BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Tanah Gambut

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

, NO 3-, SO 4, CO 2 dan H +, yang digunakan oleh

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Lahan Rawa Pengertian Tanah Gambut

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis tanah lokasi penelitian disajikan pada Lampiran 1. Berbagai sifat kimia tanah yang dijumpai di lokasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Mineralisasi N dari Bahan Organik yang Dikomposkan

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. Pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktifitas. banyak populasi jasad mikro (fungi) dalam tanah (Lubis, 2008).

I. PENDAHULUAN. tanahnya memiliki sifat dakhil (internal) yang tidak menguntungkan dengan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Lahan merupakan sumberdaya alam strategis bagi pembangunan di sektor

TINJAUAN PUSTAKA. legend of soil yang disusun oleh FAO, ultisol mencakup sebagian tanah Laterik

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kopi merupakan tanaman yang dapat mudah tumbuh di Indonesia. Kopi

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI SRI NURYANI HIDAYAH UTAMI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Syarat Tumbuh Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tumbuhan hutan yang dibudidayakan. Tanaman ini memiliki respon yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. sekitar 500 mm per tahun (Dowswell et al., 1996 dalam Iriany et al., 2007).

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

Pengaruh ph tanah terhadap pertumbuhan tanaman

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Survei dan Pemetaan Tanah. memetakan tanah dengan mengelompokan tanah-tanah yang sama kedalam satu

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 3 KIMIA TANAH. Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di tanah

TINJAUAN PUSTAKA. Sifat dan Ciri Tanah Ultisol. Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang

Pemantauan Kerusakan Lahan untuk Produksi Biomassa

Pengelolaan lahan gambut

Pertemuan 10 : PERMASALAHAN LAHAN LEBAK UNTUK PERTANIAN. Ir. ZURAIDA TITIN MARIANA, M.Si

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan gambut yang terdapat di daerah tropika diperkirakan mencapai juta hektar atau sekitar 10-12% dari luas

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

I. PENDAHULUAN. jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri, pakan ternak dan industri

HUBUNGAN AIR DAN TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN

TINJAUAN PUSTAKA. sektor pertanian (MAF, 2006). Gas rumah kaca yang dominan di atmosfer adalah

SYARAT TUMBUH TANAMAN KAKAO

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu ( Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman penting sebagai penghasil

II. TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 29,7% dari 190 juta hektar luas daratan Indonesia. Kelemahan-kelemahan

I. PENDAHULUAN. Ultisols merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia pada umumnya, khususnya Provinsi Lampung. Hal ini dikarenakan

Lampiran 1 Curah hujan (mm) di daerah pasang surut Delta Berbak Jambi

II. TINJAUAN PUSTAKA

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilaksanakan di Green House Jurusan Biologi Fakultas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Beberapa Sifat KimiaTanah Gambut dalam Pot yang Diberi Raw Mix Semen dan Mikroorganisme Efektif M-Bio

I. PENDAHULUAN. pupuk tersebut, maka pencarian pupuk alternatif lain seperti penggunaan pupuk

BAB I PENDAHULUAN. tunggang dengan akar samping yang menjalar ketanah sama seperti tanaman dikotil lainnya.

I. PENDAHULUAN. Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang mempunyai nama ilmiah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai termasuk family leguminosae yang banyak varietasnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. TINJAUAN PUSTAKA. produk tanaman yang diinginkan pada lingkungan tempat tanah itu berada.

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Eksisting Fisiografi Wilayah Studi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanah marginal merupakan tanah yang potensial untuk pertanian. Secara alami

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang. (pada tahun 2000) dan produksi rata-rata 1,4 ton/ha untuk perkebunan rakyat dan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. dicotyledoneae. Sistem perakaran kailan adalah jenis akar tunggang dengan

Lampiran 1. Nama unsur hara dan konsentrasinya di dalam jaringan tumbuhan (Hamim 2007)

KULIAH 2 HUBUNGAN AIR, TANAH DAN TANAMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Awal Tanah Gambut

TINJAUAN PUSTAKA. Radjagukguk (2001) menyatakan bahwatanah gambut adalah tanah-tanah

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH PENURUNAN MUKA AIR TANAH TERHADAP KARAKTERISTIK GAMBUT. Teguh Nugroho dan Budi Mulyanto Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor

PENGANTAR ILMU PERTANIAN PERTEMUAN KE-8 SUMBERDAYA LAHAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. yang mungkin dikembangkan (FAO, 1976). Vink, 1975 dalam Karim (1993)

Transkripsi:

5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat dan di Lahan Gambut Kabupaten Kubu Raya Hingga saat ini, sekitar 50 persen dari lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dengan 1,7 juta hektar (ha) yang sedang atau akan digunakan sebagai perkebunan (WWF Kalimantan Barat, 2014 (tidak dipublikasikan)). Luas keseluruhan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat adalah 1312517 ha (Tabel 1). Kabupaten Ketapang memiliki perkebunan kelapa sawit paling luas (358630 ha) dan Kota Singkawang memiliki perkebunan kelapa sawit paling kecil (6117 ha). Kabupaten Kubu Raya tempat penelitian dilaksanakan memiliki luas perkebunan kelapa sawit 72384 ha. Tabel 1. Luasan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat tahun 2014 Kabupaten Total Luas Areal (ha) Total Produksi (ton tahun -1 ) Perkebun KK Landak 60621 72973 6419 Sambas 74616 41.147 7.452 Bengkayang 66843 52105 4633 Singkawang 6117 3338 112 Sanggau 236037 344249 35253 Sekadau 94194 105153 13093 Sintang 132750 148320 11517 Melawi 38853 24577 3.202 Kapuas Hulu 75176 32644 1.510 Ketapang 358630 280552 16.891 Kayong Utara 33641 20788 847 Kubu Raya 72384 37603 762 Total 1312517 1174499 102883 Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat (2014) Wilayah Kabupaten Kubu Raya berdasarkan Peta Jenis Tanah memiliki luas lahan gambut sekitar 342984 ha atau 49,1% luas total kabupaten. Identifikasi kelas kedalaman lahan gambut dibedakan menjadi 4 kelas, yakni gambut dangkal, gambut sedang, gambut dalam, dan gambut sangat dalam (Tabel 2). Pengembangan lahan gambut untuk kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya mengacu pada Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Peraturan

6 Menteri Pertanian No. 14/2009, terutama pada lahan gambut dengan kedalaman kurang dari tiga meter (gambut dangkal dan gambut sedang) dan pada kawasan area penggunaan lain (APL) (Dinas Perkebunan Provinsi Kalbar, 2012). Tabel 2. Luas dan perentase lahan gambut per kecamatan menurut kedalaman di Kabupaten Kubu Raya Kecamatan Tipe Gambut Luas ha persentase (%) Sungai Raya Gambut Dangkal 51391 14,98 Gambut Sedang 2625 0,77 Gambut Dalam 18484 5,39 Gambut Sangat Dalam 22724 6,63 Rasau Jaya Gambut Dangkal 38243 11,15 Gambut Sedang 38041 11,09 Sungai Ambawang Gambut Dangkal 201 0,06 Gambut Sedang 12752 3,72 Gambut Dalam 8797 2,56 Gambut Sangat Dalam 3955 1,15 Kuala Mandor Gambut Dangkal 5788 1,69 Gambut Sedang 22580 6,58 Sungai Kakap Gambut Dangkal 7559 2,20 Gambut Sedang 70018 20,41 Teluk Pakedai Gambut Dangkal 13578 3,96 Terentang Gambut Dangkal 14494 4,23 Gambut Sedang 2079 0,61 Gambut Sangat Dalam 49958 14,57 Kubu Gambut Dangkal 19821 5,78 Gambut Sedang 2759 0,80 Batu Ampar Gambut Dangkal 74557 21,74 Gambut Sangat Dalam 68770 20,05 Jumlah 342984 100,00 Sumber: Krisnohadi (2011) Berdasarkan kriteria kesesuaian untuk pengembangan kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya terdapat lahan gambut yang cukup sesuai (S2) dan sesuai bersyarat (S3). Kelas lahan S2 tersebar di Kecamatan: Batu Ampar, Kuala Mandor, Kubu, Sungai Raya, Teluk Pakedai, dan Terentang, masing-masing dengan luas sekitar 3423, 1678, 2424, 1451, 670, dan 1021 ha. Kelas lahan

