4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan histopatologi pada timus

HASIL DAN PEMBAHASAN Data Mortalitas

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Histopatologi Bursa Fabricius

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah ayam jantan atau betina yang umumnya dipanen pada umur

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Histopatologi

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

MATURASI SEL LIMFOSIT

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang jumlah penduduknya terus

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

HASIL DAN PEMBAHASAN

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

HASIL DAN PEMBAHASAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

HASIL DAN PEMBAHASAN

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

ABSTRAK. Kata Kunci : Bursa Fabrisius, Infectious Bursal Disease (IBD), Ayam pedaging

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

SISTEM LIMFOID. Organ Linfoid : Limfonodus, Limpa, dan Timus

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. benda asing dan patogen di lingkungan hidup sekitar seperti bakteri, virus, fungus

TINJAUAN PUSTAKA. genetis ayam, makanan ternak, ketepatan manajemen pemeliharaan, dan

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Imunisasi: Apa dan Mengapa?

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Diferensial leukosit ayam perlakuan berumur 21 hari selama pemberian ekstrak tanaman obat

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

BAB 1 PENDAHULUAN. inflamasi. Hormon steroid dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu glukokortikoid

MEKANISME RESPON IMUN TERHADAP KANKER PAYUDARA

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ayam broiler (sumber: Purba 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di

Ketebalan Korteks dan Medula

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo

tua dan sel yang bermutasi menjadi ganas, merupakan bahan yang tidak diinginkan dan perlu disingkirkan. Lingkungan disekitar manusia mengandung

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

Pertemuan XI: Struktur dan Fungsi Hayati Hewan. Program Tingkat Persiapan Bersama IPB 2011

PATOLOGI SERANGGA (BI5225)

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Respon imun adaptif : Respon humoral

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Petelur . Sistem Kekebalan pada Ayam

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. putih (leukosit). Eritrosit berperan dalam transpor oksigen dan. Sebagian dari sel-sel leukosit bersifat fagositik, yaitu memakan dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

serta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IMUNITAS NON-SPESIFIK DAN SINTASAN LELE MASAMO (Clarias sp.) DENGAN APLIKASI PROBIOTIK, VITAMIN C DAN DASAR KOLAM BUATAN ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. digunakan sebagai alternatif pengobatan seperti kunyit, temulawak, daun sirih,

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Total Protein Darah Ayam Sentul

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Organ limfoid primer unggas terdiri dari timus dan bursa Fabricius sedangkan pada mamalia terdiri dari sumsum tulang. Limpa, limfonodus dan MALT (Mucosa-associated Lymphoid Tissue) termasuk dalam organ limfoid sekunder. Limfosit B mengalami pematangan di bursa Fabricius sedangkan limfosit T mengalami pendewasaan di timus. Limfosit dihasikan oleh organ limfoid primer segera memasuki peredaran darah lalu dikirim ke organ limfoid sekunder. Pada organ limfoid sekunder ini limfosit dijaga tetap hidup dan siap beradaptasi saat antigen datang (Elgert 2009). Beberapa faktor diyakini dapat menghambat dan menurunkan sistem kekebalan tubuh. Saat sistem ini turun maka tubuh akan mudah terserang penyakit. Salah satunya adalah stres. Menurut Shini (2010) stres (sering digunakan untuk menyebut stresor atau respon stres) merupakan suatu kondisi tubuh dalam merespon infeksi akut maupun kronis. Stresor adalah faktor yang menimbulkan respon tersebut. Respon stres adalah mekanisme yang kompleks, dan mekanisme ini mempengaruhi perilaku, psikologis, metabolisme, dan reaksi imunologis tubuh demi beradaptasi dan bertahan pada lingkungan. Stresor yang digunakan dalam penelitian ini adalah kortikosteroid. Ayam broiler diberikan kortikosteroid untuk mengetahui status respon imun selama pertumbuhan. 4.1 Perubahan Histopatologi pada Bursa Fabricius Akibat Pemberian Kortikosteroid Ukuran bursa Fabricius dapat dijadikan sebagai indikator umur hewan. Bursa berukuran besar menandakan umur hewan masih muda sedangkan bursa yang mengalami atropi menandakan hewan sudah dewasa. Pembentukan bursa Fabricius dipengaruhi oleh hormon seks steroid yang dihasilkan oleh gonad (Broughton 2003). Pengaruh kortikosteroid terhadap bursa Fabricius tidak dapat dibedakan antara kelompok kontrol dengan perlakuan secara patologi anatomi, sehingga dilakukan pengamatan secara histopatologi. Pengamatan histopatologi pada bursa Fabricius meliputi ukuran plika, jumlah folikel limfoid, dan limfosit.

Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius (µm) antara kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm 2 ). Umur Tinggi Plika (µm) Lebar Plika (µm) Ayam (minggu) CC0 CC2 CC0 CC2 2 3025.87±1153.00 a 2981.33±1074.40 a 2214.40±332.89 a 1376.20±321.90 b 3 3235.74±630.36 a 2238.11±339.51 b 1680.00±272.55 a 1216.00±292.42 b 4 2961.81±958.61 a 3623.33± 674.90 a 1754.20±332.37 a 1542.60±486.80 a 5 3691.77±1276.00 a 2961.44±705.56 a 3691.77±1276.04 a 1334.20±433.20 b 6 2347.05±1476.00 a 2788.78±990.14 a 1528.50± 395.02 a 1295.20± 295.00 a Keterangan: huruf superscript pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Hail uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) antara tinggi plika kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan setelah diberikan kortikosteroid selama 3 minggu. Sedangkan penghitungan lebar plika terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada umur 2, 3, dan 5 minggu. Kortikosteroid dapat menekan perkembangan bursa Fabricius, sehingga plika memendek. Plika bursa Fabricius pada kelompok yang diberikan kortikosteroid (CC2) dari umur 2, 3, 4, 5, dan 6 minggu memiliki lebar yang lebih kecil daripada kelompok kontrol (CC0). Pada kelompok perlakuan (CC2) tampak lebar plika cenderung mengecil sejalan dengan waktu pemberian kortikosteroid. Namun tinggi plika kelompok perlakuan (CC2) pada umur 4 minggu lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (CC0) yang menunjukkan terdapat respon yang variatif. Variasi respon pada tinggi dan lebar plika dapat terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan ayam sehingga ayam tidak 100% seragam. Menurut Pastoret et al. (1998), faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ukuran bursa Fabricius diantaranya genetik, agen infeksius, nutrisi, lingkungan, dan reseptor hormon. Bahan aktif dari Prednisone, yaitu steroid dapat mempengaruhi perkembangan tinggi dan lebar plika bursa Fabricius. Berdasarkan hasil penelitian, steroid dapat menyebabkan imunosupresi yang ditunjukkan dengan mengecilnya ukuran plika bursa Fabricius kecuali pada kelompok ayam umur 5 minggu. Kelompok ayam umur 5 minggu yang diberikan kortikosteroid memiliki

plika yang lebih pendek daripada kelompok kontrol. Hal ini dapat disebabkan faktor bobot badan yang tidak sama antar kelompok. Semakin besar bobot badan ayam maka semakin besar pula ukuran bursa Fabriciusnya. Selain itu faktor umur dapat mempengaruhi perkembangan bursa Fabricius. Bursa Fabricius pada ayam yang berumur 3 minggu mengalami perkembangan yang pesat, umur 4-8 bursa Fabricius dalam kondisi statis, dan umur ayam di atas 8 minggu perkembangannya menurun. Oleh karena itu, kortikosteroid tidak mempengaruhi tinggi plika bursa Fabricius. Penelitian yang dilakukan Glick pada tahun 1957 dalam Taylor dan McCorkle (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara perkembangan bursa dengan level hormon. Pemberian baik kortikosteroid maupun hormon androgen dapat menyebabkan regresi bursa Fabricius. Parameter lain yang diamati adalah penghitungan jumlah folikel limfoid besar dan limfoid kecil bursa Fabricius. Withers et al. (2006) menyatakan terdapat dua macam folikel yang terbentuk, yakni folikel besar dan kolikel kecil setelah terjadi infeksi IBDV (Infectious Bursal Disease Virus) pada ayam muda. Folikel kecil memiliki batas korteks dan medula yang belum jelas sedangkan folikel besar berperan aktif dalam proliferasi limfosit B. Hasil uji satistik T-student terhadap jumlah folikel limfoid dapat dilihat pada Tabel 3 dan jumlah folikel keseluruhan pada bursa Fabricius dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 3 Perbandingan jumlah folikel limfoid besar dan kecil bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam satu plika). Umur Jumlah Folikel Besar Jumlah Folikel Kecil (minggu) CC0 CC2 CC0 CC2 2 9.87±6.81 a 11.67±5.52 a 11.67±6.67 a 18.70±10.37 b 3 11.70±3.97 a 11.30±4.15 a 7.67±2.61 a 11.33±4.70 b 4 11.00±4.5 a 9.53±3.31 a 12.00±4.29 a 19.10±7.87 b 5 9.40±5.45 a 7.80±2.18 b 12.80±6.99 a 19.73±15.74 a 6 8.20±5.29 a 9.00±2.73 b 14.73±8.71 a 12.73±7.38 a Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) pada jumlah folikel limfoid besar kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada umur 5 dan 6 minggu. Kelompok ayam umur 2 dan 6 minggu memiliki jumlah folikel limfoid besar yang lebih banyak daripada kelompok kontrol. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Graczyk (2003) bahwa imunisasi pada ayam

