BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Landasan hukum terhadap eksistensi atau keberadaan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. 1 PPAT menurut Pasal 1 angka (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai Hak atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun. Tugas pokok PPAT diatur dalam Pasal 2 PP Nomor 37 Tahun 1998, yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai Hak atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud adalah: 2 1. Jual Beli 2. Tukar Menukar 3. Hibah 4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) 5. Pembagian Hak Bersama 6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik 7. Pemberian Hak Tanggungan 8. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan 1 Mustofa, 2010, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, Marya Media, Yogyakarta, hlm. 1 2 Ibid, hlm. 2 1
2 Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka oleh Pasal 3 PP Nomor 37 Tahun 1998, PPAT diberi kewenangan untuk membuat akta otentik atas delapan macam perbuatan hukum yang dimaksud di atas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PPAT hanya mempunyai kewenangan untuk membuat delapan macam akta tersebut di atas, di luar delapan macam akta itu PPAT tidak berwenang untuk membuatnya sehingga tidak mungkin PPAT diminta untuk membuat akta di luar delapan macam akta tersebut. Dalam praktik sehari-hari, kantor PPAT tidak hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang bersumber dari pembuatan delapan macam akta yang merupakan kewenangan PPAT, namun kantor PPAT juga mengurus hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kewenangan PPAT yaitu hal-hal yang timbul atas permintaan dari masyarakat, yang menyebabkan kantor PPAT membantu untuk menyelesaikannya. Jadi hanya semacam bantuan PPAT untuk membantu kepentingan masyarakat karena masyarakat tidak biasa atau tidak sempat untuk mengurusnya, misal: 3 1. Pembuatan sertipikat untuk pertama kalinya karena konversi hakhak lama 2. Pembuatan sertipikat karena pemecahan hak atas tanah 3. Pembuatan sertipikat karena penggabungan hak atas tanah 4. Perpanjangan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai 5. Roya sertipikat 6. Proses turun waris sertipikat. Kewenangan PPAT untuk membuat akta otentik hanyalah sebatas pada hal-hal mengenai benda-benda tetap yang berupa Hak atas Tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, di luar itu bukan merupakan kewenangan 3 Ibid, hlm. 3
3 PPAT, misalnya pembuatan akta hipotik atas kapal-kapal yang dianggap sebagai benda tidak bergerak (benda tetap). Luasnya wilayah kewenangan PPAT untuk membuat akta otentik dibatasi oleh luasnya daerah kerja PPAT. Daerah kerja PPAT diatur dalam Pasal 12 ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998, yang berbunyi Daerah Kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Pada umumnya wilayah kerja Kantor Pertanahan adalah satu kabupaten atau satu kota (dahulu disebut kotamadya), sedangkan daerah kerja PPAT Sementara dan PPAT Khusus, menurut ketentuan Pasal 12 ayat (2) PP Nomor 37 Tahun 1998, meliputi wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar penunjukannya, misalnya PPAT Sementara Camat hanya mempunyai daerah kerja seluas kecamatan dimana ia menjabat sebagai Camat, PPAT Sementara Lurah hanya mempunyai daerah kerja seluas kelurahan dimana dia menjabat sebagai Lurah. Berdasarkan ketentuan Pasal 12 PP Nomor 37 Tahun 1998 dapat disimpulkan bahwa PPAT hanya berwenang untuk membuat akta-akta tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berada dalam daerah kerjanya, misalnya untuk PPAT Kabupaten Sleman, maka hanya dapat membuat akta untuk tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berada atau terletak dalam wilayah Kabupaten Sleman. Demikian juga PPAT Kota Padang, maka hanya dapat membuat akta untuk tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang berada atau terletak dalam wilayah Kota Padang. 4 4 Ibid, hlm. 4
4 Kewenangan PPAT untuk membuat akta didasarkan pada kenyataan dimana tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun tersebut berada, bukan pada hal dimanakah para penghadap (misalnya penjual dan pembeli) dapat berkumpul atau pada hal dimanakah domisili pemegang hak atau domisili calon penerima hak berada. Dalam melaksanakan tugas jabatannya berkaitan dengan kewenangannya serta pelaksanaan jabatannya, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat dijatuhi sanksi baik pidana, perdata maupun administratif. Sebagai contoh kasus dalam penulisan tesis ini adalah kasus tindak pidana penggelapan yang dilakukan oleh PPAT di Kota Yogyakarta. Kasus tersebut berkaitan dengan pelaksanaan jabatannya sebagai PPAT dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Yogyakarta pada tanggal 19 Maret 2012 dengan Nomor Putusan 37/Pid.B/2012/PN.Yk. Kasus tersebut bermula ketika terdakwa ESN pada tanggal 12 November 2010, dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan. 5 Perbuatan tersebut dilakukan oleh terdakwa yaitu ketika saksi korban AM Hendropriyono datang ke kantor terdakwa untuk melakukan transaksi jual beli 6 (enam) bidang tanah milik saksi Jahja Santoso. Saksi korban meminta terdakwa untuk memproses transaksi jual beli tanah tersebut sehingga oleh terdakwa dibuatlah 6 (enam) buah akta jual beli. Setelah transaksi jual beli tanah selesai dilaksanakan, terdakwa mengatakan kepada saksi korban bahwa untuk kepentingan transaksi jual beli, maka bagi pihak penjual dikenakan 5 Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 37/Pid.B/2012/PN.Yk, tanggal 19 Maret 2012
5 pajak yang besarnya sekitar 5% (lima persen) dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan kalau ditotal sebesar Rp. 373.200.000,- (tiga ratus tujuh puluh tiga juta dua ratus ribu rupiah) dan terdakwa bersedia menyetorkan pajak tersebut. Terdakwa juga menjanjikan kepada saksi korban bahwa pengurusan pembayaran pajak penjualan tersebut paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penandatanganan akta jual beli. Saksi korban kemudian menyerahkan kepada terdakwa uang sebesar Rp. 375.000.000,- (tiga ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Ternyata terdakwa hanya membayarkan pajak penjualan untuk 3 (tiga) bidang tanah saja, sedangkan yang 3 (tiga) bidang tanah belum dibayarkan dan digunakan oleh terdakwa untuk kepentingan pribadinya. Berdasarkan hal tersebut Pengadilan Negeri Yogyakarta memutuskan bahwa terdakwa ESN selaku PPAT di Yogyakarta telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi pidana kaitannya dengan pembuktian, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap PPAT yang didakwa melakukan perbuatan pidana dalam perkara penggelapan pajak? 2. Bagaimana tindakan Majelis Kehormatan Wilayah dengan adanya putusan pidana dari Pengadilan Negeri Yogyakarta terhadap PPAT yang bersalah melakukan tindakan penggelapan pajak?