7 S3 tersebar di Kecamatan: Batu Ampar, Kuala Mandor, Kubu, Rasau Jaya, Sungai Ambawang, Sungai Raya, Sungai Kakap, Teluk Pakedai, dan Terentang, masing-masing dengan luas sekitar 3016, 11760, 14570, 12749, 12189, 22941, 2522, 2304, d a n 10166 ha. Sebagian lahan gambut lainnya masuk ke dalam kelas lahan tidak sesuai untuk tanaman kelapa sawit dengan luas sekitar 49 ha. Faktor pembatas utama pengembangan kelapa sawit di Kabuapten Kubu Raya adalah drainase tanah yang sangat buruk (tergenang permanen) sehingga ph tanah sangat masam pada kedalaman kurang dari 3,5 m. Drainase merupakan keadaan tata air dalam tubuh profil tanah yang merupakan resultan atau hasil akhir dari gerakan air yang turun ke bawah (air perkolasi) dan air aliran permukaan (run off). Kedalaman muka air tanah ikut mempengaruhi keadaan drainase karena gerakan air kapiler ke arah permukaan tanah ikut mempengaruhi tubuh tanah. Air tanah yang tergenang pada lahan gambut mengakibatkan profil terlalu basah, pori-pori cenderung terisi air sehingga oksigen menjadi kurang. Pada lokasi kelas lahan S2 ini, ratarata saluran drainase telah teratur, sehingga kemungkinan perakaran pohon kelapa sawit relatif mudah berkembang (Krisnohadi, 2011). Tingkat ph gambut merupakan salah satu faktor pembatas utama yang memiliki kemungkinan untuk menghambat produktivitas tanaman kelapa sawit. ph adalah parameter yang dikendalikan oleh sifat-sifat reaksi elektrokimia koloid-koloid tanah. Istilah ini menunjukkan kemasaman dan kebasaan tanah yang derajadnya ditentukan oleh kadar ion hidrogen di dalam tanah. Tingkat kemasaman tanah dapat mempengaruhi ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh perakaran tanaman dimana setiap unsur hara di dalam tanah ketersediaannya secara maksimal dijumpai pada kisaran tertentu (Damayanti, 2002). Secara teoritis ph optimum untuk pertumbuhan tanaman antara 6,0-7,0, karena pada kisaran ph tersebut ketersediaan unsur-unsur hara tanaman terdapat dalam jumlah besar dan kebanyakan unsur hara mudah larut di dalam air sehingga mudah diserap akar tanaman. Demikian pula mikroorganisme tanah akan menunjukan aktivitas terbesar pada kisaran ph ini. Rata-rata nilai ph lahan gambut Kabupaten Kubu Raya tergolong masam dengan kisaran 3,25-4,40, dan ini masih kurang memenuhi syarat tumbuh tanaman kelapa sawit. Oleh karena itu, diperlukan usaha peningkatan ph tanah untuk menghasilkan produksi yang optimal, termasuk mengurangi reaksi asam humat atau fulvat lahan gambut.

8 Tabel 3. Kelas kesesuaian lahan gambut untuk kelapa sawit di Kabupaten Kubu Raya Kelas Lahan S2d S3, f, n, d Faktor Pembatas Luas ha % Drainase tanah sedang, ph tanah masam 10668 10,36 Kesuburan tanah rendah, drainase tanah buruk 92218 89,59 N Tidak sesuai 49 0,005 Sumber: Krisnohadi (2011) Jumlah 102935 100,00 2. Penelitian-Penelitian Mengenai Lahan Gambut Rumbang et al. (2009) melaksanakan penelitian di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah terhadap tipe penggunaan lahan gambut untuk lahan jagung, lahan lidah buaya, lahan kelapa sawit, lahan karet, masing-masing dengan tiga ulangan. Lahan gambut yang dijadikan lokasi penelitian di Kalimantan Barat merupakan lahan gambut pedalaman dengan kedalaman sedang (1-2 m) dan berat volume antara 0,130-0,163 g cm -3 serta dikelompokkan ke dalam gambut hemik. Hasil pengukuran terhadap rata-rata emisi CO2, tinggi permukaan air tanah dan ph gambut dari 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Tengah pada periode pengukuran tahun 2005, 2006 dan 2007 dan hasil pengukuran di 4 tipe penggunaan lahan gambut di Kalimantan Barat pada periode pengukuran 2006 dan 2007 diperoleh adanya hubungan yang linier antara tinggi muka air gambut dengan besaran emisi CO2. Rata-rata emisi CO 2 yang dilepas dari lahan gambut di Kalimantan Barat berkisar 0,35-1,10 g CO2 m -2 jam -1, sedangkan emisi CO2 dari lahan gambut Kalimantan Tengah hanya berkisar 0,35-0,67 g CO2 m -2 jam -1. Pada tipe penggunaan lahan yang sama (lahan ditanam dengan tanaman semusim), rata-rata emisi CO 2 yang dilepas 4 tipe lahan gambut Kalimantan Tengah berkisar 0,35-0,67 g CO2 m -2 jam -1, tidak jauh berbeda dengan rata-rata emisi CO 2 yang dilepas oleh lahan gambut di Kalimantan Barat yaitu berkisar 0,35-0,69 g CO2 m -2 jam -1. Pada lahan gambut di Kalimantan Barat, emisi CO 2 dari lahan karet dan kelapa sawit (kelompok tanaman tahunan) lebih tinggi dibandingkan dengan lahan jagung dan lidah buaya (Rumbang et al., 2009). Antara ph gambut dengan emisi CO2 lahan gambut terdapat hubungan linier. Hal ini terjadi

9 baik pada lahan gambut Kalimantan Tengah maupun lahan gambut Kalimantan Barat pada semua periode pengukuran. Semakin meningkat ph gambut maka emisi CO2 lahan gambut juga semakin tinggi. Peningkatan ph gambut berkaitan dengan lama lahan dikelola untuk lahan pertanian, pemberian ameliorant dan pemupukan, serta muka air tanah. Makin lama lahan dikelola untuk lahan pertanian maka semakin banyak amelioran dan pupuk yang sudah diberikan ke dalam tanah sehingga ph gambut semakin meningkat, karena tanpa amelioran dan pemberian pupuk pertumbuhan tanaman di lahan gambut terhambat (Rumbang et al., 2009). Kadar air nyata berkorelasi negatif terhadap Eh dengan nilai r = -0,981, dan nyata berkorelasi positif terhadap ph dengan nilai r = 0,862. Reaksi tanah nyata berkorelasi negatif terhadap Eh dengan nilai r = -0,901. Eh nyata berkorelasi negatif terhadap fluks CH4 dengan nilai r = -0,982. Peningkatan kadar air mengakibatkan oksigen bebas dalam tanah berkurang. Penggunaan substrat oleh mikroba yang mengandung oksigen sebagai akseptor elektron dalam proses respirasi menyebabkan penurunan Eh. Kondisi ini menjelaskan korelasi negatif yang nyata antara kadar air tanah dengan Eh. Kondisi Eh berkeseimbangan dengan potensial hidrogen, penurunan Eh akan menyebabkan peningkatan ph (Rumbang et al., 2009). Radjagukguk (2000) meneliti mengenai perubahan sifat-sifat fisik dan kimia tanah gambut akibat reklamasi lahan gambut untuk pertanian. Reklamasi atau konversi lahan gambut untuk pertanian mencakup tindakan drainase dan pembukaan lahan yang menghasilkan perubahanperubahan dalam sifat-sifat fisik, kimia, dan bahkan biologi lahan gambut. Disamping itu, praktek budi daya tanaman juga mempunyai dampak terhadap sifat-sifat tanah gambut tersebut. Dalam hal sifat-sifat fisik, drainase mengakibatkan subsidensi gambut yang berlangsung relatif cepat dalam 4 hingga10 tahun pertama, dan kemudian melambat sampai laju yang agak konstan. Dengan terjadinya subsidensi dan pemadatan, akan terjadi berbagai perubahan dalam sifat-sifat fisik tanah termasuk meningkatnya berat volume, dan menurunnya porositas total, difusi O2 ke dalam gambut, kapasitas udara, volume air tersedia, dan laju infiltrasi air. Setelah didrainase dan pengolahan tanah, laju dekomposisi gambut meningkat yang menyumbang juga pada peningkatan berat volume. Dalam hal sifat-sifat kimia, drainase dan pengolahan tanah meningkatkan pelepasan CO2 karena meningkatnya laju dekomposisi gambut, yang pada gilirannya menghasilkan pemasaman. Maas (2000) melaksanakan penelitian tentang laju dekomposisi gambut dan dampaknya pada status hara pada berbagai tingkat pelindian. Penelitian ini merupakan percobaan simulasi

