BAB I PENDAHULUAN. mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang. menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. untuk menciptakan kemandirian dalam pembiayaan pembangunan dengan. mengurangi ketergantungan pada sumber dana luar negeri.

PENDAHULUAN. menyediakan sarana dan prasarana,baik fisik maupun non fisik. Namun dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. pembukaan Undang-Undang Dasar Pembangunan Nasional difasilitasi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi topik utama dalam bidang Ilmu Ekonomi.


BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN. berbagai kegiatan pembangunan nasional diarahkan kepada pembangunan yang merata ke

PEMERINTAH ALOKASIKAN ANGGARAN DANA DESA TAHUN 2015 SEBESAR RP9,1 TRILIUN

2011, No Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 91, Tamba

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. reformasi dengan didasarkan pada peraturan-peraturan mengenai otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. (Adrimas,1993). Tujuannya untuk mencapai ekonomi yang cukup tinggi, menjaga

BAB I PENDAHULUAN. Untuk melaksanakan hak dan kewajiban serta untuk melaksanakan tugas yang

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

Hasil penelitian Alfirman dan Sutriono (2006) yang meneliti masalah hubungan. pengeluaran rutin dengan produk domestik bruto (PDB) menemukan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. maka daerah akan lebih paham dan lebih sensitif terhadap kebutuhan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

faktor yang dimiliki masing-masing negara, antara lain sistem ekonomi, kualitas birokrasi. Sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara akan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pembangunan daerah adalah meningkatkan. pertumbuhan sektor ekonomi, dengan pendapatan sektor ekonomi yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. terkandung dalam analisis makro. Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik

BAB I PENDAHULUAN. baik (Good Governance) menuntut negara-negara di dunia untuk terus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2. Kecenderungan Lintas Sektoral

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pemerintah merupakan salah satu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/PMK.07/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM DAN ALOKASI DANA INSENTIF DAERAH TAHUN ANGGARAN 2011

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. upaya yang berkesinambungan yang meliputi pembangunan masyarakat, bangsa,

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

ANGGARAN PENDAPATAN & BELANJA NEGARA DIANA MA RIFAH

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. angka pengangguran dapat dicapai bila seluruh komponen masyarakat yang

PERTUMBUHAN EKONOMI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA TAHUN 2008 SEBESAR 5,02 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan UU. No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I LATAR BELAKANG. Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia saat ini semakin

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

PENTINGNYA MENINGKATKAN PENERIMAAN PAJAK

ANALISIS PENGARUH PENGELUARAN PEMBANGUNAN PEMERINTAH TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI JAWA TIMUR SKRIPSI. Oleh : SANDRA EKA WIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Pemerintah Provinsi Bali

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Otonomi daerah atau sering disebut desentralisasi fiskal mengharuskan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dengan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang mana untuk selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2005 TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2006

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya pembangunan nasional di negara-negara berkembang. difokuskan pada pembangunan ekonomi dalam rangka upaya pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat kesejahteraan merupakan acuan utama yang mendeskripsikan

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. buruk terhadap kinerja suatu Pemerintah Daerah (Pemda).

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 130, 2004 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4442)

BAB I PENDAHULUAN. untuk tempat tinggal dan berlindung. Namun seiring dengan perkembangan

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memajukan kesejahteraan umum, itulah salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertulis dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia (RI) 1945. Cara untuk memajukan kesejahteraan umum adalah dengan melaksanakan pembangunan untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera, berkeadilan dan berkemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pada awal reformasi krisis moneter yang berlanjut kepada krisis ekonomi mewarnai perekonomian Indonesia sehingga beberapa sektor ekonomi yang menjadi indikator PDB mengalami pertumbuhan negatif. Menurut Subandi (2005), beberapa penyebab yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional antara lain adalah permasalahan kesenjangan dalam pengelolaan perekonomian dimana para pemodal besar selalu mendapat kesempatan yang lebih luas dibanding dengan para pengusaha kecil dan menengah yang serba kekurangan modal. Selain itu akses untuk mendapatkan bantuan modal ke perbankan juga lebih memihak kepada para pengusaha besar dibandingkan dengan pengusaha ekonomi lemah. Tuntutan untuk dilakukan reformasi bergulir mulai tahun 1998 maka sejak itu pula Bangsa Indonesia melakukan reformasi secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sampai dengan saat 1

