PERUBAHAN PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS: KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT) ANNISA TIARA

dokumen-dokumen yang mirip
KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

III. BAHAN DAN METODE

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN KATINGAN DAN KOTA PALANGKA RAYA

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan manusia. Lahan

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

4 GAMBARAN UMUM KABUPATEN BLITAR

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup Penelitian

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelititan

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

4 KONDISI UMUM WILAYAH

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. (1989), hingga tahun 2000 diperkirakan dari 24 juta Ha lahan hijau (pertanian,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang penelitian

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. individu manusia setelah pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan dasar

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

III. BAHAN DAN METODE

BAB IV GAMBARAN UMUM

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM KOTA SUKABUMI. Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB II KONDISI WILAYAH STUDI

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN WILAYAH DI KABUPATEN BANDUNG

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Penduduk di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Sukamakmur

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Septi Sri Rahmawati, 2015

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara geografis wilayah Kota Bandar Lampung berada antara 50º20 -

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Gambar 7. Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

III. METODE PENELITIAN

Gambar 1. Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. diperbarui adalah sumber daya lahan. Sumber daya lahan sangat penting bagi

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Kota

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

BAB II DESKRIPSI WILAYAH PERENCANAAN 2.1. KONDISI GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat.

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

KONDISI UMUM. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 12. Peta Adminstratif Kecamatan Beji, Kota Depok

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Cidokom Kecamatan Rumpin. Kecamatan Leuwiliang merupakan kawasan

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Letak Geografis. 08º00'27" Lintang Selatan dan 110º12'34" - 110º31'08" Bujur Timur. Di

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR. Provinsi Jawa Timur membentang antara BT BT dan

Gambar 1. Lokasi Penelitian

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Letak Geografis

4. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam


IDENTIFIKASI KAWASAN RAWAN KONVERSI PADA LAHAN SAWAH DI KECAMATAN 2 X 11 ENAM LINGKUNG KABUPATEN PADANG PARIAMAN BERBASIS GIS

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

ANALISIS POLA PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN PERKEMBANGAN WILAYAH DI KOTA BEKASI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Tanggamus merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung yang

Transkripsi:

PERUBAHAN PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS: KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT) ANNISA TIARA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus: Kota Sukabumi, Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2014 Annisa Tiara NIM A14090086

ABSTRAK ANNISA TIARA. Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus: Kota Sukabumi, Jawa Barat). Dibimbing oleh KHURSATUL MUNIBAH dan DYAH RETNO PANUJU. Kedudukan Kota Sukabumi yang strategis di antara mega urban Jabodetabek dan Bandung Raya menjadikan Kota Sukabumi mengalami proses pembangunan yang sangat dinamis. Hal tersebut dapat berimplikasi pada tingginya perubahan penggunaan/penutupan lahan (LUCC) di Kota Sukabumi. Untuk mengetahui pola LUCC digunakan citra IKONOS tahun 2010 dan 2012. Selanjutnya regresi berganda dimanfaatkan untuk mengetahui faktor-faktor penentu LUCC. Skalogram diproses untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah dan analisis deskriptif digunakan untuk melihat keterkaitan antara LUCC dengan tingkat perkembangan wilayah, serta analisis pembandingan pemanfaatan ruang untuk mengetahui konsistensi penggunaan/penutupan lahan tahun 2012 dengan RTRW. Hasil analisis spasial menunjukkan, dalam kurun waktu dua tahun Kota Sukabumi mengalami peningkatan lahan terbangun sebesar 2.8% serta penurunan lahan sawah dan lahan tidak produktif sebesar 1.2% dan 1.9%. Faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di Kota Sukabumi antara lain ketersediaan lahan; jarak desa ke kecamatan; alokasi RTRW; jarak ke fasilitas ekonomi, pendidikan, dan kesehatan; Indeks Perkembangan Desa; serta pertambahan jumlah penduduk. Perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian terjadi pada wilayah hirarki II dan III, sedangkan perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun serta lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun terjadi pada semua hirarki. Penggunaan/penutupan lahan tahun 2012 konsisten untuk peruntukkan lahan terbangun sebesar 36.6%, konsisten belum terbangun sebesar 45.1%, dan inkonsisten sebesar 2.3%. Kata kunci: perubahan penggunaan/penutupan lahan, faktor perubahan, perkembangan wilayah

ABSTRACT ANNISA TIARA. Land Use/Land Cover Changes and Its Affacting Factors (Case Study: Sukabumi City, West Java). Supervised by KHURSATUL MUNIBAH and DYAH RETNO PANUJU. The strategic position of Sukabumi City between Jabodetabek and Bandung Raya intensified the development in this region. It implied to the high of land use/land cover change (LUCC) in Sukabumi City. We utilized IKONOS in 2010 and 2012 to determine LUCC pattern. Furthermore, multiple regression was employed to find out affecting factors of LUCC. Skalogram analysis was then utilized to find out the level of regional development, descriptive analysis to correlate LUCC and level of regional development, and benchmarking of current utilization to evaluate the conformity of current land use/land cover with Spatial Plan (RTRW). The spatial analysis showed that within two years, built up area of Sukabumi increased at 2.8% while rice field and unproductive land decreased at 1.2% and 1.9% respectively. Factors affecting of LUCC in Sukabumi City were the availability of land; distance to CBD, allocation of Spatial Plan (RTRW); distance to economic, education, and medical facilities; regional development index; and the increase of population. Unproductive land change into agricultural land occured in 2 nd hierarchy and 3 rd hierarchy, whereas agricultural land change into built up area and unproductive land change into built up area occured in all of the hierarchy. Land use/land cover in 2012 conformed with RTRW was 36.6%, while 45.1% was undeveloped, and 2.3% was unconfirmed the plan. Keywords : land use/land cover change, factors of change, regional development

PERUBAHAN PENGGUNAAN/PENUTUPAN LAHAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (STUDI KASUS: KOTA SUKABUMI, JAWA BARAT) ANNISA TIARA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Judul Skripsi : Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus: Kota Sukabumi, Jawa Barat) Nama : Annisa Tiara NIM : A14090086 Disetujui oleh Dr. Khursatul Munibah, M.Sc Pembimbing I Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si Pembimbing II Diketahui oleh Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc Ketua Departemen Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini ialah perubahan penggunaan lahan, dengan judul Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus: Kota Sukabumi, Jawa Barat). Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Khursatul Munibah, M.Sc dan Dyah Retno Panuju, S.P, M.Si selaku pembimbing skripsi atas teladan, bimbingan, ide, kritik, saran, kesabaran, motivasi, dan ilmu yang diajarkan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc selaku dosen penguji, yang telah bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini. 3. Dr. Ir. Suwardi, M.Agr selaku pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama masa studinya. 4. Mama dan Papa yang selalu berada di samping penulis, senantiasa mencurahkan kasih sayangnya, perhatian, motivasi, dan mendo akan penulis setiap waktu. Kakakku tersayang Savira Adelia dan Twosan Syahbani, serta keponakanku Callia Ramadhani, kalian semua merupakan motivasi terbesar penulis. 5. Rangga Saputra atas perhatian, kesabaran, semangatnya, serta do a yang tak pernah putus kepada penulis. 6. Teman-teman seperjuangan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial: Paping, Sulis, Esti, Dini, Lusy, Ega, Vita, dan Athu. Terima kasih atas bantuan dan motivasinya. 7. Rekan-rekan MSL 46, Abang dan Kakak MSL 45, terima kasih untuk kebersamaan dan dukungannya. 8. Staf tata usaha dan studio yang senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. 9. Pak Ujang dan keluarga, terima kasih atas bantuannya selama di Sukabumi. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi para pembaca dan bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Bogor, Mei 2014 Annisa Tiara

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Kota 2 Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan 3 Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya 3 Perkembangan Wilayah dan Dinamika Perubahan Penggunaan Lahannya 4 Peranan Penginderaan Jauh dan SIG dalam Kajian Perubahan Penggunaan Lahan 5 METODOLOGI PENELITIAN 7 Lokasi dan Waktu Penelitian 7 Bahan dan Alat 7 Metode Penelitian 7 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 13 Kondisi Geografis dan Administratif 13 Kondisi Iklim 14 Kondisi Topografi dan Ketinggian Wilayah 14 Kondisi Tanah dan Penggunaan Lahan 15 Kondisi Kependudukan 15 Kondisi Ekonomi 15 HASIL DAN PEMBAHASAN 16 Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010 dan 2012 16 Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010-2012 25 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan 29 Tingkat Perkembangan Wilayah 33 Keterkaitan Antara Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dengan Tingkat Perkembangan Wilayah 37 Konsistensi/Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2012 dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031 38 SIMPULAN DAN SARAN 41 Simpulan 41 Saran 42 DAFTAR PUSTAKA 42 LAMPIRAN 44 RIWAYAT HIDUP 50

DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Data Sekunder yang Digunakan untuk Penelitian 7 2. Variabel Bebas dan Tak Bebas untuk Mengidentifikasi Faktor Penentu Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan 10 3. Variabel untuk Menentukan Tingkat Perkembangan Wilayah dengan Analisis Skalogram 11 4. Teknik Analisis dan Hasil yang Diharapkan 12 5. Pembagian Luas Wilayah Kecamatan di Kota Sukabumi 14 6. Luas Penggunaan/Penutupan Lahan Tiap Kecamatan 22 7. Matriks Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010-2012 27 8. Pola Dominan Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan 28 9. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahan Tidak Produktif menjadi Lahan Pertanian 31 10. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahan Pertanian menjadi Lahan Terbangun 32 11. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahan Tidak Produktif menjadi Lahan Terbangun 33 12. Nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) Tiap Kelurahan Tahun 2009 34 13. Nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) Tiap Kelurahan Tahun 2012 34 14. Tingkat Hirarki di Kota Sukabumi 35 15. Alokasi Rencana Tata Ruang Kota Sukabumi Tahun 2011-2031 39 16. Matriks Penggunaan Lahan Tahun 2012 dengan RTRW Tahun 2011-2031 40 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Diagram Alir Penelitian 8 2. Peta Administrasi Kota Sukabumi 13 3. Kenampakan Obyek Kebun Campuran Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 16 4. Kenampakan Obyek Kolam Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 17 5. Kenampakan Obyek Ladang Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 17 6. Kenampakan Obyek Lahan Terbangun (Pemukiman Teratur) Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 18 7. Kenampakan Obyek Lahan Terbuka Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 19 8. Kenampakan Obyek Semak Belukar Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 19

9. Kenampakan Obyek Sawah Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 20 10. Kenampakan Obyek Sungai Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 20 11. Luas Penggunaan/Penutupan Lahan tahun 2010 dan 2012 21 12. Sebaran Spasial Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010 dan 2012 24 13. Luas Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010-2012 26 14. Sebaran Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010-2012 29 15. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Sukabumi Tahun 2009 36 16. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Sukabumi Tahun 2012 36 17. Luas Rata-Rata Perubahan Pada Tiap Hirarki Wilayah 37 18. Sebaran Alokasi Ruang Berdasarkan RTRW Kota Sukabumi 39 19. Sebaran Spasial Konsistensi/Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2012 dengan RTRW Tahun 2011-2031 41 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Citra Ikonos Kota Sukabumi Tahun 2010 44 2. Citra Ikonos Kota Sukabumi Tahun 2012 45 3. Tabel Penggunaan/Penutupan Lahan di Lapang 46 4. Tingkat Perkembangan Wilayah Kota Sukabumi Tahun 2009 48 5. Tingkat Perkembangan Wilayah Kota Sukabumi Tahun 2012 49

PENDAHULUAN Latar Belakang Kota merupakan tempat dengan konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan aktivitas penduduknya (Pontoh dan Kustiawan, 2009). Perkembangan wilayah di perkotaan cenderung lebih pesat bila dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Hal ini karena aktivitas manusia di kawasan perkotaan berlangsung lebih dinamis. Seiring dengan perkembangan suatu kota, berkembang pula beberapa masalah, salah satunya adalah semakin intensifnya perubahan penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai proses pertambahan luas suatu penggunaan lahan diikuti dengan berkurangnya luas tipe penggunaan lahan yang lain, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Martin, 1993 dalam Wahyunto et al., 2001). Lingkungan kota cenderung berkembang secara ekonomis dan mengalami penurunan fungsi-fungsi ekologis dimana pembangunan fisik seperti pembangunan sarana dan prasarana semakin meluas. Pada tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka. Namun seiring meningkatnya taraf hidup, kemampuan, dan kebutuhan hidup manusia, maka ruang terbuka tersebut banyak dialihfungsikan menjadi kawasan terbangun seperti pemukiman, industri, jaringan jalan, perkantoran, perdagangan, dan lahan terbangun lainnya. Kota Sukabumi merupakan kota yang memiliki posisi strategis yaitu berada diantara pusat pertumbuhan mega urban Jabodetabek dan Bandung Raya dan menjadi salah satu kawasan andalan dalam bidang perdagangan dan jasa dari 8 kawasan andalan di Jawa Barat (RTRW Jawa Barat tahun 2009-2029). Kondisi tersebut berimplikasi pada tingginya perubahan penggunaan lahan di Kota Sukabumi. Peningkatan lahan terbangun di Kota Sukabumi akan mengakibatkan ruang terbuka khususnya lahan pertanian di Kota Sukabumi menjadi semakin berkurang. Hal ini berpotensi menurunkan kemampuan pemasokan kebutuhan pangan masyarakat dari produksi lokal. Mudhofir (2010) menyatakan bahwa lahan terbangun di Kota Sukabumi, dalam kurun waktu 1999-2006 mengalami peningkatan sebesar 14%. Sementara kawasan hijau mengalami penurunan sebesar 10% untuk persawahan dan 2% untuk kebun dan RTH. Hal ini menunjukkan dinamika kota yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai tingkat konversi yang terjadi dalam kurun waktu 2 tahun di Kota Sukabumi. Besar harapan bahwa lahan pertanian yang ada dapat terus dipertahankan dan perubahan penggunaan lahan dapat terus diawasi dengan tidak mengesampingkan nilai ekologis dari suatu lahan. Fenomena perubahan penggunaan/penutupan lahan tersebut, dapat dideteksi dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh yang mampu memberikan gambaran perubahan penggunaan/penutupan lahan di Kota Sukabumi secara menyeluruh. Citra IKONOS merupakan salah satu citra satelit

2 penginderaan jauh yang dapat memberikan informasi secara detail sehingga perubahan penggunaan/penutupan lahan dalam kurun waktu 2 tahun dapat terdeteksi. Sebagai penunjang dalam penyimpanan, analisis, serta penampilan kembali kondisi-kondisi alam Kota Sukabumi digunakan teknologi Sistem Informasi Geografis yang mampu mengolah data spasial dan atribut secara lebih efektif dan efisien. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi perubahan penggunaan/penutupan lahan periode tahun 2010-2012. 2. Menganalisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan/penutupan lahan. 3. Menganalisis keterkaitan antara perubahan penggunaan/penutupan lahan dengan tingkat perkembangan wilayah. 4. Menganalisis konsistensi/inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan dengan RTRW. TINJAUAN PUSTAKA Kota Definisi kawasan perkotaan menurut Keppres No. 114 Tahun 1999 merupakan sebuah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kota merupakan bagian dari ruang muka bumi yang menjadi tempat pengharapan penduduk untuk tumpuan kehidupan. Jayadinata (1992) menyatakan bahwa suatu hal yang khas bagi sebuah kota adalah bahwa kota umumnya mandiri atau serba lengkap (self-contained), yang berarti penduduk kota bukan hanya bertempat tinggal di dalam kota, tetapi juga bekerja mencari nafkah di dalam kota itu, sekaligus juga dapat melakukan aktivitas rekreasi di dalamnya. Hal ini berbeda dengan keadaan di pedesaan dimana penduduk desa umumnya pergi keluar desa untuk mencari nafkah. Kota sebagai tempat pemukiman adalah suatu lingkungan yang sangat penting untuk selalu dipelihara kualitas dan daya dukungnya. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi menyebabkan meningkatnya proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan. Pada tahun 2025 diperkirakan 55% penduduk tinggal di perkotaan (Kombaitan, 1995 dalam Somaatmadja, 2007). Hal tersebut membawa dampak terhadap pembangunan dan kualitas lingkungan hidup kota. Kebutuhan lahan meningkat sejalan dengan pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi penduduk kota. Oleh karena luas lahan kota terbatas, maka timbul persaingan antar penggunaan lahan yang mengarah pada terjadinya perubahan penggunaan lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya (Somaatmadja, 2007).