yang disertai pemberian hormon steroid mengakibatkan peningkatan berat bursa Fabricius sebesar 50%. Hormon steroid dan imunisasi tersebut dapat merangsang pembentukan folikel limfoid sekunder (folikel besar). Kelompok kontrol ayam umur 5 dan 6 minggu menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan kelompok perlakuan. Namun jumlah folikel limfoid besar pada kelompok ayam umur tersebut lebih banyak daripada kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa kortikosteroid tidak memberikan pengaruh pada ayam umur 5 dan 6 minggu. Penghitungan jumlah folikel limfoid besar menunjukkan hasil yang berbeda dengan jumlah folikel limfoid kecil. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) jumlah folikel limfoid kecil pada ayam kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan umur 2, 3, dan 4 minggu. Sedangkan ayam umur 5 dan 6 minggu tidak memiliki perbedaan nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuannya. Ayam umur 2, 3, dan 4 minggu kelompok perlakuan memiliki folikel limfoid kecil lebih banyak daripada kelompok perlakuan. Perkembangan folikel limfoid bursa Fabricius dimulai pada saat embrio memasuki umur 10 hari. Prekursor limfosit memasuki jaringan epitel lalu menembus membran yang kemudian akan berploriferasi di medula lalu memasuki korteks. Kumpulan prekursor limfosit tersebut membentuk folikel limfoid primer (kecil). Folikel limfoid ini akan terus tumbuh dan berkembang sampai ayam mencapai pertumbuhan optimum pada umur 7-13 minggu, yakni saat ayam mencapai dewasa kelamin (Klein dan Horejsi 1997). Jumlah folikel limfoid kecil kelompok kontrol yang lebih besar daripada kelompok perlakuan dapat mengindikasikan bahwa kortikosteroid tidak mempengaruhi jumlah folikel limfoid kecil pada ayam umur 2, 3, dan 4 minggu. Hal ini disebabkan pertumbuhan folikel limfoid saat umur tersebut dalam kondisi optimum. Folikel primer (kecil) akan terus berkembang menjadi folikel limfoid sekunder (besar) untuk respon imun humoral. Status respon imun humoral dapat diketahui melalui penghitungan jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa Fabricius. Hasil uji statistik terhadap jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa Fabricius dapat dilihat pada Tabel 5. Kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan (P>0.05) tetapi jumlah folikel keseluruhan kelompok perlakuan cenderung lebih banyak daripada kelompok kontrol.

Pemberian imunisasi (vaksin IBDV) saat umur ayam 11 hari menyebabkan timbulnya respon imun dari folikel limfoid primer yang semakin aktif untuk berubah menjadi folikel sekunder. Selain itu karena adanya pengaruh kortikosteroid yang dapat merangsang pembentukan folikel limfoid sekunder mengakibatkan jumlah folikel limfoid keseluruhan pada kelompok perlakuan lebih banyak daripada kelompok kontrol. Pemberian kortikosteroid pada ayam mengakibatkan peningkatan berat bursa Fabricius sebesar 50% (Graczyk 2003). Namun kelompok perlakuan (CC2) ayam umur 6 minggu jumlah folikel limfoid keseluruhan lebih kecil dibandingkan dengan kelompok kontrol (CC0) karena pada ayam umur ini secara alami perkembangannya mulai menurun (Taylor dan McCorkle 2009). Tabel 4 Perbandingan jumlah folikel limfoid keseluruhan bursa Fabricius antara kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan(cc2) (dalam satu plika). Umur (minggu) CC0 CC2 2 21.50±12.66 a 30.33±14.55 a 3 19.40±5.10 a 22.60±6.35 a 4 23.00±80 a 28.60±8.07 a 5 22.40±11.10 a 27.50±14.53 a 6 22.93±12.82 a 21.73±8.25 a Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Folikel limfoid primer ditemukan pada DOC namun folikel limfoid sekunder baru dapat dilihat pada ayam berumur 7 hari. Jumlah minimal folikel limfoid keseluruhan yang dapat ditemukan pada saat ayam baru menetas adalah 205±10.8 dan jumlah maksimal pada umur 17 minggu adalah 535±21.15 (Albogoghobeish 2003). Jumlah folikel limfoid keseluruhan pada bursa Fabricius dalam penelitian baik kelompok kontrol (CC0) maupun perlakuan (CC2) umur 2, 3, 4, 5, dan 6 minggu berkisar 194 303 folikel. Jumlah ini masih normal dalam perkembangan bursa Fabricius pada ayam umur 2. 3, 4, 5, dan 6 minggu. Gambar 7 menunjukkan bahwa pengaruh pemberian kortikosteroid terhadap panjang dan lebar plika pada kelompok kontrol (A) tidak terlalu terlihat perbedaannya dengan kelompok perlakuan (B) jika diamati pada pembesaran objektif 4x. Perbedaan bursa Fabricius secara histopatologi baru dapat terlihat pada pembesaran objektif 10x melalui penghitungan jumlah folikel limfoid

keseluruhan. Jumlah follikel limfoid keseluruhan kelompok perlakuan (D) cenderung lebih banyak daripada kelompok kontrol (C). Plika bursa yang diamati dengan perbesaran objektif 10x pada kelompok kontrol (C) menunjukkan jaringan muskularis yang lebih padat dibandingkan plika bursa kelompok perlakuan (D). Gambar histopatologi kelompok perlakuan (D) menunjukkan adanya edema atau akumulasi cairan pada jaringan interlobulernya sehingga membuat kepadatan jaringan intertisium bursa Fabricius berkurang. P P A B 0.5 mm FL FL E C Gambar 7 D Gambaran histopatologi bursa Fabricius umur 4 minggu perbesaran 4x pada kontrol (A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE dilakukan pengukuran panjang dan lebar plika (P). Perhitungan jumlah folikel limfoid (FL) pada kontrol (C) dan perlakuan (D) dilakukan dengan perbesaran 10x. Edema (E) tampak pada kelompok perlakuan. Parameter lain yang dapat diamati dari organ bursa Fabricius adalah jumlah limfosit. Limfosit B dihasilkan dan mengalami pematangan dalam folikel limfoid bursa Fabricius. Limfosit B berproliferasi di bagian korteks folikel limfoid. Limfosit B muda akan bermigrasi ke medula jika mendeteksi adanya antigen. Adanya antigen akan memicu pembentukan, pendewasaan limfosit B, dan