2 ini. Salah satu dari bentuk reformasi tersebut adalah reformasi dalam hal keuangan pemerintah dan pemerintahan daerah. Reformasi tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan keuangan pemerintah dan pemerintahan daerah antara lain adalah dengan berlakunya Undang-Undang RI Nomor 32 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang RI Nomor 33 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dengan peraturan ini maka penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam satu kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Noor (2013: 216) menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu wilayah atau Negara, paling tidak ditentukan oleh 2 (dua) hal yaitu: masyarakat mempunyai sumber nafkah atau sumber pendapatan yang memadai, yaitu dengan mempunyai lapangan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan bakat yang dimilikinya, dan terpenuhinya pelayanan yang dibutuhkan masyarakat dari negaranya. Tujuan utama setiap pembangunan ekonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui peningkatan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah tersebut. Kondisi perekonomian Sumatera Utara sampai dengan akhir tahun 2011 dipengaruhi oleh berbagai indikator makro ekonomi Sumatera Utara, antara lain: pertumbuhan ekonomi makro, produk domestik regional bruto dan jumlah penduduk. Badan Pusat Statistik (2012) menginformasikan bahwa pencapaian

3 indikator makro Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2011 yang diukur berdasarkan kenaikan angka Product Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000 mencapai angka 6,58 persen. Besaran PDRB Sumatera Utara pada tahun 2011 atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 314,16 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 126,45 triliun. Pada 2010 Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara sebesar 6,35 persen. Besaran PDRB Sumatera Utara pada tahun 2010 atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 275,7 triliun, sedangkan atas dasar harga konstan 2000 sebesar Rp. 118,6 trilyun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat di tabel berikut: Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan PDRB Provinsi Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Komponen Penggunaan 2009-2011 (Persen) Laju Pertumbuhan Sumber Komponen Penggunaan Pertumbuhan 2009 2010*) 2011**) 2010*) 2011* *) [1] [2] [3] [4] [5] [6] 1. Konsumsi Rumah Tangga 7,72 8,24 6,26 5,06 3,91 2. Konsumsi Nirlaba 4,50 4,35 2,23 0,02 0,01 3. Konsumsi Pemerintah 10,66 11,00 6,17 1,02 0,60 4. Pembentukan Modal Tetap 6,73 4,95 7,80 0,99 1,54 Bruto 5. Perubahan Stok -35,60-0,66 13,77 0,00 0,08 6. Ekspor Barang dan Jasa -0,95 10,29 15,19 4,78 7,32 7. Dikurangi Impor Barang dan 2,56 14,44 16,71 5,52 6,88 Jasa PDRB 5,07 6,35 6,58 6,35 6,58 Keterangan : *) Angka sementara Keterangan : **) Angka sangat sementara Sumber: Berita Resmi BPS Provsu No. 13/02/12/Thn.XIV, 6 Pebruari 2012

