BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Diagram Alir Analisis Kapasitas Runway 3 Mulai Identifikasi Masalah Tinjauan Pustaka Pengumpulan Data 1. Data penumpang pesawat tahun 2005-2015 2. Data Pergerakan Pesawat 2005-2015 3. Detail Engineering Design (DED) Runway 3 4. Data campuran tipe pesawat terbang yang menggunakan runway 5. Data Jadwal penerbangan harian pada bulan puncak tahun 2015 6. Data pergerakan pesawat dan penumpang tiap bulan pada tahun 2015 Pengolahan Data Analisis Perhitungan Kapasitas runway 3 (metode pemodelan operasi pesawat, metode FAA, kondisi 5, 10 tahun mendatang) Analisis dan Pembahasan Kapasitas runway 3 (metode pemodelan operasi pesawat, metode FAA, kondisi 5, 10 tahun mendatang) Kesimpulan dan Saran Selesai Gambar 3.1. Diagram Alir Analisis Runway 3 III-1
3.2. Lokasi Penelitian Penelitian Tugas Akhir ini dilakukan di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta yang terletak di kota Tangerang, Provinsi Banten. Bandar Udara ini memiliki kode ICAO yaitu WIII dan kode IATA yaitu CGK yang maksudnya adalah Cengkareng karena bandara ini juga terletak di Cengkareng, Jakarta Barat. Sampai dengan bulan Januari 2017, bandar udara yang terletak 20 km sebelah Barat Laut Kota Jakarta ini memiliki tiga bangunan terminal utama yaitu terminal 1, terminal 2, dan terminal 3; dan dua runway yaitu runway utara (07L/25R) dan runway selatan (07R/25L) sedangkan runway 3 masih dalam tahap pembangunan untuk menanggulangi tingginya permintaan pergerakan pesawat di masa mendatang. Informasi umum dan lokasi dapat dilihat pada Tabel 3.1, Gambar 3.1 dan Gambar 3.2 Tabel 3.1 Informasi umum Bandara Soekarno-Hatta Nama Bandar Udara Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta Kota Tangerang Provinsi Banten 06 o 07 25 Koordinat 106 o 39 40 UTC(Coordinated Universal Time) +7 Elevasi 34 ft/10m Suhu 32 C Operator Bandar Udara PT. Angkasa Pura II (Persero) Kode ICAO/IATA WIII/CGK (Sumber : Aerodrome Manual Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta) III-2
LOKASI RUNWAY 3 Gambar 3.2 Rencana Runway 3 Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta (Sumber : PT. Angkasa Pura II, 2016) III-3
Gambar 3.3 Layout Lokasi Runway 3 Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta (Sumber : Google Earth, 2017) III-4
3.3. Data Penelitian Data-data yang digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini antara lain: a. Layout runway 3 Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta b. Data Detail Engineering Design runway 3 c. Data Pergerakan Pesawat dari tahun 2005-2015 d. Data campuran tipe pesawat terbang yang menggunakan runway e. Data Jadwal penerbangan harian pada bulan puncak tahun 2015 f. Data pergerakan pesawat dan penumpang tiap bulan pada tahun 2015 3.4. Materi Penelitian Penelitian dalam Tugas Akhir ini meliputi analisis kapasitas runway 3 pada saat awal beroperasi dan peramalan kapasitas runway 3 pada kondisi 5 dan 10 tahun mendatang dengan menggunakan perbandingan metode FAA dan metode Pengembangan Pemodelan Operasi Pesawat 3.5. Waktu Penelitian Waktu Pengambilan data sekunder adalah pada bulan Desember 2016 sampai dengan Januari 2017. Pengolahan data dilakukan pada bulan Februari 2017 sampai dengan Juni 2017. 3.6. Metode Analisis Kapasitas Runway 3.6.1. Metode FAA Metode FAA yang digunakan dalam analisis adalah FA Advisory Circular (AC) 150/5060-5 tentang Airport Capacity and Delay. Analisis kapasitas runway dihitung dengan: III-5