produksi imunoglobulin (Williams 2011). Menurut Cheville (2006), edema merupakan akumulasi cairan di jaringan intertisial. Edema disebabkan 2 mekanisme, yaitu meningkatnya tekanan hidrostatis dalam darah atau menurunnya tekanan osmotik koloid dalam plasma darah. Edema biasanya ditemukan pada peradangan yang disertai meningkatnya jumlah sel radang dan kerusakan jaringan. Edema akibat proses homeostasis tubuh tidak disertai sel-sel radang dan kerusakan jaringan. Glukokortikoid dalam tubuh menyebabkan ekstravasasi cairan ke jaringan intertisial, sedangkan mineralkortikoid menyebabkan retensi cairan. Akumulasi cairan atau edema dapat terjadi akibat kerja hormon tersebut. Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan jumlah limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perbandingan jumlah limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm 2 ). Umur (minggu) CC0 CC2 2 1164.30±148.95 a 1111.20±163.11 a 3 1058.80±132.54 a 729.80±112.33 b 4 1125.40±187.05 a 762.80±159.96 b 5 1403.90±213.56 a 888.30±103.41 b 6 1431.70±141.52 a 903.10±178.25 b Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol berbeda nyata (P<0.05) dengan kelompok perlakuan saat ayam berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Saat ayam umur 2 minggu kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan (P>0.05) namun kelompok kontrol tetap memiliki jumlah limfosit yang lebih banyak daripada kelompok perlakuan sama seperti ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Limfosit B sangat dibutuhkan sebagai mekanisme pertahanan tubuh ayam usia muda karena ayam usia muda sangat rentan terhadap agen penyakit. Rendahnya jumlah limfosit B mengakibatkan antibodi tidak dapat diproduksi secara optimum. Steroid dapat menghambat perkembangan dan pendewasaan limfosit B (Male et al. 2006). Mekanisme penghambatan pembentukan dan fungsi limfosit B oleh kortikosteroid yakni dengan cara menghambat tahap awal pematangan limfosit B.

steroid juga dapat menghambat perlekatan interleukin pada limfosit B. Hal ini mengakibatkan limfosit B sulit menghasilkan antibodi (Roitt et al. 2001). Oleh karena itu kelompok ayam yang diberi kortikosteroid memiliki jumlah limfosit yang lebih sedikit daripada kelompok kontrol. Sekresi glukokortikoid akan mengakibatkan kematian limfosit. Lesio histopatologi akibat kematian limfosit tersebut akan berdampak pada bursa Fabricius. Bursa Fabricius akan mengalami imunosupresi sehingga limfosit dan folikel limfoid mengalami deplesi. Selain itu, efek stres dari glukokortikoid dapat menyebabkan atrofi organ limfoid. Kondisi imunosupresi tersebut membuat unggas mudah terpapar bakteri dan meningkatkan resiko kematian unggas (Hadipour et al. 2011). Gambaran histopatologi limfosit kelompok kontrol dan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8. L L D L L A B Gambar 8 Gambaran histopatologi bursa Fabricius umur 4 minggu perbesaran 40x pada kontrol (A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya deplesi (D) limfosit (L) pada organ yang diberi kortikosteroid. Gambar 7 menunjukkan kepadatan limfosit yang berbeda antara bursa Fabricius kelompok kontrol (CC0) dengan kelompok perlakuan (CC2). Limfosit bursa Fabricius kelompok kontrol (A) lebih padat daripada kelompok yang diberi kortikosteroid (B). Kortikosteroid menyebabkan deplesi pada limfosit bursa Fabricius. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan deplesi limfosit adalah pemberian steroid, penyakit akut dan kronis akibat paparan virus, bakteri, jamur, infeksi parasit, bahan-bahan kimia yang mengandung toksin, malnutrisi, hipovitaminosis A, dan stres akibat manajemen kandang yang tidak baik (Doneley 2010).

4.2 Perubahan Histopatologi pada Timus Akibat Pemberian Kortikosteroid Pengamatan luas timus termasuk medula dan korteks dilakukan untuk mengetahui efek imunosupresi dari kortikosteroid. Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan luas medula dan korteks timus pada kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 6. Luas medula pada ayam umur 2 minggu kelompok kontrol memiliki perbedaan nyata dengan kelompok perlakuan (P<0.05). Ayam kelompok kontrol memiliki medula yang lebih luas daripada kelompok perlakuan. Namun pada ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu luas medula kelompok kontrol tidak berbeda nyata dengan kelompok perlakuan. Secara umum medula kelompok perlakuan (CC2) lebih luas dibandingkan koelompok kontrol kecuali pada ayam umur 2 minggu. Tabel 6 Perbandingan luas medula dan korteks timus (µm2) kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm 2 ). Umur Luas Medula (x1000µm 2 ) Luas Korteks (x1000µm 2 ) (minggu) CC0 CC2 CC0 CC2 2 26700± 249.37 a 189.79± 30.11 b 1199.36± 299.16 a 688.96± 257.66 a 3 283.62± 96.78 a 545.86± 431.74 a 1108.93± 389.13 a 1559.99± 794.04 a 4 488.99± 203.34 a 793.47± 626.86 a 1484.97± 482.34 a 1887.77± 223.00 a 5 390.2± 327.16 a 722.26± 453.27 a 1383.83± 784.69 a 1725.03± 62.68 a 6 353.51± 295.78 a 537.26± 231.48 a 1283.78± 754.31 a 1438.2± 485.09 a Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Menurut Dellman (2006), struktur medula hanya mengandung sedikit limfosit dan didominasi limfosit kecil sehingga warnanya lebih terang dibandingkan dengan korteks timus. Sedangkan korteks timus memiliki warna lebih gelap karena berisi banyak limfosit dan proses pematangan limfosit T terjadi di dalamnya. Pemberian kortikosteroid dapat menghambat pembentukan dan fungsi limfosit B. Limfosit B yang sedikit pada medula akan semakin sedikit jumlahnya karena pengaruh kortikosteroid dan mengakibatkan pengecilan area medula. Oleh karena itu pada kelompok ayam yang diberikan kortikosteroid khususnya umur 2 minggu medulanya lebih kecil daripada kontrol. Namun kortikosteroid tidak berpengaruh pada kelompok ayam 3, 4, 5, dan 6 minggu. Medula kelompok perlakuan lebih luas daripada kelompok kontrol.