4 Tabel 1.2 PDRB Provinsi Sumatera Utara Menurut Komponen Penggunaan 2010-2011 (Miliar rupiah) Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Komponen Penggunaan Konstan 2000 2010*) 2011**) 2010*) 2011**) [1] [2] [3] [4] [5] 1. Konsumsi Rumah Tangga 166 555,48 186 029,23 74 120,39 78 762,17 2. Konsumsi Nirlaba 1 104,14 1 132,98 562,15 574,69 3. Konsumsi Pemerintah 29 290,41 32 465,67 11 505,69 12 215,87 4. Pembentukan Modal Tetap 57 013,91 64 576,23 23 413,25 25 240,42 Bruto 5. Perubahan Stok 1 035,99 791,73 700,66 797,11 6. Ekspor Barang dan Jasa 108 499,94 136 708,54 57 188,11 65 872,40 7. Dikurangi Impor Barang dan 87 799,65 107 547,43 48 849,36 57 012,03 Jasa PDRB 275 700,21 314 156,94 118 640,90 126 450,62 Keterangan : *) Angka sementara Keterangan : **) Angka sangat sementara Sumber: Berita Resmi BPS Provsu No. 13/02/12/Thn.XIV, 6 Pebruari 2012 Dari data tersebut dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara tahun 2011 sebesar 6,58% sebagian berasal dari kontribusi konsumsi pemerintah atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 32,46567 triliun atau sebesar 10,33% dari total PDRB Rp. 314.156,94 Trilyun. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara pada tahun 2010 sebesar 6,35% sebagian berasal dari kontribusi pemerintah atas dasar harga berlaku yaitu sebesar Rp. 29,29041 trilyun atau sebesar 10,62% dari total PDRB Rp. 275.700,21 Trilyun. Nilai 10,33% pada tahun 2011 dan 10,62% pada tahun 2010 ini walaupun relatif kecil dibanding dengan komponen penggunaan lainnya, namun memiliki makna yang penting karena pengeluaran dana pemerintah (konsumsi pemerintah) lebih mengedepankan kepada pelayanan publik baik secara administratif maupun

5 teknis yaitu berupa penyediaan sarana dan prasarana, menjaga kestabilan dan keamanan Negara, meningkatkan pendidikan dan kesehatan masyarakat untuk menggerakkan perekonomian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk melihat peningkatan kesejahteraan masyarakat, indikator utamanya dapat dilihat melalui tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Dengan berlakunya sistem otonomi daerah maka diikuti juga dengan desentralisasi keuangan dan fiskal yang bertujuan untuk lebih mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berlakunya sistem otonomi daerah maka diikuti juga dengan banyaknya terjadi pemekaran daerah baik ditingkat provinsi, kabupaten, kota, kecamatan bahkan kelurahan dan desa yang kesemuanya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik demi kesejahteraan masyarakat dan pada akhirnya peningkatan pertumbuhan ekonomi. Disisi lain dengan banyaknya pemekaran daerah tentu akan membutuhkan peningkatan jumlah aparatur pemerintah yang berakibat kepada meningkatnya konsumsi pemerintah khusus komponen belanja aparat negara. Konsumsi pemerintah dalam pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi juga cukup berperan. Oleh karena itu konsumsi pemerintah ini harus dikelola dengan efisien, efektif, transparan dan tepat sasaran sesuai dengan indikatorindikator ekonomi yang ingin dicapai untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Konsumsi pemerintah terdiri atas banyak komponen. Salah satu komponen konsumsi pemerintah adalah belanja pegawai. Pemerintah membayar balas jasa pelayanan yang diberikan Pegawai Negeri Sipil (PNS) berupa gaji dan penghasilan lainnya yang disebut dengan belanja pegawai. Menaikkan gaji

6 Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau memberikan tambahan penghasilan berupa tunjangan kinerja merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan dan kinerja PNS. Meningkatnya kesejahteraan PNS diharapkan akan meningkatkan kinerja dalam melayani masyarakat. Setiap tahun pemerintah mengumumkan kenaikan gaji aparatnya terlebih dalam 5 tahun terakhir, walaupun kenyataannya kenaikan gaji PNS tersebut lebih sering tidak diimbangi dengan peningkatan daya beli karena harga-harga barang dan jasa lebih dahulu naik. Keadaan ini juga akan berpengaruh kepada pekerja di sektor swasta terutama yang tidak mengalami kenaikan gaji atau penghasilan akan mengalami penurunan daya beli. Peningkatan jumlah belanja pegawai selalu menarik perhatian masyarakat karena setiap Presiden menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), masyarakat selalu menyorot Belanja Pegawai. Mengapa Belanja Pegawai lebih populer dari belanja yang lain seperti belanja barang, belanja modal, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, dan belanja lain-lain? Apakah benar APBN telah tergerus belanja pegawai (Mutiarin, 2012)? Mengapa kenaikan belanja pegawai tersebut tidak sebanding dengan peningkatan kinerja atau pelayanan yang diberikan kepada masyarakat? Mengapa anggaran APBD dan APBN yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan justru berbanding lurus dengan peningkatan pemberitaan kasus korupsi di media cetak dan elektronik? Informasi mengenai belanja pegawai selalu mendapat perhatian besar bagi masyarakat khususnya bagi penyedia barang dan jasa. Masyarakat secara umum melihat bahwa APBN banyak digunakan untuk Belanja pegawai terutama