3 Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan Istilah penggunaan lahan (land use), berbeda dengan istilah penutupan lahan (land cover). Sutanto (1997) mendefinisikan penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada suatu bidang lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian antara lain tegalan, sawah, ladang, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian antara lain penggunaan lahan perkotaan atau pedesaaan, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad, 1989). Identifikasi, pemantauan, dan evaluasi penggunaan lahan perlu selalu dilakukan pada setiap periode tertentu, karena hal tersebut dapat menjadi dasar untuk penelitian yang mendalam mengenai perilaku manusia dalam memanfaatkan lahan. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi bagian yang penting dalam usaha melakukan perencanaan dan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan keruangan di suatu wilayah. Prinsip kebijakan terhadap lahan perkotaan bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan pengadaan lahan untuk menampung berbagai aktivitas perkotaan. Dalam hubungannya dengan optimalisasi penggunaan lahan, kebijakan penggunaan lahan diartikan sebagai serangkaian kegiatan tindakan yang sistematis dan terorganisir dalam penyediaan lahan, serta tepat pada waktunya, untuk peruntukan pemanfaatan dan tujuan lainnya sesuai dengan kepentingan masyarakat (Suryantoro, 2002). Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dan Faktor yang Mempengaruhinya Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun industri (Kazaz dan Charles, 2001 dalam Munibah, 2008). Perubahan penggunaan/penutupan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan/penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan /penutupan lahan. Nasoetion (1991) menyatakan beberapa hal yang diduga sebagai penyebab proses perubahan penggunaan lahan antara lain : 1. Besarnya tingkat urbanisasi dan lambatnya proses pembangunan di pedesaan. 2. Peningkatan jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah hingga atas diwilayah perkotaan yang berakibat tingginya permintaan terhadap pemukiman (komplek-komplek perumahan). 3. Transformasi struktur perekonomian yang akan menggeser kegiatan pertanian/lahan hijau khususnya di perkotaan. 4. Fragmentasi pemilikan lahan menjadi satuan-satuan usaha dengan ukuran yang secara ekonomi tidak efisien.

4 Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang relatif cepat lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah, sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan. Barlowe (1986) menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan lahan terdapat empat faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu: faktor fisik lahan, faktor ekonomi, faktor kelembagaan, serta faktor kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap hasil non pertanian seperti kebutuhan perumahan dan sarana prasarana wilayah. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Carolita (2005) menganalisis faktor-faktor perubahan penggunaan lahan di Jabotabek berdasarkan faktor fisik lahan seperti ketinggian, kemiringan lahan, jenis tanah, dan jenis penggunaan lahan sebelumnya; faktor sosial ekonomi seperti jarak dari pusat CBD ke pusat desa dan kepadatan penduduk; dan faktor arahan penggunaan lahan (RTRW). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor tingkat kelerengan 0 3%, ketinggian 250 400 m, jenis tanah, jarak dari pusat CBD ke pusat desa, penggunaan lahan sebelumnya, dan arahan penggunaan lahan secara statistik signifikan sebagai faktor penyebab perubahan penggunaan lahan menjadi urban, sedangkan kepadatan penduduk berpengaruh tidak nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi urban. Adapun Niin (2010) menyimpulkan bahwa faktor fisik lahan merupakan variabel yang paling konsisten mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lainnya diikuti faktor kebijakan penggunaan lahan dan faktor sosial ekonomi. Perkembangan Wilayah dan Dinamika Perubahan Penggunaan Lahan Jayadinata (1999) mendefinisikan wilayah dalam pengertian geografis sebagai kesatuan alam yaitu alam yang serba sama atau homogen, yaitu

masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai ciri yang khas, sehingga wilayah tersebut dapat dibedakan dari wilayah lain. Suatu wilayah yang luas dapat mempunyai beberapa inti dengan hirarki tertentu. Wilayah dengan hirarki yang lebih tinggi merupakan pusat bagi beberapa wilayah dengan hirarki yang lebih rendah. Secara teoritis, hirarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan wilayah secara totalitas yang tidak terbatas ditunjukkan oleh kapasitas infrastruktur fisiknya saja tetapi juga kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas-kapasitas perekonomiannya. Sumberdaya yang paling mudah dinilai dalam penghitungan kapasitas pelayanan adalah sumberdaya buatan (sarana dan prasarana). Secara sederhana, kapasitas pelayanan infrastruktur atau prasarana wilayah dapat diukur dari jumlah sarana pelayanan, jumlah jenis sarana pelayanan yang ada, serta kualitas sarana pelayanan. Semakin banyak jumlah dan jenis sarana pelayanan serta semakin tinggi aktivitas sosial ekonomi mencerminkan hirarki yang lebih tinggi (Rustiadi et al., 2009). Suatu wilayah akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Komponen perkembangan wilayah akan berkembang sejalan dengan perkembangan wilayahnya. Perkembangan wilayah terutama di pusat-pusat pelayanan akan menjadi faktor potensial yang mempengaruhi kecepatan perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu tertentu (Utoyo, 2012). Pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas pembangunan dan perekonomian akan mengakibatkan permintaan terhadap lahan semakin meningkat. Luas lahan yang relatif tetap di satu sisi dan permintaan lahan yang terus meningkat di sisi lain menyebabkan alih fungsi lahan di suatu wilayah tidak terelekkan. Oleh karenanya, makin tinggi tingkat perkembangan wilayahnya menuntut alokasi penggunaan lahan yang semakin berdaya guna. Tingginya ketersediaan sarana prasarana pelayanan dan jumlah penduduk menyebabkan makin pentingnya fungsi suatu lahan. Kondisi tersebut mengakibatkan lahan yang kurang produktif dialihkan menjadi lahan yang lebih produktif (Utoyo, 2012). Kusnitarini (2006) menganalisis keterkaitan antara perkembangan wilayah dengan konversi lahan pertanian. Hubungan antara indikator perkembangan wilayah dengan perubahan penggunaan lahan ditunjukkan oleh keterkaitan positif antara indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dengan differential shift sawah serta indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin meningkatnya perkembangan wilayah menyebabkan semakin banyak lahan pertanian yang dikonversi ke penggunaan lain (non pertanian). Peranan Penginderaan Jauh dan SIG dalam Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Penginderaan jauh atau remote sensing adalah ilmu yang mempelajari tentang peralihan informasi suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Sutanto, 1997). Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya. 5

6 Teknologi penginderaan jauh berkembang pesat seiring peranannya yang semakin diperlukan dalam proses pengambilan dan pengumpulan informasi mengenai objek yang diamati. Murai (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang bisa diekstrak melalui data penginderaan jauh, seperti tipe klasifikasi (land cover, vegetasi), deteksi perubahan (perubahan land cover), ekstraksi kualitas fisik (temperatur, komponen atmosfer, elevasi), ekstraksi indeks (indeks vegetasi, indeks kekeruhan), dan tipe identifikasi feature spesifik (identifikasi bencana alam seperti kebakaran hutan atau banjir, deteksi feature arkeologi). Beberapa contoh manfaat dalam aplikasi penginderaan jauh adalah untuk mengidentifikasi penutupan lahan (land cover), untuk mengidentifikasi dan memonitor pola perubahan lahan, dan menjadi bahan pertimbangan dalam manajemen dan perencanaan wilayah. Di dalam pembahasan perkembangan ekonomi suatu wilayah, penggunaan lahan merupakan salah satu indikator mengenai pertumbuhan suatu daerah baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pemotretan udara yang berturutan memungkinkan seorang penafsir menilai pola penggunaan lahan pada dua atau beberapa tempat yang berbeda (Soenardi, 1989). Seiring dengan makin berkembangnya teknologi, dikembangkan pula teknik manajemen data yang sangat membantu pekerjaan penafsir, yakni Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG merupakan suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi, yaitu pemasukan data, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan kembali), manipulasi dan analisis serta keluaran (Aronoff, 1989). Tujuan pokok dari pemanfaatan sistem informasi geografis adalah untuk mempermudah mendapatkan informasi yang telah diolah dan tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Penggunaan lahan di permukaan bumi dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut dapat dipetakan dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) yang mampu mengelola data yang bersifat spasial. Untuk memanfaatkan teknologi ini dibutuhkan satu metode analisis tertentu untuk memperoleh informasi sesuai kebutuhan. Pada studi ini, metode yang digunakan melalui proses tumpangsusun dengan menggunakan analisis perbandingan (Deliar, et al. 2000).

7 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian berlokasi di wilayah Kota Sukabumi. Secara geografis Kota Sukabumi terletak antara 106 45 50 Bujur Timur dan 106 45 10 Bujur Timur, serta 6 49 29 Lintang Selatan dan 6 50 44 Lintang Selatan. Luas Kota Sukabumi adalah ± 48 km 2. Waktu penelitian selama 8 (delapan) bulan, terhitung sejak bulan April hingga Desember 2013. Analisis data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan penelitian yang digunakan adalah citra IKONOS tahun 2010 dan 2012, peta administrasi, peta RTRW tahun 2011-2031, serta potensi desa tahun 2009 dan 2012. Alat yang digunakan untuk mengolah data adalah perangkat komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ArcView 3.2, ArcGIS 9.3, Statistica 7, Microsoft Office 2007, serta Global Positioning System (GPS) dan kamera digital untuk pengecekan lapang. Semua jenis data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Sekunder yang Digunakan untuk Penelitian No Jenis Data Sumber Keterangan 1. Citra IKONOS Tahun 2010 dan 2012 Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Untuk membuat Peta Penggunaan/Penutupan Lahan tahun 2010 dan 2012. 2. Potensi Desa Tahun 2009 dan 2012 3. RTRW Kota Sukabumi Tahun 2011-2031 Badan Pusat Statistik BAPPEDA Kota Sukabumi 4. Peta Administrasi Tata Pemerintahan Setda Kota Sukabumi Metode Penelitian Untuk mengetahui hirarki wilayah Kota Sukabumi dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan/penutupan lahan. Untuk mengetahui alokasi ruang menurut rencana tata ruang wilayah. Untuk mengetahui batas wilayah administrasi Kota Sukabumi. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis data. Tahapan penelitian digambarkan secara diagramatis pada Gambar 1.

8 Citra IKONOS 2010 Citra IKONOS 2012 Interpretasi dan Klasifikasi Pengecekan Lapang Peta Penggunaan Lahan Tahun 2010 Peta Penggunaan Lahan Tahun 2012 Tumpang Susun Regresi Berganda Peta Perubahan Penggunaan Lahan Potensi Desa Tahun 2009 & 2012 RTRW 2011-2031 Analisis Skalogram Hirarki Wilayah Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Keterkaitan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Tingkat Perkembangan Wilayah Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2010-2012 Konsistensi/ Inkonsistensi Penggunaan Lahan dengan RTRW Analisis Akhir Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

1. Tahap Persiapan Tahap persiapan meliputi penyusunan proposal dan studi literatur untuk menambah informasi yang berkaitan dengan penelitian dan memperdalam pemahaman tentang kajian perubahan penggunaan/penutupan lahan. 2. Tahap Pengumpulan Data Data penelitian dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi interpretasi penggunaan/penutupan lahan dari citra IKONOS tahun 2010 dan 2012, serta pengecekan lapang guna memperoleh informasi yang tidak terdapat dalam citra seperti jenis tanaman, pola tanam, pola usaha tani, penguasaan lahan, dan lain-lain.. Data sekunder meliputi data potensi desa tahun 2009 dan 2012, serta data peruntukan lahan yang bersumber dari RTRW tahun 2011-2031. 3. Tahap Analisis Data Analisis Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Analisis citra IKONOS tahun 2010 dan 2012 dilakukan melalui interpretasi visual. Identifikasi obyek merupakan bagian pokok dalam interpretasi citra yang mendasarkan pada karakteristik dari masing-masing obyek. Berikut delapan unsur interpretasi, yaitu : 1. Rona. Rona adalah warna atau kecerahan relatif obyek pada citra. Rona cerah mengisyaratkan daerah dengan topografi tinggi dan kering sedangkan rona gelap daerah dengan topografi rendah dan basah (Sutanto, 1997). 2. Bentuk. Bentuk adalah kofigurasi atau kerangka suatu obyek (Sutanto, 1997). 3. Ukuran. Ukuran suatu obyek yang harus dipertimbangkan sehubungan dengan skala citra (Sutanto, 1997). 4. Tekstur. Tekstur adalah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi (Sutanto, 1997). 5. Pola. Pola adalah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah dan akan membantu penafsir untuk mengenali obyek tersebut (Sutanto, 1997). 6. Bayangan. Bentuk bayangan dapat memberikan gambaran suatu obyek (membantu interpretasi) dan obyek di bawah bayangan hanya dapat memantulkan sedikit cahaya dan sukar diamati (menghalangi interpretasi) (Sutanto, 1997). 7. Situs. Situs adalah lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek lain, yang dapat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek (Sutanto, 1997). 8. Asosiasi. Asosiasi adalah keterkaitan antara obyek satu dengan obyek yang lain (Sutanto, 1997). Berdasarkan hasil interpretasi yang dilakukan dengan digitasi on screen dan pengecekan lapang, didapatkan beberapa penggunaan/penutupan lahan, yaitu (1) kebun campuran, (2) kolam, (3) ladang, (4) pemukiman teratur, (5) pemukiman tidak teratur, (6) kawasan industri, (7) kawasan pendidikan dan perkantoran, (8) lahan tidak produktif, (9) sawah, dan (10) sungai. Pengecekan lapang digunakan untuk memperkuat hasil analisis dengan melihat penggunaan lahan yang ada dan dibandingkan dengan peta penggunaan/penutupan lahan hasil interpretasi. Selain itu pengecekan lapang berguna untuk memperoleh informasi 9

