BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Simpang Persimpangan didefinisikan sebagai titik pertemuan antara dua atau lebih jalan yang saling berhubungan atau berpotongan dimana lintasan-lintasan kendaraan berpotongan. Setiap jalan yang menyebar pada persimpangan disebut dengan lengan persimpangan. 2.1.1 Definisi tipe (jenis) simpang standar Semua jenis simpang dianggap mempunyai kereb dan trotoar yang cukup, dan ditempatkan pada daerah perkotaan dengan hambatan samping yang sedang. Semua gerakan membelok dianggap diperbolehkan dan beberapa gerakan membelok adalah gerakan yang terus menerus (Left Turn On red = LTOR). 2.1.2 Jenis Jenis Persimpangan 1. Menurut Strukturnya : a. Persimpangan sebidang (at-grade intersection) Persimpangan sebidang adalah persimpangan dimana berbagai jalan atau ujung jalan masuk ke persimpangan mengarahkan lalu lintas masuk ke jalur yang dapat berlawanan atau bersilang arah dengan lalu lintas lainnya. b. Persimpangan tidak sebidang (Interchange) Persimpangan tidak sebidang disebut juga sebagai simpang susun (Interchange), merupakan persimpangan yang tidak terdapat jalur gerak kendaraan yang saling berpapasan serta berpotongan dengan jalur gerak II-1
lainnya, sehingga arus lalu lintas tidak saling terganggu dan dapat meningkatkan kapasitas kendaraan yang melalui ruas jalan tersebut. 2. Menurut jumlah kaki simpangan : a. Simpang tiga b. Simpang empat c. Simpang majemuk 3. Menurut sistem pengendaliannya a. Persimpangan tanpa pengatur (uncontrolled intersection) b. Persimpangan dengan pemisah jalur (chanellization intersection) c. Persimpangan dengan rambu beri kesempatan atau stop (yield sign or stop) d. Persimpangan dengan lampu lalu lintas (traffic signal). 2.2 Lampu lalu lintas Lampu lalu lintas adalah suatu alat yang digunakan sebagai pengatur pergerakan dari lalu lintas pada persimpangan jalan, dimana kalau tidak ada alat tersebut maka akan terjadi gangguan, konflik, kemacetan dan hal hal lainnya yang dapat mengakibatkan bahaya bagi pergerakan lalu lintas, khususnya lalu lintas kendaraan dan pejalan kaki. Alat pengatur lampu lalu lintas di persimpangan yang dipakai di Jakarta menggunakan urutan nyala merah, merah/kuning, hijau, kuning dan kembali ke merah. Agar tidak terjadi tumpang tindih antara waktu hijau antar phase, sebelum hijau pada phase berikutnya diberi suatu waktu merah bersama (all-red) yang fungsinya untuk meningkatkan keselamatan di persimpangan. Isyarat-isyarat yang diperlihatkan lampu lalu lintas mempunyai arti sebagai berikut : Nyala merah berarti kendaraan yang datang dari sebelah sinar ini, diwajibkan berhenti sebelum garis henti (stop line). II-2
Nyala merah/kuning berarti kendaraan yang sedang menunggu sebelum garis berhenti, bersiap-siap untuk berjalan jika sinar hijau menyala. Nyala hijau berarti kendaraan yang sedang menunggu sebelum garis berhenti (stop line) harus jalan melewati garis henti. Nyala kuning (amber) berarti kendaraan yang sedang berjalan untuk bersiapsiap untuk berhenti kecuali untuk kendaraan yang posisinya sangat dekat dengan garis henti dan tidak memungkinkan untuk berhenti maka kendaraan tersebut masih boleh lewat. Pengoperasian lampu lalu lintas dapat memberikan keuntungan dalam kontrol lalu lintas dan keamanan, diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Memberikan pergerakan lalu lintas secara teratur 2. Mendapatkan kapasitas lalu lintas yang optimal pada persimpangan 3. Mengurangi frekuensi kecelakaan (tipe tabrakan tegak lurus) 4. Mengkoordinasikan lalu lintas dibawah pengaturan lampu yang cukup baik, sehingga arus lalu lintas tetap berjalan menerus pada kecepatan tertentu. 5. Memutuskan arus lalu lintas tinggi agar memungkinkan adanya penyebrangan kendaraan lain atau pejalan kaki. Sedangkan kekurangan dari pemasangan lampu lalu lintas : 1. Meningkatkan tundaan dan biaya operasi pada jalan yang tidak macet 2. Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan peralatan, memperbaharui, dan biaya pengawasan lalu lintas cukup tinggi 3. Terjadinya pengalihan lalu lintas pada rute yang kurang menguntungkan, misalnya sebelum adanya lampu lalu lintas kendaraan dari salah satu kaki II-3