7 untuk membayar gaji PNS dan tunjangan-tunjangan. Menurut Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Azis (2013) dari APBN tercatat Rp 241 triliun dianggarkan untuk rumah dinas, untuk pembayaran gaji pegawai Rp 300 triliun, subsidi cicilan utang Rp300 triliun tidak dapat diganggu, tinggal Rp 800 triliun untuk pendidikan dan pembangunan infrastuktur. Hal ini tentu akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi khususnya pertumbuhan ekonomi daerah. Disamping itu prilaku PNS dalam mengelola gaji atau penghasilannya juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Jika gaji atau penghasilan PNS tersebut dibelanjakan didaerahnya akan berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi daerah tersebut, namun jika dibelanjakan ke daerah lain (kabupaten/kota/provinsi lain) tentu tidak berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dimana PNS tersebut memperoleh gaji atau penghasilan, apalagi jika dibelanjakan ke luar negeri, akan berdampak negatif. Menurut Menteri Keuangan, Agus Martowardojo (Vivanews, 2011) bahwa Kebijakan desentralisasi fiskal dinilai kurang efektif di beberapa daerah selama satu dasawarsa terakhir, sistem ini perlu direvisi karena tidak membuat semua daerah mandiri. Menurut Agus, untuk beberapa daerah seperti Papua, Papua Barat, dan Aceh, realisasi transfer daerah belum optimal. Kurang optimalnya dana transfer daerah ini karena di pemerintah daerah tidak memiliki perencanaan anggaran yang baik, sehingga membuat realisasi anggaran tidak optimal. "Selama satu dasawarsa terakhir, desentralisasi fiskal banyak keberhasilan, namun ada juga kekurangan," kata Agus di Jakarta, Selasa, 13 September 2011.

8 Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Marwanto Harjowiryono, menambahkan dana transfer daerah selama 10 tahun terakhir meningkat cukup signifikan. Saat ini, dari Rp1.200 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011, sekitar Rp 400 triliun merupakan dana transfer daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Otonomi Khusus. "Kualitas belanja daerah merupakan tantangan ke depan, karena kecenderungan belanja aparatur daerah terus meningkat dari tahun ke tahun," katanya. "Jumlah rata-rata belanja pegawai di daerah 45 persen bahkan ada beberapa daerah yang lebih." Saat ini, tim revisi Undang Undang Nomor 33/2004 sedang mengkaji untuk menyempurnakan UU desentralisasi fiskal. Salah satunya dengan memasukkan batas maksimal atau capping belanja pegawai dan belanja modal dalam sistem reward and punishment di revisi undang-undang. "Daerah yang memiliki prestasi seperti penyusunan APBD tepat waktu, opini laporan keuangan pemerintah daerah wajar tanpa pengecualian, reward tentu diberikan. Sedangkan daerah yang pengelolaan APBD belanja pegawai tinggi tentu mendapat semacam penalti seperti moratorium pegawai negeri. Pemerintah pusat mendorong agar APBD dapat cepat dan tepat waktu, sehingga pelaksanaan proyek semakin cepat. Kalau lambat tentu sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) daerah akan tinggi dan dana akan tertahan di akhir tahun cukup besar. Dana tertahan ini tentu tidak bisa diimplementasikan untuk kesejahteraan rakyat. Saat ini pemerintah sedang mengkaji dua alternatif. Alternatif pertama, jika daerah tersebut belanja pegawai rasionya di atas 50 persen, daerah tersebut tidak diperkenankan menambah pegawai negeri. Alternatif