10 dari masyarakat sekitar yang tidak bisa didapat dari citra. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi, dilakukan proses tumpang tindih antara peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2010 dengan peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2012. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Perubahan penggunaan/penutupan lahan yang dianalisis yaitu perubahan dari lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian, perubahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun, dan perubahan dari lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun pada periode tahun 2010-2012. Analisis menggunakan regresi berganda dengan metode forward stepwise pada perangkat lunak Statistica 7. Pada Tabel 2 disajikan variabel data yang digunakan dalam analisis regresi berganda. Persamaan regresi berganda yang digunakan adalah: Y = A 0 + A 1 X 1 + A 2 X 2 + + A n X n b dimana, Y = Peubah penjelas X i = Peubah penduga ke i, dengan i=1,2,..,16 A i = Koefisien regresi peubah ke-i Tabel 2. Variabel Bebas dan Tak Bebas untuk Mengidentifikasi Faktor Penentu Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Simbol Variabel Y1 Luas Lahan Tidak Produktif Lahan Pertanian X8 Indeks Perkembangan Desa Y2 Luas Lahan Pertanian Lahan Terbangun X9 Pertambahan Jumlah Penduduk Y3 Luas Lahan Tidak Produktif Lahan Terbangun X10 Jarak ke Fasilitas Pendidikan X1 Jarak Desa ke Kecamatan X11 Jarak ke Fasilitas Kesehatan X2 Jarak Desa ke Walikota X12 Jarak ke Fasilitas Ekonomi X3 Luas Lahan Pertanian 2010 X13 Pertumbuhan Fasilitas Pendidikan X4 Luas Lahan Tidak Produktif 2010 X14 Pertumbuhan Fasilitas Kesehatan X5 Luas Lahan Terbangun 2010 X15 Pertumbuhan Fasilitas Ekonomi X6 Alokasi Lahan Terbangun X16 Pertumbuhan Fasilitas Sosial X7 Alokasi Lahan Pertanian Analisis Keterkaitan Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dengan Tingkat Perkembangan Wilayah Tingkat perkembangan (hirarki) wilayah Kota Sukabumi tahun 2009 dan 2012 ditentukan dengan analisis skalogram. Hirarki ditentukan atas dasar jumlah fasilitas umum, yang dikelompokkan menjadi fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, dan fasilitas sosial. Pada Tabel 3 disajikan variabel yang digunakan dalam analisis skalogram. Penentuan tingkat perkembangan wilayah di bagi menjadi tiga yaitu : Hirarki I Hirarki II Hirarki III : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih besar dari nilai stdev dan rata rata [IPD>(Stdev+Average)] : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih besar sama dengan rata-rata (IPD>=Average) : Jika nilai Indeks Perkembangan Desa lebih kecil dari rata-rata (IPD<Average)

Keterkaitan antara perubahan penggunaan/penutupan lahan dengan tingkat perkembangan wilayah dilihat berdasarkan analisis deskriptif antara perubahan penggunaan/penutupan lahan dari lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian, lahan pertanian menjadi lahan terbangun, dan lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun dengan hirarki wilayah. Tabel 3. Variabel untuk Menentukan Tingkat Perkembangan Wilayah dengan Analisis Skalogram 11 Kelompok Fasilitas Pendidikan Fasilitas Kesehatan Fasilitas Ekonomi Fasilitas Sosial Nama Variabel Jumlah Tk Negeri dan Swasta Jumlah SD Negeri dan Swasta Jumlah SMP Negeri dan Swasta Jumlah SMA Negeri dan Swasta Jumlah SMK Negeri dan Swasta Jumlah Rumah Sakit Jumlah Rumah Sakit Bersalin Jumlah Poliklinik Jumlah Puskesmas Jumlah Posyandu Jumlah Apotek Jumlah Industri Kulit Jumlah Industri Kayu Jumlah Industri Logam Jumlah Industri Anyaman Jumlah Industri Gerabah Jumlah Industri Kain Jumlah Industri Makanan dan Minuman Jumlah Pasar Permanen Jumlah Pasar Tanpa Bangunan Jumlah Mini Market Jumlah Toko/Warung Kelontong Jumlah Warung/Kedai Makanan-Minuman Jumlah Restoran/Rumah Makan Jumlah Hotel Jumlah Penginapan Jumlah Wartel Jumlah Warnet Jumlah Kantor Pos Jumlah Masjid Jumlah Surau Jumlah Gereja Kristen Jumlah Gereja Katolik Jumlah Pura Jumlah Vihara Jumlah Variabel 5 6 18 6 Analisis Konsistensi/Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Evaluasi penggunaan/penutupan lahan tahun 2012 dengan rencana tata ruang wilayah menggunakan proses analisis tumpang susun (overlay). Hasil analisis akan memperlihatkan penggunaan/penutupan lahan yang sudah konsisten dengan rencana tata ruang wilayah, inkonsisten dengan rencana tata ruang

12 wilayah, dan lahan yang masih dapat berubah fungsi pada masa yang akan datang (konsisten belum terbangun). Secara umum, tahapan-tahapan penelitian berdasarkan tujuan, jenis data, teknik analisis data, dan keluaran disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Teknik Analisis dan Hasil yang Diharapkan No Tujuan Data 1 Analisis perubahan penggunaan/penutup an lahan 2 Analisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan/penutup an lahan Peta penggunaan /penutupan lahan tahun 2010 dan 2012 Peta perubahan penggunaan/penutup an lahan, Potensi desa tahun 2009 dan 2012 Teknik Analisis Data Analisis tumpang susun (overlay) Analisis tumpang susun (overlay), Regresi berganda Keluaran Matriks perubahan penggunaan/penutupan lahan Faktor yang mempengaruhi perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian, lahan pertanian menjadi lahan terbangun, dan lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun 3 Analisis keterkaitan antara perubahan penggunaan/penutup an lahan dengan tingkat perkembangan wilayah Peta perubahan penggunaan/penutup an lahan, Potensi desa tahun 2009 dan 2012, Peta administrasi Analisis skalogram, Analisis deskriptif Tingkat hirarki wilayah, Sebaran perubahan pada masing-masing hirarki 4 Analisis Konsistensi/Inkonsis tensi penggunan /penutupan lahan tahun 2012 dengan RTRW Peta penggunaan /penutupan lahan tahun 2012, Peta RTRW Kota Sukabumi tahun 2011-2031 Analisis tumpang susun (overlay) Konsistensi /inkonsistensi penggunaan/penutupan lahan dengan RTRW

13 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 o 45 50 Bujur Timur dan 106 o 45 10 Bujur Timur, 6 o 49 29 Lintang Selatan dan 6 o 50 44 Lintang Selatan yang berjarak 120 Km dari Ibukota Negara (Jakarta) dan 96 Km dari Ibukota Propinsi (Bandung). Wilayah Kota Sukabumi seluruhnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi yakni: Sebelah Utara : berbatasan dengan Kecamatan Cisaat Sebelah Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja Sebelah Barat : berbatasan dengan Kecamatan Cisaat Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Nyalindung Gambar 2. Peta Administrasi Kota Sukabumi Secara administratif wilayah Kota Sukabumi berdasarkan PP Nomor 3 tahun 1995 memiliki luas 48 Km² yang terbagi dalam 5 kecamatan dan 33 desa/kelurahan. Selanjutnya berdasarkan Perda Nomor 15 Tahun 2000 tanggal 27 September 2000, wilayah administrasi Kota Sukabumi mengalami pemekaran menjadi 7 kecamatan dengan 33 kelurahan. Tujuh kecamatan yang ada di Sukabumi antara lain Kecamatan Baros, Citamiang, Warudoyong, Gunung Puyuh, Cikole, Lembursitu, dan Cibeureum.

14 Tabel 5. Pembagian Luas Wilayah Kecamatan di Kota Sukabumi No. Kecamatan Jumlah Desa/Kelurahan Luas (Km 2 ) Persentase (%) 1. Baros 4 Kelurahan 6.1 12.7 2. Citamiang 5 Kelurahan 4.0 8.4 3. Warudoyong 5 Kelurahan 7.6 15.8 4. Gunung Puyuh 4 Kelurahan 5.5 11.5 5. Cikole 6 Kelurahan 7.1 14.8 6. Lembursitu 5 Kelurahan 8.9 18.5 7. Cibeureum 4 Kelurahan 8.8 18.3 Total 33 Kelurahan 48.0 100.0 Sumber : BPS (Kota Sukabumi Dalam Angka, 2012) Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Lembursitu dengan luas 8.9 km 2 atau 18.5% dari total luas Kota Sukabumi, sedangkan kecamatan dengan luas wilayah terkecil yaitu Kecamatan Citamiang dengan luas 4.0 km 2 atau 8.4% dari total luas Kota Sukabumi. Kondisi Iklim Suhu udara di suatu tempat antara lain ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat tersebut terhadap permukaan laut dan jarak dari pantai. Curah hujan di suatu tempat antara lain dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan orographi dan perputaran/pertemuan arus udara. Oleh karena itu jumlah curah hujan beragam setiap bulannya. Secara umum Kota Sukabumi beriklim tropis dengan suhu udara minimum 15ºC dan suhu udara maksimum 30ºC. Rata-rata curah hujan tertinggi pada tahun 2011 terjadi pada bulan November dengan curah hujan 323 mm 3 dengan jumlah hari hujan 27 hari. Sebagaimana daerah tropis lainnya, Kota Sukabumi mengenal 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dengan kondisi iklim mikro seperti ini, maka Kota Sukabumi relatif nyaman bagi manusia untuk tempat peristirahatan dan beraktivitas dalam berbagai aspek kehidupan. Kondisi Topografi dan Ketinggian Wilayah Wilayah Kota Sukabumi merupakan lereng selatan dari Gunung Gede dan Gunung Pangrango. Secara morfologis Kota Sukabumi berada pada ketinggian rata-rata 550 meter di atas permukaan laut pada bagian selatan, 770 meter di atas permukaan laut pada bagian utara, dan rata-rata 650 meter di atas permukaan laut pada bagian tengah. Dilihat dari bentuk bentangan alamnya, Kota Sukabumi berupa perbukitan bergelombang dengan sudut lereng beragam. Di bagian selatan berlereng datar dengan kemiringan antara 0%-3% sedangkan pada bagian utara landai dengan kemiringan antara 3%-8%. Kondisi fisik ini secara langsung ikut mempengaruhi aspek pengembangan dan pembangunan kota secara teknis seperti pengaruh terhadap sistem distribusi air bersih kota, sistem saluran pembuangan, dan juga terhadap berbagai aspek teknis lain, misalnya pekerjaan konstruksi/pekerjaan sipil, tata bangunan dan lain sebagainya.

15 Kondisi Tanah dan Penggunaan Lahan Kondisi tanah di Kota Sukabumi, terbentuk pada jaman kuarter dan merupakan batuan vulkanik Gunung Gede. Sebagian besar batuannya terdiri dari batuan Breksi Tufan dan Lahar, Andesit dengan Oligloklas Andesit, Piroksin, dan bahan Heron Blando. Tanah di wilayah Kota Sukabumi sebagian besar berupa lempung pasir yang mempunyai sifat fisik kurang baik untuk bangunan berat, karena berdasarkan informasi dari penelitian yang telah dilakukan tebal tanah penutup ini kurang dari 10 meter. Karena sebagian daerahnya merupakan lereng Gunung Api (Gunung Gede), wilayah Kota Sukabumi mempunyai kecenderungan terkena bencana alam yang berkaitan dengan aktivitas gunung api seperti lahar, gempa bumi, dan longsor pada bagian atas lereng. Bencana alam yang kerap kali menimpa Kota Sukabumi adalah gempa bumi. Sedangkan gerakan tanah terdapat di daerahdaerah yang terjal dengan lereng yang tidak stabil. Penggunaan lahan di Kota Sukabumi dibedakan menjadi lahan sawah dan lahan bukan sawah (lahan kering). Lahan bukan sawah dibedakan atas lahan pekarangan/rumah, tegalan/kebun, kolam/tebat/empang dan lahan lainnya. Menurut penggunaannya, dari seluruh wilayah sebesar 1751 Ha (36.5%) digunakan untuk lahan sawah dan sisanya seluas 3049 Ha (63.5%) merupakan lahan kering. Fenomena yang terjadi didaerah perkotaan menunjukkan bahwa luas lahan sawah akan semakin berkurang sejalan dengan banyaknya pembangunan di bidang perumahan, perdagangan ataupun industri sehingga fungsi lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan bukan pertanian. Kondisi Kependudukan Pada Akhir Tahun 2011 berdasarkan hasil registrasi penduduk jumlah penduduk Kota Sukabumi tercatat sebanyak 356085 jiwa yang terdiri dari 180696 penduduk laki-laki (50.8%) dan 175389 penduduk perempuan (49.3%). Jumlah penduduk ini tersebar pada 7 kecamatan. Penyebaran tertinggi pada Kecamatan Cikole sebanyak 19.1% (68172 jiwa), Warudoyong 17.9% (63554 jiwa), Citamiang 15.7% (55973 jiwa) dan terendah di Kecamatan Baros sebesar 10.2% (36301 jiwa). Jika ditinjau dari luas wilayah Kota Sukabumi maka rata-rata penduduk per km² di Kota Sukabumi adalah 7418 jiwa/km 2, dimana kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Citamiang dengan kepadatan penduduk 13855 jiwa/km². Hal ini memungkinkan karena luas wilayah Kecamatan Citamiang paling kecil diantara kecamatan yang lain dan merupakan wilayah yang dekat dengan pusat perbelanjaan, sedangkan yang terendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Lembursitu dengan kepadatan penduduk 4413 jiwa/km². Kondisi Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat perkembangan dan struktur perekonomian di suatu daerah, dimana PDRB disajikan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2011