Timus merupakan organ limfoid yang memiliki respon terbesar terhadap fluktuasi hormon. Reduksi limfosit akibat steroid pada bagian medula timus dapat menyebabkan sel-sel epitel menjadi tampak lebih jelas. Sel-sel epitel juga akan mengalami pertambahan jumlah dan ukuran. Namun hiperplasia tersebut harus dibedakan dengan neoplasia (Elmore 2006). Hal inilah yang menyebabkan ukuran medula pada timus kelompok perlakuan (CC2) lebih luas dibandingkan timus kelompok kontrol (CC0). Penghitungan luas korteks antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05). Saat ayam umur 2 minggu, kelompok kontrol memiliki korteks yang lebih luas daripada kelompok perlakuan. Namun saat ayam berumur 3, 4, 5, dan 6 minggu kelompok perlakuan memiliki korteks yang lebih luas daripada kelompok kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian kortikosteroid berpengaruh pada ayam umur 2 minggu yang menyebabkan korteks timus menjadi sempit namun tidak pada ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Korteks kelompok perlakuan (CC2) memiliki luas yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (CC0) disebabkan respon korteks yang besar terhadap hormon steroid. Elmore (2006) menyatakan reseptor hormon steroid pada korteks timus lebih banyak dibandingkan medula. Penyempitan korteks timus pada kelompok perlakuan (CC2) umur 2 minggu dapat berpengaruh terhadap jadwal vaksinasi yang diberikan pada hari ke- 11. Menurut Woodland dan Kohlmeier (2009), setelah timus merespon vaksin maka antigen spesifik sel T memori akan didistribusi ke perifer. Sel-sel tersebut akan menjadi pertahanan baris pertama terhadap infeksi sekunder patogen. Timus merupakan organ limfoid primer yang berperan sebagai tempat diferensiasi limfosit T. Setiap lobul timus memiliki bagian gelap yang disebut korteks dan bagian terang disebut medula. Korteks memproduksi limfosit secara kontinyu. Walaupun mengalami apoptosis dan difagositosis oleh makrofag, banyak yang bermigrasi ke medula lalu memasuki aliran darah melalui dinding pembuluh darah (Bloom dan Fawcett 2002). Hasil uji statistik T-student terhadap perbandingan luas timus pada kelompok kontrol (CC0) dengan kelompok perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Perbandingan luas timus (µm 2 ) kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm 2 ). Umur (minggu) Luas CC0 (µm 2 ) Luas CC2 (µm 2 ) 2 1466.37± 529.53 a 878.75± 273.28 a 3 1392.59± 483.25 a 2105.86± 1225.31 a 4 1973.97± 656.58 a 2681.24± 796.63 a 5 1774.04± 1095.59 a 2447.29± 511.59 a 6 1637.30± 934.96 a 1975.22± 714.51 a Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Luas timus antara kontrol (CC0) dan kelompok perlakuan (CC2) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Kelompok kontrol ayam umur 2 minggu memiliki timus yang lebih luas daripada kelompok perlakuan (CC2). Namun pada umur 3, 4, 5, dan 6 minggu kelompok perlakuan (CC2) memiliki timus yang lebih luas daripada kelompok kontrol (CC0). Perkembangan timus secara umum pada unggas mencapai maksimum pada umur 16 minggu. Selama masa embrionik sampai sebelum pubertas, timus akan tumbuh dan berkembang dengan pesat (Schalm et al. 2000). Luas timus pada kelompok perlakuan (CC2) lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol pada umur 2 minggu. Timus merupakan organ limfoid yang paling peka terhadap steroid. Steroid menyebabkan penekanan terhadap timus sehingga dapat terjadi imunosupresi (Elmore 2006). Penekanan organ pada umur 2 minggu dapat memberikan pengaruh buruk pada pemberian vaksin yang dilakukan pada hari ke- 11 (memasuki umur 2 mimggu). Menurut (Zimmerman 2012), jika vaksin diberikan dalam kondisi hewan imunosupresi maka vaksin tidak akan mampu menstimuli tubuh untuk memproduksi antibodi. Hasilnya adalah tubuh akan rentan terhadap penyakit. Hal ini disebut kegagalan vaksin. Gambar histopatologi timus ayam dapat dilihat pada Gambar 9. Efek dari kortikosteroid pada timus dapat diamati dari jumlah dan perkembangan limfosit. Anderson dan Jenkinson (2008) menyatakan bahwa pada pertengahan tahun 1970an diketahui limfosit memiliki peran dalam respon imun. Limfosit diketahui memiliki sifat dan fungsi imunitas yang diproduksi pada organ yang berbeda-beda. Sel yang memiliki kemampuan memproduksi antibodi diantaranya diproduksi pada bursa Fabricius pada bangsa burung, sedangkan