simpang dapat membelok ke kanan akan tetapi dengan adanya lampu lalu lintas kendaraan tersebut tidak dapat membelok ke kanan. 4. terjadinya pelanggaran terhadap indikasi sinyal akibat rasa tidak patuh terhadap alat kontrol ini. 2.3 Volume Lalu Lintas Definisi volume lalu lintas adalah jumlah kendaraan yang melalui satu titik yang tetap pada jalan dalam satuan waktu. Volume biasanya dihitung dalam kendaraan/hari atau kendaraan/jam. Teknik perhitungan volume lalu lintas pada dasarnya dibagi menjadi dua cara yaitu : 1. Perhitungan tangan (manual) Perhitungan volume lalu lintas dengan cara ini secara sederhana menghitung setiap kendaraan yang melalui titik tertentu pada ruas jalan. Pada umumnya perhitungan manual menggunakan pena atau pensil dan kertas formulir dengan mengelompokkan setiap jenis kendaraan sesuai dengan satuan mobil penumpang (smp), karena tiap-tiap jenis kendaraan menggunakan ruang jalan yang berbeda (sebagai contoh ruang jalan yang dibutuhkan satu kendaraan truk gandeng besar dibandingkan dengan ruang jalan yang dibutuhkan oleh satu kendaraan sedan). 2. Perhitungan mekanik Perhitungan mekanik dengan menggunakan sebuah detektor dan suatu perhitungan. Mengingat keterbatasan dana dan untuk tetap mendapatkan data sesuai studi, maka perhitungan volume lalu lintas dilakukan dengan cara perhitungan tangan (manual). II-4
Berdasarkan tujuan survei perhitungan volume lalu lintas, maka jenis kendaraan dapat dikombinasikan ke dalam kategori kelas kendaraan yang diinginkan. Untuk kegiatan perhitungan volume lalu lintas ini, jenis kendaraan dibagi menjadi 8 (delapan) klasifikasi kendaraan sebagi berikut : Tabel 2.1 : Klasifikasi / pengelompokan kendaraan Kendaraan Tipe/Jenis kendaraan 1 Sedan, jeep, taksi, dan sejenisnya 2 Bajaj, bemo 3 Metromini dan sejenisnya 4 Bus besar/tingkat/tempel 5 Sepeda motor 6 Mikrolet, APK, APB, KWK 7 Pick up, box kecil 8 Truk sedang, besar, gandeng, peti kemas Sumber : MKJI 2.4 Faktor Penyesuaian 2.4.1 Faktor Penyesuaian Ukuran Kota Untuk menentukan nilai ukuran kota didasarkan pada data jumlah penduduk, dimana ukuran yang digunakan adalah jumlah penduduk per 1.000.000 jiwa. Nilai untuk masing-masing ukuran jumlah penduduk adalah sebagai berikut : Tabel 2.2 : Faktor penyesuaian ukuran kota (FC CS ) Kelas ukuran kota Ukuran kota (juta penduduk) FCCS Sangat kecil < 0,1 0,86 Kecil 0,1-0,5 0,90 Sedang 0,5-1,0 0,94 Besar 1,0-3,0 1,00 Sangat Besar > 3,0 1,04 Sumber : MKJI II-5
2.4.2 Faktor Penyesuaian Hambatan Samping (F Sf ) Sebagai fungsi dari jenis lingkungan jalan, tingkat hambatan samping, dan rasio kendaraan tak bermotor. Jika hambatan samping tidak diketahui, dapat dianggap sebagai tinggi agar tidak menilai kapasitas terlalu besar. Tabel 2.3 : Faktor penyesuaian hambatan samping (F Sf Lingkungan Hambatan Tipe fase Rasio kendaraan tak bermotor Jalan samping 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 > 0,25 Komersial Tinggi Terlawan 0,93 0,88 0,84 0,79 0,74 0,70 (COM) Terlindung 0,93 0,91 0,88 0,87 0,85 0,81 Sedang Terlawan 0,94 0,89 0,85 0,80 0,75 0,71 Terlindung 0,94 0,92 0,89 0,88 0,86 0,82 Rendah Terlawan 0,95 0,90 0,86 0,81 0,76 0,72 Terlindung 0,95 0,93 0,90 0,89 0,87 0,83 Permukiman Tinggi Terlawan 0,96 0,91 0,86 0,81 0,78 0,72 (RES) Terlindung 0,96 0,94 0,92 0,89 0,86 0,84 Sedang Terlawan 0,97 0,92 0,87 0,82 0,79 0,73 Terlindung 0,97 0,95 0,93 0,90 0,87 0,85 Rendah Terlawan 0,98 0,93 0,88 0,83 0,80 0,74 Terlindung 0,98 0,96 0,94 0,91 0,88 0,86 Akses terbatas Tinggi/Sedang/Rendah Terlawan 1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75 (RA) Terlindung 1,00 0,98 0,95 0,93 0,90 0,88 Sumber : MKJI ) 2.5 Satuan Mobil Penumpang (SMP) Kendaraan terdiri dari berbagai jenis yang mempunyai karakteristik pergerakan berbeda, karena dimensi, kecepatan, maupun percepatannya. Oleh karena itu untuk menyamakan satuan dari masing-masing jenis kendaraan tersebut digunakan suatu satuan yang biasa dipakai dalam perencanaan lalu lintas yang disebut Satuan Mobil Penumpang atau SMP, yang didapat dengan menggunakan Ekivalensi Mobil Penumpanag (EMP). II-6
Harga emp dipersimpangan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.4 : Nilai emp untuk masing-masing jenis kendaraan emp Tipe kendaraan Pendekat terlindung Pendekat terlawan LV 1,0 1,0 HV 1,3 1,3 MC 0,2 0,4 Sumber : MKJI 2.6 Tingkat pelayanan simpang bersinyal Dalam menilai tingkat persimpangan harus mengetahui besarnya tundaan, karena tundaan dapat dijadikan ukuran mengenai tingkat kehilangan kenyamanan dan frustasi dari pengemudi, konsumsi bahan bakar dan hilang waktu perjalanan. Tundaan merupakan suatu ukuran yang kompleks, dimana nilainya diepngaruhi oleh beberapa variable, seperti waktu siklus, rasio waktu hijau dan derajat kejenuhan dari tiap pendekat. Tundaan dari tingkat pelayanan diukur berdasarkan satuan mobil penumpang (SMP). Dalam melakukan analisa mengenai kinerja simpang bersinyal ada beberapa langkah yang harus dilakukan berdasarkan MKJI yaitu : 1. Penentuan arus jenuh dasar Rumus untuk menentukan arus jenuh dasar adalah sebagai berikut : Untuk pendekat tipe P (arus berangkat terlindung) ; keberangkatan tanpa konflik antara gerakan lalu lintas belok kanan dan lurus (Sumber : MKJI) So = 600 x We (2.1) So = Arus jenuh dasar (smp/jam waktu hijau) We = Lebar efektif jalan (m) II-7
Untuk Pendekat tipe O (arus berangkat terlawan); keberangkatan dengan konflik antara gerak belok kanan dan gerak lurus/belok kiri dari bagian pendekat dengan lampu hijau pada fase yang sama (sumber: MKJI) - Lajur belok kanan tidak terpisah a) Jika Q RTO > 250 smp/jam : - QRT < 250 : 1. Tentukan S prov pada Q RTO = 250 2. Tentukan S sesungguhnya sebagai S = Sprov {(Q RTO 250) x 8} smp/jam - QRT > 250 : 1. Tentukan S prov pada Q RTO dan Q RT = 250 2. Tentukan S sesungguhnya sebagai S = Sprov {(Q RTO + Q RT 500) x 2} smp/jam b) Jika QRTO < 250 dan Q RT > 250 smp/jam; Tentukan S seperti pada Q RT = 250. - Lajur belok kanan terpisah a) Jika Q RTO > 250 smp/jam : - QRT < 250 : 1. Tentukan S dari Gambar 2.6 dengan extrapolasi - QRT > 250 : 1. Tentukan S prov pada Q RTO dan Q RT = 250 b) Jika QRTO < 250 dan Q RT > 250 smp/jam; Tentukan S dari Gambar 2.6 dengan extrapolasi. a. Penentuan arus jenuh Menurut MKJI arus jenuh merupakan jumlah maksimum kendaraan yang melintasi suatu badan jalan yang terjadi selama fase hijau dan kuning dari lampu lalu lintas. Arus jenuh (S) dapat dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh II-8
dasar (S o ) yaitu arus jenuh dasar pada keadaan standar, dengan factor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnya, dari suatu kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya. Rumus arus jenuh menurut MKJI : S = S o x F CS x F SF x F P x F RT x F LT (2.2) S S o F CS F SF = Arus jenuh (smp/jam) = Arus jenuh dasar (smp/jam) = Faktor penyesuaian ukuran kota, penduduk kota (jutaan jiwa) = Faktor penyesuaian hambatan samping, lingkungan jalan dan kendaraan tak bermotor. F G = Faktor penyesuaian, % naik (+) atau turun (-). F P = Faktor penyesuaian parkir, jarak garis henti kendaraan parkir pertama. F RT = Faktor penyesuaian gerakan membelok ke kanan dalam %. F LT = Faktor penyesuaian gerakan membelok ke kiri (%). b. Penentuan rasio arus / arus jenuh FR = Q/S (2.3) dimana : FR = Rasio arus Q = Arus lalu lintas IFR = Jumlah FRcrit dimana : FRcrit = Rasio arus tinggi II-9
