala terkecil 1 mm; 4) Alat pengukur berat berupa timbangan dengan skala terkecil 1 g; dan 5) Alat dokumentasi. Adapun bahan yang digunakan adalah umpan berupa bintang laut bantal raja (Culcita novaguineae) yang dipotong potong dan umpan bulu babi (Diadema sp.) yang sudah dihancurkan. 3.2.1 Alat tangkap bubu tambun Bubu tambun merupakan bubu untuk menangkap ikan karang yang secara keseluruhan rangkanya terbuat dari bambu tali atau bambu apus (Gigantholochola apus). D2si bubu tambun yang digunakan dalam penelitian ini adalah p l t; 70 60 20 (cm). Bubu ini memiliki satu buah mulut berbentuk horse neck dengan diameter mulut luar 20 cm dan diameter mulut bagian dalam sebesar 13 cm. Diameter jalinan bambu adalah 3 cm. Konstruksi bubu tambun ditunjukkan pada Gambar 1. 3.2.2 Perahu Perahu digunakan sebagai sarana angkut menuju dan kembali dari fishing ground. Perahu yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu kayu dengan
14 dimensi panjang 4 m, lebar 1 m dan dalam 0,75 m. Perahu ini dilengkapi dengan mesin inboard bekekuatan 5 PK (Gambar 2). Penutup Rangka utama B A A B Gambar 1 Konstruksi bubu tambun penelitian
15 Gambar 2 Perahu yang digunakan dalam penelitian 3.3 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode experimental fishing yaitu dengan melakukan operasi penangkapan ikan menggunakan bubu di laut selama 12 hari. Bubu yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah enam buah, terdiri atas tiga buah bubu nelayan dan tiga bubu perlakuan. Bubu nelayan adalah bubu tambun yang dalam operasionalnya menggunakan tutupan terumbu karang (Gambar 3). Bubu perlakuan adalah bubu tambun yang dalam operasionalnya menggunakan tutupan berupa karung goni (Gambar 4). Perbedaan kedua bubu hanya pada jenis tutupan saat pengoperasiannya. Kedua macam bubu diberi perlakuan penutup bubu sebanyak 70%. Hal ini disesuaikan dengan tingkah laku ikan karang yang tidak menyukai tempat berlindung yang terlalu gelap. Tutupan terumbu karang Gambar 3 Bubu nelayan
16 A B Gambar 4 Bubu perlakuan Bubu nelayan dan bubu perlakuan diberi perlakuan awal terlebih dahulu dengan cara merendam bubu di dalam laut selama 3 hari. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan aroma bambu dan karung goni. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk menumbuhkan alga dan perifiton tahap awal. Kedua macam bubu dipasang secara berselang-seling (Gambar 5), sehingga ikan memiliki peluang yang sama untuk tertangkap. Kedua macam bubu diberi perlakuan yang sama. Seluruh bubu menggunakan umpan bulu babi (Diadema sp.) yang sudah dihancurkan di depan mulut bubu dan umpan bintang laut bantal (Culcita novaguineae) yang sudah dipotong-potong di dalam bubu. Dalam pengoperasiannya, kedua Keterangan : A = Tutupan karung goni B = Bubu tambun bubu diletakkan di daerah terumbu karang tepi (fringing reef) tanpa melakukan pemindahan ataupun penghancuran terumbu karang hidup di sekitar lingkungan tempat penelitian. Jarak pemasangan antar bubu berkisar 2-3 m dengan peletakan bubu tidak teratur. Masing- masing bubu dioperasikan sebanyak 12 kali dengan sistem tunggal tanpa menggunakan pelampung dan dibiarkan selama kurang lebih 24 jam. Pemasangan bubu tambun dilakukan pada pagi hari. Kegiatan operasional bubu dilakukan dalam waktu satu hari penuh. Dalam setiap operasi penangkapan ikan, dibawa sejumlah peralatan penting, seperti pengait, golok, bak penampung hasil tangkapan dan perbekalan secukupnya. Pengait berguna untuk mengangkat bubu dari dasar perairan dan golok untuk memotong umpan. Daerah penangkapan
17 ikan atau fishing ground yang dituju merupakan daerah yang dikenal memiliki banyak sumberdaya ikan. Gambar 5 Pengoperasian bubu dalam penelitian Tahap-tahap operasi penangkapan ikan dalam penelitian adalah : 1) Persiapan Pada tahap ini, dipersiapkan umpan yang akan diletakkan di dalam bubu dan di depan mulut bubu. Umpan yang digunakan berupa bintang laut bantal (Culcita novaguineae) dan bulu babi (Diadema sp.). Umpan tersebut dihancurkan atau dipotong potong terlebih dahulu. 2) Pemasangan bubu di dasar perairan Pemasangan bubu di dasar perairan dilakukan dengan cara meletakkannya langsung di dasar perairan. Dalam proses pemasangan bubu, digunakan alat dasar selam berupa masker dan sepatu khusus. Penggunaan sepatu saat memasang bubu membantu meminimalisir resiko terluka saat menginjak karang ataupun terkena racun ikan lepu dari famili Scorpionidae. Bubu nelayan dan bubu perlakuan dipasang di antara celah karang yang masih hidup ataupun karang yang sudah mati. Pemasangan seluruh bubu dilakukan satu per satu dengan sistem tunggal tanpa disertai dengan tali pengikat dan pelampung tanda. Posisi penempatan bubu disejajarkan dengan arah datangnya arus.