timus merupakan kunci kekebalan yang berguna untuk menghasilkan limfosit dengan fungsi sitotoksik efektor. K M K A Gambar 9 M B Gambaran histopatologi timus umur 4 minggu perbesaran 4x dengan pewarnaan HE terhadap kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan luas korteks (K) dan medula (M). Menurut Lechner et al. (2001), perkembangan limfosit sangat dipengaruhi oleh faktor antigen. Limfosit muda atau yang belum dewasa merupakan subjek seleksi respon baik positif maupun negatif pada organ limfoid primer tergantung derajat reaktivitas tubuh terhadap antigen. Limfosit T dipilih dalam timus sedangkan sel B diproduksi oleh bursa Fabricius pada unggas. Glukokortikoid diketahui dapat menginduksi apoptosis pada timosit dan limfosit B yang belum dewasa. Jumlah limfosit pada organ timus dalam penelitian ini dihitung untuk mengetahui efek supresan dari stresor kortikosteroid terhadap kepadatan organ limfoid. Hasil uji statistik terhadap jumlah limfosit antara kelompok kontrol dan kelompok yang diberi kortikosteroid dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Perbandingan jumlah limfosit timus kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm 2 ). Umur (minggu) CC0 CC2 2 3307.30±440.91 a 2975.00±227.77 b 3 3919.10±458.34 a 2920.70±359.60 b 4 3996.10±445.35 a 2564.70±503.62 b 5 3914.20±105.05 a 2547.00±278.76 b 6 3765.40±247.27 a 2429.30±378.04 b Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05)

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa jumlah limfosit pada timus kelompok kontrol memiliki perbedaan nyata (P<0.05) dengan kelompok yang diberi kortikosteroid. Jumlah limfosit timus yang diberi kortikosteroid (CC2) lebih sedikit daripada kelompok kontrol (CC0). Timus merupakan salah satu organ yang memiliki banyak reseptor glukokortikoid. Stres akibat induksi kortikosteroid dapat menstimulasi kejadian apoptosis pada timosit ayam. Sel-sel timosit yang masih muda lebih rentan terhadap induksi kortikosteroid daripada sel T yang sudah dewasa. Populasi sel timik akan mengalami reduksi setelah 12 jam diberikan kortikosteroid. Tidak hanya mengalami apoptosis namun kortikosteroid juga dapat mereduksi aktivitas mitosis. Hewan muda lebih sensitif terhadap paparan kortikosteroid (Franchini et al. 2004). Steroid dapat menghambat aktivasi dan proliferasi limfosit T. Penghambatan ini mengakibatkan limfosit T menjadi tidak responsif terhadap interleukin I sehingga sintesis interleukin II juga terhambat (Roitt et al. 2001). L L A Gambar 10 Gambaran histopatologi timus umur 4 minggu perbesaran 40x pada kontrol (A) dan perlakuan (B) dengan pewarnaan HE menunjukkan adanya deplesi (D) limfosit (L) pada organ yang diberi kortikosteroid. Gambar 10 menunjukkan bahwa limfosit pada timus kelompok kontrol (A) lebih banyak daripada kelompok yang diberi kortikosteroid (B). Limfosit yang terpapar stres akibat kortikosteroid akan mengalami apoptosis sehingga folikel limfoid timus akan mengalami deplesi. Kong et al. (2002) menyatakan hormon steroid memiliki efek anti inflamasi dan imunosupresi sehingga hormon ini banyak digunakan untuk penyakit autoimun, alergi, peradangan, dan tumor limfoid malignan. Namun steroid juga dikenal memiliki efek apoptosis terhadap B D

limfosit pada timus, baik pada mamalia maupun unggas. Steroid dalam dosis tinggi selain mengganggu timopoiesis, juga dapat menghambat suplai limfosit T ke perifer. Induksi stres steroid akan memengaruhi pembentukan limfosit T pada timus sehingga menyebabkan timus atropi. Penurunan level sel T pada timus akibat stres akan berdampak pada imunosupresi beberapa organ imun lainnya. Atropi timus dan teraktivasinya sel NKT (Natular Killer T) adalah akibat dari penyuntikkan glukokortikoid, namun tidak terlalu berdampak pada level granulosit (Sagiyama et al. 2004). 4.3 Perubahan Histopatologi pada Limpa Akibat Pemberian Kortikosteroid Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang berperan dalam respon imun melawan antigen yang beredar secara sistemik dan bergantung pada timus (timus-dependent antigens). Perkembangan limfosit T pada limpa mencapai perkembangan terendah selama embriogenesis dan jumlah tertinggi setelah menetas (Careem et al. 2007). Limpa terlibat dalam respon kekebalan humoral maupun selular melalui perannya pada perbanyakan, pendewasaan, dan penyimpanan limfosit. Ekspresi gen pada limpa unggas umum digunakan sebagai indikator respon imun (Sanford et al. 2011). Parameter yang diamati adalah jumlah folikel limfoid limpa. Hasil uji statistik terhadap jumlah folikel limfoid limpa dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perbandingan jumlah folikel limfoid (pulpa putih) limpa kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm 2 ). Umur (minggu) CC0 CC2 2 33.93±2.86 a 34.20±3.85 a 3 26.86±3.50 a 31.00±3.29 b 4 34.86±4.20 a 28.87±4.83 b 5 28.53±2.69 a 16.07±3.57 b 6 24.86±2.44 a 16.60±3.18 b Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Pemberian kortikosteroid dapat mempengaruhi jumlah folikel limfoid limpa. Hasil uji statistik T-student menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata (P<0.05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan pada ayam umur 3, 4, 5, dan 6 minggu. Jumlah folikel limfoid atau pulpa putih pada limpa yang