10 gambut kondisi lapangan yang dikerjakan dengan skala laboratorium. Contoh gambut saprik berasal dari gambut tebal Kalimantan Barat dan gambut topogen dari Rawapening Jawa Tengah. Pelindian secara berkala mempercepat laju degradasi dan kehilangan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman, sedang pelindian kontrol mampu menekan laju degradasi dan menurunkan laju kehilangan nutrisi tanaman. Penelitian oleh Jauhiainen et al. (2014), mengenai dinamika suhu dan emisi CO2 heterotrofik, fluks N2O, dan CH4 di bawah kondisi naungan (shading) yang berbeda pada lahan pertanian gambut dan lahan gambut yang terdegradasi di Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa pemberian naungan terhadap permukaan gambut menyebabkan perbedaan suhu gambut dan memiliki pengaruh yang nyata pada laju emisi gas rumah kaca, dengan emisi meningkat 25 persen untuk setiap 1 C perubahan suhu pada kedalaman gambut 5 cm di lahan pertanian. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Lafleur et al. (2005); Minkkinen et al. (2007); and Mäkiranta et al. (2009) yang mendapatkan tingkat dekomposisi bahan organik di lahan gambut meningkat secara positif dengan peningkatan suhu. Penelitian yang dilakukan (1) Penelitian survey untuk mengetahui besaran fluks CO2 heterotropik aktual di perkebunan kelapa sawit lahan gambut dengan berdasarkan umur tanam kelapa sawit dan kedalaman permukaan air gambut, (2) Percobaan laboratorium menggunakan kolom gambut dari pipa PVC berdiameter 3 inci yang berisi gambut yang diambil dari lokasi penelitian. Terdapat perlakuan 5 level genangan air pada kolom gambut percobaan untuk mengetahui hubungan antara kedalaman permukaan air dengan fluks CO2 heterotropik.. Ketiga, melaksanakan penelitian lapangan untuk mengetahui peran tanaman penutup tanah jenis Mucuna bracteata dan Calopogonium mucunoides dalam menekan fluks CO2 heterotropik. B. Landasan Teori 1. Karakteristik Gambut a. Pembentukan Gambut Gambut adalah material yang terbentuk dari pelapukan bahan organik dari hasil dekomposisi jaringan vegetasi, atau dapat pula dibentuk oleh timbunan bahan sisa tanaman purba yang berlapis-lapis hingga ketebalan >30 cm. Unsur utama material gambut adalah C (karbon) dengan bobot isi sekitar 100 kg m -3. Gambut pada daerah tropis kebanyakan terbentuk pada masa holosen dengan sebagian kecil terbentuk pada masa pleistosen (Anshari et al., 2004). Pada proses penimbunan bahan sisa tanaman ini merupakan proses geogenik (bukan pedogenik

11 seperti tanah-tanah mineral) yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama (Hardjowigeno, 1986). Dataran sungai yang terbentuk umumnya mempunyai pengatusan yang jelek berupa cekungan hingga sisa-sisa tumbuhan yang umumnya adaptif tertimbun oleh karena kondisi anaerob, maka timbunan sisa-sisa tumbuhan tersebut hampir tidak mengalami perombakan. Secara bertahap dengan kurun waktu yang panjang, timbunan sisa tumbuhan ini menjadi lantai hutan gambut. Unsur-unsur utama pembentuk gambut adalah karbon, hidrogen, nitrogen, oksigen dan beberapa oksida dalam jumlah kecil seperti SiO2, Al2O, Fe2O5 dan sulfur. b. Ragam Jenis Gambut Jenis gambut dapat dibedakan berdasarkan asal bahan atau penyusunannya, tingkat kesuburan, wilayah iklim, proses pembentukan, lingkungan, tingkat kematangan dan ketebalan lapisan bahan organiknya. Berdasarkan bahan asal atau penyusunannya gambut dibedakan atas gambut lumutan, gambut seratan dan gambut kayuan 1) Gambut lumutan adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman air, termasuk plankton dan sejenisnya. 2) Gambut seratan adalah gambut yang terdiri dari campuran tanaman sphagnum dan rumputan. 3) Gambut kayuan adalah gambut yang berasal dari jenis pohon-pohonan serta tanaman semak dibawahnya. Berdasarkan tingkat kesuburan, gambut dibedakan menjadi 3 golongan yakni gambut eutronik, gambut oligotrofik dan gambut mesotrofik. 1) Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral terutama kalsium karbonat (CaCO3), sebagian besar berada pada daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rerumputan serta bersifat netral atau alkalin. 2) Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral khususnya kalsium dan magnesium serta bersifat asam atau sangat masm (ph<4). 3) Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara eutrofik dan oligotrofik. Berdasarkan wilayah iklim gambut dibedakan antara gambut tropik dan gambut beriklim sedang. 1) Gambut tropik adalah gambut yang berada di kawasan tropik atau sub tropik. 2) Gambut Iklim sedang adalah gambut yang berada di kawasan eropa yang umumnya memiliki 4 musim.

12 Gambut tropik umumnya mempunyai tingkat keasaman yang lebih tinggi (ph 4-5). Gambut tropik mengalami curah hujan yang tinggi, evaporasi yang tinggi, suhu tahunan yang tinggi dan bahan asal berupa bahan yang terdiri dari kayu-kayuan. Berdasarkan proses pembentukan, gambut dibedakan atas gambut ombrogen dan gambut topogen: 1) Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi curah hujan. 2) Gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi. Berdasarkan sifat kematangan, gambut dapat dibedakan atas 3 jenis yakni gambut fibrik, gambut hemik dan gambut saprik. 1) Gambut fibrik adalah bahan tanah gambut yang masih tergolong mentah dicirikan dengan tingginya kandungan bahan jaringan tanaman atau sisa-sisa tanaman yang masih dapat dilihat keasliannya dengan ukuran beragam, dengan diameter antara 0,15-2 mm; 2) Gambut hemik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan dan bersifat separuh matang; 3) Gambut Saprik adalah bahan tanah gambut yang sudah mengalami perombakan sangat lanjut dan bersifat matang. Berdasarkan ketebalan lapisan bahan organik, gambut dibedakan dalam 4 kategori yakni : 1) Gambut dangkal adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 50-100 cm. 2) Gambut tengahan adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 100-200 cm. 3) Gambut dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara 200-300 cm. 4) Gambut sangat dalam adalah lahan gambut yang mempunyai ketebalan lapisan bahan organik antara >300 cm. c. Klasifikasi Tanah Gambut Tanah gambut diklasifikasikan sebagai Histosol menurut Sistem Taksonomi Tanah USDA yang lebih banyak dipakai dalam pengklasifikasian tanah di Indonesia (Barchia, 2006). Menurut Hardjowigeno (1993), untuk mencegah terjadinya pengklasifikasian kembali setelah tanah diusahakan, ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam klasifikasi Histosol, yaitu: 1) Kandungan minimum bahan organik.