PR = FRcrit / FR (2.4) dimana : PR = Rasio fase untuk masing masing fase c. Penentuan waktu siklus sebelum penyesuaian. C = ( 1,5 LTI 5 ) (1 IFR) (2.5) C LTI IFR = Waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (det) = Waktu hilang total per siklus (det) = Rasio arus simpang LTI = Σ (ALLRED + AMBER) (2.6) ( Lev Iev) + Lav ALLRED = - (2.7) Vev Vav dimana : Lev, Lav = jarak dari garis stop ke titik konflik untuk memindahkan kendaraan bergerak maju (m). lev Vev,Vav = panjang dari kendaraan yang berpindah (m) = kecepatan dari pemindahan kendaraan (m/dt) d. Penentuan waktu hijau gi = (c LTI) x PR (2.8) dimana : II-10
gi c LTI PR = Tampilan waktu hijau pada fase 1 (det) = Waktu siklus sebelum penyesuaian (det) = Waktu hilang total per siklus = Rasio fase FRcrit / (FRcrit) e. Waktu siklus yang disesuaikan cu = g + LTI (2.9) Dimana cu = Waktu siklus yang disesuaikan f. Penentuan kapasitas C = S x g/c (2.10) Dimana C = Kapasitas dari masing masing pendekat g. Menghitung derajat kejenuhan untuk masing masing pendekat DS = Q/C (2.11) Dimana DS = Derajat kejenuhan Q C = Arus lalu lintas pada masing masing pendekat = Kapasitas masing masing pendekat h. Penentuan tingkat kinerja i. Panjang antrian NQ1 = 2 8 ( ) ( ) (DS - 0,5) 0,25 C DS -1 + DS - 2 + C (2.12) NQ1 = jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya II-11
DS C = Derajat kejenuhan = Kapasitas Jika DS > 0,5 ; selain dari itu maka NQ : 1 - GR Q NQ2 = C (2.13) 1 - GR DS 3600 NQ2 DS GR C Q = Jumlah smp yang datang selama fase merah = Derajat kejenuhan = Rasio hijau = Waktu siklus = Arus lalu lintas pada tempat masuk NQ = NQ1 + NQ2 (2.14) Dimana NQ = Jumlah kendaraan terhenti. QL NQ maks 20 = (2.15) W QL = Panjang antrian (m), jumlah kendaraan antri dengan peluang pembebanan lebih. W = Lebar masuk. j. Kendaraan terhenti NQ NS = 0,9 3600 (2.16) Q c II-12
NS Q C NQ = Laju henti untuk masing masing pendekat (stop/smp) = Arus lalu lintas = Waktu siklus = Jumlah kendaraan antri Nsv = Q x NS (smp/jam) (2.17) Dimana Nsv = Jumlah kendaraan terhenti Nsv NS tot = (2.18) Qtot Dimana NS tot = Laju henti rata rata untuk seluruh simpang. k. Tundaan Tundaan merupakan waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melewati suatu simpang dibandingkan terhadap situasi tanpa simpang. Tundaan pada suatu simpang dapat terjadi karena 2 hal yaitu : Tundaan lalu lintas (DT) Tundaaan Lalu lintas terjadi karena interaksi lalu lintas dengan gerakan lainnya pada suatu simpang DT NQ1 3600 = c A + (2.19) C DT c = Tundaan lalu lintas rata rata (det/smp) = Waktu siklus yang disesuaikan A = 2 0,5 (1 - GR) (1 - GR DS) (2.20) II-13
GR NQ1 C = Rasio hijau = Jumlah smp yang tersisa dari fase hijau sebelumnya = Kapasitas Tundaan geometri (DG) Tundaan geometri terjadi karena perlambatan dan percepatan saat membelok pada suatu simpang dan /atau terhenti karena lampu merah. DG = (1 Psv) x P T x 6 + (Psv x 4) (2.21) DG = Tundaan geometri rata rata pada pendekat (det/smp) Psv = Rasio kendaraan terhenti pada suatu pendekat. P T = Rasio kendaraan membelok pada suatu pendekat Sehingga tundaan rata rata untuk pendekat j ialah : Dj = DTj + DGj (2.22) Dj = Tundaan rata rata untuk pendekat j (det/smp) DTj = Tundaan lalu lintas rata rata untuk pendekat (det/jam) DGj = Tundaan geometri rata rata untuk pendekat j (det/jam) II-14