16 mencapai 5.92 trilyun rupiah, sedangkan atas dasar harga konstan mencapai 2.04 trilyun rupiah. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2010, dimana PDRB atas dasar harga berlaku tercatat sebesar 5.18 trilyun rupiah dan PDRB atas dasar harga konstan sebesar 1.9 trilyun rupiah. Berdasarkan kontribusi terhadap perekonomian di wilayah Kota Sukabumi, sektor yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB adalah dari sektor perdagangan, hotel dan restoran, yaitu mencapai 46.8%. Urutan terbesar kedua dan ketiga adalah sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa yang masing-masing memberikan kontribusi sebesar 15.6% dan 13.9%, sedangkan sektor yang kontribusinya paling kecil terhadap PDRB adalah sektor pertambangan dan penggalian yaitu 0.1%. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010 dan 2012 1. Interpretasi Visual Penggunaan/Penutupan Lahan Melalui Citra Ikonos Penggunaan/penutupan lahan yang dijumpai di Kota Sukabumi adalah: (1) kebun campuran, (2) kolam, (3) ladang, (4) pemukiman teratur, (5) pemukiman tidak teratur, (6) kawasan industri, (7) kawasan pendidikan dan perkantoran, (8) lahan tidak produktif, (9) sawah, dan (10) sungai. Berikut ini merupakan karakteristik dan definisi dari masing-masing kelas penggunaan/penutupan lahan: 1) Kebun Campuran Kebun campuran didefinisikan sebagai kebun yang terdiri atas campuran vegetasi antara tanaman tahunan serta tanaman semusim dalam satu lahan. Pada citra IKONOS, kebun campuran memiliki tekstur yang kasar karena perbedaan jenis tanaman dengan rona yang gelap dan pola yang tidak teratur. Berdasarkan kondisi di lapangan, kebun campuran dijumpai disekitar permukiman atau di sepanjang jalan, terdiri dari campuran tanaman pisang, papaya, singkong, tomat, cabai, dan kacang panjang. Kenampakkan kebun campuran disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Kenampakan Obyek Kebun Campuran Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan)

2) Kolam Kolam didefinisikan sebagai cekungan di tanah yang agak luas dan dalam berisi air atau suatu perairan buatan yang luasnya terbatas dan sengaja dibuat manusia agar mudah dikelola dalam hal pengaturan air, jenis hewan budidaya, dan target produksinya. Pada citra IKONOS, kolam memiliki rona yang gelap dengan pola yang biasanya teratur, dan memiliki tekstur yang halus. Berdasarkan kondisi di lapangan banyak berupa kolam budidaya ikan mas dan ikan nila, berada dekat dengan pemukiman atau di halaman rumah, serta pada beberapa lokasi dijumpai kolam yang menempati lahan sawah. Kenampakkan kolam disajikan pada Gambar 4. 17 Gambar 4. Kenampakan Obyek Kolam Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 3) Ladang Ladang didefinisikan sebagai area yang digunakan untuk kegiatan pertanian dengan jenis tanaman semusim di lahan yang kering. Pada citra IKONOS, ladang memiliki pola yang teratur dengan tekstur yang agak kasar. Berdasarkan kondisi di lapangan ladang merupakan lahan yang tidak diberi air/kering, berada dekat dengan jalan, sawah, dan permukiman. Jenis tanaman yang ditanam adalah cabai, tomat, singkong, atau jagung. Kenampakkan ladang disajikan pada Gambar 5. Gambar 5. Kenampakan Obyek Ladang Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan)

18 4) Lahan Terbangun Lahan terbangun terdiri dari pemukiman teratur, pemukiman tidak teratur, kawasan industri, serta kawasan pendidikan dan perkantoran. Pemukiman teratur didefinisikan sebagai sekumpulan bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal dengan bentuk, ukuran dan jarak rumah satu dengan yang lain relatif seragam. Pada citra IKONOS, pemukiman teratur memiliki rona terang, tekstur kasar, pola teratur, dengan ukuran yang sedang hingga luas. Berdasarkan kondisi di lapangan, pemukiman teratur berada dekat dengan jalan utama. Pemukiman tidak teratur didefinisikan sebagai sekumpulan bangunan yang digunakan untuk tempat tinggal dengan bentuk, ukuran, dan jarak antar rumah yang tidak seragam. Pada citra IKONOS, pemukiman tidak teratur memiliki rona terang, tekstur kasar, pola tidak teratur, dan berasosiasi dengan kebun campuran. Berdasarkan kondisi di lapangan, kondisinya sangat padat di beberapa kelurahan terutama di pusat kota. Kawasan industri didefinisikan sebagai areal yang digunakan untuk bangunan pabrik atau industri atau perusahaan. Pada citra IKONOS, kawasan industri memiliki rona yang cerah atau putih, pola teratur, tekstur halus dengan bentuk persegi panjang, ukuran agak besar serta berada dekat dengan jalan. Berdasarkan keadaan dilapang, atap dari bangunan ini terbuat dari seng sehingga menimbulkan warna putih pada citra. Kawasan pendidikan didefinisikan sebagai bangunan yang memfasilitasi dalam proses kegiatan pendidikan sedangkan kawasan perkantoran didefinisikan sebagai balai tempat mengurus suatu pekerjaan. Pada citra IKONOS, kawasan pendidikan dan perkantoran memiliki pola yang teratur, dengan rona agak kecokelatan, dan biasanya berbentuk siku, berbentuk seperti huruf L, U, I, dan memanjang, apabila berada di kawasan permukiman, ukurannya lebih besar dari bangunan di sekitarnya. Berdasarkan kondisi dilapang, berada dekat dengan permukiman dan jalan, berada di tempat strategis yang didukung dengan adanya kemudahan sarana transportasi. Kenampakkan lahan terbangun disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Kenampakan Obyek Lahan Terbangun (Pemukiman Teratur) Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan)

5) Lahan Tidak Produktif Lahan tidak produktif terdiri dari lahan terbuka dan semak belukar. Lahan terbuka didefinisikan sebagai lahan kosong yang tidak ditanami oleh vegetasi apapun dan tidak ada aktivitas yang dilakukan pada areal tersebut. Pada citra IKONOS, lahan terbuka memiliki rona yang terang atau berwarna cokelat dengan pola yang tidak teratur, dan tekstur yang halus. Berdasarkan kondisi di lapangan lahan terbuka ini biasanya hasil dari konversi lahan non terbangun dan terdapat lahan terbuka yang akan difungsikan sebagai jalan lingkar selatan. Kenampakkan lahan terbuka disajikan pada Gambar 7. Semak belukar didefinisikan sebagai lahan kering yang ditumbuhi berbagai vegetasi alamiah homogen dengan tingkat kerapatan jarang hingga rapat dan didominasi vegetasi rendah (alamiah). Pada citra IKONOS, semak belukar memiliki rona yang agak gelap, pola yang tidak teratur, dengan tekstur yang agak kasar. Berdasarkan kondisi di lapangan, biasanya berada di pinggiran sungai atau jalan, dan di sekitar pemukiman dengan ketinggian vegetasi yang rendah. Kenampakkan semak belukar disajikan pada Gambar 8. 19 Gambar 7. Kenampakan Obyek Lahan Terbuka Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) Gambar 8. Kenampakan Obyek Semak Belukar Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 6) Sawah Sawah didefinisikan sebagai areal pertanian lahan basah atau lahan yang sering digenangi serta secara periodik atau terus menerus ditanami padi. Pada citra IKONOS, sawah memiliki pola yang teratur, bentuk yang berpetak-petak,

20 teksturnya halus, dan biasanya berada dekat dengan jalan, sungai, atau permukiman. Berdasarkan kondisi dilapang, tanamannya di tanam secara teratur, jarak tanam relatif rapat, intensitas penanaman tiga kali dalam setahun dengan rata-rata pola tanam padi-padi-padi. Kenampakkan sawah disajikan pada Gambar 9. Gambar 9. Kenampakan Obyek Sawah Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 7) Sungai Sungai didefinisikan sebagai alur atau wadah air alami berupa jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Pada citra IKONOS, sungai memiliki pola yang berkelok-kelok, berbentuk memanjang dengan rona yang cerah dan tekstur yang halus. Berdasarkan kondisi lapang, disekitar sungai terdapat semak-semak serta beberapa permukiman. Sungai yang berada dekat dengan sawah berfungsi sebagai saluran irigasi. Kenampakkan sungai disajikan pada Gambar 10. Gambar 10. Kenampakan Obyek Sungai Pada Citra IKONOS (Kiri) dan Pengamatan Lapang (Kanan) 2. Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010 dan 2012 Penggunaan/penutupan lahan yang terluas di Kota Sukabumi pada tahun 2010 dan 2012 adalah sawah yaitu sebesar 1638 ha (33.8%) pada tahun 2010 dan 1578.5 ha (32.6%) pada tahun 2012. Kondisi ini belum sepenuhnya sesuai dengan ciri kawasan perkotaan dimana kota pada umumnya didominasi oleh kegiatan produktif bukan pertanian, seperti pemukiman, pusat pemerintahan, pusat

pelayanan, serta perdagangan dan jasa (Keppres No. 114 Tahun 1999). Luas tipe penggunaan/penutupan lahan yang paling kecil di dua titik tahun tersebut adalah ladang dengan luas 11.9 ha (0.2%) pada tahun 2010 dan 4.6 ha (0.1%) pada tahun 2012. Luas masing-masing penggunaan/penutupan lahan tersebut disajikan pada Gambar 11. 21 2000 1500 1545,2 1424,9 1638,0 1578,5 Luas (Ha) 1000 951,8 927,3 500 0 75,1 71,1 131,8 11,9 124,1 4,6 142,2 133,3 81,4 79,5 398,0 305,6 kcr klm ldg ptr ptt ind pnd ltp swh sng ket: kcr=kebun campuran, klm=kolam, ldg=ladang, ptr= pemukiman teratur, ptt= pemukiman tidak teratur, ind= kawasan industri, pnd= kawasan pendidikan dan perkantoran, ltp=lahan tidak produktif, swh=sawah, sng=sungai. Gambar 11. Luas Penggunaan/Penutupan Lahan tahun 2010 dan 2012 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa sawah merupakan penggunaan/penutupan lahan yang paling mendominasi secara luasan di Kota Sukabumi. Luas sawah terbesar berada pada Kecamatan Cibeureum (Tabel 6). Hal ini karena Kecamatan Cibeureum merupakan salah satu kecamatan baru di Kota Sukabumi, yang sebelumnya merupakan wilayah administrasi Kabupaten Sukabumi namun semenjak Kota Sukabumi mengalami pemekaran pada tahun 2000, Kecamatan Cibeureum secara administrasi termasuk kedalam wilayah Kota Sukabumi. Hal ini menjadikan Kecamatan Cibeureum masih memiliki lahan pertanian yang luas. Penggunaan/penutupan lahan lain yang cukup luas di Kota Sukabumi adalah pemukiman tidak teratur sebesar 1424.9 ha (29.4%) pada tahun 2010 dan 1545.2 ha (31.9%) pada tahun 2012. Luas pemukiman tidak teratur terbesar berada pada Kecamatan Cikole. Hal ini karena Kecamatan Cikole merupakan wilayah yang dijadikan sebagai Central Business District (CBD) Kota Sukabumi sehingga wilayah ini menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk bertempat tinggal karena aksesibilitas yang mudah dan fasilitas yang memadai. Penggunaan/penutupan lahan lainnya adalah kebun campuran dengan luas 927.3 ha (19.1%) pada tahun 2010 dan 951.8 ha (19.6%) pada tahun 2012. Luas kebun campuran terbesar berada pada Kecamatan Lembursitu. Sama halnya seperti Kecamatan Cibeureum, Kecamatan Lembursitu pun merupakan wilayah hasil pemekaran Kota Sukabumi sehingga penggunaan/penutupan lahannya masih didominasi oleh lahan-lahan pertanian. Hal inilah yang menjadikan Kota Sukabumi berbeda dari kota-kota lain di Indonesia, dimana Kota Sukabumi masih memiliki lahan-lahan pertanian yang cukup luas dan tersebar di setiap kecamatan. Lahan tidak produktif memiliki luas 398 ha (8.2%) pada tahun 2010 dan 305.6 (6.3%) pada tahun 2012. Luas lahan tidak produktif terbesar berada pada 36,4 36,4