13 2) Ketebalan lapisan bahan organik. 3) Kemungkinan terjadinya subsiden bila drainase diperbaiki. Histosol merupakan tanah dengan sifat-sifat serbagai berikut: 1) Kandungan C-organik >12% bila bagian mineral tidak mengandung liat, atau >18% bila bagian mineral mengandung 60% liat,dan tabalnya mencapai: a) 10 cm atau kurang bila terdapat di atas kontak litik atau paralitik, dengan catatan bahwa tebal lapisan bahan organik tersebut paling sdikit 2 kali lebih tebal dari lapisan mineral di atas kontak litik/paralitik, atau b) Tidak diperhatikan ketebalannya bila lapisan bahan organik tersebut terdapat di atas bahan-bahan fragmental. 2) Mempunyai lapisan dengan bahan organik tinggi seperti di atas dengan permukaan lapsian tersebut terdapat pada kedalaman kurang dari 40 cm, dan memiliki salah satu ketebalan berikut: a) 60 cm atau lebih bila kandungan serat meliputi 3/4 volume atau lebih, atau bila BV lembab <0,1 g cm -3. b) 40 cm atau lebih bila lapisan bahan organik tersebut jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah diadakan perbaikan drainase, dan bahan organik terdiri dari saprik, hemik, atau fibrik kurang dari 2/3 volume dan BV lembab 0,1 g cm -3 atau lebih. c) Mempunyai kandungan bahan organik tinggi seperti di atas yang tidak terdapat lapisan tanah mineral setebal 40 cm atau lebih, baik di permukaan ataupun yang batas atasnya terletak pada kedalaman kurang dari 40 cm, dan tidak mempunyai laisan tanah mineral, yang tebal kumulatif 40 cm dan terletak pada kedalaman kurang dari 80 cm. d. Karakteristik Fisik Gambut Tanah gambut yang terbentuk dari vegetasi hutan rawa tropika relatif heterogen. Terdapatnya batang pohon, ranting, dan akar kasar yang masih menunjukkan banyak ciri tanaman aslinya. Sifat-sifat fisik tanah gambut merupakan produk dari banyak perubah yang berinteraksi, yang menghasilkan bahan-bahan yang beragam dalam derajat dekomposisinya (Barchia, 2006).

14 1) Berat volume (BV) BV gambut merupakan parameter yang paling penting dan merupakan resultan dari dekomposisi bahan gambut. Semakin matang gambut maka semakin tinggi BV (Driessen dan Rochimah, 1976). Menurut Notohadiprawiro (1997), gambut dataran rendah dicirikan dengan nilai BV yang relatif rendah yang biasanya berkisar antara 0,1-0,3 g cm -3. BV gambut dengan kematangan fibrik adalah <0,1 g cm -3, kematangan hemik berkisar 0,07-0,18 g cm -3 dan kematangan saprik >2,0 g cm -3 (Andriesse, 1988), sementara kerapatan jenis gambut (particle density) 1,4 g cm -3 (Driessen dan Rochimah, 1976). Karena gambut mempunyai BV yang rendah maka daya dukung (bearing capacity) gambut juga rendah. Daya dukung gambut kayuan yang telah didrainase dengan baik hanya sekitar 0,21 kg cm - 2, sedangkan tanah mineral umumnya mencapai 0,48-0,56 kg cm -2 (O brien dan Wickens, 1975). 2) Porositas Porositas total gambut relatif tinggi umumnya dalam kisaran 70-95% (Nugroho et al., 1997). Berat volumen gambut merupakan resultan dari dekomposisi vahan gambut. Semakin matang tanah gambut akan diikuti oleh peningkatan berat volume tanah, dan akan diikuti oleh penurunan porositas tanah. 3) Daya tambat air (water holding capacity) Daya tambat air atas dasar berat kering bahan gambut sangat tinggi. Kapasitas mengikat air maksimum untuk gambut fibrik 850 hingga 3000%, hemik 450-850%, dan saprik <450% (Andriesse, 1988). Kadar lengas gambut ditentukan oleh kematangan gambut. Kadar lengas tanah gambut jauh lebih besar dibandingkan tanah mineral. Kadar lengas gambut yang belum mengalami perombakan sebesar 500-1000% bobot, sedangkan yang mengalami perombakan sebesar 200-600% bobot (Boelter,1969). Tabel 4. Kemampuan menyerap dan menyimpan air dari tiga jenis gambut No. Nilai Lengas Fibrik Hemik Saprik 1. Kemampuan maksimum memegang air (%) 1057 374 289 2. Kesetaraan lengas 166 112 110 3. Kebutuhan air untuk penjenuhan 100 cm gambut 101 91 110 kering (g) 4. Kebutuhan air setara dengan 100 cm 3 gambut 16 27 38 kering (g) 5. Berat 100 cm 3 gambut kering 11 27 39

15 Tabel 5. Hubungan kematangan, warna dan kadar lengas maksimum tanah gambut No. Tingkat Kematangan Kerapatan Warna Kadar lengas maksimum (%) 1. Fibrik <0,1 Coklat muda kekuningan, 850 >3000 coklat tua, coklat kemerahan 2. Hemik 0,07 0,18 Coklat tua, Coklat kemerahan 450 850 3. Saprik >0,2 Coklat tua, coklat hitam, hitam <450 4) Daya hantar air (hydraulic conductivity) Daya hantar air tanah gambut ke arah vertikal sangat rendah sedangkan ke arah lateral relatif tinggi. Daya hantar air akan menurun dengan meningkatnya dekomposisi (Barchia, 2006). Menurut Vijarnson (1996), daya hantar air tanah gambut tropika bervariasi antara 0,001-0,032 cm detik -1. Daya hantar air yang baik untuk pengembangan pertanian berkisar 0,36 cm jam -1 atau lebih lambat lagi lebih baik (Noor, 2001). 5) Lapisan bawah Lapisan bawah gambut dapat berupa lapisan lempung marin atau pasir. Gambut terhampar di atas pasir kuarsa yang mempunyai keseburan rendah, dibandingkan lempung marin. Lapisan lempung marin umumnya mengandung pirit (FeS2), sehingga jika lapisan atas gambut terkuras habis misalkan oleh pembakaran maka akan terbentuk tanah asam sulfat asam. Dalam keadaan tergenang (anaerob) tanah sulfat asam tidak menimbulkan masalah bagi tanaman karena pirit bersifat stabil. Tetapi pada keadaan aerob karena pengeringan alami maka pirit berubah menjadi tidak stabil atau teroksidasi sehingga melepaskan asam sulfat dan oksida besi, akibatnya terjadi peningkatan keasaman baik pada tanah maupun pengeringan (ph 2-5). 6) Penurunan muka air Penurunan muka air atau amblesan yang terjadi ditanah gambut sangat tergantung kegiatan yang ada dan pengatusan. Besar kecilnya amblesan dipengaruhi oleh tingkat kematangan gambut umur reklamasi, dan ketebalan lapisan gambut. Gambut fibrik lebih besar mengalami amblesan dibandingkan dengan gambut hemik dan saprik.

16 Tabel 6. Laju amblesan di lahan gambut No. Ketebalan gambut (cm) Laju amblesan (cm bulan -1 ) 1. 0 100 0,42 2. 100 200 0,60 3. 200 300 0,72 4. >300 0,92 Gambut di Indonesia (Tabel 7) rata-rata memiliki BV antara 0,07-0,27 g cm -3, porositas berkisar 83,62-95,13% dan kandungan air dapat mencapai 1272% (Nugroho dan Widodo, 2001). Semakin rendah nilai BV pada gambut akan diikuti secara linier oleh peningkatan porositas tanah dan kandungan air tanah kapasitas jenuh. Pori-pori tanah dalam keadaan tergenang akan diisi oleh air, sehingga semakin tinggi porositas tanah maka akan semakin tinggi air yang dapat ditambat pada tanah gambut. Porositas total dan distribusi ukuran pori sangat menentukan besarnya pengikatan air oleh tanah gambut (Barchia, 2006). Tabel 7. Berat volume, kandungan air, porositas, dan shrinkage tanah gambut Berat volume Porositas (g cm -3 ) (%) Kadar air jenuh (%) 0,27 83,62 301,40 0,20 88,57 443,91 0,18 89,41 451,82 0,14 90,35 633,66 0,12 91,84 729,17 0,07 94,83 1269,54 0,07 95,13 1272,20 Sumber: Nugroho dan Widodo (2001) e. Karakteristik Kimia Gambut 1) Tingkat ph yang rendah Sebagian besar gambut berada di lapisan marin yang mengandung pirit dan juga sebagian lahan berasosiasi dengan tanah mineral sulfat. Tanah mineral sulfat dicirikan oleh kandungan pirit >2% atau kadar S>0,75% terletak pada jeluk <50% dari permukaan tanah. Pirit terbentuk dari reduksi sulfat (oleh bakteri Desulfovibrio sp atau desulfomaculum sp) yang diikuti pembentukan besi sulfida dari sulfur terlarut dengan besi (ferro). Besi sulfida (FeS) selanjutnya bereaksi dengan elemen sulfur menjadi FeS2, yang disebut pirit. Pirit dalam keadaan anaerob bersifat stabil, tetapi dalam keadaam aerob akan teroksidasi