9 kedua adalah menetapkan capping belanja modal minimal 20 persen. "Karena ada belanja modal di daerah hanya 10-15 persen," jelasnya. Saat ini, tim revisi sedang mengkaji berbagai masukan yang masuk. Ia berharap akhir tahun ini draf revisi sudah siap dan dapat diajukan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2012. Belanja barang yang dilakukan pemerintah daerah untuk mendukung pelayanan kepada masyarakat akan berpengaruh kepada roda perekonomian di daerah tersebut yang pada akhirnya akan terkait dengan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Demikian juga dengan belanja modal yaitu belanja yang diperuntukkan untuk membeli barang-barang yang mempunyai umur ekonomis lebih dari 1 tahun dan biasanya nilainya relatif besar. Seperti penyediaan sarana dan prasarana jalan, jembatan dan gedung untuk pendidikan atau kesehatan tentu akan menggerakkan roda perekonomian yang diharapkan akan berpengaruh positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi. Disisi lain korupsi masih banyak terjadi terutama diperankan oleh aparatur Negara. Regar (2011) menyatakan bahwa menurut dugaan umum jumlah komisi untuk pembelian barang sekitar 20% - 40%; pendapatan pajak minimal berkurang 20% sebagai akibat dari kerja sama dengan petugas pajak dan penyelundupan pajak yang tidak dapat diketahui. Laporan Realisasi Anggaran 2009 jumlah pendapatan dan belanja negara minimal mencapai Rp. 1500 triliun yang dapat menjadi sarang korupsi. Dengan asumsi berdasarkan perhitungan yang wajar dan minimal jumlah yang dikorupsikan dari pendapatan dan belanja minimal 10% saja maka jumlah kerugian keuangan Negara setahun telah melebihi Rp. 150 triliun.

10 Berawal dari fenomena di atas, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui pengaruh belanja pegawai, belanja barang dan belanja modal dalam kaitannya dengan peningkatan kesejateraan masyarakat yang dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini peneliti juga menyertakan variabel lain yaitu jumlah penduduk karena tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu penduduk. Semakin banyak jumlah penduduk tentu semakin banyak pula kebutuhan terhadap barang dan jasa termasuk pelayanan yang harus disediakan pemerintah kepada masyarakat. Menurut Sukirno (2007: 465) salah satu kebijakan yang sesuai untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah melalui kebijakan mengurangi laju pertambahan penduduk. Oleh sebab itu peneliti dalam penelitian ini mengambil judul Pengaruh Belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan jumlah penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan jumlah penduduk secara simultan dan parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, dan jumlah

11 penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Kabupatem/Kota di Sumatera Utara. 1.4. Manfaat Penelitian Diharapkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sebagai sarana bagi peneliti untuk mendalami perihal pengaruh belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara; 2. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan belanja pegawai, belanja barang, belanja modal dan jumlah penduduk dalam kaitannya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Sumatera Utara; 3. Sebagai bahan studi lebih lanjut dan referensi bagi peneliti dan pembaca yang berminat dengan topik pembahasan yang sama dimasa yang akan datang. 1.5. Originalitas Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian yang dilakukan oleh Bati (2009) dengan judul Pengaruh Belanja Modal dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi pada kabupaten dan Kota di Sumatera Utara). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Bati adalah: 1. Variabel independen yang digunakan peneliti selain belanja modal adalah belanja pegawai, belanja barang dan jumlah penduduk;

12 2. Populasi dan sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas Pemerintah kabupaten dan kota se-sumatera Utara. Sampel yang digunakan sesuai dengan kriteria peneliti adalah sebanyak 17 yang terdiri dari 12 Pemerintah Kabupaten dan 5 Kota, sedangkan Bati populasinya 10 pemerintah kabupaten dan 7 kota; 3. Data time series yang digunakan untuk variabel independen oleh Bati adalah pada kurun waktu tahun 2004 2006, sedangkan pada penelitian ini pada tahun 2008 2011; 4. Metode analisis yang digunakan regressi linier berganda, sedangkan pada penelitian ini metode analisis regresi data panel.