6 C. Keaslian Penelitian Setelah diadakan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, sejauh ini penelitian tentang Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pelaksanaan Jabatannya (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 37/Pid.B/2012/PN.Yk) sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti, akan tetapi pernah ada penelitian yang serupa, yaitu: 1. Tesis yang ditulis oleh Dwi Apriliyani Wiyana 6 pada tahun 2010 yang berjudul Tanggung Jawab PPAT Terhadap Titipan Pajak BPHTB Dari Klien (Studi Kasus Putusan Perkara Pidana No. 181/Pid.B/2009/PN.Btl), yang merupakan penelitian Tesis S-2 Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Adapun masalah yang diteliti adalah mengenai tanggung jawab PPAT terhadap titipan pajak BPHTB dari klien, dan permasalahan dalam penulisan ini adalah: a. Bagaimana tanggung jawab PPAT terhadap titipan pajak BPHTB dari klien ( studi kasus Putusan Perkara Perdata Reg. No. 181/Pid.B/2009)? b. Bagaimana pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional terhadap PPAT yang melakukan penggelapan pajak BPHTB? 2. Tesis yang ditulis oleh Irvan Surya Hartadi 7 pada tahun 2012 yang berjudul Tanggung Jawab Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah 6 Dwi Apriliyani Wiyana, 2010, Tanggung Jawab PPAT Terhadap Titipan Pajak BPHTB dari Klien (Studi Kasus Putusan Perkara Pidana No. 181/Pid.B/2009/PN.Btl, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 7 Irvan Surya Hartadi, 2012, Tanggung Jawab Notaris Dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Atas Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Akta Yang Telah Dibuatnya (Studi Kasus Putusan PN Palu Nomor 85/Pdt.G/2008/PN.PALU dan Putusan Banding PT Sulawesi Tengah Nomor 22/Pdt/2010/PT.PL), Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
7 (PPAT) atas Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Akta yang Telah Dibuatnya (Studi Kasus Putusan PN Palu Nomor 85/Pdt.G/2008/PN.PALU dan Putusan Banding PT Sulawesi Tengah Nomor 22/Pdt/2010/PT.PL). Adapun masalah yang diteliti adalah memfokuskan pada tanggung jawab notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) atas perbuatan melawan hukum terhadap akta yang telah dibuatnya. Berdasarkan hal itu permasalahan dalam penulisan ini adalah: a. Bagaimanakah bentuk pertanggung jawaban Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atas perbuatan melawan hukum terhadap Akta yang telah dibuatnya? b. Apa akibat hukum yang ditimbulkan jika Akta Notaris dan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dibuat atas dasar Perbuatan Melawan Hukum yang dibatalkan oleh Putusan Pengadilan (Putusan Pengadilan Negeri Palu Nomor: 85/Pdt.G/2008/PN.PALU)? Penelitian-penelitian tersebut di atas berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan judul Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah Yang Berkaitan Dengan Pelaksanaan Jabatannya (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 37/Pid.B/2012/PN.Yk). Adapun masalah yang diteliti adalah mengenai penerapan sanksi pidana terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah. Rumusan masalah yang diteliti adalah: a. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi pidana kaitannya dengan pembuktian, pertanggungjawaban pidana dan
8 pemidanaan terhadap PPAT yang didakwa melakukan perbuatan pidana dalam perkara penggelapan pajak? b. Bagaimana tindakan Majelis Kehormatan Wilayah dengan adanya putusan pidana dari Pengadilan Negeri Yogyakarta terhadap PPAT yang bersangkutan? Berdasarkan uraian di atas dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penelitian ini asli karena belum pernah dilakukan penelitian terhadap rumusan masalah tersebut. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum kenotariatan pada umumnya dan khususnya tentang sanksi pidana terhadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam melaksanakan tugasnya dan menjadi tambahan pustaka bagi siapa saja yang ingin meneliti lebih dalam mengenai permasalahan ini. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak yang terkait khususnya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam rangka memberikan pelayanan dan jasa terhadap klien secara maksimal dan bertanggung jawab.
9 E. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi pidana kaitannya dengan pembuktian, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap PPAT yang didakwa melakukan perbuatan pidana dalam perkara penggelapan pajak. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji tindakan Majelis Kehormatan Wilayah dengan adanya putusan pidana dari Pengadilan Negeri Yogyakarta terhadap PPAT yang bersangkutan.