18 3) Pengangkatan Pengangkatan bubu dilakukan keesokan harinya. Pengangkatan bubu menggunakan alat bantu pengait. Ikan yang terperangkap dalam bubu langsung dipindahkan ke dalam bak penampung sementara. Ada dua jenis bak penampung yang digunakan. Bak pertama untuk ikan yang akan dibiarkan hidup dan bak kedua untuk ikan mati. Bubu yang sudah diangkat dan dikeluarkan hasil tangkapannya disusun sedemikian rupa di atas kapal untuk memudahkan pemasangan berikutnya. Selanjutnya mencari daerah pengoperasian bubu yang lain untuk pemasangan berikutnya. Setelah menemukan daerah penangkapan ikan yang dituju, kembali dilakukan proses persiapan untuk pemasangan bubu. Data yang dikumpulkan terdiri atas komposisi hasil tangkapan, data hasil pengukuran berat dan panjang total hasil tangkapan seluruh bubu. Data tersebut dikelompokkan berdasarkan jenis bubu yang digunakan. Selain itu dikumpulkan pula data sekunder dari Dinas Perikanan dan Pemerintah Daerah setempat berupa kondisi perikanan daerah penelitian, jumlah kapal penangkap ikan, jumlah dan jenis alat tangkap yang ada di daerah penelitian, jumlah nelayan dan informasi lainnya yang menunjang penelitian ini. 3.4 Batasan Penelitian Batasan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 1) Penelitian ini hanya membandingkan komposisi hasil tangkapan bubu dengan jenis tutupan berbeda; dan 2) Uraian tingkah laku ikan karang hanya berdasarkan pada literatur yang diacu. 3.5 Asumsi yang Digunakan Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1) Setiap ikan yang berada di daerah pengoperasian bubu memiliki peluang tertangkap yang sama; 2) Faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil tangkapan seperti arus, suhu perairan, pasang surut, gelombang dan musim diabaikan; 3) Keahlian nelayan dalam mengoperasikan alat tangkap dianggap sama.
19 3.6 Metode Analisis Data Data hasil tangkapan yang diperoleh diuji taraf kenormalannya menggunakan uji Anderson Darling dan grafik plot kenormalan terlebih dahulu menggunakan software Minitab 15. Selanjutnya apabila data hasil tangkapan yang didapat menyebar normal, maka dilakukan uji homogenitas untuk menguji kehomogenan data tersebut. Apabila data yang didapat tidak menyebar normal, maka dilakukan uji non parametrik Kruskal Wallis untuk mengambil keputusan. Analisa data secara deskriptif dilakukan dengan cara mengelompokkan jenis ikan hasil tangkapan dominan ke dalam kelas panjang tertentu. Ukuran panjang yang digunakan adalah ukuran panjang total (TL/total length). Hal ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi panjang ikan hasil tangkapan dominan yang tertangkap. Penentuan jumlah selang kelas dan interval kelas untuk ukuran panjang total dihitung menggunakan rumus distribusi frekuensi (Walpole 1995), yaitu: Keterangan : K : Jumlah kelas; n : Banyaknya data; i : Lebar kelas; N max : Nilai terbesar; dan N min : Nilai terkecil. K = 1 + 3,3 log n...(1) N max N min i =...(2) K Uji homogenitas dilakukan menggunakan uji F dengan rumus (Sugiyono 2007), yaitu: Varian terbesar...(3) F = Varian terkecil Hipotesis yang digunakan dalam uji F adalah 1) H 0 : σ 1 = σ 2, artinya varians data bersifat homogen; dan 2) H 1 : σ 1 σ 2, artinya varians data tidak bersifat homogen.