17 menghasilkan hidrogen (H + ) dan ion sulfat (SO4 +2 ) (Noor, 2001). Reaksi kimia dapat dilihat sebagai berikut (Subba-Rao, 1994): 2FeS2 + 2H2O + 7O2 2FeSO4 + 2H2SO4 4FeSO4 + O2 + 2H2SO4 2Fe(SO4)3 + 2H2O2 Fe2(SO4)3 + FeS2 3FeSO4 + 2S 2S + 3O2 + 2H2O 2H2SO4 Oksidasi pirit ini akan menimbulkan keasaman tanah hingga mencapai ph 2-3. Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan ph<4. Tingginya kemasaman tanah gambut disebabkan juga oleh tingginya kandungan asamasam fenolat yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung lignin. Tingginya kemasaman tanah gambut juga disebabkan oleh tingginya kandungan asam-asam organik, seperti asam humat dan asam fulvat (Barchia, 2006). Tanah gambut yang berasal dari kayu banyak mengandung lignin cenderung mempunyai nilai ph yang rendah dengan korelasi seperti persamaan: ph = 7,08 0,034 lignin, r = 0,80 (Salampak, 1999) 2) Kapasitas Tukar Kation (KTK) KTK tanah gambut berkisar dari <50 sampai lebih dari 100 cmol(+) kg -1 bila dinyatakan atas dasar berat, tetapi relatif rendah bila dinyatakan atas dasar volume (Radjagukguk, 2000). Menurut Kuscow (1971), KTK tanah gambut dapat berkisar antara 100 hingga 300 me 100 g -1. KTK tanah gambut ombrogen di Indonesia (Tabel 8) sebagian besar ditentukan oleh fraksi lignin dan senyawa humat (Driessen, 1978). Menurut Vijarnsorn (1996), KTK tanah gambut terutama ditentukan oleh fraksi lignin dan substansi humat yang relatif stabil, termasuk asam-asam humat dan fulvat yang bersifat hidrofilik dan agresif yang biasanya membentuk komplek stabil dengan ion-ion logam. Oleh karena itu, KTK tanah gambut sangat bergantung kepada ph (Radjagukguk, 2000). Tingginya nilai KTK gambut juga disebabkan oleh muatan negatif bergantung ph yang sebagian besar dari gugus karboksil dan gugus hidroksil dari fenol (Driessen dan Soepraptohardjo, 1976).

18 Tabel 8. Komposisi senyawa gambut ombrogen di Indonesia dan kapasitas tukar kation Senyawa Bobot (%) KTK (me 100 g -1 ) Lignin 64-74 150-180 Senyawa humik 10-20 40-80 Selulosa 0,2-10 7 Hemiselulosa 1-2 1-2 Lainnya <5 - Bahan organik gambut 100 190-270 Sumber: Driessen (1978) 3) Kejenuhan Basa (KB) Kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) umumnya terdapat dalam jumlah yang rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut kandungan abu semakin rendah dan kandungan Ca dan Mg dan kejenuhan basa menurun (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Kandungan basa gambut pedalaman Kalimantan Tengah umumnya rendah, sebaliknya pada gambut pantai didapatkan relatif tinggi. KB gambut pedalaman Kalimantan Tengah sebesar 3,88-4,97% dan gambut pantai antara 7,44-8,13% (Barchia, 2006). Beberapa penelitian lain mengungkapkan bahwa KB gambut mempunyai kejenuhan basa kurang dari 10% (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986; Halim, 1987; Salampak, 1999). 4) Kandungan C-organik dan N-total Kandungan C-organik dan N-total tanah gambut tergolong tinggi. Kisaran kandungan C-organik tanah gambut berkisar antara 54,3-57,84% (Riwandi, 2000; Barchia, 2002) dengan rata-rata 57,23% (Sabiham et al., 1997). Kandungan N-total tanah gambut di Indonesia berkisar antara 4800-7200 kg N ha -1 atau setara dengan 1,2-1,8% pada lapisan 0-20 cm, dan sebagian besar dalam bentuk N kompleks organik (Tim Fakultas Pertanian IPB, 1986). 5) Nisbah C/N Nisbah C/N gambut berkisar antara 31-49. Bila nilai nisbah C/N lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikroorganisme tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya, sedangkan bila nisbah C/N antara 20-30, dapat terjadi immobilisasi maupun pembebasan N ke dalam tanah gambut. Dengan nisbah C/N lebih dari 30 maka N

19 pada tanah gambut sukar tersedia bagi tanaman, meskipun kandungan N-total gambut tinggi, namun unsur hara N relatif kurang tersedia bagi tanaman karena N dalam bentuk N- organik dan pada tingkatan nisbah C/N yang tinggi tersebut, terjadi proses immobilisasi N oleh mikroorgnisme tanah. Nitrogen tanah yang terdapat dalam bentuk kompleks organik menjadi tersedia bagi tanaman apabila sudah diubah menjadi bentuk N anorganik, yaitu melalui proses asimilasi, amonifikasi, dan nitrifikasi. Hal yang berkaitan dengan pelepasan gas rumah kaca dari lahan gambut adalah bila gambut dengan nilai nisbah C/N yang tinggi ini teroksidasi karena adanya pengembangan jaringan drainase dan reklamasi, aktivitas mikroorganisme tanah akan meningkat untuk merombak atau mendekomposisi gambut dan melepaskan gas rumah kaca dalam bentuk CH4 dan CO2 ke atmosfer (Barchia, 2006). 6) Kandungan Hara Mikro Kandungan unsur hara mikro tanah gambut umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, dan dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Menurut Andriesse (1988), gugus karboksilat dan fenolat pada tapak pertukaran kation tanah gambut dapat membentuk ikatan komplek dengan unsur mikro, sehingga unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, adanya reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan. Kandungan unsur mikro tanah gambut pada lapisan bawah umumnya lebih rendah dibandingkan lapisan atas (Tabel 9), namun dalam beberapa kasus kandungan unsur mikro pada lapisan bawah dapat lebih tinggi apabila terjadi pencampuran dengan bahan mineral yang ada di lapisan bawah gambut. Gambut ombrogen Indonesia terkategori gambut oligotrofik dengan tingkat ketersediaan unsur hara makro dan mikro yang sangat rendah (Tabel 10), serta kemasaman tanah yang tinggi. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian berhadapan dengan masalah sifat dan perilaku kimia dari bahan gambut (Sabiham et al., 1997). Tabel 9. Kandungan beberapa unsur mikro pada gambut tropika di Indonesia Unsur Mikro Kandungan (kg ha -1 ) 0-25 cm 80-100 cm Kobal (Co) 0,1-0,2 0,05 0,10 Tembaga (Cu) 0,8-8,0 0,2 0,8 Besi (Fe) 143-175 67 220 Mangan (Mn) 4,1-25 1,1 7,1 Molibdenum (Mo) 0,6-1,0 0,3 0,6 Seng (Zn) 2,8-4,4 1,8 4,8 Sumber: Driessen (1978)

20 Tabel 10. Kadar unsur hara lapisan olah gambut Lunang Sumatera Barat Unsur Hara Tebal Gambut (cm) 0-50 50-100 100-200 >200 Ca (me/100g) 2,14 4,05 3,44 8,37 Mg (me/100g) 1,74 1,83 2,53 5,76 K (me/100g) 0,31 0,23 0,18 0,36 Cu (ppm) 1,44 2,09 1,42 2,77 Zn (ppm) 5,31 6,39 4,17 3,94 Mn (ppm) 199 171 72 190 Fe (ppm) 77 128 139 130 SO4 (ppm) 251 336 321 350 Sumber: Taher dan Zaini (1989) 7) Kandungan Asam Humat dan Asam Fulvat Humus tanah gambut mempunyai hubungan erat dengan tingkat dekomposisi bahan gambut yang membentuknya. Jumlah humus terekstraksi dari bahan gambut yang meningkat bila proses dekomposisi bahan gambut terus berlanjut. Bahan gambut yang tahan terhadap dekomposisi menghasilkan bahan humus yang stabil. Bahan humus yang stabil adalah asam humat dan asam fulvat (Barchia, 2006). Pada proses humifikasi bahan gambut akan menghasilkan asam humat dan fulvat (Gambar 1 dan 2). Asam humat mengandung senyawa aromatik lebih banyak dari pada asam fulvat, sedangkan asam fulvat mengandung senyawa alifatik lebih banyak dari pada asam humat. Asam-asam organik aromatik dicirikan oleh jumlah gugus fungsi fenolat-oh yang tinggi, sedangkan asam-asam organik alifatik dicirikan oleh jumlah gugus fungsi COOH yang tinggi. Bahan gambut yang kandungan ligninnya relatif lebih tinggi mengandung asam humat lebih banyak dibandingkan dengan bahan gambut yang kandungan selulosanya relatif tinggi. Bahan gambut yang mengandung lignin yang relatif tinggi biasanya tahan terhadap dekomposisi, sedangkan bahan gambut yang banyak mengandung selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah relatif tinggi tidak tahan terhadap dekomposisi (Barchia, 2006).