22 Kecamatan Lembursitu. Keberadaan lahan tidak produktif di Kota Sukabumi ini salah satunya disebabkan oleh lahan absentia (guntai) yang sering dikonotasikan sebagai lahan tidur. Kondisi ini menjadikan pemanfaatan lahan menjadi tidak optimal. Pemukiman teratur memiliki luas sebesar 124.1 ha (2.6%) pada tahun 2010 dan 131.8 ha (2.7%) pada tahun 2012. Luas pemukiman teratur terbesar berada pada Kecamatan Cibeureum. Hal ini karena Kecamatan Cibeureum telah direncanakan oleh pemerintah sebagai pusat pemukiman real estate karena wilayahnya masih memiliki hamparan lahan yang luas dan tidak memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Pemerintah memilih wilayah ini, karena wilayah CBD sudah sangat padat dengan penduduk dan lahan yang tersedia sudah sangat terbatas, sementara untuk pembangunan real estate dibutuhkan lahan yang luas dan harga tanah yang tidak terlalu mahal. Kawasan industri memiliki luas 133.3 ha (2.7%) pada tahun 2010 dan 142.2 ha (2.9%) pada tahun 2012. Luas kawasan industri terbesar berada pada Kecamatan Lembursitu. Sementara, untuk kawasan pendidikan dan perkantoran memiliki luas 79.5 ha (1.6% ) pada tahun 2010 dan 81.4 ha (1.7%) pada tahun 2012, dengan luas terbesar berada pada Kecamatan Cikole sebagai CBD. Hampir seluruh aktifitas perkantoran dan pemerintahan terjadi di kecamatan ini. Kolam memiliki luas 75.1 ha (1.5%) pada tahun 2010 dan 71.1 ha (1.5%) pada tahun 2012. Luas kolam terbesar berada pada Kecamatan Warudoyong pada tahun 2010 dan Kecamatan Cikole pada tahun 2012. Beberapa masyarakat menjalankan aktivitas budidaya perikanan karena Kota Sukabumi merupakan salah satu daerah penghasil benih dan bibit terbesar di Jawa Barat. Ladang memiliki luas penggunaan/penutupan lahan terkecil baik pada tahun 2010 maupun 2012. Luas ladang terbesar berada pada Kecamatan Cikole. Sungai memiliki luas yang tetap dari tahun 2010 sampai tahun 2012 yaitu sebesar 36.4 ha atau sekitar 0.8% dari total luas wilayah Kota Sukabumi, dan yang terluas berada di Kecamatan Lembursitu. Tabel 6. Luas Penggunaan/Penutupan Lahan Tiap Kecamatan Kecamatan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010 Kcr Klm Ldg Ptr Ptt Ind Pnd Ltp Swh Sng Baros 63.3 4.1 3.3 35.7 131.7 14.2 0.6 38.9 259.7 7.6 Cibeureum 129.6 9.0 0.1 35.8 158.0 10.8 1.7 62.8 508.2 Cikole 123.0 16.4 4.6 15.3 290.4 10.0 35.0 29.0 102.0 Citamiang 79.4 5.8 2.7 12.3 184.6 22.7 11.5 13.9 67.8 Gunung Puyuh 145.7 4.4 0.0 17.8 173.0 4.1 29.0 59.4 81.4 Lembursitu 248.6 15.3 1.0 7.2 215.4 49.4 0.6 147.0 364.8 27.0 Warudoyong 137.7 20.2 0.1 271.8 22.0 1.1 47.1 254.2 1.8 Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2012 Kcr Klm Ldg Ptr Ptt Ind Pnd Ltp Swh Sng Baros 75.4 3.7 1.0 35.7 140.1 15.5 0.6 23.6 256.0 7.6 Cibeureum 127.6 8.1 35.8 181.5 11.6 1.7 57.1 492.7 Cikole 104.8 17.4 2.0 18.8 319.6 10.7 36.4 27.1 88.9 Citamiang 74.7 5.3 1.5 12.3 193.9 23.5 11.5 12.4 65.7 Gunung Puyuh 132.6 5.0 22.0 198.8 4.6 29.5 45.8 76.5 Lembursitu 295.1 14.4 0.1 7.2 224.8 53.7 0.6 96.6 356.8 27.0 Warudoyong 141.5 17.1 0.1 286.5 22.7 1.1 43.1 242.0 1.8 ket: kcr=kebun campuran, klm=kolam, ldg=ladang, ptr= pemukiman teratur, ptt= pemukiman tidak teratur, ind= kawasan industri, pnd= kawasan pendidikan dan perkantoran, ltp=lahan tidak produktif, swh=sawah, sng=sungai.

Secara spasial, distribusi masing-masing penggunaan/penutupan lahan yang terdapat di Kota Sukabumi tahun 2010 dan 2012 dapat dilihat pada sebaran spasial penggunaan/penutupan lahan tahun 2010 dan 2012 (Gambar 12). Pada Gambar 12 tampak bahwa sawah dan pemukiman tidak teratur yang ditunjukkan oleh warna hijau dan merah muda mendominasi penggunaan/penutupan lahan tahun 2010 dan 2012. Tampak perbedaan yang cukup nyata antara penggunaan/penutupan lahan di bagian utara dan di bagian selatan Kota Sukabumi. Pada bagian utara, penggunaan/penutupan lahan lebih didominasi oleh lahan terbangun seperti pemukiman tidak teratur, pemukiman teratur, serta kawasan pendidikan dan perkantoran. Sementara pada bagian selatan, penggunaan/penutupan lahan lebih didominasi oleh lahan pertanian seperti sawah dan kebun campuran. Hal ini karena pada bagian utara merupakan wilayah yang telah menjadi kota terlebih dahulu dibandingkan wilayah selatan yang merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Sukabumi. Sehingga wilayah bagian utara cenderung lebih maju dibandingkan wilayah bagian selatan. Wilayah yang dijadikan sebagai pusat kota pun berada di wilayah bagian utara, yaitu di Kecamatan Cikole. Perlu diketahui bahwa, Kota Sukabumi mengalami pemekaran wilayah pada tahun 2000 dimana wilayah awal hanya terdiri dari lima kecamatan dan kemudian dimekarkan menjadi 7 kecamatan. Pemekaran wilayah yang terjadi di Kota Sukabumi menjadikan pembangunan wilayahnya masih terpusat di wilayah bagian utara, sehingga penggunaan/penutupan lahan untuk kawasan terbangun di bagian utara menjadi semakin tinggi. Hal ini berdampak pula pada kecamatan-kecamatan di sekitarnya seperti Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Citamiang, dan Kecamatan Warudoyong. Sementara, pada wilayah bagian selatan sebagian besar masyarakatnya masih bermata pencaharian sebagai petani dan kepadatan penduduknya tidak setinggi wilayah bagian utara. Namun, hal ini perlu terus diawasi terkait fenomena perubahan penggunaan/penutupan lahan dimana wilayah bagian selatan berpotensi besar untuk dikonversi menjadi lahan terbangun di masa yang akan datang. Hal ini karena penggunaan/penutupan lahan di bagian utara sudah sangat padat oleh lahan terbangun dan ketersediaan lahannya terus berkurang. 23

24 (a) (b) Gambar 12. Sebaran Spasial Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010 (a) dan 2012 (b)

25 Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010-2012 Secara umum, terdapat 5 (lima) jenis penggunaan/penutupan lahan yang mengalami kenaikan luas, yaitu: kebun campuran, pemukiman teratur, pemukiman tidak teratur, kawasan industri, serta kawasan pendidikan dan perkantoran. Sementara itu, penggunaan/penutupan lahan lainnya menunjukkan kecenderungan penurunan, kecuali sungai yang memiliki luasan tetap dari tahun 2010 dan 2012 (Gambar 13). Peningkatan luas tertinggi terjadi pada pemukiman tidak teratur sebesar 120.3 ha (2.5%). Peningkatan ini terjadi karena meningkatnya pertumbuhan penduduk di Kota Sukabumi yang mencapai 6.9% dari jumlah penduduk tahun 2009. Peningkatan jumlah penduduk memberikan konsekuensi terhadap kebutuhan akan tempat tinggal. Penurunan luas tertinggi terjadi pada lahan tidak produktif sebesar 92.4 ha (1.9%). Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita yang dirangsang oleh kenaikan pendapatan rumah tangga berdampak pada kebutuhan akan bahan pangan yang terus meningkat. Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan tersebut, salah satunya caranya melalui pemberdayaan lahan kering tidak produktif dalam rangka memenuhi kecukupan pangan masyarakat. Pemberdayaan lahan tersebut dapat menekan biaya pengeluaran rumah tangga masyarakat untuk membeli bahan pangan seperti sayuran dan buahbuahan. Penggunaan/penutupan lahan lain yang mengalami peningkatan adalah kebun campuran yaitu sebesar 24.5 ha (0.5%). Meskipun produktivitas usahatani lahan kering tidak setinggi produktivitas usahatani padi sawah, namun pemberdayaan lahan kering untuk kebun campuran cukup menguntungkan dari segi ekonomi dan dapat membantu menekan biaya hidup masyarakat untuk pembelian bahan pangan karena bahan pangannya dapat dihasilkan sendiri oleh petani. Pemukiman teratur atau real estate mengalami peningkatan sebesar 7.7 ha (0.2%). Di wilayah perkotaan yang sedang tumbuh, persaingan dalam penggunaan lahan menjadi sangat keras karena banyak alternatif keperluan penggunaan, salah satunya untuk kawasan real estate. Peningkatan jumlah kelompok golongan berpendapatan menengah hingga atas diwilayah perkotaan berakibat pada semakin tingginya permintaan terhadap pemukiman-pemukiman teratur. Kawasan industri serta kawasan pendidikan dan perkantoran masingmasing meningkat sebesar 8.9 ha (0.2%) dan 1.9 ha (0.04%). Masalah yang dihadapi suatu kota adalah bagaimana bisa meningkatkan kinerja kota sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian serta melengkapi sarana prasarana kota untuk melayani warganya secara memuaskan. Upaya yang dilakukan pemerintah yaitu dengan penyediaan berbagai fasilitas yang sesuai dengan tuntutan kehidupan. Penggunaan/penutupan lahan lain yang mengalami penurunan adalah kolam yaitu sebesar 4.1 ha (0.1%). Sebagai salah satu daerah penghasil benih atau bibit ikan terbesar di Jawa Barat, penurunan ini perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Selain kolam, ladang pun mengalami penurunan sebesar 7.3 ha (0.2%). Penurunan ini disebabkan oleh alih fungsi ladang menjadi lahan terbangun dan lahan tidak produktif.

26 Sawah mengalami penurunan sebesar 59.5 ha (1.2%). Perkembangan sektor industri, meningkatnya aktivitas dan ragam spesialisasi di luar bidang pertanian serta pertambahan jumlah penduduk yang antara lain disebabkan oleh adanya urbanisasi, akan mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap lahan pertanian dan memicu terjadinya pergeseran pola penggunaan lahan. Kondisi tersebut pada gilirannya mengakibatkan peranan sektor pertanian terutama sawah yang semula mendominasi perekonomian wilayah telah bergeser ke sektor non pertanian. Luas Perubahan (Ha) 150 100 50 0-50 -100 24,5-4,1-7,3 7,7 120,3 Gambar 13. Luas Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010-2012 Tabel 7 memberikan gambaran informasi perubahan penggunaan /penutupan lahan periode tahun 2010-2012 dan merupakan penjelasan yang lebih mendalam terhadap informasi yang terdapat pada Gambar 13. Pada periode tahun 2010-2012, lahan terbangun yang terdiri dari pemukiman teratur, pemukiman tidak teratur, kawasan industri, serta kawasan pendidikan dan perkantoran tidak mengalami perubahan ke penggunaan lahan lainnya. Jika suatu lahan telah dibangun untuk pemukiman, industri, pabrik, atau pendidikan, maka akan sulit sekali untuk berubah menjadi penggunaan lahan lainnya, misalnya pertanian. Penggunaan/penutupan lahan lain yang tidak mengalami perubahan adalah sungai, luasannya dari periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 adalah tetap sebesar 36.42 ha. Kebun campuran dan sawah berubah paling besar menjadi pemukiman tidak teratur dengan luas masing-masing sebesar 54.4 ha dan 31.3 ha. Lahan sebagai suatu sumberdaya yang ketersediaanya bersifat fixed (tetap), sementara permintaan terhadap lahan cenderung semakin meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk. Hal ini mengakibatkan lahan pertanian terkonversi ke non pertanian dan ini banyak terjadi di wilayah pinggiran kota (urban fringe), dimana pada daerah-daerah yang produktivitas tanahnya cukup tinggi untuk tanaman pangan, areal perumahan berkembang sangat pesat. Posisi tawar penggunaan perumahan yang jauh lebih tinggi dari penggunaan tanaman pangan, menyebabkan penggunaan perumahan dapat dengan mudah memenangkan arena kompetisi penggunaan lahan. Hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah, agar lahan sawah tidak terus mengalami penurunan atau konversi, mengingat kebutuhan beras Kota Sukabumi dalam setiap tahunnya mencapai 68606 ton. Sedangkan produksi beras Kota Sukabumi dalam setiap tahunnya hanya mencapai 8,9 Penggunaan/Penutupan Lahan Kebun Campuran Kolam Ladang Pemukiman Teratur Pemukiman Tidak Teratur Kawasan Industri Kawasan Pendidikan dan Perkantoran Lahan Tidak Produktif Sawah Sungai 1,9-92,4-59,5 0,0

34000 ton, atau hanya dapat memenuhi kebutuhan sekitar 50 persen. Dengan demikian, dalam setiap tahunnya Kota Sukabumi kekurangan beras sekitar 50 persen dari total kebutuhan (data Dinas Pertanian, Perikanan dan Ketahanan Pangan Kota Sukabumi). Kolam berubah paling besar menjadi sawah yaitu sebesar 5.2 ha. Hal ini diduga karena perselingan antara sistem pertanian petani yaitu tanam padi dan pembiakan ikan. Sebagian petani memanfaatkan lahan sawah mereka pasca memanen gabah dengan merubahanya menjadi kolam ikan. Hal ini dapat memberikan keuntungan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup petani, selain itu perselingan antara kolam dan sawah dapat memutus mata rantai hama. Kolamkolam ini awalnya adalah sawah yang kemudian dijadikan kolam dan hal ini berlangsung setiap tahunnya, sehingga dominasi dari perubahan penggunaan lahan kolam adalah menuju ke sawah. Ladang berubah paling besar menjadi lahan tidak produktif yaitu sebesar 3.85 ha. Hal ini diduga lahan-lahan tersebut ditinggal oleh pemiliknya dan menjadi lahan-lahan guntai, atau lahan tersebut merupakan lahan transisi sebelum diubah menjadi lahan terbangun. Lahan tidak produktif berubah paling besar menjadi kebun campuran yaitu sebesar 72.1 ha. Lahan tidak produktif biasanya merupakan lahan transisi dari suatu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya. Lahan ini bisa saja dimanfaatkan untuk kebun campuran atau bahkan dikonversi menjadi lahan terbangun. Namun berdasarkan angka tersebut, perubahan menjadi kebun campuran adalah yang terbesar. Hal ini juga disebabkan lahan tidak produktif ini masih dapat dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan sebagai usaha dalam mengusung lahan pertanian berkelanjutan. Tabel 7. Matriks Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010-2012 27 Penggunaan/ Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2012 Penutupan Lahan Tahun Kcr Klm Ldg Ptr Ptt Ind Pnd Ltp Swh Sng Jml 2010 Kcr 866.4 54.4 0.7 0.5 5.3 927.3 Klm 1.3 65.8 1.3 1.7 5.2 75.1 Ldg 4.6 3.0 0.5 3.9 11.9 Ptr 124.1 124.1 Ptt 1424.9 1424.9 Ind 133.3 133.3 Pnd 79.5 79.5 Ltp 72.1 1.4 7.7 30.3 4.4 1.4 280.7 398.0 Swh 12.0 3.9 31.3 3.4 14.0 1573.4 1638.0 Sng 36.4 36.4 Jml 951.8 71.1 4.6 131.8 1545.2 142.2 81.4 305.6 1578.5 36.4 4848.6 ket: kcr=kebun campuran, klm=kolam, ldg=ladang, ptr= pemukiman teratur, ptt= pemukiman tidak teratur, ind= kawasan industri, pnd= kawasan pendidikan dan perkantoran, ltp=lahan tidak produktif, swh=sawah, sng=sungai. Secara umum, terdapat tiga pola perubahan penggunaan/penutupan lahan terbesar pada periode tahun 2010-2012 di wilayah Kota Sukabumi (Tabel 8). Perubahan pertama yaitu perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun sebesar 93.8 ha atau sekitar 1.9%. Perkembangan suatu kota ditandai dengan semakin berkurangnya lahan kosong di dalam kota. Hal ini disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk di daerah kota baik secara alamiah maupun akibat urbanisasi yang diiringi oleh semakin tingginya kebutuhan akan ruang, terutama untuk pemukiman. Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya

28 persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian. Persaingan dalam pemanfaatan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu: (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Di setiap wilayah, luas lahan yang tersedia relatif tetap sehingga pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kelangkaan lahan yang dapat dialokasikan untuk kegiatan pertanian maupun non pertanian. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian lebih tinggi disbanding permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Meningkatnya kelangkaan lahan yang dibarengi dengan meningkatnya permintaan lahan pada akhirnya menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian. Perubahan kedua yaitu perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian sebesar 72.1 ha (1.5%). Akibat pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita, maka kebutuhan bahan pangan terus mengalami peningkatan. Untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan tersebut, salah satu upaya adalah dengan melakukan pemberdayaan pertanian pada lahan kering. Meskipun secara produktivitas, usahatani padi sawah jauh lebih tinggi dibandingkan usahatani lahan kering namun pemberdayaan lahan kering tidak produktif ini dirasa cukup menguntungkan bagi para petani. Petani dapat mengurangi biaya pengeluaran rumah tangga untuk pembelian bahan pangan karena bahan pangan tersebut dapat dihasilkan sendiri oleh petani melalui usahatani lahan kering seperti kebun campuran untuk menanam sayur dan buahbuahan. Perubahan ketiga yaitu perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun sebesar 43.8 ha (0.9%). Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan dengan semakin beragamnya fungsi di kawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa, serta industri. Atas dasar hal tersebut, menjadi mudah dipahami jika meningkatnya aktivitas pembangunan dan perekonomian akan mengakibatkan permintaan terhadap lahan semakin meningkat. Luasan lahan yang relatif tetap di satu pihak dan permintaan lahan yang terus meningkat di pihak lain, menyebabkan alih guna lahan di suatu wilayah tidak terelakkan. Kondisi tersebut mengakibatkan lahan-lahan yang kurang produktif dialihkan menjadi lahan-lahan yang lebih produktif. Tabel 8. Pola Dominan Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan No Pola Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Luas (Ha) Persentase (%) 1 Lahan Pertanian Lahan Terbangun 93.8 1.9 2 Lahan Tidak Produktif Lahan Pertanian 72.1 1.5 3 Lahan Tidak Produktif Lahan Terbangun 43.8 0.9 Secara keseluruhan, Kota Sukabumi mengalami perubahan penggunaan/penutupan lahan sebesar 259.5 ha atau sekitar 5.4%. Wilayah yang dominan mengalami perubahan dapat dilihat pada sebaran spasial perubahan penggunaan/penutupan lahan (Gambar 14). Berdasarkan Gambar 14, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Cikole, serta Kecamatan Lembursitu mengalami perubahan yang cukup signifikan bila dibandingkan kecamatan lain di Kota Sukabumi. Perubahan pada bagian utara (Kecamatan Gunung Puyuh dan Kecamatan Cikole) cenderung didominasi oleh lahan terbangun, sedangkan di bagian selatan (Kecamatan Lembursitu) cenderung didominasi oleh lahan-lahan

pertanian seperti kebun campuran. Sebagai wilayah pusat dari Kota Sukabumi, perubahan tutupan lahan di Kecamatan Cikole lebih didominasi oleh perubahan menuju lahan terbangun sedangkan dari segi aksesibilitas, Kecamatan Gunung Puyuh memiliki akses yang lebih dekat dengan pusat kota bila dibandingkan Kecamatan Lembursitu. Kecamatan-kecamatan di bagian selatan masih didominasi oleh lahan-lahan pertanian dan perubahan lahan ke kawasan terbangun tidak terlalu tinggi. Jumlah penduduk di kecamatan bagian selatan cenderung lebih rendah bila dibandingkan kecamatan di bagian utara, sehingga kebutuhan area pemukiman relatif lebih rendah. 29 Gambar 14. Sebaran Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2010-2012 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Analisis faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan/penutupan lahan menggunakan data perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian, lahan pertanian menjadi lahan terbangun, dan lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun. Pola perubahan tersebut dipilih karena cukup mewakili perubahan yang terjadi di Kota Sukabumi secara keseluruhan, dimana perubahan lainnya tidak terlalu signifikan. Untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan/penutupan lahan digunakan analisis regresi berganda (multiple regression) dengan metode forward stepwise. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua variabel yang digunakan memiliki pengaruh nyata dalam perubahan penggunaan/penutupan lahan. Variabel-variabel yang digunakan tertera pada bab metode penelitian.

30 1. Perubahan Lahan Tidak Produktif Menjadi Lahan Pertanian Perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian disimbolkan dengan Y1. Berdasarkan hasil analisis, terdapat beberapa variabel yang memiliki pengaruh sangat nyata dengan nilai p-level kurang dari 5% yaitu luas lahan tidak produktif tahun 2010, alokasi lahan terbangun, jarak ke fasilitas ekonomi, jarak ke fasilitas pendidikan, serta Indeks Perkembangan Desa (IPD) (Tabel 9). Pada model tersebut, didapatkan nilai R 2 sebesar 0.928. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut mampu menjelaskan keragaman data sebesar 92.8% dan pemilihan variabel penduga yang mempengaruhi variabel tujuan sudah relatif tepat. Variabel yang memiliki nilai koefisien terbesar adalah luas lahan tidak produktif tahun 2010 dengan nilai koefisiensi sebesar 0.755, artinya semakin luas lahan tidak produktif di suatu wilayah maka lahan yang dapat dimanfaatkan menjadi lahan pertanian akan semakin tinggi. Variabel dengan nilai koefisien terbesar kedua adalah alokasi lahan terbangun dengan nilai koefisien sebesar -0.403, artinya semakin rendah alokasi lahan terbangun yang direncanakan oleh pemerintah di suatu wilayah maka lahan tidak produktif yang ada masih berpotensi dimanfaatkan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat. Selanjutnya adalah Indeks Perkembangan Desa (IPD) dengan nilai koefisien sebesar 0.383, artinya semakin tinggi nilai IPD suatu wilayah maka lahan tidak produktif berpotensi dimanfaatkan menjadi lahan pertanian terutama di wilayah yang memiliki ketersediaan fasilitas pertanian yang memadai. Variabel yang memiliki pengaruh sangat nyata lainnya adalah jarak ke fasilitas pendidikan dengan nilai koefisiensi sebesar 0.352, artinya semakin jauh jarak suatu lahan dengan fasilitas pendidikan maka lahan tidak produktif masih berpotensi dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Hal ini karena lahan pertanian pada umumnya terletak di lahan yang jauh dari pusat kota, sedangkan fasilitas pendidikan pada umumnya berlokasi di wilyah pusat kota atau di kecamatan dimana lahan-lahan di sekitanya sudah didominasi oleh lahan terbangun. Variabel lainnya adalah jarak ke fasilitas ekonomi dengan nilai koefisien sebesar -0.337, artinya semakin dekat suatu lahan dengan fasilitas ekonomi, maka lahan tidak produktif semakin berpotensi dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Hal ini karena semakin dekat dengan fasilitas ekonomi seperti pasar permanen maupun semi permanen, masyarakat lebih memahami kebutuhan pasar atau seberapa besar permintaan pasar akan bahan pangan khususnya sayur-sayuran dan buah-buahan. Sehingga masyarakat terdorong untuk memanfaatkan lahan tidak produktif yang ada menjadi lahan pertanian dengan harapan masyarakat mendapat keuntungan dari usaha tersebut. Selain itu, kedekatan aksesibilitas dengan fasilitas ekonomi memudahkan masyarakat dalam mendistribusikan hasil-hasil pertanian mereka dimana semakin dekat jarak lahan dengan fasilitas ekonomi maka semakin mudah hasil pertanian didistribusikan dan semakin besar keuntungan yang dapat diperoleh oleh masyarakat.

Tabel 9. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahan Tidak Produktif menjadi Lahan Pertanian Beta Std.Err. p-level of Beta Intercept 0.115 Luas lahan tidak produktif tahun 2010 0.755 0.129 0.000 Jarak desa ke kecamatan 0.079 0.147 0.603 Alokasi lahan terbangun -0.403 0.158 0.029 Jarak ke fasilitas ekonomi -0.337 0.110 0.012 Jarak ke fasilitas pendidikan 0.352 0.113 0.011 Pertumbuhan fasilitas sosial -0.102 0.093 0.302 Indeks Perkembangan Desa 0.383 0.151 0.030 Luas lahan terbangun tahun 2010 0.286 0.165 0.114 Pertambahan penduduk -0.141 0.106 0.212 R 2 perubahan lahan tidak produktif lahan pertanian 0.928 2. Perubahan Lahan Pertanian Menjadi Lahan Terbangun Perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun disimbolkan dengan Y2. Berdasarkan hasil analisis, terdapat beberapa variabel yang memiliki pengaruh sangat nyata dengan nilai p-level kurang dari 5% yaitu pertambahan penduduk, jarak ke fasilitas kesehatan, jarak desa ke kecamatan, serta luas lahan terbangun tahun 2010 (Tabel 10). Pada model tersebut, didapatkan nilai R 2 sebesar 0.683. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut hanya mampu menjelaskan keragaman data sebesar 68.3%. Variabel yang memiliki nilai koefisien terbesar adalah pertambahan penduduk dengan nilai koefisiensi sebesar 0.405, artinya semakin tinggi pertambahan jumlah penduduk maka potensi terkonversinya lahan pertanian menjadi lahan terbangun akan semakin besar. Pertambahan penduduk mengakibatkan semakin tingginya kebutuhan akan ruang, terutama untuk pemukiman Varabel yang memiliki nilai koefisien terbesar kedua adalah jarak ke fasilitas kesehatan dengan nilai koefisien sebesar -0.386, artinya semakin dekat jarak suatu lahan dengan fasilitas kesehatan maka lahan pertanian tersebut akan semakin berpotensi terkonversi menjadi lahan terbangun. Hal ini karena adanya backward linkage effects dari adanya fasilitas kesehatan tersebut, misalnya apabila suatu lahan dekat dengan rumah sakit maka lahan tersebut berpotensi besar terkonveri menjadi lahan terbangun misalnya toko buah-buahan atau toko bunga. Selain itu, fenomena ini dapat dijelaskan dengan teori aglomerasi dimana terjadinya pemusatan atau pengumpulan berbagai aktivitas pada suatu lokasi yang sama. Sehingga ketersediaan fasilitas kesehatan dapat memicu perkembangan fasilitas-fasilitas lain di lokasi tersebut. Suatu lahan yang semakin mendekati areal terbangun maka makin banyak sifat kekotaan yang akan muncul. Semakin ke kota semakin rendah prospek keberlanjutan usahatani. Variabel lainnya adalah luas lahan terbangun tahun 2010 dengan nilai koefisien sebesar 0.380, artinya semakin tinggi penggunaan lahan terbangun di suatu wilayah maka lahan pertanian yang ada semakin berpotensi terkonversi menjadi lahan terbangun pula. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Hal tersebut disebabkan oleh aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin kondusif karena lahan-lahan disekitarnya sudah 31

32 berubah menjadi lahan terbangun seperti perumahan maupun industri yang akhirnya mendorong lahan pertanian disekitarnya untuk berubah menjadi lahan terbangun karena meningkatnya permintaan lahan oleh investor. Selanjutnya adalah variabel jarak desa ke kecamatan dengan nilai koefisien sebesar 0.304, artinya semakin jauh jarak suatu lahan di desa ke kecamatan maka potensi terkonversinya lahan pertanian menjadi lahan terbangun akan semakin tinggi. Hal ini karena, semakin jauh jarak dengan pemerintahan maka kontrol pemerintah akan semakin lemah sehingga para investor atau spekulan tanah akan semakin leluasa untuk mengkonversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Tabel 10. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahan Pertanian menjadi Lahan Terbangun Beta Std.Err. p-level of Beta Intercept 0.086 Alokasi lahan terbangun 0.214 0.195 0.284 Pertambahan penduduk 0.405 0.126 0.004 Jarak ke fasilitas kesehatan -0.386 0.145 0.014 Jarak desa ke kecamatan 0.304 0.133 0.031 Luas lahan terbangun tahun 2010 0.380 0.161 0.026 Jarak ke fasilitas ekonomi 0.156 0.141 0.277 R 2 perubahan lahan pertanian lahan terbangun 0.683 3. Perubahan Lahan Tidak Produktif Menjadi Lahan Terbangun Perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun disimbolkan dengan Y3. Berdasarkan hasil analisis, terdapat beberapa variabel yang memiliki pengaruh sangat nyata dengan nilai p-level kurang dari 5% yaitu pertambahan penduduk, jarak desa ke kecamatan, dan luas lahan tidak produktif tahun 2010. Adapun variabel yang memiliki pengaruh nyata dengan nilai p-level kurang dari 10% adalah luas lahan terbangun tahun 2010 dan jarak ke fasilitas kesehatan (Tabel 11). Pada model tersebut, didapatkan nilai R 2 sebesar 0.546. Hal ini menunjukkan bahwa model tersebut hanya mampu menjelaskan keragaman data sebesar 54.6%. Variabel pertama adalah pertambahan penduduk dengan nilai koefisien sebesar 0.386, artinya semakin tinggi pertambahan jumlah penduduk maka lahan tidak produktif akan semakin berpotensi terkonversi menjadi lahan terbangun. Di setiap wilayah, luas lahan yang tersedia relatif tetap sehingga pertambahan jumlah penduduk akan mengakibatkan persaingan dalam pemanfaatan lahan. Variabel kedua adalah luas lahan tidak produktif tahun 2010 dengan nilai koefisien sebesar 0.380, artinya semakin tinggi ketersediaan lahan tidak produktif di suatu wilayah maka semakin besar pula lahan yang dapat dikonversi menjadi lahan terbangun. Variabel lainnya adalah jarak desa ke kecamatan dengan nilai koefisien sebesar 0.359, artinya semakin jauh jarak suatu lahan di desa ke kecamatan maka potensi terkonversinya lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun akan semakin tinggi. Hal ini karena, semakin jauh jarak dengan pemerintahan maka kontrol pemerintah akan semakin lemah sehingga para investor atau spekulan