1. Campuran Pesawat (Aircraft Mix) Dalam hal ini, yang terpenting adalah maximum take off weight (MTOW), kecepatan dan instrumen. Bobot pesawat aksimum saat lepas landas (MTOW) berkaitan dengan kecepatan lepas landas (approach speed) dan hal ini berhubungan dengan pengaturan waktu yang dibutuhkan pesawat terbang pada beberapa pemisah standar. Terutama apabila terdapat operasi pesawat yang berada di belakang pesawat berbadan lebar (wide body). Pada kasus ini harus ada jarak pemisah yang aman antar pesawat, karena adanya pengaruh udara yang berputar di belakang mesin pesawat (wake turbulance). Semakin besar perbedaan kelas pesawat yang beroperasi, maka akan semakin besar pula jarak aman yang dibutuhkan. Oleh karena itu, kelas campuran pesawat sangat menentukan besarnya waktu pemakaian runway dan akhirnya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kapasitas runway. Kelas campuran pesawat terbang harus dikonversi ke suatu satuan indeks campuran untuk menentukan kapasitas runway pada operasi campuran. Indeks campuran tersebut dijelaskan dalam persamaan berikut: Indeks Campuran (Mix Index) = (C + 3D)% dengan: C = persentase pesawat terbang kelas C dalam campuran pesawat yang menggunakan runway D = persentase pesawat terbang kelas D dalam campuran pesawat yang menggunakan runway III-6
2. Persentase operasi kedatangan / Arrival (PA) Persentase dari semua operasi kedatangan pesawat memiiki pengaruh penting pada perhitungan kapasitas per jam runway. Contohnya, sebuah runway yang dgunakan khusus untuk operasi kedatangan saja akan memiliki kapasitas yang berbeda dari runway yang digunakan untuk keberangkatan maupun operasi campuran. Adapun rumus yang digunakan adalah Persamaan berikut PA = A+ 1 2 (T+G) A+D+(T+G) x100 dengan: A = jumlah operasi kedatangan dalam satu jam D = jumlah operasi keberangkatan dalam satu jam T+G = jumlah operasi touch and go dalam satu jam 3. Persentase operasi tak menentu (touch and go) Operasi tak menentu (touch and go) didefinisikan sebagai operasi pesawat terbang saat mendarat (landing) kemudian segera berangkat (take off) tanpa berhenti sepenuhnya. Operasi ini paling banyak dilakukan oleh para penerbang penerbangan umum yang mempraktekan pendekatan ke landasan. Pendaratan dan lepas landas. Karena operasi touch and go merupakan operasi keberangkatan dan kedatangan, maka operasi ini dianggap sebagai operasi dua pesawat. Adapun persamaan yang digunakan adalah persamaan berikut III-7
(T&G) = (T+G) A+D+(T+G) x100 dengan: A = jumlah operasi kedatangan dalam satu jam D = jumlah operasi keberangkatan dalam satu jam T + G = jumlah touch and go dalam satu jam 4. Lokasi exit taxiway Kapasitas per jam runway dipengaruhi oleh waktu pemakaian runway dan waktu pemakaian runway sangat ditentukan lokasi exit taxiway. Lokasi exit taxiway ini diukur dari batas ambang kedatangan (threshold) di runway. Exit taxiway harus ditempatkan pada posisi yang menghasilkan waktu pemakaian runway minimum. Apabila hal ini tidak dilakukan, kapasitas akan berkurang karena adanya waktu pemakaian runway yang berlebihan. Jika parameter-parameter di atas telah diketahui maka kapasitas runway dapat ditentukan dengan menggunaan sekumpulan grafik yang telah diterbitkan oleh FAA. Melalui metode ini, kapasitas per jam dapat diperoleh dai rumus pada persamaan berikut. C = C* x E x T dengan: C = kapasitas per jam konfigurasi pemakaian runway dalam operasi-operasi per jam C* = kapasitas ideal atau dasar konfigurasi pemakaian runway (hourly capacity base) E = faktor penyesuaian exit taxiway untuk jumlah dan lokasi dari runway T = faktor penyesuaian tak menentu (touch and go) III-8