21 Sisa Tanaman Selulosa, Karbohidrat lain Protein Lignin, Tanin Senyawa Fenol hasil metabolisme Senyawa Fenol Hasil dekomposisi Kondensasi/ polimerisasi Bahan Humat Gambar 1. Dekomposisi sisa tanaman membentuk bahan humat (Kononova, 1968) Digunakan jasad renik Dioksidasi menjadi CO 2 Enzim Fenol oksidase Lignin Fenol aldehida Asam fenol Polifenol Kuinon Enzim Fenol oksidase Selulosa dan bahanbahan lain nonlignin Digunakan jasad mikro Senyawa amino Asam Humat Asam Fulvat Senyawa amino Gambar 2. Degradasi senyawa Lignin menjadi asam Humat (Stevenson, 1982)

22 Lamanya pengusahaan lahan gambut untuk pertanian akan meningkatkan bahan yang tahan terhadap dekomposisi seperti lignin yang membentuk bahan humus pada gambut, sebaliknya kandungan selulosa dan hemiselulosa akan menurun (Salampak, 1999). Ekosistem lahan gambut tropika di Indonesia umunya anaerob dan bahan gambut yang terbentuk sebagian besar berasal dari tanaman kayu. Gambut yang terbentuk dari kayu hutan hujan tropika mengandung lignin yang tinggi. Gambut yang telah atau sedang mengalami dekomposisi membentuk komponen-komponen utama seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, protein, tannin, dan kutin (Wershaw et al., 1996). 2. Kesesuaian Lahan Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit a. Dasar Tata Guna Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung dapat mengubah ekosistem gambut untuk membentuk suatu ekosistem baru. Pengembangan pertanian di lahan gambut dapat diartikan sebagai upaya peningkatan fungsi produksi. Antara fungsi produksi dengan fungsi perlindungan lingkungan dalam ekosistem lahan gambut saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika fungsi perlindungan lingkungan menurun, fungsi produksi akan terganggu (Maltby dan Immirzi, 1996). Karena itu, lahan gambut bersifat piasan (marginal) dan rapuh (fragile). Pembukaan lahan gambut harus memperhatikan atau memperhitungkan perubahan faktor dinamika lahan dan faktor keuntungan. b. Kendala Pemanfaatan Lahan Gambut Menurut Andriesse (1988), terdapat delapan faktor pembatas yang menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman di lahan gambut. Faktor pembatas ini pada tingkat tertentu dapat menjadi sangat serius sehingga lahan gambut dinilai percuma untuk dikembangkan kembali. Karena itu, sistem pengelolaan lahan gambut memerlukan upaya pencegahan atau antisipasi terhadap degradasi lahan agar produksi tanaman dapat terus kontinu dan kelestarian gambut tetap terpelihara. Berikut ini beberapa masalah yang sering terjadi pada pengembangan lokasi budi daya kelapa sawit di lahan gambut tropis. 1) Sebagian besar lahan gambut berada di atas lapisan pirit yang mempunyai potensi keasaman tinggi dan pencemaran dari hasil oksidasi seperti Fe, Al, dan asam-asam organik lainnya. Selain itu, lahan gambut bisa juga berada di atas lapisan pasir kuarsa yang miskin hara;

23 2) Lahan gambut dapat mengalami perubahan lingkungan fisik secara cepat setelah dilakukan reklamasi menjadi kering tak balik, berubah sifat menjadi hidrofob, dan adanya amblesan; 3) Lahan gambut mudah mengalami degradasi kesuburan karena pengurasan melalui pelindian dan penggelontoran. Sementara itu, abu hasil pembakaran yang mengandung hara relatif mudah tererosi dan hilang melalui aliran limpasan; 4) Lahan gambut merupakan lingkungan yang mempunyai potensi jangkitan penyakit (virulensi) cukup tinggi. Selain itu, adanya resiko organism pengganggu tanaman (gulma, hama, dan penyakit tanaman) dan gangguan kesehatan manusia (malaria dan cacing) cukup tinggi. c. Kesesuaian Lahan Gambut Lahan gambut yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan lokasi budi daya memerlukan reklamasi. Namun, permasalahan yang dihadapi biasanya adanya perubahan yang terjadi setelah reklamasi. Selain itu, banyak ditemukan kesulitan dalam penilaian secara ekonomi biaya-biaya reklamasi. Andriesse (1988) memberikan garis-garis besar yang harus diperhatikan berkenaan dengan reklamasi sebagai berikut: 1) Reklamasi buatan untuk lahan gambut pasang surut sebaiknya didahului dengan menilai keuntungan dan kerugian untuk bahan perencanaan yang baik; 2) Pengembangan dari lahan gambut pasang surut sebaiknya tidak dilakukan secara besarbesaran. Reklamasi yang dilakukan di permukiman spontan sering menimbulkan masalah ke depannya; 3) Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dilakukan setelah pengatusan dan pencegahan banjir. Berbagai kemungkinan pengembangan pertanian, diantaranya pengatusan dangkal, pengatusan menengah, dan pengatusan dalam yang diikuti dengan pemilihan komoditas tanaman untuk mempercepat terbentuknya ampas (wastage) gambut. Menurut Hardjowigeno (1998), sistem dan metode evaluasi kesesuaian terhadap lahan gambut belum dapat dibakukan. Karena beberapa pakar belum sepakat tentang penentuan faktor yang mempengaruhi potensi dan pembatas pengembangan lahan gambut. Hingga saat ini, penilaian kesesuaian lahan hanya berdasarkan sifat lahan penciri dengan criteria berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, bukan berdasarkan hasil percobaan. Radjagukguk dan Setiadi

24 (1989) menilai kesesuaian lahan gambut dari segi ketebalan lapisan organiknya, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Kesesuaian lahan gambut untuk berbagai jenis tanaman pertanian berdasarkan ketebalannya No. Jenis Tanaman Ketabalan Gambut (cm) 0-100 100-200 >200 1. Padi sawah S2 S3-2. Pangan lahan kering (padi gogo, kedelai, jagung) S1 S2 S3 3. Hortikultura (kubis cina, papaya, nanas, rambutan) S1 S1 S1 4. Perkebunan (kelapa, kelapa sawit, karet, cokelat) S1 S2 S2 5. Tanaman industri (rami dan tanaman obat-obatan) S1 S2 S2 Sumber: Radjagukguk dan Setiadi (1989) Keterangan: S1 = sangat sesuai; S2 = sesuai; S3 = kurang sesuai Tabel 12. Penilaian kesesuaian parameter tanah di lahan rawa untuk persawahan, tanaman semusim, dan tanaman tahunan Unsur Kelas Kesesuaian S1 S2 S3 N1 N2 Jeluk Mempan (cm) a >75 >50 >25 >10 >10 b >75 >50 >25 >10 >10 c >75 >50 >50 >25 >25 ph pada (0-30 cm) a 6-7 5,5-7,5 4,5-8 3,5-8,5 - b 6-7 5,5-7,5 4,5-8 3,5-8,5 - c 5,5-7,5 4,5-7,5 4-8 3-785 - Sedang- Rendah- Rendah Sangat Kesuburan Tanah a Tinggi Sedang- Tinggi b Tinggi Sedang- Tinggi c Tinggi Sedang- Tinggi Sedang- Rendah Sedang- Rendah Rendah Rendah- Sangat Rendah Rendah- Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Kejenuhan Al (%) a >20 >40 >60 >80 - b >20 >40 >70 >90 - c >40 >60 >80 >100 - Kejenuhan Pirit (cm) a >100 >75 >50 >25 - b >150 >100 >75 >50 -