diinduksi kortikosteroid (CC2) mengalami penurunan drastis pada umur 5 minggu. Namun ayam kelompok perlakuan (CC2) umur 2 minggu menunjukkan nilai tertinggi pada jumlah folikel limfoid, hal ini disebabkan pengaruh umur hewan terhadap respon stres. Hal ini sejalan dengan Guyton dan Hall (1996) yang menyatakan bahwa salah satu faktor pemicu stres adalah umur. Secara umum jumlah pulpa putih limpa yang terpapar kortikosteroid (CC2) masih lebih rendah jika dibandingkan limpa kontrol (CC0). Limpa merupakan organ limfoid sekunder yang memiliki peran penting terhadap fungsi kekebalan. Peran limpa diantaranya pendewasaan sel T, sel B, dan mengatur interaksi makrofag selama respon kekebalan berlangsung. Induksi kortikosteroid menyebabkan penurunan massa organ limfoid, khususnya limpa dan bursa Fabricius. Penurunan ini ditemukan pada 7 hari setelah ayam diinduksi oleh kortikosteroid. Penekanan massa organ limfoid limpa akibat kortikosteroid disertai dengan penurunan aktivitas sel-sel fagositik. Kortikosteroid dengan konsentrasi tinggi dapat menghambat aktivitas organ limfoid. Hal ini disertai penurunan kadar limfosit (respon sel T) dan titer antibodi IBDV (Infectious Bursal Disease Virus) sebagai respon humoral-perantara (Shini et al. 2010). Gambar histopatologi pulpa putih (folikel limfoid) limpa pada kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) disajikan pada Gambar 11. PM PM PP PP A B Gambar 11 Gambaran histopatologi limpa umur 4 minggu perbesaran 4x dengan pewarnaan HE pada kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan pulpa merah (PM) dan pulpa putih (PP) yang berisi limfosit. Kelompok limpa perlakuan (B) menunjukkan beberapa folikel limfoid (pulpa putih) tampak menyatu dan batas antara pulpa merah dan pulpa putih tidak

jelas. Sedangkan kelompok kontrol (A) menunjukkan batas antara folikel limfoid (pulpa putih) tampak jelas. Luzicova dan Epimova (2009) menyatakan glukokortikoid menyebabkan kematian sel pada folikel limfoid (pulpa putih) limpa. Namun limfosit pada pulpa merah kurang sensitif terhadap glukokortikoid jika dibandingkan dengan pulpa putih. Glukokortikoid mempengaruhi molekul protein pada limfosit, yaitu reseptor yang terdapat pada sitoplasma di luar membram mitokondria yang menstimulasi mekanisme apoptosis. Perbedaan sensitivitas reseptor glukokortikoid ini yang mempengaruhi struktur pulpa putih pada limpa. Limpa merupakan penyaring darah terbesar di tubuh. Organ ini berfungsi untuk menghilangkan eritrosit yang sudah tua. Fungsi ini dilakukan pada pulpa merah. Sedangkan daerah limfoid (pulpa putih) merupakan kompartemen limfosit T dan B yang mengelilingi cabang-cabang pembuluh darah arteri. Mekanisme kekebalan pada limpa diatur oleh kemokin yang menarik limfosit T dan B ke zona masing-masing sel. Hal ini yang membuat limpa memiliki baik respon humoral maupun seluler. Limfosit memasuki pulpa putih melalui zona marjinal (Mebius dan Kraal 2005). Pulpa putih merupakan indikator dalam penelitian ini untuk mengetahui status tanggap kebal ayam. Selain jumlah dan ukuran folikel limfoid (pulpa putih), jumlah limfosit dalam pulpa putih juga dihitung untuk mengetahui respon limpa terhadap kortikosteroid. Hasil uji statistik terhadap jumlah limfosit limpa kelompok kontrol (CC0) dan perlakuan (CC2) dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Perbandingan jumlah limfosit limpa kelompok kontrol (CC0) dengan perlakuan (CC2) (dalam luas 2909.09 x 2327.27 µm 2 ). Umur (minggu) CC0 CC2 2 844.70±159.72 a 892.60±138.00 a 3 1010.80±137.76 a 919.90±83.74 b 4 1194.30±104.67 a 1087.70±109.2 b 5 1060.70±79.26 a 1169.10±101.48 a 6 1723.50±678.51 a 628.50±135.18 b Keterangan: huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05). Hasil yang diperoleh adalah terdapat beda nyata (P<0.05) pada jumlah limfosit limpa pada umur 3, 4 minggu dan 6 minggu. Secara umum jumlah