Sementara itu, untuk menentukan nilai C* dan E, penyesuaian terhadap kondisi VFR dan IFR harus dilakukan seperti berikut. a. Penilaian nilai C* dapat diperoleh berdasarkan penyesuaian terhadap mix index runway melalui Gambar 3.4 berikut berdasarkan konfigurasi runway yang telah ditentukan pada Gambar 2.9 Gambar 3.4 Grafik penentuan hourly capacity base (C*) (Sumber : FAA) b. Nilai touch and go diambil nilai 1 untuk kondisi IFR, sedangkan nilai touch and go untuk kondisi VFR dapat dilihat pada Tabel berikut: III-9
Tabel 3.2 Penentuan faktor touch & go pada kondisi VFR Touch & Go (%) Mix Index (%) Faktor Touch & Go 0 0-180 1 1-10 0-70 1,04 11-20 0-70 1,1 21-30 0-40 1,2 31-40 0-10 1,3 41-50 0-10 1,4 (Sumber : FAA) c. Nilai E dapat ditentukan berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut. 1. Menentukan jarak lokasi exit taxiway berdasarkan mix index yang telah dihitung. 2. Untuk runway khusus kedatangan, jumlah exit taxiway rata-rata ditentukan dengan syarat: berada pada jarak lokasi exit taxiway yang telah ditentukan dan lokasi exit taxiway dipisahkan minimal 750 ft. 3. Jika jumlah exit taxiway (N) adalah 4 atau lebih, maka exit factor E = 1 4. Jika nilai N kurang dari 4, tentukan exit factor E dari tabel 3.3 untuk posisi dan jumlah exit taxiway pada kondisi VFR, sedangkan nilai E pada kondisi IFR dapat dilihat pada Tabel 3.4. III-10
Mix Index % Tabel 3.3 Penentuan nilai exit factor E untuk kondisi VFR Jarak Exit Taxiway dari Threshold (ft) Bab III Metode Penelitian Exit Factor E 40% Arrival 50% Arrival 60% Arrival N=0 N=1 N=2 N=2 N=2 N=0 N=1 atau N=0 N=1 atau atau 3 3 3 0-20 2000-4000 0,72 0,87 0,94 0,70 0,86 0,94 0,67 0,84 0,92 21-50 3000-5500 0,79 0,86 0,94 0,76 0,84 0,93 0,72 0,81 0,90 51-80 3500-6500 0,79 0,86 0,92 0,76 0,83 0,91 0,73 0,81 0,90 81-120 5000-7000 0,82 0,89 0,93 0,80 0,88 0,94 0,77 0,86 0,93 121-180 5500-7500 0,86 0,94 0,98 0,82 0,91 0,96 0,79 0,91 0,97 (Sumber : FAA) Mix Index % Tabel 3.4 Penentuan nilai exit factor E untuk kondisi IFR Jarak Exit Taxiway dari Threshold (ft) Exit Factor E 40% Arrival 50% Arrival 60% Arrival N=0 N=1 N=2 N=2 N=2 N=0 N=1 atau N=0 N=1 atau atau 3 3 3 0-20 2000-4000 0,81 0,91 0,96 0,83 0,95 0,99 0,92 1,00 1,00 21-50 3000-5500 0,79 0,86 0,92 0,77 0,85 0,92 0,89 0,98 1,00 51-80 3500-6500 0,81 0,87 0,93 0,77 0,83 0,91 0,90 0,98 1,00 81-120 5000-7000 0,83 0,89 0,94 0,80 0,86 0,92 0,83 0,91 0,97 121-180 5500-7500 0,86 0,94 0,98 0,83 0,91 0,96 0,79 0,89 0,95 (Sumber : FAA) 3.6.2. Metode Pengembangan Pemodelan Operasi Pesawat Metode Pengembangan Pemodelan Operasi Pesawat yang digunakan dalam analisis adalah buku Planning and Design of Airports Fifth Edition. Analisis kapasitas runway dihitung dengan: 1. Pemodelan operasi kedatangan saja (arrival only) a. Perhitungan dengan keadaan bebas kesalahan (error-free case) Pada kondisi ini, agar membuat perhitungan lebih mudah, pesawat terbang dikelompokkan ke dalam beberapa kelas kecepatan yang berbeda V i, V j. Untuk mendapatkan waktu pelayanan terboboti untuk III-11
kedatangan, matriks selang waktu di antara kedatangan pesawat di ambang runway perlu dirumuskan. Setelah memperoleh matriks ini dan persentase berbagai kelas dalam campuran pesawat, waktu pelayanan terboboti dapat dihitung. Kebalikan waktu pelayanan terboboti merupakan kapasitas runway. Dimisalkan matriks bebas kesalahan adalah [M ij ], selang waktu minimum di ambang runway untuk pesawat terbang dengan kelas kecepatan i yang diikuti pesawat kelas j, dan misalkan persentase pesawat kelas i dalam campuran adalah p i, dan pesawat kelas j adalah p j, maka perhitungan dapat dilihat pada persamaan berikut. T j - T i = [T ij ] = [M ij ] dengan: T i : waktu dimana pesawat i yang di depan melewati ambang runway T j : waktu dimana pesawat j yang di belakang melewati ambang runway [T ij ] : matriks pemisahan waktu sebenarnya di ambang runway untuk dua kedatangan yang berurutan, pesawat dengan kelas kecepatan i diikuti oleh pesawat dengan kelas kecepatan j III-12