25 Lanjutan Tabel 12 c >100 >75 >50 >25 - Pengatusan a Baik Baik, agak Agak Agak - cepat cepat cepat Daya Hantar Listrik (µmhos/cm) Ketebalan Gambut (cm) b Baik Baik, agak cepat c Terhamb at Baik, agak lambat Agak cepat Sangat terhamba t terhambat Agak cepat terhambat Sangat cepat a <1500 <2500 <4000 <4000 >4000 b <1500 <2500 <4000 <4000 >4000 c <1500 <2500 <4000 <4000 >4000 a <1500 <1500 <100 <150 >150 b <1500 <1500 <100 <150 >150 c <1500 <1500 <100 <150 >150 Kematangan Gambut a Saprik Saprik- Hemik (jeluk <30 cm) b Saprik Saprik- Hemik (jeluk <30 cm) c Saprik Saprik- Hemik (jeluk <30 cm) Sumber: Maas dan Subagyo (1996) Keterangan: a = untuk tanaman sayuran b = untuk tanaman tahunan c = untuk tanaman persawahan Hemik Hemik Hemik Hemik- Fibrik Hemik- Fibrik Hemik- Fibrik - - - - - 3. Emisi CO2 di Lahan Gambut Sektor kehutanan masih merupakan pengemisi gas rumah kaca atau GRK (net emitter) yang umumnya berasal dari deforestasi dan degradasi serta kebakaran hutan. Sektor ini juga mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon (removal) melalui penanaman pohon dan pertumbuhan hutan. Berbagai kegiatan penanaman telah dilakukan di Indonesia jauh sebelum isu peran hutan dalam mitigasi perubahan iklim berkembang. Besarnya emisi salah satunya dapat mengacu pada hasil perhitungan Second National Communication (SNC) (KLH, 2009),

26 yang menyatakan tingkat emisi tahun 2000 sebesar 1.377.754 juta ton CO2-e, secara keseluruhan dan 649.254 juta ton CO2-e untuk sektor LULUCF (land use, land use change and forestry). Besarnya emisi tersebut terutama berasal dari besarnya deforestasi. Beberapa faktor pemicu deforestasi dan degradasi yaitu penebangan liar; kebakaran hutan; dan konversi lahan hutan untuk kegiatan-kegiatan lain yang menghasilkan penutupan lahan dengan cadangan karbon yang lebih rendah seperti untuk perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman (Kementerian Kehutanan, 2011). Fluks (flux) adalah kecepatan pengaliran gas rumah kaca, misalnya kecepatan pergerakan CO2 dari dekomposisi bahan organik tanah ke atmosfer dalam satuan berat gas per luas permukaan tanah dalam satuan waktu tertentu (misalnya dengan satuan mg m -2 jam -1 ). Emisi gas rumah kaca (GRK) adalah proses terbebasnya gas rumah kaca ke atmosfer. Gas rumah kaca atau greenhouse gases merupakan gas-gas yang terdapat di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca berfungsi untuk menjaga temperatur permukaan bumi agar tetap hangat. Namun jika kosentrasi gas rumah kaca meningkat, efek rumah kaca yang dihasilkan akan menyebabkan pemanasan global (global warming) (Kementerian Kehutanan, 2011). Jenis-jenis gas rumah kaca pada umumnya merupakan hasil dari aktivitas makhluk hidup terutama manusia. Kecuali gas karbondioksida (CO2) yang merupakan hasil dari proses respirasi makhluk hidup dan terbentuk secara alami, jenis gas rumah kaca yang lain merupakan dampak dari hasil perkembangan industri dan teknologi. Jenis-jenis gas rumah kaca diantaranya CO2, metana (CH4), nitrous oxide (N2O), hydrofluorocarbon (HFCs), dan perfluorocarbon (PFCs). a. Emisi CO2 Saat Pembukaan Hutan Dalam keadaaan alami lahan gambut merupakan penambat (net sink) dari karbon. Apabila hutan gambut dibuka maka akan terjadi emisi yang sangat tinggi disebabkan oleh pembakaran dan pengaruh drainase. Sekitar separoh dari 200 t C ha -1 yang dikandung biomassa di atas permukaan tanah, karena dijadikan papan dan plywood, akan bertahan, sedangkan separoh lainnya yang terdiri dari cabang dan ranting pohon serta pohon yang masih kecil seringkali dibakar (Agus, 2007). Seiring dengan itu lebih dari 10 cm lapisan atas tanah gambut juga ikut terbakar. Dalam 10 cm tanah gambut terkandung sekitar 60 ton C ha -1. Dengan demikian sekitar 160 ton C atau 587 ton CO2 ha -1 akan teremisi dalam proses pembukaan hutan gambut (Agus, 2007).

27 b. Emisi CO2 dari Perkebunan Kelapa Sawit Jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 ton CO2 atau setara dengan 100 ton C ha -1 dalam bentuk pohon sawit. Namun sejalan dengan itu terjadi pula dekomposisi gambut yang lajunya ditentukan oleh kedalaman drainase dan cara pengelolaan tanah lainnya seperti pemupukan (Agus, 2007). Berdasarkan review literatur, dari sejumlah penelitian yang menggunakan metode penangkapan gas dengan sungkup tertutup (closed chamber). Hooijer et al. (2006) membuat hubungan linear antara kedalaman drainase dengan emisi tahunan. Didapatkan bahwa untuk setiap 10 cm kedalaman drainase akan teremisi sekitar 9,1 ton CO2 ha -1 tahun -1. Wösten (2001), dengan metode penelitian pengamatan subsiden bahkan memperkirakan bahwa untuk setiap 10 cm kedalaman drainase terjadi emisi CO2 sebanyak 13 ton ha -1 tahun -1 (Agus, 2007). Dengan menggunakan hubungan yang pertama (9,1 ton emisi CO2 ha -1 tahun -1 untuk setiap 10 cm kedalaman drainase), untuk kebun sawit yang mempunyai kedalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO2 sekitar 73 ton ha -1 tahun -1 atau 1820 ton ha -1 selama 25 tahun. Jadi net emisi CO2 selama 25 tahun (dengan memperhitungkan penambatan CO2 sebanyak 367 ton ha -1 selama 25 tahun) adalah sekitar 1453 ton ha -1. Jumlah emisi CO2 dalam satu siklus kelapa sawit selama 25 tahun ini, lebih dari dua kali emisi yang terjadi sewaktu pembukaan hutan yang besarnya sekitar 587 ton ha -1 (Agus, 2007). Emisi dari sistem pertanian tanaman semusim. Berbagai sistem tradisional tanaman pangan dan sayur-sayuran secara sengaja membakar semak dan lapisan gambut untuk mendapatkan beberapa ton abu penyubur tanah. Apabila setiap tahunnya terbakar 2,5 cm gambut maka emisi yang terjadi adalah sekitar 55 ton CO2 ha -1 tahun -1 (Agus, 2007). Drainase yang pada umumnya berkedalaman 30 cm berpotensi pula menyumbangkan emisi CO2 sebanyak 27 ton ha -1 tahun -1 sehingga emisi berjumlah 82 ton ha -1 tahun -1 atau 2050 ton CO2 selama 25 tahun. Jumlah ini lebih dari tiga kali emisi dari pembukaan hutan (Agus, 2007). Jumlah emisi dari tanah gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan karbon tersimpan pada tanah gambut. Simpanan karbon terbesar pada lahan gambut adalah pada gambut itu sendiri dan yang kedua adalah pada jaringan tanaman dan pada seresah. Masing-masing simpanan karbon tersebut dapat bertambah atau berkurang tergantung pada faktor alam dan campur tangan manusia. Kemarau panjang berakibat pada penurunan muka air tanah yang selanjutnya mempercepat emisi CO 2. Kebakaran dapat