20 Dasar pengambilan keputusan dalam uji F adalah : 1) Jika F hitung > F tabel maka tolak H 0, berarti varians data tidak bersifat homogen; dan 2) Jika F hitung F tabel maka gagal tolak H 0, berarti varians data bersifat homogen. Uji homogenitas yang dilakukan akan menentukan sifat kehomogenan data. Sifat kehomogenan akan menentukan pemilihan rumus yang tepat untuk uji-t dua sampel tidak berpasangan. Uji-t dua sampel tidak berpasangan dilakukan untuk mengetahui perbedaan hasil tangkapan dari kedua macam bubu. Adapun rumus uji-t dua sampel tidak berpasangan (Sugiyono 2007) adalah t X 1 2 =...(4) 2 2 S1 S2 n 1 X + n 2 X1 X 2 t =...(5) 2 2 ( n ) + ( ) 1 1 S1 n2 1 S2 1 1 + n1 + n2 2 n1 n2 Keterangan : X 1 : Rata rata data penelitian perlakuan ke -1; X 2 : Rata rata data penelitian perlakuan ke -2; S 1 : Varians data perlakuan ke- 1; S 2 : Varians data perlakuan ke- 2; n 1 : Banyaknya data perlakuan ke -1; dan n 2 : Banyaknya data perlakuan ke -2. Sugiyono (2007) menyatakan bahwa kritera yang digunakan untuk memilih rumus uji-t dua sampel tidak berpasangan adalah : 1) Bila jumlah anggota sampel sama (n 1 = n 2 ) dan varians homogen (σ 1 = σ 2 ), maka dapat digunakan rumus uji-t dua sampel tidak berpasangan (4) maupun (5) dan untuk mengetahui nilai t tabel digunakan derajat kebebasan (dk) bernilai dk = n 1 + n 2 2; 2) Bila jumlah anggota sampel tidak sama (n 1 n 2 ) dan varians homogen sama (σ 1 = σ 2 ), maka dapat digunakan rumus uji-t dua sampel tidak berpasangan (5)
21 dan untuk mengetahui t tabel digunakan derajat kebebasan (dk) bernilai dk = n 1 -n 2-2; 3) Bila jumlah anggota sampel sama (n 1 = n 2 ) dan varians homogen tidak sama (σ 1 σ 2 ), maka dapat digunakan rumus uji-t dua sampel tidak berpasangan (4) maupun (5) dan untuk mengetahui t tabel digunakan derajat kebebasan (dk) bernilai dk = n 1 1 atau n 2-2; dan 4) Bila jumlah anggota sampel tidak sama (n 1 n 2 ) dan varians homogen tidak sama (σ 1 σ 2 ), maka dapat digunakan rumus uji-t dua sampel tidak berpasangan (4). Untuk mengetahui t tabel dihitung dari selisih nilai tabel dengan derajat kebebasan (dk) dk = (n 1 1) dan dk = (n 2-1) yang dibagi dua, kemudian ditambahkan dengan nilai t yang terkecil. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan berdasarkan hipotesa uji-t dua sampel tidak berpasangan. Hipotesis uji-t dua sampel tidak berpasangan dalam penelitian ini adalah: 1) H 0 : µ 1 = µ 2, berarti tidak ada perbedaan hasil tangkapan bubu nelayan dan hasil tangkapan bubu perlakuan; dan 2) H 1 : µ 1 µ 2, berarti ada perbedaan hasil tangkapan bubu nelayan dan hasil tangkapan bubu perlakuan. Dasar pengambilan keputusan dalam uji-t dua sampel tidak berpasangan adalah : 1) Jika nilai t hitung > t tabel maka tolak H 0, berarti ada perbedaan hasil tangkapan dari kedua jenis bubu; dan 2) Jika nilai t hitung < t tabel maka gagal tolak H 0, berarti tidak ada perbedaan hasil tangkapan dari kedua jenis bubu. Apabila uji taraf kenormalannya menghasilkan keputusan data tidak menyebar normal, maka untuk selanjutnya dilakukan uji non parametrik Kruskal Wallis untuk menguji hipotesis (Sugiyono 2007). Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan komposisi hasil tangkapan dari kedua jenis bubu. Rumus dasar Uji Kruskall Wallis (Walpole 1995) adalah :
22 = 12 k ri hi n n ( n + 1) i= 1 2 i 3 ( n + 1) Keterangan : h i : Nilai h hitung; r i : Jumlah dari peringkat perlakuan ke-i; n i : Banyaknya data dari perlakuan ke- i; n : Banyaknya data dari seluruh perlakuan....(6) Hipotesis Uji Kruskall Wallis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) H 0 : µ 1 = µ 2, berarti tidak ada perbedaan hasil tangkapan antara bubu nelayan dan bubu perlakuan; dan 2) H 1 : µ 1 µ 2 berarti terdapat perbedaan hasil tangkapan antara bubu nelayan dan bubu perlakuan. Dasar pengambilan keputusan melalui Uji Kruskall Wallis adalah : 1) Jika nilai h i > hχ α 2 maka tolak H0, berarti ada perbedaan komposisi hasil tangkapan dari kedua jenis bubu; dan 2) Jika nilai h i < hχ α 2 maka gagal tolak H0, berarti tidak ada perbedaan komposisi hasil tangkapan dari kedua jenis bubu.