tanah akan semakin leluasa untuk mengkonversi lahan kosong menjadi lahan terbangun. Variabel berikutnya adalah jarak ke fasilitas kesehatan dengan nilai koefisien sebesar -0.390, artinya semakin dekat jarak suatu lahan dengan fasilitas kesehatan maka lahan tidak produktif tersebut akan semakin berpotensi terkonversi menjadi lahan terbangun. Lahan yang semakin mendekati areal terbangun maka makin banyak sifat kekotaan yang akan muncul. Variabel terakhir adalah luas lahan terbangun tahun 2010 dengan nilai koefisien sebesar 0.287, artinya semakin tinggi penggunaan lahan terbangun di suatu wilayah makan lahan tidak produktif yang ada akan semakin berpotensi terkonversi menjadi lahan terbangun pula. Tabel 11. Hasil Analisis Regresi Berganda untuk Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Lahan Tidak Produktif menjadi Lahan Terbangun Beta Std.Err. p-level of Beta Intercept 0.204 Pertambahan penduduk 0.386 0.147 0.015 Jarak desa ke kecamatan 0.359 0.156 0.031 Luas lahan terbangun tahun 2010 0.287 0.148 0.066 Luas lahan tidak produktif tahun 2010 0.380 0.183 0.050 Jarak ke fasilitas kesehatan -0.390 0.198 0.062 Jarak ke fasilitas pendidikan 0.271 0.163 0.110 R 2 perubahan lahan tidak produktif lahan terbangun 0.546 33 Tingkat Perkembangan Wilayah Tingkat perkembangan wilayah desa/kelurahan di Kota Sukabumi dapat dilihat dengan analisis skalogram. Terdapat 35 variabel yang digunakan dalam menentukan tingkat perkembangan wilayah Kota Sukabumi tahun 2009 dan 2012 yang dikelompokkan dalam 4 indeks yaitu indeks fasilitas ekonomi, fasilitas pendidikan, fasilitas sosial, serta fasilitas kesehatan. Analisis skalogram ini menghasilkan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD), dimana semakin tinggi nilai IPD maka semakin tinggi tingkat perkembangan wilayahnya. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPD berarti semakin rendah tingkat perkembangan wilayahnya. Berdasarkan hasil analisis untuk tingkat perkembangan wilayah Kota Sukabumi tahun 2009, nilai IPD tertinggi dimiliki oleh Kelurahan Nyomplong yaitu sebesar 72.69. Sedangkan nilai IPD terendah dimiliki oleh Kelurahan Cisarua yaitu sebesar 8.91 (Tabel 12). Hal ini mencerminkan bahwa kondisi kehidupan masyarakat di Kelurahan Nyomplong, berdasarkan variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan IPD lebih baik dari pada keluarahankelurahan lain di Kota Sukabumi. Sementara itu, Kelurahan Cisarua berdasarkan variabel-variabel yang sama, merupakan wilayah kelurahan dengan kondisi kehidupan masyarakat yang paling rendah diantara kelurahan-kelurahan lain di Kota Sukabumi. Tingkat perkembangan wilayah Kota Sukabumi tahun 2012 dapat dilihat paa Tabel 13. Nilai IPD tertinggi dimiliki oleh Kelurahan Gunung Parang yaitu sebesar 73.93, sedangkan nilai IPD terendah dimiliki oleh Kelurahan Cisarua

34 yaitu sebesar 13.40. Sebanyak 15 kelurahan mengalami penurunan nilai IPD dan 18 kelurahan mengalami peningkatan nilai IPD. Peningkatan/penurunan nilai IPD mencerminkan bahwa pembangunan yang terjadi masih belum merata. Tabel 12. Nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) Tiap Kelurahan Tahun 2009 Kecamatan Kelurahan IPD Kecamatan Kelurahan IPD Baros Sudajaya Hilir 14.95 Gunung Puyuh Karang Tengah 15.42 Jayamekar 20.36 Gunung Puyuh 26.36 Jayaraksa 18.40 Sriwidari 15.51 Baros 24.91 Karamat 32.30 Warudoyong Dayeuhluhur 12.83 Cikole Gunung Parang 60.71 Warudoyong 20.09 Kebonjati 32.55 Nyomplong 72.69 Cikole 58.21 Benteng 24.08 Selabatu 31.14 Sukakarya 21.63 Cisarua 8.91 Cibeureum Sindangpalay 13.98 Subangjaya 19.61 Limusnunggal 21.80 Lembursitu Lembursitu 21.64 Babakan 24.07 Situmekar 26.73 Cibeureum Hilir 14.05 Cipanengah 25.36 Citamiang Cikondang 17.62 Cikundul 24.67 Gedong Panjang 16.63 Sindangsari 19.23 Citamiang 16.33 Nanggeleng 12.53 Tipar 17.41 Tabel 13. Nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) Tiap Kelurahan Tahun 2012 Kecamatan Kelurahan IPD Kecamatan Kelurahan IPD Baros Sudajaya Hilir 20.59 Gunung Puyuh Karang Tengah 15.60 Jayamekar 32.03 Gunung Puyuh 27.09 Jayaraksa 22.08 Sriwidari 16.98 Baros 22.41 Karamat 30.21 Warudoyong Dayeuhluhur 25.91 Cikole Gunung Parang 73.93 Warudoyong 32.88 Kebonjati 36.60 Nyomplong 30.41 Cikole 55.78 Benteng 29.28 Selabatu 34.46 Sukakarya 27.89 Cisarua 13.40 Cibeureum Sindangpalay 25.51 Subangjaya 19.85 Limusnunggal 20.14 Lembursitu Lembursitu 25.91 Babakan 13.73 Situmekar 32.88 Cibeureum Hilir 18.80 Cipanengah 30.41 Citamiang Cikondang 20.69 Cikundul 29.28 Gedong Panjang 19.05 Sindangsari 27.89 Citamiang 22.34 Nanggeleng 13.53 Tipar 15.15 Analisis skalogram mengelompokkan wilayah-wilayah ke dalam hirarkihirarki dengan kriteria sebagaimana disampaikan pada metode analisis. Pengelompokkan ini menghasilkan tiga hirarki wilayah yaitu hirarki I, hirarki II, dan hirarki III. Hirarki I didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, hirarki II didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, sedangkan hirarki III didefinisikan dengan tingkat perkembangan rendah. Dari 33 kelurahan yang ada di Kota Sukabumi, 3 kelurahan termasuk dalam hirarki I, 8 kelurahan masuk dalam hirarki II, dan 22

kelurahan masuk dalam hirarki III baik pada tahun 2009 maupun tahun 2012 (Tabel 14). Banyaknya kelurahan di Kota Sukabumi yang merupakan wilayah dengan hirarki III, menandakan bahwa penyebaran fasilitas-fasilitas yang ada cenderung memusat. Paradigma pembangunan yang selama ini dianut di Indonesia yaitu Teori Pemusatan tercermin dari sebaran hirarki tersebut. Tabel 14. Tingkat Hirarki di Kota Sukabumi Kecamatan Jumlah Kelurahan 35 Hirarki I II III 2009 2012 2009 2012 2009 2012 Baros 4 0 0 1 1 3 3 Lembursitu 5 0 0 3 4 2 1 Cibeureum 4 0 0 0 0 4 4 Citamiang 5 0 0 0 0 5 5 Warudoyong 5 1 1 0 0 4 4 Gunung Puyuh 4 0 0 2 1 2 3 Cikole 6 2 2 2 2 2 2 Jumlah 33 3 3 8 8 22 22 Sebaran wilayah berdasarkan hirarki tahun 2009 dan 2012 dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Gambar tersebut menunjukan bahwa tidak semua kecamatan mempunyai pusat-pusat aktifitas atau adanya hirarki I di setiap kecamatan tersebut. Penyebaran hirarki-hirarki wilayah tersebut mempunyai pola yang tidak merata atau memusat pada wilayah-wilayah tertentu. Menurut Rustiadi et al., (2009) aspek spasial merupakan fenomena alami, sehingga jika perkembangan suatu wilayah dipengaruhi oleh wilayah sebelahnya atau lebih dekat adalah hal yang wajar. Hal ini dikarenakan telah terjadinya interaksi sosial ekonomi dari dua wilayah tersebut. Dua dari tiga kelurahan yang merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan hirarki I berada pada Kecamatan Cikole. Hal ini dikarenakan Kecamatan Cikole merupakan wilayah yang dijadikan Central Business District dari Kota Sukabumi. Untuk wilayah hirarki II berada pada Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Lembursitu, Kecamatan Baros, dan Kecamatan Cikole, sedangkan untuk wilayah hirarki III berada menyebar di setiap kecamatan. Wilayah yang mengalami perubahan hirarki dari tahun 2009 ke tahun 2012 adalah Kelurahan Jayamekar, Kelurahan Sindangsari, Kelurahan Baros, serta Kelurahan Gunung Puyuh. Kelurahan Jayamekar dan Kelurahan Sindangsari mengalami perubahan dari hirarki III pada tahun 2009 menjadi hirarki II pada tahun 2012. Hal ini dikarenakan Kelurahan Jayamekar dan Kelurahan Sindangsari mengalami peningkatan jumlah dan jenis fasilitas yang tersedia antara lain peningkatan posyandu, industri makanan dan minuman, restoran, warung internet, surau, taman kanak-kanak, apotek, industri gerabah, dan pasar permanen/semi permanen. Sebaliknya, Kelurahan Baros dan Kelurahan Gunung Puyuh mengalami perubahan dari hirarki II pada tahun 2009 menjadi hirarki III pada tahun 2012. Penurunan hirarki ini disebabkan oleh peningkatan jumlah dan jenis fasilitas yang terjadi di kedua kelurahan tersebut tidak setinggi peningkatan jumlah dan jenis fasilitas di kelurahan lain, atau dalam kata lain peningkatan yang terjadi tidak terlalu signifikan (Lampiran 4 dan 5).

36 Gambar 15. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Sukabumi Tahun 2009 Gambar 16. Sebaran Spasial Hirarki Wilayah Kota Sukabumi Tahun 2012

37 Keterkaitan Antara Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan dengan Tingkat Perkembangan Wilayah Keterkaitan antara perubahan penggunaan/penutupan lahan dengan tingkat perkembangan wilayah dapat dilihat pada Gambar 17. Perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian terjadi pada wilayah-wilayah hirarki II dan III. Pada wilayah dengan tingkat perkembangan hirarki I tidak terjadi perubahan dari lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian. Hal ini karena wilayah dengan hirarki I merupakan wilayah pusat kota dengan aktivitas utama bukan pada bidang pertanian melainkan aktivitas non pertanian seperti pemerintahan, perkantoran, kesehatan, pemukiman, serta perdagangan dan jasa, sehingga perubahan dari lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian tidak terjadi. Masyarakat atau investor akan lebih tertarik untuk mengubah lahan-lahan tidak produktif tersebut menjadi kawasan terbangun. Sedangkan rata-rata perubahan terbesar terjadi pada wilayah hirarki II. Hal ini karena wilayah berhirarki II memiliki tingkat perkembangan yang lebih baik bila dibandingkan dengan wilayah berhirarki III, sehingga aktivitas yang berlangsung di wilayah tersebut cenderung lebih dinamis dan kompleks. Selain karena luas lahan tidak produktif tersebar paling luas di wilayah hirarki II, sarana prasarana untuk menunjang kegiatan pertanian di wilayah hirarki II pun lebih memadai sehingga aktivitas pertanian yang berlangsung akan lebih mudah dan efektif. Luas Rata-Rata Perubahan (Ha) 14 12 10 8 6 4 2 0 13,7 5,0 0,0 1 2 3 (a) Luas Rata-Rata Perubahan (Ha) 4 3 3 2 2 1 1 0 3,1 2,8 1,9 1 2 3 (b) Luas Rata-Rata Perubahan (Ha) 2 1 1 1 1 1 0 0 0 1,5 1,6 0,1 1 2 3 (c) Gambar 17. Luas Rata-Rata Perubahan Pada Tiap Hirarki Wilayah (a: lahan tdk produktif lahan pertanian, b: lahan pertanian lahan terbangun, c: lahan tidak produktif lahan terbangun) Perubahan dari lahan pertanian menjadi lahan terbangun dan lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun terjadi pada semua wilayah hirarki. Rata-rata perubahan tertinggi terjadi pada wilayah hirarki III. Hirarki I tidak mengalami perubahan penggunaan lahan yang tinggi. Hal ini diduga karena lahan di wilayah tersebut terbatas dan penggunaan lahannya didominasi oleh ruang terbangun yang digunakan untuk aktivitas ekonomi dan sosial, sehingga peluang untuk mengalami

38 konversi lahan lebih kecil. Bahkan suatu saat akan mengalami kondisi jenuh atau tidak mengalami perubahan sama sekali karena tidak ada lagi lahan yang bisa dikonversi. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah yang memiliki hirarki rendah banyak mengalami peningkatan penggunaan lahan terbangun. Hal ini diduga karena di wilayah tersebut ketersediaan lahannya masih sangat luas dan harga lahannya relatif lebih murah sehingga berpotensi lebih besar untuk mengalami konversi lahan dari penggunaan lahan non terbangun menjadi penggunaan lahan terbangun. Konsistensi/Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2012 dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2011-2031 Analisis konsistensi/inkonsistensi penggunaan lahan terhadap RTRW dilakukan untuk mengetahui apakah penggunaan lahan aktual sudah sesuai dengan RTRW yang telah disusun sebagai dasar atau pedoman pelaksanaan pemanfaatan ruang. Analisis dilakukan dengan mengoverlay peta RTRW Kota Sukabumi tahun 2011-2031 (Gambar 18) dengan peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2012. Hasil overlay tersebut menghasilkan sebaran spasial konsistensi/inkonsistensi pemanfaatan ruang Kota Sukabumi Tahun 2012 (Gambar 19). Kriteria konsistensi/inkonsistensi dapat dikelompokkan menjadi konsisten, konsisten belum terbangun, dan inkonsisten. Suatu penggunaan lahan dianggap Konsisten apabila suatu penggunaan lahan aktual (Tahun 2012) tetap sama dengan penggunaan lahan yang direncanakan. Suatu penggunaan lahan dianggap Konsisten Belum Terbangun apabila suatu penggunaan lahan diperutukkan sebagai lahan terbangun, namun saat ini masih berupa lahan pertanian, kolam, atau lahan tidak produktif. Suatu penggunaan lahan dianggap Inkonsisten apabila suatu penggunaan lahan aktual (Tahun 2012) tidak sesuai dengan penggunaan lahan yang diperuntukan menurut RTRW, seperti lahan terbangun yang seharusnya dialokasikan sebagai hutan kota. Gambar 18 menunjukkan sebaran spasial alokasi RTRW 2011-2031 Kota Sukabumi. Alokasi RTRW lebih mengarah pada penggunaan lahan terbangun, antara lain alokasi untuk pemukiman kepadatan rendah sebesar 1180.1 ha (24.3%), perdagangan dan jasa sebesar 1016.7 ha (21%), pemukiman kepadatan sedang sebesar 888.1 ha (18.3%), dan pemukiman kepadatan tinggi sebesar 560 ha (11.5%). Alokasi untuk lahan terbangun menyebar di seluruh kecamatan. Alokasi untuk pemukiman kepadatan sedang dan kepadatan tinggi tersebar di kecamatan di bagian utara seperti Kecamatan Cikole, Kecamatan Citamiang, Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Warudoyong, serta Kecamatan Cibeureum. Pemukiman kepadatan rendah tersebar di bagian selatan Kota Sukabumi yaitu di Kecamatan Baros dan Kecamatan Lembursitu. Untuk sektor perdagangan dan jasa terfokus di Kecamatan Cikole, Kecamatan Cibeureum, dan Kecamatan Warudoyong. Luas alokasi rencana tata ruang Kota Sukabumi tahun 2011-2031 disajikan pada Tabel 15.

39 Gambar 18. Sebaran Alokasi Ruang Berdasarkan RTRW Kota Sukabumi Tabel 15. Alokasi Rencana Tata Ruang Kota Sukabumi Tahun 2011-2031 Alokasi RTRW Luas (Ha) Alokasi RTRW Luas (Ha) Hutan Kota 195.6 Perdagangan dan Jasa 1016.7 Hutan Kota / Lapangan Olah Raga 2.9 Pergudangan 25.4 Industri 84.3 Permukiman Kepadatan Rendah 1180.1 Kawasan HANKAM 81.7 Permukiman Kepadatan Sedang 888.1 Kawasan Penelitian 25.4 Permukiman Kepadatan Tinggi 560.0 Kesehatan 23.5 Pertanian 377.4 Pariwisata 4.9 Sempadan Sungai 146.3 Pemakaman 49.8 Taman Kota 52.1 Pemerintahan / Perkantoran 32.4 Taman Kota / Wisata 4.5 Pendidikan 46.0 Taman Lingkungan Perumahan 51.5 Pada Tabel 16, disajikan matriks antara penggunaan/penutupan lahan tahun 2012 dengan rencana tata ruang wilayah Kota Sukabumi tahun 2011-2031. Analisis yang dilakukan hanya menekankan pada konsistensi/inkonsistensi penggunaan lahan yang mengarah ke perkotaan yaitu lahan terbangun. Hasil analisis menunjukkan adanya penggunaan/penutupan lahan aktual yang inkonsisten dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan. Jenis inkonsistensi terbesar terdapat pada lahan terbangun yang seharusnya diperuntukkan sebagai sempadan sungai sebesar 36 ha. Hal ini tentu tidak sesuai karena sempadan sungai tidak diperbolehkan untuk didirikan bangunan demi menjaga ekosistem dari sungai tersebut. Sempadan sungai masih boleh dimanfaatkan antara lain sebagai bangunan prasarana sumberdaya air, fasilitas jembatan dan darmaga, jalur pipa gas dan air minum, kabel telekomunikasi, serta

40 kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, misalnya menanam tanaman sayur-mayur. Inkonsistensi penggunaan lahan ini terjadi karena harga lahan di wilayah ini relatif lebih murah dan sungainya berbatasan langsung dengan jalan sehingga pemukiman mudah berkembang di wilayah tersebut. Jenis inkonsistensi terbesar lainnya adalah lahan terbangun dimana dalam alokasi RTRW diperuntukan sebagai lahan pertanian yaitu sebesar 24.4 ha. Tabel 16. Matriks Penggunaan Lahan Tahun 2012 dengan RTRW Tahun 2011-2031 Alokasi RTRW Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2012 Kcr Klm Ldg Ltb Ltp Swh Sng Hutan Kota 21.2 Hutan Kota / Lapangan Olah Raga 2.7 Industri 21.5 1.0 29.1 3.5 29.1 Kawasan Hankam 17.8 0.6 43.5 18.5 1.3 Kawasan Penelitian 1.7 8.6 6.2 5.8 0.5 Kesehatan 3.1 10.7 9.7 Pariwisata 2.4 0.4 0.6 0.8 Pemakaman Pemerintahan / Perkantoran 2.1 19.6 2.8 7.9 Pendidikan 6.8 0.3 4.4 0.4 34.1 Perdagangan dan Jasa 132.9 11.2 0.4 635.3 49.4 187.5 Pergudangan 4.2 0.4 5.2 9.0 6.5 Permukiman Kepadatan Rendah 194.0 16.5 1.0 414.6 53.9 495.0 Permukiman Kepadatan Sedang 183.9 11.6 1.0 288.5 42.7 360.3 Permukiman Kepadatan Tinggi 77.8 13.9 2.1 318.0 23.3 124.7 Pertanian 24.4 Sempadan Sungai 36.0 Taman Kota 11.9 Taman Kota / Wisata 0.3 Taman Lingkungan Perumahan 15.0 ket: kcr=kebun campuran, klm=kolam, ldg=ladang, ltb=lahan terbangun, ltp=lahan tidak produktif, swh=sawah, sng=sungai. Nilai konsistensi terbesar terletak pada penggunaan lahan aktual berupa lahan terbangun dengan peruntukkan lahan berupa lahan terbangun yaitu sebesar 1775.8 ha (36.6%) yang terdiri dari kawasan Hankam, kawasan penelitian, kesehatan, pariwisata, pemerintahan/perkantoran, pendidikan, perdagangan dan jasa, pergudangan, pemukiman kepadatan rendah, pemukiman kepadatan sedang, serta pemukiman kepadatan tinggi dengan nilai masing-masing tertera pada Tabel 16. Nilai konsisten belum terbangun terbesar terletak pada penggunaan lahan aktual berupa sawah yang akan dialokasikan untuk lahan terbangun berupa industri, kawasan Hankam, kawasan penelitian, kesehatan, pariwisata, pemerintahan/perkantoran, pendidikan, perdagangan dan jasa, pergudangan, pemukiman kepadatan rendah, pemukiman kepadatan sedang, serta pemukiman kepadatan tinggi sebesar 1257.5 ha (25.9%). Secara keseluruhan, penggunaan lahan tahun 2012 di Kota Sukabumi konsisten untuk peruntukkan lahan terbangun sebesar 1775.8 ha (36.6%), konsisten belum terbangun sebesar 2184.4 ha (45.1%), inkonsisten sebesar 111.5 ha (2.3%), dan sisanya sebesar 16% merupakan alokasi ruang yang tidak mengarah ke penggunaan lahan terbangun. Secara spasial, wilayah yang konsisten untuk peruntukkan lahan terbangun tersebar di bagian utara Kota Sukabumi. Pada wilayah bagian utara (Kecamatan Gunung Puyuh, Kecamatan Cikole, dan Kecamatan Citamiang) didominasi oleh lahan terbangun dimana sesuai dengan peruntukkan lahannya. Wilayah yang konsisten belum terbangun tersebar pula di

bagian barat (Kecamatan Warudoyong), timur (Kecamatan Cibeureum), dan selatan (Kecamatan Lembursitu) Kota Sukabumi, dimana lahan-lahan pertanian di wilayah tersebut sebagian akan dialokasikan untuk lahan terbangun. Sementara wilayah yang inkonsisten dengan RTRW tersebar dibagian selatan Kota Sukabumi (Kecamatan Lembursitu) dimana sebagian lahan terbangun di wilayah tersebut menempati sempadan-sempadan sungai. 41 Gambar 19. Sebaran Spasial Konsistensi/Inkonsistensi Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2012 dengan RTRW Tahun 2011-2031 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Penggunaan/penutupan lahan di Kota Sukabumi didominasi oleh sawah dan pemukiman tidak teratur. Sawah mendominasi sebesar 33.8% pada tahun 2010 dan 32.6% pada tahun 2012, sementara pemukiman tidak teratur mendominasi 29.4% pada tahun 2010 dan 31.9% pada tahun 2012. Sawah tersebar di bagian selatan Kota Sukabumi yang merupakan wilayah

42 pemekaran pada tahun 2000, sedangkan pemukiman tidak teratur tersebar di bagian utara Kota Sukabumi yang merupakan wilayah pusat kota. 2. Penggunaan/penutupan lahan di Kota Sukabumi mengalami perubahan dengan tiga variasi perubahan utama yaitu lahan pertanian menjadi lahan terbangun (1.9%); lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian (1.5%); dan lahan tidak produktif menjadi lahan terbangun (0.9%). 3. Perubahan dari lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian dipengaruhi oleh: ketersediaan lahan tidak produktif, alokasi RTRW, jarak ke fasilitas ekonomi dan pendidikan, serta Indeks Perkembangan Desa. Sementara, perubahan menuju lahan terbangun baik dari lahan pertanian maupun lahan tidak produktif sama-sama dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, jarak ke kecamatan, jarak ke fasilitas kesehatan, serta ketersediaan lahan terbangun. 4. Perubahan lahan tidak produktif menjadi lahan pertanian terjadi pada wilayah hirarki II dan III, sedangkan perubahan menuju lahan terbangun baik dari lahan tidak produktif maupun lahan pertanian terjadi pada semua hirarki. 5. Penggunaan/penutupan lahan tahun 2012 konsisten untuk peruntukkan lahan terbangun sebesar 1775.8 ha (36.6%), konsisten belum terbangun sebesar 2184.4 ha (45.1%), dan inkonsisten sebesar 111.5 ha (2.3%). Saran Fenomena terjadinya perubahan penggunaan lahan di Kota Sukabumi, tidak dipungkiri dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk dan perkembangan sosial ekonomi. Penggunaan atau tata guna lahan yang baik akan menjamin ekosistem yang stabil. Oleh karena itu penggunaannya haruslah direncanakan secara cermat agar dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kehidupan masyarakat banyak. Penetapan lahan sawah abadi dapat menjadi salah satu upaya dalam mencegah tingginya konversi lahan sawah. Semua langkah tersebut perlu didahului dengan komitmen bersama antara berbagai stakeholder. Pemerintah memegang kendali utama diantara stakeholder tersebut sehingga suksesnya usaha penetapan lahan sawah abadi sangat ditentukan oleh kesungguhan pemerintah. DAFTAR PUSTAKA Aronoff S. 1989. Geographic Information System : A Management Perspective. Ottawa, Canada: WDC Publications. Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Pr. Badan Pusat Statistik. 2009. Kota Sukabumi dalam Angka 2009. Sukabumi Badan Pusat Statistik. 2012. Kota Sukabumi dalam Angka 2012. Sukabumi Barlowe R. 1986. Land Resources Economics. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Carolita I. 2005. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Jabotabek [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Bogor (ID): Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 23(1): 1-18. Jayadinata JT. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Bandung (ID) : ITB Pr. Kusnitarini Y. 2006. Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lillesand, T.M dan Kiefer R.W. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan oleh Sutanto. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Mudhofir M. 2010. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Kota Sukabumi, Jawa Barat dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Munibah K. 2008. Model Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pendekatan Celluler Automata: Studi Kasus DAS Cidanau, Provinsi Banten. Majalah Ilmiah Globe. 10 (2) : 108-121 Murai S. 1996. Remote Sensing Note. Japan: Japan Association on Remote Sensing. Nasoetion LI. 1991. Beberapa Permasalahan Pertanahan Nasional dalam Alternatif Kebijaksanaan untuk Menanggulanginya. Jurnal Analisis. Edisi No. 2, tahun 1991. Jakarta (ID): CSIS Pr. Niin. 2010. Dinamika Spasial Penggunaan Lahan Di Kabupaten Katingan dan Kota Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pemerintah Daerah Jawa Barat. 2010. Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jawa Barat Tahun 2009-2029. Bandung. Pontoh NK, Kustiwan A. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung (ID): ITB Pr. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta (ID): Cresspent Pr. Soenardi. 1989. Penafsiran Potret Udara. Jakarta: Akademika Pressindo. Somaatmadja IKD. 2007. Ruang Terbuka Hijau Di Perkotaan: Keberadaannya Perlu Perhatian Serius. Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah dan Kota. 3(2): 22-30. Suryantoro A. 2002. Penggunaan Lahan dengan Foto Udara di Kota Yogyakarta [disertasi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Utoyo B. 2012. Dinamika Penggunaan Lahan di Wilayah Perkotaan (Studi di Kota Bandar Lampung). Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Dies Natalis FISIP Unila Tahun 2012. 142-155. Wahyunto MZ et al,. 2001. Studi Perubahan Penggunaan Lahan Di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 8 Juni 2010: 39-63. Wibowo SC. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap Produksi Beras: Studi Kasus di Jawa Timur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 43

44 Lampiran 1. Citra IKONOS Kota Sukabumi Tahun 2010

Lampiran 2. Citra IKONOS Kota Sukabumi Tahun 2012 45

46 Lampiran 3. Tabel Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan di Lapang Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan Lokasi Gambar Kebun Campuran Lahan Tidak Produktif Kecamatan Warudoyong Kolam Lahan Terbangun Kecamatan Warudoyong Kolam Lahan Tidak Produktif Kecamatan Baros Ladang Lahan Tidak Produktif Kecamatan Baros

47 Lahan Tidak Produktif Lahan Terbangun Kecamatan Gunung Puyuh Sawah Kolam Kecamatan Lembursitu Sawah Lahan Terbangun Kecamatan Warudoyong Lahan Tidak Produktif Kebun Campuran Kecamatan Lembursitu