28 menurunkan simpanan karbon di jaringan tanaman dan di dalam gambut. Pemupukan dapat meningkatkan emisi. Sebaliknya, pada lahan gambut yang sudah terlanjur didrainase, peningkatan muka air tanah, misalnya melalui pemasangan empang pada saluran (canal blocking) dapat memperlambat emisi (Agus, 2007). Pertumbuhan tanaman merupakan proses penangkapan CO 2 dari atmosfer ke dalam jaringan tanaman melalui fotosintesis. Melalui proses pertumbuhan tanaman, terutama tanaman pohon-pohonan, maka simpanan karbon pada sebidang lahan akan meningkat. 4. Hubungan Suhu Gambut terhadap Emisi CO2 Di daerah tropis, fluktuasi suhu harian dan tahunan relatif tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan lahan gambut di sebelah utara lintang bumi. Secara umum terjadi peningkatan suhu setelah deforestasi dan juga terjadi peningkatan fluktuasi suhu harian di permukaan gambut dan karenanya sangat memungkinkan terjadinya peningkatan dekomposisi gambut. Hirano et al. (2009) melaporkan hubungan emisi CO2 dengan suhu sangat jelas ditemukan untuk gambut tropis, melalui pemantauan selama 4 tahun menggunakan alat pemantau otomatis (per jam ) terhadap dua variabel (suhu dan emisi CO2) di hutan rawa gambut, diperoleh dua kali lipat tingkat emisi CO2 seketika di lapangan pada rentang suhu 5 C (dari 24 C hingga 29 C) (termasuk emisi respirasi autotrofik). Disamping itu, Stephens dan Stewart (1977) mengkombinasikan penelitian lapangan dan laboratorium jangka panjang di lahan gambut subtropis Everglades (Florida) menunjukkan bahwa oksidasi gambut yang diekspresikan sebagai penurunan permukaan gambut sebanyak dua kali lipat dengan peningkatan suhu 10 C. Brady (1997) melaporkan fluksi CO2 dari inkubasi sampel permukaan gambut tropis dari Sumatera juga menemukan fluks CO2 dua kali lipat antara 25 C dan 35 C. Brady (1997) dan Hirano et al. (2009) menemukan bahwa peningkatan suhu memiliki efek lebih besar pada tingkat emisi CO2 dibandingkan kelembaban tanah atau kedalaman permukaan air gambut. Pada skala lanskap, suhu permukaan gambut di hutan rawa gambut utuh lebih rendah dan lebih konstan daripada hutan gambut yang telah mengalami deforestasi dan yang telah dikembangkan/dialih fungsikan (Jaya, 2007), bukan hanya karena lantai hutan terlindung dari sinar matahari langsung, tetapi juga karena didinginkan oleh penguapan dari permukaan gambut, yang biasanya memiliki kandungan air yang tinggi. Setelah deforestasi jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan gambut meningkat dan begitu juga terjadi kenaikan suhu

29 permukaan gambut. Di Kalimantan Tengah, rata-rata suhu siang hari gambut pada kedalaman 5 cm adalah 4,4 C lebih tinggi (29,9 C) di lahan gambut terdegradasi terbuka dengan suhu udara di atas permukaan gambut ini adalah 32,4 C, dibandingkan dengan yang di dekat hutan gambut yang tidak mengalami pengatusan (25,5 C) dengan suhu udara di atas permukaan gambut 26,4 C, suatu perbedaan sebesar 6 C (Jauhiainen et al., 2005, 2008). Jaya (2007) melaporkan perbedaan lebih besar di lokasi lain di Kalimantan Tengah sebesar 7,3 C, yaitu antara rata-rata suhu harian permukaan gambut di lahan pertanian sebesar 30,2 C dengan rata-rata suhu udara siang hari adalah 33,4 C, dan hutan gambut yang relatif utuh dan beredekatan dengan lahan pertanian sebesar 22,9 C dengan rata-rata suhu udara siang hari adalah 28,8 C. Sedangkan dibandingkan dengan hutan yang mengalami kerusakan berat yang berada bersebelahan, rata-rata suhu permukaan gambut harian dan suhu udara siang hari adalah 26,7 C dan 30,4 C, menunjukkan bahwa bahkan menghapus bagian dari penutup kanopi dapat memberi efek terhadap permukaan gambut dan suhu udara. 5. Dekomposisi Bahan Organik Gambut dan Produksi CO2 Pada proses penguraian bahan organik dalam tanah ditemukan beberapa tahap proses. Biota tanah termasuk cacing tanah memegang peranan penting pada penghancuran bahan organik pada tahap awal proses. Pekerjaan selanjutnya dilakukan oleh mikroba. Enzim-enzim yang dihasilkan mikroba mengubah senyawa organik secara kimiawi, hal ini ditandai pada bahan organik yang sedang mengalami proses penguraian maka kandungan zat organik yang mudah terurai akan menurun dengan cepat. Unsur karbon menyusun kurang lebih 45-50% dari bobot kering tanaman dan binatang. Apabila bahan tersebut dirombak oleh mikroba, O2 akan digunakan untuk mengoksidasi senyawa organik dan akan dibebaskan CO2. Selama proses penguraian mikroba akan mengasimilasi sebagian C, N, P, S, dan unsur lain untuk sintesis sel, jumlahnya berkisar antara 10-70% tergantung kepada sifat-sifat tanah dan jenis-jenis mikroba yang aktif. Setiap 10 bagian C diperlukan 1 bagian N (nisbah C/N=10) untuk membentuk plasma sel. Dengan demikian C- organik yang dibebaskan dalam bentuk CO2 dalam keadaan aerobik hanya 60-80% dari seluruh kandungan karbon yang ada. Hasil perombakan mikroba proses aerobik meliputi CO2, NH4, NO3, SO4, H2PO4. Pada proses anaerobik dihasilkan asam-asam organik CH4, CO2, NH3, H2S, dan zat-zat lain yang berupa senyawa tidak teroksidasi sempurna, serta akan terbentuk biomassa

30 tanah yang baru maupun humus sebagai hasil dekomposisi yang relatif stabil. Secara total reaksi aerobik yang terjadi adalah sebagi berikut: (CH2O)x + O2 -----------> CO2 + H2O + hasil antara + nutrien + humus + sel + energi Proses perombakan bahan organik dapat berlangsung pada keadaan aerobik dan anaerobik (Gaur, 1982). Hasil akhir dari perombakan aerobik merupakan produk metablisme biologi berupa CO2, H2O, panas, unsur hara, dan sebagian humus. Hasil akhir perombakan anaerobik terutama berupa CH4 dan CO2 dan sejumlah hasil antara, timbul bau busuk karena adanya H2S dan sulfur organik seperti merkaptan (Haug, 1980). a. Pengaruh kondisi lingkungan terhadap peran mikroorgnisme tanah Bakteri dan fungi merupakan mikroorgnisme yang paling penting dalam tanah yang berhubungan dengan dekomposisi tanah dan siklus hara. Selain itu pada tanah-tanah yang mempunyai aerasi yang baik, bakteri dan fungi sangat dominan, sebaliknya bakteri sendiri terlibat hampir pada semua proses biologi dan perubahan kimia dalam lingkungannya yang mengandung sedikit atau tanpa O2 (Alexander, 1977). Jumlah bakteri yang ada didalam tanah dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang mempengaruhi pertumbuhannya, seperti temperatur, kelembaban, aerasi, dan sumber energi. Tetapi secara umum populasi yang terbesar terdapat di horizon permukaan. Mikroorganisme tanah lebih banyak ditemukan pada permukaan tanah karena bahan organik lebih tersedia. Oleh karena itu mikroorganisme lebih banyak berada pada lapisan tanah yang paling atas (Alexander, 1977). Udara tanah dapat memiliki kandungan CO2 yang cukup tinggi sehingga mampu menurunkan ph tanah yang mempunyai daya sanggah yang rendah, dan akan menurunkan ph antara 0,5-1 unit untuk tanah yang memiliki daya sanggah yang tinggi tetapi tidak pernah di bawah ph 5,5-6,0. Kemasaman tanah dapat ditanggulangi dengan cara pengapuran untuk menetralkan H + dengan OH - dan sekaligus menambah kandungan Ca dan Mg (Sutanto, 2005). Jumlah CO2 yang dihasilkan mikroorgnisme tanah menurut Sutedjo (1966) dipengaruhi oleh kondisi lembab dan temperatur yang sesuai. Pada kondisi tersebut 1 kilogram tanah dapat mengeluarkan atau membebaskan sekitar 1-30 miligram karbon sebagai CO2. b. Pengelompokan bakteri tanah Bakteri-bakteri tanah dapat dikelompokkan dalam beberapa kriteria sebagai berikut (Pelczar dan Chan, 1988): 1) Berdasarkan sumber makanan, bakteri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: