BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana yang ditegaskan di dalam pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai sebuah negara hukum hendaknya keadilan, dan kepastian serta kemanfaatan dapat terwujudkan. Muhammad Yamin dalam Azhary mengatakan bahwa Republik Indonesia ialah suatu negara hukum (rechtstaat, govenrment of laws) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara kekuasaan (machtstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenangwenang. 1 Roscoe Pound sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud, mengatakan bahwa kepastian hukum memungkinkan adanya predictability atau daya prediktibilitas. Dalam menjaga kepastian hukum, peran pemerintah dan pengadilan sangatlah penting. Disamping itu, ketidakpastian hukum akan menyebabkan masyarakat tidak tahu mana yang harus dirujuk manakala mereka berurusan dengan pengadilan. 2 1 Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-Unsurnya, Jakarta, UI Press, hlm. 31. 2 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Hukum Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 160.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang diakui keabsahannya setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berfungsi untuk menegakkan konstitusi dalam upaya mewujudkan negara hukum Indonesia yang demokratis. Fungsi ini tidak terpisahkan dari tujuan cita hukum (rechts idee) yang termuat di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu cita-cita membangun dan mewujudkan suatu tatanan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis berdasarkan atas hukum, serta mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Sebagaimana yang telah disepakati oleh para founding fathers sebagai the goals of state. 3 Sejak berdiri hingga kini, Mahkamah Konstitusi banyak sekali melahirkan putusan-putusan yang dianggap telah memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun demikian, dalam perkembangannya ditemukan beberapa Putusan MK yang menuai kontroversi lantaran dirasa kurang adil sehubungan dengan putusan ultra petita yang seolah-olah telah menggeser MK dari peran sejatinya yakni negative legislator. Bahkan tak jarang yang menganggap bahwa MK telah melampaui batas kewenangannya (abuse of power) dikarenakan hal tersebut. MK sebagai bentuk perwujudan dari supremasi hukum merupakan penopang bagi berdirinya prinsip negara hukum dan tujuan dari hukum itu sendiri yakni untuk mendapatkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang dikenal sebagai Radbruch s Formula 4. 3 Abdul Latif, 2009, Fungsi Mahkamah Konstitusi, Kreasi Total Media, Yogyakarta, hlm. 1. 4 Frank Kantorowicz Carter, Gustav Radbruch and Hermann Kantorowicz: Two Friends and a Book Reflections on Gnaeus Flavius Der Kampf um die Rechtswissenschaft, German Law Journal, 1906, hlm. 693.
MK dalam hal ini dituntut untuk dapat meletakkan ketiga tujuan tersebut secara proporsional dalam memutus perkara yang dimohonkan kepadanya. Keberlakuan putusan mahkamah konstitusi saat ini tengah menjadi polemik. Ini dikarenakan terjadi kontradiksi antara aturan dan praktik mengenai pelaksanaan putusan. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur secara tegas bahwa putusan berlaku sejak putusan diucapkan, tapi dalam praktiknya MK pernah menunda pelakasanaan putusan (et nunc) dan memberlakukan putusan secara retroaktif atau surut (ex tunc). Dalam beberapa kasus, MK pernah melakukan penundaan keberlakuan suatu norma (et nunc), contohnya adalah Putusan Perkara Nomor 016/PUU- IB/2006 perihal pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 dan Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertanggal 6 Agustus 2009. Selain itu, MK juga pernah memberlakukan putusan secara surut (ex tunc) seperti dalam contoh Perkara No. 013/PUU-I/2003 yang diputus tanggal 22 juli 2004 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Secara Retroaktif Untuk Peristiwa Bom Bali, Putusan
Perkara No. 018/PUU-I/2003 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Putusan Nomor 13/PUU-VI/2008 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 (UU APBN 2008) yang diputuskan pada tanggal 13 Agustus 2008. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan masalah yang akan dibahas pada tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana menentukan suatu Putusan dapat berlaku ke depan (et nunc) atau surut (ex tunc)? 2. Apa implikasi hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi dalam keberlakuannya secara ke depan (et nunc) dan surut (ex tunc)? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui dan mengkaji hal-hal yang melatarbelakangi putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat et nunc dan ex tunc; b. Untuk mengetahui dan menyimpulkan putusan mahkamah konstitusi yang bersifat et nunc dan ex tunc dibenarkan secara konstitusional.
2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh gelar Magister (S2) di Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada; b. Untuk memperoleh tambahan pengetahuan di bidang hukum tata negara khususnya mengenai perkembangan Putusan Mahkamah Konstitusi. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Memberikan gambaran jelas mengenai indikator dari implikasi putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat et nunc dan ex tunc khususnya dalam kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan (Judicial Review). 2. Manfaat Praktis Memberikan kepastian hukum kepada para justiciabelen atau pencari keadilan berkenaan dengan implikasi hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat et nunc dan ex tunc. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, belum ada judul penulisan hukum yang khusus meneliti berkaitan dengan akibat putusan MK yang berlaku ke depan (et nunc) dan putusan berlaku surut (ex tunc). Penulis hanya mendapati
beberapa Peneliti lainnya yang membahas tidak secara rinci persoalan ini kedalam bagian buku atau penelitian mereka. Beberapa tulisan yang berkaitan dengan topik penelitian penulis ini dapat ditemukan di dalam buku Maruar Siahaan yang berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, buku Jimly Ashiddiqie yang berjudul Hukum Acara Pengujian Undang-Undang dan disertasi yang telah dibukukan karangan Martitah yang berjudul Mahkamah Konstitusi Dari Negative Legisature ke Positive Legislature. Maruar Siahaan di dalam bukunya membahas berkenaan dengan hukum acara mahkamah konstitusi yang meliputi materi-materi terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum pemohon, dan proses persidangan mulai dari pengajuan permohonan, pembuktian, hingga pengambilan putusan. Sementara itu, Jimly Ashiddiqie di dalam bukunya membahas seluk beluk beracara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di Mahkamah Konstitusi, yang dimulai dari tahapan permohonan, pemeriksaan, pembuktian, hingga dikeluarkannya putusan, serta akibat hukum dari perkara yang bersangkutan. Adapun disertasi yang ditulis oleh Martitah memiliki beberapa kesamaan dengan yang Penulis teliti khususnya pada bagian fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislature. Letak perbedaannya terdapat pada fokus kajiannya. Jika Penulis lebih mengkhususkan pembahasan kepada indikator dan implikasi putusan yang bersifat et nunc dan ex tunc saja, sedangkan pada disertasi yang ditulis oleh Martitah membahas mengenai pergeseran fungsi MK sebagai negative legislature dan bagaimana peran jaringan sosial dalam menerapkan putusan MK.
Selain buku-buku, Penulis juga menemukan beberapa tulisan yang dimuat di dalam jurnal konstitusi yang membahas salah satu kasus yang menjadi bahan analisis dalam penelitian ini yakni analisis putusan oleh Maria Farida Indrati yang berjudul, Langkah Panjang Menuju Realisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan analisis putusan yang ditulis oleh Marwan Mas yang berjudul, Mengurai Putusan Pembatalan UU Nomor 45 Tahun 1999. Untuk menguatkan pernyataan ini, Penulis juga mencantumkan pernyataan dari Qurrata Ayyuni yang merupakan staf Pengajar di Universitas Indonesia dan sebelumnya pernah menjadi Peneliti di Mahkamah Konstitusi, dalam wawancara pra penelitian penulis. Menurut Qurrata Ayuni, penelitian ini belum pernah ada yang meneliti secara detail. 5 5 Wawancara dengan Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Qurrata Ayuni, di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Rabu, 8 Oktober 2014.