limfosit pada limpa yang terpapar kortikosteroid lebih rendah dibandingkan limpa kontrol. Hal ini menunjukkan steroid memberikan efek stres terhadap limpa. Ayam kelompok umur 5 minggu memiliki jumlah limfosit pada kelompok perlakuan (CC2) lebih banyak daripada kelompok kontrol (CC0). Namun hasil tersebut tidak berbeda nyata (P>0.05). Induksi stres akibat hormon steroid dapat menyebabkan reduksi atau penurunan jumlah limfosit pada organ limpa sehingga dapat mempengaruhi sistem imun dalam tubuh (Wei et al. 2003). Stres kronis sering membuat sistem imun mengalami kondisi imunosupresi. Hal ini menyebabkan apoptosis pada limfosit. Kondisi ini dapat disebut juga limfositopenia. Reduksi limfosit diketahui dapat meningkatkan resiko kanker dan pertumbuhan serta perkembangan tumor (Shi et al. 2003). Struktur histopatologi limpa yang mengalami reduksi jumlah limfosit dapat dilihat pada Gambar 12. A L E B L D E Gambar 12 Gambaran histopatologi limpa umur 4 minggu perbesaran 40x dengan pewarnaan HE terhadap kontrol (A) dan perlakuan (B) menunjukkan deplesi (D) pada limfosit (L). Terlihat juga eritrosit (E) yang berinti. Folikel limfoid (pulpa putih) kontrol (A) menunjukkan kepadatan limfosit yang lebih tinggi dibandingkan pulpa putih perlakuan (B). Limfosit yang mengalami apoptosis akibat terpapar kortiksteroid menyebabkan deplesi pada folikel limfoid limpa. Apoptosis akibat glukokortikoid diinduksi oleh enzim caspase (Schlossmacher et al. 2011) (Imunosupresi yang terjadi pada limpa perlakuan dapat menyebabkan ayam mudah terserang penyakit. Limpa bekerja secara sistemik, jika terjadi reduksi sel-sel antibodi maka tubuh akan peka terhadap agen penyakit.

Salah satu efek buruk dari steroid yang menyerang sistem imun adalah menyebabkan leukosit mengalami deplesi. Stres akut dapat mempengaruhi perkembangan serta fungsi dari sel dendrit, netrofil, makrofag, dan limfosit yang berpengaruh terhadap sistem kekebalan humoral maupun seluler. Stres kronis akan menekan jumlah leukosit sehingga mengakibatkan imunosupresi (Dhabhar 2008). Prednisone merupakan kortikosteroid yang digunakan baik untuk manusia maupun hewan. Hewan yang umum mendapatkan anti-inflamasi berupa prednisone adalah kucing, anjing, dan kuda. Dalam penelitian ini Prednisone yang diberikan secara per oral kepada ayam broiler untuk melihat perubahan organ limfoidnya. Dosis yang diberikan merupakan dosis yang umum diberikan kepada manusia. Menurut Jamin (2011), dosis yang diberikan adalah 3 mg/kg BB per oral. Kortikosteroid berfungsi sebagai anti-inflamasi namun jika diberikan secara terus-menerus maka akan berdampak buruk. Kortikosteroid akan menekan sistem kekebalan tubuh sehingga akan membuat ayam lebih mudah terpapar agen penyakit. Kondisi ini disebut imunosupresi dan dapat dilihat dari perubahan histopatologi organ limfoid ayam broiler. Perubahan sangat signifikan dapat dilihat pada jumlah limfosit baik pada bursa Fabricius, timus, dan limpa. Pada jumlah limfosit organ yang diberi perlakuan (CC2) secara umum mengalami apoptosis sehingga kepadatan berkurang. Pengamatan histopatologi menunjukkan deplesi pada folikel limfoid akibat kematian limfosit. Deplesi diakibatkan mekanisme apoptosis yang melibatkan enzim caspase akibat reaksi dari ikatan reseptor dan glukokortikoid. Hal yang sama dialami oleh folikel limfoid limpa. Namun pengamatan pada jumlah folikel limfoid bursa Fabricius tidak menunjukkan efek imunosupresi dari kortikosteroid. Pengamatan yang dilakukan terhadap ukuran organ, yakni bursa Fabricius dan timus juga tidak terlalu menunjukkan pengaruh kortikosteroid secara signifikan. Beberapa organ yang terpapar kortikosteroid mengalami atrofi yang ditunjukkan plika bursa yang lebih pendek daripada kelompok kontrol (CC0). Folikel limfoid yang mengalami deplesi akan terisi oleh cairan sehingga

organ akan mengalami edema. Kondisi imunosupresi yang jelas dapat terlihat dan diamati adalah dari kepadatan limfosit bukan dari ukuran organ. Dengan melihat kecenderungan terjadi penurunan jumlah limfosit dan ukuran bursa Fabricius, limpa, serta luas korteks timus diperkirakan jika penggunaan diberikan atau dilakukan dalam jangka waktu panjang dapat mempengaruhi ukuran folikel limfoid. Namun karena sel imunokompeten yang penting adalah limfosit, maka penurunan jumlah limfosit sudah membeikan kerugian. Ayam akan menjadi rentan terhadap penyakit dan respon vaksinasi akan buruk. Kerugian akan terlihat lebih jelas pada ayam layer atau breeder dan ayam hias yang memiliki masa hidup lebih lama dibandingkan ayam broiler.