BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata terdapat 12.760 kasus baru yang terdiagnosis sebagai karsinoma larings di Amerika Serikat dengan perkiraan berdampak 3.560 kasus kematian yang berkaitan dengan keganasan ini tiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 90% merupakan karsinoma sel skuamosa larings (Huang et al., 2012). Insidensi kejadian karsinoma larings di Eropa pada laki-laki sekitar 18 per 100.000 kasus dan 6 per 100.000 kasus pada perempuan tiap tahunnya dengan insidensi rata-rata tidak melebihi 1,5 per 100.000 kasus (Marioni et al., 2006). Pencegahan dan diagnosis dini karsinoma larings memiliki arti terpenting dalam memaksimalkan tingkat kesembuhan dan mempertahankan fungsi normal larings. Penatalaksanaan yang efektif dan pengenalan keganasan larings membutuhkan pengetahuan yang fundamental mengenai struktur anatomi larings yang kompleks karena dengan mengetahui karakter keganasan larings maka diharapkan akan mampu memperkirakan pola klinis dan penyebarannya (Chu dan Kim, 2008). Tipe keganasan larings yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa, baik karsinoma in situ hingga karsinoma dengan diferensiasi buruk. Lokasi keganasan larings paling banyak terjadi pada daerah glotis diikuti supraglotis dan yang paling jarang (hanya berkisar 2% dari seluruh karsinoma sel skuamosa larings) adalah pada subglotis (Hristov dan Bajaj, 2008). 1
2 Masing-masing letak karsinoma larings mempunyai karakteristik tersendiri baik dari proses karsinogenesis maupun dalam penegakkan diagnosis serta pilihan tatalaksana lebih lanjut (Lawson et al, 1984). Faktor risiko terjadi karsinoma larings berkaitan dengan kebiasan merokok dan mengkonsumsi alkohol, bahkan pernah dilaporkan sejumlah penderita keganasan ini yang ternyata 95% adalah perokok dan peminum alkohol. Faktor risiko lainnya adalah kondisi sosial ekonomi yang buruk, pekerjaan yang berhubungan dengan paparan substansi iritatif pada saluran pernapasan, iritasi kronik akibat refluks asam lambung, dan adanya peran Human Pappiloma Virus (HPV). Hubungan HPV dengan karsinoma larings sendiri masih belum jelas, namun prevalensi infeksi HPV terutama subtipe 16 dan 18 ditemukan meningkat pada kasus-kasus karsinoma larings yang mencapai 25% dalam suatu studi meta analisis (Bougnan dan Beitler, 2013). Terdapat pula sejumlah bukti yang menunjukan bahwa faktor genetik berpengaruh terhadap kejadian karsinoma larings dimana adanya anggota keluarga dengan riwayat mengalami keganasan pada daerah kepala leher akan meningkatkan kemungkinan terjadinya keganasan pada larings (Ramroth et al., 2011). Evolusi penatalaksanaan karsinoma larings dapat dibagi menjadi 3 masa yang berbeda. Pertama, penatalaksanaan yang terfokus pada penyembuhan pasien dengan prosedur pembedahan radikal melalui laringektomi total. Kedua, memasuki masa yang berupaya mempertahankan fungsi bersuara dengan menggunakan prinsip bersuara onkologikal pasca pembedahan. Terakhir atau pada masa ketiga, penatalaksanaan yang menitikberatkan pada penggunaan terapi kombinasi antara kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan sehingga
3 memungkinkan tingkat overall 5-year cure rate dapat mencapai hampir 70% (Genden et al., 2007). Saat ini ditemukan beragam faktor yang berpengaruh untuk memperkirakan angka kelangsungan hidup pasien dengan karsinoma larings setelah terdiagnosis. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah usia dan stadium klinis karsinoma larings, sedangkan faktor risiko yang terpenting untuk memperkirakan tingkat mortalitas ialah perkembangan terjadinya rekurensi baik lokal maupun regional. Letak karsinoma pada larings juga dapat digunakan sebagai faktor prognosis dalam memperkirakan angka kelangsungan hidup. Pasien dengan karsinoma pada daerah supraglotis dikatakan memiliki angka kelangsungan hidup yang lebih buruk dibandingkan karsinoma yang terletak pada daerah glotis (Ramroth et al., 2011). Terjadinya insufisiensi kadar oksigen selular atau yang dikenal sebagai hipoksia akan memicu keadaan patologis sehingga terjadi proliferasi sel tumor secara lebih agresif melalui berbagai tahap. Hal tersebut terjadi sebagai upaya selsel tumor untuk meningkatkan konsumsi oksigen sehingga tercukupi (Cao et al., 2009). Daerah hipoksia merupakan salah satu gambaran patofisologis dari berbagai tumor solid dan dapat ditemukan pada hampir seluruh jenis keganasan. Daerah hipoksia ini terbentuk akibat ketidakseimbangan antara ketersediaan dan konsumsi oksigen. Beberapa faktor yang berkontribusi akan terjadinya hipoksia antara lain sistem vaskularisasi tumor yang abnormal dan keterbatasan perfusi jaringan yang diakibatkan sejumlah kondisi seperti anemia sehingga akan menurunkan kapasitas transportasi oksigen dalam darah (Hoogsteen et al., 2007).