E[T ij ] = P ij M ij = P ij T ij 1 C= E[Tij] dengan: E[T ij ] : waktu pelayanan rerata, atau waktu antar kedatangan di ambang runway untuk campuran pesawat. P ij : probabilitas bahwa pesawat yang di depan i akan diikuti oleh pesawat di belakangnya j. C : kapasitas runway untuk mengolah campuran pesawat yang datang ini. Agar mendapatkan waktu antar kedatangan di ambang runway, kecepatan pesawat yang berada di depan V i perlu diketahui apakah lebih besar atau lebih kecil dari kecepatan V j pesawat di belakangnya. Hal ini dikarenakan pemisah di ambang runway akan berbeda dalam setiap keadaan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan menggambar diagram waktu-jarak yang menerangkan kondisi-kondisi tersebut. Keadaan merapat (V i < V j ) Keadaan ini merupakan keadaan dimana approach speed pesawat di depan adalah lebih kecil dari yang berada di belakangnya. Pemisahan waktu minimum di ambang runway dinyatakan dalam jarak δ ij dan kecepatan dari pesawat di belakangnya, V j. Apabila waktu pemakaian runway saat operasi kedatangan R i adalah lebih besar dari pemisahan di udara, maka akan menjadi pemisahan minimm di ambang runway. Persamaan untuk keadaan ini adalah persamaan sebagai berikut. III-13
Tij = Tj Ti = δij Vj Gambar 3.5 Diagram waktu-jarak untuk jarak antar kedatangan, Keadaan merapat (Vi < Vj) (Sumber : Horonjeff, 2010) dengan: δij : jarak pisah minimum yang diperbolehkan di antara dua pesawat yang datang, pesawat i di depan dan pesawat j di belakang, di sembarang tempat di sepanjang jalur pendekatan umum ini. Vi : kecepatan pada saat mendekati runway dari pesawat di depan dari kelas i Vj : kecepatan pada saat mendekati runway dari pesawat di belakang dari kelas j. Ri : waktu penggunaan runway dari pesawat di depan dari kelas i. III-14
Keadaan merenggang ( Vi > Vj) Keadaan ini adalah untuk keadaan dimana approach speed pesawat yang berada di depan adalah lebih besar dari pada approach speed pesawat di belakangnya. Pemisahan waktu minimum di ambang runway dinyatakan dalam jarak δij, panjang jalur pendekatan umum ke runway ϒ, dan kecepatan pada saat mendekati runway adalah Vi dan Vj dari pesawat di depan dan di belakang. Pada kondisi ini pemisahan jarak minimum δij dapat terjadi di sepanjang jalur pendekatan umum ke runway yang terjadi di jalur masuk (entry gate) dan tidak terjadi di ambang runway. Berikut persamaannya. Tij = Tj Ti = δij Vj + ϒ ( 1 Vj 1 Vi ) b. Perhitungan dengan kesalahan posisi Adapun keadaan yang menganggap terjadinya kesalahan posisi saat kedatangan. Kesalahan dihitung dengan menambahkan waktu-sangga (buffer time) terhadap waktu pisah minimum. Lamanya waktusangga terkait dengan besarnya probabilitas penyimpangan yang dapat diterima. Gambar 3.6 menunjukkan posisi pesawat yang berada di belakang ketika mendekati ambang runway. Pada Gambar 3.6a, pesawat yang berada di belakang diatur urutannya sedemikian rupa sehingga posisi reratanya ditentukan secara tepat oleh pemisahan minimum di antara pesawat yang berada di depan ban belakang. Akan tetapi, apabila posisi pesawat merupakan suatu variabel sembarang, maka terdapat probabilitas dimana posisi pesawat dapat lebih cepat atau lebih lambat dari jadwal sehingga dapat melanggar III-15
aturan pemisahan minimum. Oleh karena itu, posisi pesawat harus diatur sehingga patokan pemisahan minimum tetap dipatuhi. Dalam keadaan ini, kesalahan posisi didistribusikan secara normal dan probabilitas pelanggaran aturan pemisahan minimum sebesar 50 persen dapat terjadi apabila tidak dipertimbangkan waktu tambahan untuk separasi minimum seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.6. Oleh karena itu, untuk memperkecil probabilitas pelanggaran tersebut, pesawat harus diatur untuk sampai di psisi ini dengan membuat waktu-sangga terhadap patokan pemisahan minimum, seperti terlihat ada Gambar 3.4a. Pada perhitungan kapasitas runway, waktu tambah atau waktu sangga (buffer time) menjadi variabel yang dicari, sehingga probabilitas pelanggaran kesalahan posisi harus diasumsi atau ditentukan sendiri berdasarkan kondisi eksisting di lapangan. Adapun besar probabilitas pelanggaran kesalahan posisi yang sering digunakan berada pada interval 5%-10%. Pada Tugas Akhir ini, probabilitas pelanggaran kesalahan posisi yang digunakan adalah sebesar 10% berdasarkan kondisi eksisting. Pada kenyataannya, para ATC controller telah menjadwal pesawat dengan memakai waktu sangga sehingga probabilitas pelanggaran terhadap aturan pemisahan minimum berada pada tingkat yang masih dapat diterima. Pada keadaan merapat, penyangga (waktu sangga) merupakan nilai yang tetap. Sebaliknya, dalam keadaan merenggang, penyangga tidak harus merupakan nilai tetap dan biasanya lebih kecil dari pada III-16
penyangga untuk keadaan merapat. Apabila telah dibuat model untuk penyangga, dibuat matriks waktu-sangga [Bij] untuk pesawat kelas kecepatan i yang diikuti oleh pesawat dengan kelas kecepatan j. Matriks ini diakumulasikan pada matriks bebas kesalahan untuk menentukan matriks waktu antar kedatangan pada pemisahan sebenarnya. Kemudian, kapasitas runway dapat ditentukan melalui matriks ini, Hubungan tersebut diberikan oleh Persamaan berikut. E[Tij] = Pij [Mij + Bij] Gambar 3.6 Ilustrasi jarak waktu sangga pada pemisahan sebenarnya diantara pesawat apabila kesalahan posisi diperhitungkan (Sumber : Horonjeff, 2010) III-17
Keadaan merapat (Vi < Vj) Dalam hal in, dimisalkan [Tij] adalah selang waktu minimum sebenarnya di antara pesawat kelas i dan j dan dianggap bahwa pemakaian runway adalah lebih kecil dari [Tij]. Setelah itu, menentukan nilai rerata [Tij] sebagai [Eij] dan e o sebagai suatu kesalahan random yang didistribusikan secara normal dengan ratarata nol dan simpanganbaku σ 0. Sehingga, untuk setiap kedatangan: Tij = E [Tij] + e 0 Akan tetapi agar tidak melanggar patokan aturan pemisahan minimum, nilai E[Tij] harus ditambah dengan penyangga sebesar Bij. Oleh karena itu, diperoleh E[Tij] = Mij + Bij dan juga Tij = Mij + Bij + e 0 Untuk keadaan ini pemisahan minimum di ambang runway ditunjukkan oleh persamaan berikut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan probabilitas pelanggaran p v tertentu, yaitu besarnya penyangga yang dibutuhkan. Jadi, atau p v = P ( Tij < δij Vj ) p v = P ( δij Vj + Bij + e 0 < δij Vj ) yang disederhanakan menjadi p v = P (Bij < -e 0 ) III-18
dengan anggaran bahwa kesalahan itu didistribusikan secara normal dengan simpangan baku σ o, maka nilai penyangga dapat dicari dari Bij = σ o q v dengan: q v : nilai dimana distribusi normal standar kumulatif mempunyai nilai (1 p v ) Dengan kata lain, besarnya simpangan baku dari rerata dalam suatu persentase tertentu dari daerah di bawah kurva normal akan didapat. Pada keadaan merapat, waktu sangga adalah suatu konstanta yang bergantung pada besarnya pancaran kesalahan dan probabilitas pelanggaran pv yang dapat diterima. Keadaan merenggang (Vj > Vi) Dalam keadaan ini pemisahan di antara pesawat bertambah dari jalur masuk. Model ini menganggap bahwa pesawat yang berada di belakang harus dijadwalkan pada jarak yang tidak kurang dari δij mil dari pesawat yang berada di depan ketika berada pada jalur masuk, tetapi dianggap bahwa pemisahan yang ketat hanya dilakukan oleh ATC controller ketika pesawat yang berada di belakang mencapai jalur masuk. Untuk keadaan ini probabilitas pelanggaran hanyalah probabilitas bahwa pesawat yang berada di belakang mencapai pintu masuk seperti pada Gambar. Secara matematis hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut: Pv = P [ Tj ( δij+ ϒ Vj ) < Ti - ϒ Vi ] III-19
atau Pv = P [ Tj Ti < δij Vj + ( ϒ Vj ϒ Vi )] Jika menggunakan Persamaan di atas untuk menghitung jarak sebenarnya di ambang runway, maka dapat disederhanakan menjadi, Bij = σ o q v - δij ( 1 Vj 1 Vi ) Oleh karena itu, untuk keadaan merenggang besarnya penyangga adalah kurang dari yang dibutuhkan dalam keadaan merapat, seperti pada persamaan di atas. Nilai-nilai penyangga merupakan suatu nilai positif dengan minimum sama dengan nol, dan nilai negatif tidak diperbolehkan. 2. Pemodelan operasi campuran (mixed operation) Diagram jarak waktu pada operasi ini diperlihatkan pada Gambar 3.7. Ti dan Tj pada gambar adalah waktu dimana pesawat yang ada di depan i dan yang ada di belakang j, melewati ambang kedatangan, δij adalah pemisahan minimum di antara kedatangan, T1 adalah waktu dimana pesawat yang datang meninggalkan runway, Td adalah waktu dimana pesawat yang berangkat mulai lepas landas, δd adalah jarak minimum pada jarak mana pesawat yang datang harus berada (dari ambang runway) supaya keberangkatan dapat dilakukan, T2 adalah waktu yang menyatakan saat terakhir dimana keberangkatan dapat dilakukan, G adalah perbedaan waktu dimana keberangkatan dapat dilakukan, t d adalah waktu pelayanan yang dibutuhkan untuk keberangkatanm dan Ri adalah waktu pemakaian runway untk suatu kedatangan. III-20
Gambar 3.7 Diagram waktu-jarak untuk jarak antar kedatangan operasi campuran pada suatu sistem runway (Sumber : Horonjeff, 2010) Operasi kedatangan merupakan operasi yang diprioritaskan. Oleh karena itu, pesawat yang datang diurutkan dengan pemisahan minimum dan keberangkatan tidak dapat dilakukan kecuali terdapat perbedaan waktu G di antara kedatangan yang berurutan. Maka, dapat ditulis Tetapi, diketahui bahwa Oleh karena itu, dapat ditulis G = T2 T1 > 0 T1 = Ti + Ri dan T2 = Tj δd Vj T2 T1 > (Tj δd ) (Ti + Ri) > 0 Vj atau agar dapat melakukan satu keberangkatan di antara dua kedatangan yang berurutan, didapat III-21
Tj Ti > Ri + δd Vj Melalui pengembangan sederhana pada persamaan ini, diketahui bahwa waktu antar kedatangan rerata yang dibutuhkan adalah E( Tij) Dan untuk melakukan nd keberangkatan diantara dua kedatangan diperoleh dari E( Tij) > E(Ri) + E( δd Vj ) + (n d 1) E([t d ]) Suatu faktor kesalahan σ G q v dapat ditambahkan pada persamaan di atas untuk memperhitungkan pelanggaran terhadap perbedaan jarak. Kapasitas dari pemodelan operasi campuran ditujukan oleh persamaan berikut. dengan: C m = 1 E( T ij ) (1 + n dp nd ) C m E( T ij ) P nd = kapasitas runway pada operasi campuran = waktu antar-kedatangan yang diharapkan = Probabilitas dilaksanakannya keberangkatan, n d, di setiap perbedaan jarak n d = jumlah keberangkatan saat adanya perbedaan jarak antar kedatangan III-22
III-23