4 Hypoxia Inducible Factor 1α (HIF-1α) merupakan akivator transkripsional yang memediasi respon adaptif terhadap kondisi hipoksia. Aktifitas HIF-1α akan meningkat seiring dengan terjadinya gangguan genetik sel-sel tumor dan hipoksia intratumor. HIF-1α akan mengaktifkan gen-gen transkripsi yang mampu meningkatkan avaibilitas O 2 melalui stimulasi angiogenesis ataupun memprogram ulang metabolisme selular sebagai adapatasi keadaan hipoksia (Semenza, 2008). Ikatan kompleks HIF-1 dengan Deoxyribonucleic Acid (DNA) merupakan suatu heterodimer yang dapat dibagi atas 2 subunit yaitu alfa dan beta. Subunit HIF-1α memiliki peran besar dalam mengatur respon penurunan kadar oksigen. Pada keadaan dimana oksigenasi adekuat, subunit ini akan cepat mengalami hidroksilasi dan degradasi sehingga sulit terdeteksi pada jaringan, namun sebaliknya dalam keadaan hipoksia aktifasi HIF-1α akan meningkat untuk menginduksi aktifitas transkripsional yang selanjutnya memicu proliferasi sel, angiogenesis, metabolisme, apoptosis, dan migrasi sel (Winter et al., 2006). B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal penting sebagai berikut: 1. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering ditemukan pada daerah kepala dan leher dengan kecenderungan peningkatan jumlah kasus tiap tahunnya. 2. Karsinoma sel skuamosa pada larings paling sering ditemukan pada daerah glotis.
5 3. Prognosis keganasan ini diperkirakan tergantung dari beberapa faktor antara lain stadium klinis. 4. Hipoksia merupakan kondisi yang hampir terjadi pada seluruh tumor dan memungkinkan tumor menjadi lebih agresif dengan kecenderungan metastasis 5. HIF-1α merupakan protein transkripsional yang berperan dalam peningkatan proliferasi, angiogenesis, metabolisme sel, apoptosis, dan migrasi sel yang berhubungan dengan agresifitas suatu keganasan. 6. Hubungan HIF-1α terhadap stadium klinis pada karsinoma sel skuamosa glotis masih belum jelas. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat hubungan ekspresi protein Hypoxia Inducible Factor 1α dengan stadium klinis pada karsinoma sel skuamosa glotis? D. Tujuan Penelitian Untuk menentukan hubungan ekspresi protein Hypoxia Inducible Factor 1α dengan stadium klinis pada karsinoma sel skuamosa glotis. E. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan asupan dalam menilai hubungan HIF-1α dengan stadium klinis pada karsinoma sel skuamosa glotis yang selanjutnya berguna untuk menentukan peran HIF-1α terhadap karsinogenesis di glotis dan dapat memberikan kontribusi untuk penatalaksanaan keganasan ini lebih lanjut.
6 F. Keaslian Penelitian Sebuah penelitian yang menilai hubungan ekspresi protein HIF-1α dengan stadium klinis pada karsinoma sel skuamosa glotis telah dilakukan dan dipublikasikan. Wu et al. (2010) di China melakukan penelitian hubungan ekspresi protein ini dengan larings secara umum dan menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara HIF-1α dengan karsinoma sel skuamosa larings stadium T3 dan T4 dibandingkan stadium T1 dan T2. Hubungan yang bermakna juga ditemukan pada karsinoma sel skuamosa dengan metastasis ke kelenjar limfe regional dibandingkan dengan yang tanpa terjadinya metastasis regional. Pada penelitian ini, penulis ingin melihat hubungan tersebut secara lebih spesifik dengan karsinoma sel skuamosa yang terletak pada daerah glotis yang notabene memiliki beberapa perbedaan dengan keganasan daerah lain pada larings baik dari sisi embriologi, anatomi-histologi, dan proses karsinogenesis itu sendiri. Cao et al. (2009) melakukan penelitian terhadap 71 penderita karsinoma kolorektal dan mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara HIF-1α dengan stadium klinis lanjut penderita karsinoma kolorektal dan juga berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk. Rohwer et al. (2009) melaporkan hasil penelitian terhadap 52 sampel biopsi penderita adenokarsinoma gaster pasca gastrotomi. Pada penelitian tersebut didapatkan adanya ekspresi spesifik HIF-1α dengan pengecatan imunohistokimia pada 90% adenokarsinoma yang telah mengalami invasi, sedangkan HIF-1α tidak ditemukan pada sampel sel gaster normal dan hanya sedikit dari keganasan dini yang ditemukan ekspresi HIF-1α.
7 Penelitian lainnya dilaporkan oleh Lin et al. (2008) dengan sampel hasil biopsi penderita karsinoma sel skuamosa rongga mulut dari tahun 1995-2001. Penelitian terhadap 57 sampel ini menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara ekspresi HIF-1α dengan ukuran tumor, metastasis ke kelenjar regional dan stadium klinis lebih lanjut yang dikatakan bahwa ditemukannya ekspresi HIF-1α pada keganasan tahap awal akan dapat memperkirakan prognosis dari karsinoma sel skuamosa rongga mulut tersebut.