I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, terutama Pulau Jawa. Karena Pulau Jawa merupakan bagian dari

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung yang berada dibagian selatan Pulau Sumatera mempunyai alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. pada 6`LU- 11` LS dan antara 95` BT - 141` BT1. Sementara secara geografis

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kerentanan longsor yang cukup besar. Meningkatnya intensitas hujan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. banyak dipengaruhi oleh faktor geologi terutama dengan adanya aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yaitu Sub DAS Kayangan. Sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Kayangan

BAB I PENDAHULUAN. bencana alam agar terjamin keselamatan dan kenyamanannya. Beberapa bentuk

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

BAB I PENDAHULUAN. tanahdengan permeabilitas rendah, muka air tanah dangkal berkisar antara 1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

2015 KONDISI MASYARAKAT KORBAN BENCANA GERAKAN TANAH SEBELUM DAN SETELAH RELOKASI PEMUKIMAN DI KECAMATAN MALAUSMA KABUPATEN MAJALENGKA

BAB III LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi

I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor,

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana alam dapat terjadi secara tiba-tiba maupun melalui proses yang

BAB I PENDAHULUAN. morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi. Peristiwa tanah

J. Tek.Ling Vol. 9 No. 2 Hal: Jakarta. Mei 2008 ISSN X

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

LANDSLIDE OCCURRENCE, 2004 STRATEGI MITIGASI DAN SIFAT GERAKAN TANAH PENYEBAB BENCANA DI INDONESIA. BENCANA GERAKAN TANAH 2005 dan 2006

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

MITIGASI BENCANA ALAM I. Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya lahan (Sitorus, 2011). Pertumbuhan dan perkembangan kota

menyiratkan secara jelas tentang perubahan paradigma penanggulangan bencana dari

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam menimbulkan resiko atau bahaya terhadap kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

MITIGASI BENCANA BENCANA :

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

Gambar 1.1 Jalur tektonik di Indonesia (Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2015)

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

2016 STUDI PARAMATERIK PENGARUH INTENSITAS CURAH HUJAN TERHADAP JARAK JANGKAUAN DAN KECEPATAN LONGSOR BERDASARKAN MODEL GESEKAN COLOUMB SEDERHANA

BAB II DISASTER MAP. 2.1 Pengertian bencana

GERAKAN TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

Seminar Nasional Ke III Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan geodinamik yang sangat aktif, yaitu pada batas-batas pertemuan

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) (2014), jumlah penduduk di

BAB III LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 64 TAHUN 2010 TENTANG MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan material. DAS kodil bagian tengah terdiri dari Kecamatan Bener,

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN BERBASIS MITIGASI BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Pasirmunjul, Kabupaten Purwakarta, masuk ke dalam zona

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non alam, maupun faktor manusia yang

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

BAB I PENDAHULUAN. Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno 1997). Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan. Tanah longsor dikategorikan sebagai salah satu penyebab bencana alam, di samping gempa bumi, banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam. Dari data Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak tahun 1998 hingga pertengahan tahun 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan banjir dan longsor (Marwanta 2003). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa longsor merupakan bencana alam yang sangat mengancam dan penting untuk diperhatikan setelah banjir, karena frekwensi kejadian dan jumlah korban jiwa yang ditimbulkan cukup signifikan. Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan struktur topografi yang berbentuk pengunungan dan perbukitan yang sangat dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan -kegiatan merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

2 Salah satu kejadian bencana tanah longsor yang sangat parah dan menimbulkan korban yang tidak sedikit adalah yang terjadi di Bahorok (Sumatera Utara) pada 3 November 2003. Bencana tanah longsor di Bahorok tersebut menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan tempat usahanya, di samping jumlah korban meninggal dan luka-luka yang mencapai ratusan jiwa. Pada awal tahun 2006, kejadian tanah longsor di Indonesia yang sangat parah terjadi di Banjarnegara (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur). Kejadian tanah longsor di kedua daerah tersebut menyebabkan sebanyak paling tidak 62 orang tewas, puluhan hilang dan ribuan lainnya harus mengungsi dalam peristiwa banjir bandang di Jember. Sementara peristiwa tanah longsor di Banjarnegara mengakibatkan ratusan orang tewas akibat tertimbun tanah. 1 Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Di samping itu, juga disebabkan tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota, antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002). Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat secara lengkap dan terperinci disajikan pada Lampiran 1. Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan kawasan padat penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak pada lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut, diperlukan upaya -upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat kejadian tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya. Mencegah bahaya longsor lebih murah daripada menanggulangi atau membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Carter (1992) 1. http://www.penulislepas.com/print.php?id=1713_0_1_0

3 menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai mitigasi, yang definisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas di tempatnya. Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana longsor. Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain mulai dari penyusunan data base daerah potensi bahaya longsor hingga pembuatan peta zonasi bencana (hazard map). Menurut Asriningrum (2003), semua daerah di Indonesia belum memiliki peta rawan longsor yang memadai sehingga daerah-daerah yang rawan terjadinya longsor belum terpetakan dengan baik. Akibatnya, daerah-daerah rawan longsor belum dapat dipantau sehingga ketika longsor terjadi sulit diantisipasi dan sangat potensial menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Selama ini, peta yang tersedia sangat tidak memadai untuk mendeteksi titik-titik tertentu yang rawan terkena bencana longsor. Peta yang ada selama ini dibuat dalam skala 1 : 1.000.0000. Padahal, idealnya skala yang harus dibuat adalah 1 : 50.000 supaya titik-titik yang rawan bahaya longsor dapat diketahui secara detail (Asriningrum 2003). Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan metode yang tepat dalam melakukan pembuatan peta zonasi bahaya tanah longsor untuk suatu cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Penerapan teknologi SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak tanah longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak akibat tanah longsor (mitigasi) dilakukan dengan cara membuat suatu model penyusunan SIG, yakni dengan menggabungkan beberapa peta sebagai variabel untuk memperoleh kawasan yang rentan terhadap bahaya dan risiko tanah longsor.

4 Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suhendar (1994) yang menyatakan bahwa citra satelit dapat digunakan secara tidak langsung dalam penentuan potensi tanah longsor, menggambarkan permukaan suatu wilayah, struktur geologi, dan hubungan pertumbuhan dengan kondisi kelembaban. Selanjutnya, Suhendar (1994) juga berpendapat bahwa teknik SIG sangat membantu untuk menganalisis data daerah bahaya tanah longsor dan pendugaan risikonya. 1.2. Perumusan Masalah Dari keseluruhan wilayah sebaran rawan longsor di Provinsi Jawa Barat sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini dipilih salah satu wilayah yang akan dikaji secara mendalam, yaitu Kabupaten Sumedang. Dipilihnya Kabupaten Sumedang sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan bahwa daerah ini memiliki potensi yang besar terjadinya tanah longsor dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat. Kondisi topografi dan geologi wilayah Kabupaten Sumedang pada umumnya adalah wilayah perbukitan dan kebanyakannya merupakan lereng terjal, batuan penyusun berupa endapan vulkanik muda, tanah pelapukan berupa tanah lempung dan lempung pasiran cukup tebal. Selanjutnya, curah hujan ratarata 40 cm per hari pada musim hujan. Berdasarkan hasil identifikasi Direktorat Geologi Tata Lingkungan diketahui bahwa terdapat sembilan kecamatan di Kabupaten Sumedang yang memiliki potensi bahaya longsor relatif besar, yaitu Kecamatan Darmaraja, Cimalaka, Rancakalong, Wado, Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta, Sumedang Utara dan Jatigede. Penelitian ini akan difokuskan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah penyangga (buffer zone) ibukota Kabupaten Sumedang mengingat lokasinya yang dekat dan berbatasan langsung dengan ibukota kabupaten. Dengan demikian, perkembangan kedua daerah ini cukup pesat seiring dengan pesatnya dinamika pembangunan di pusat kota. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kawasan pemukiman penduduk yang telah mencapai ke kawasan lereng perbukitan di dua kecamatan tersebut. Dengan demikian, beban lereng menjadi bartambah sehingga kawasan pemukiman di daerah ini sangat rentan terhadap ancaman tanah longsor. Hal ini mengacu pada pendapat Sutikno (2000) yang

5 menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan tegangan geser yang memungkinkan terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dirumuskan permasalahanpermasalahan sebagai berikut, yaitu : a. Bagaimanakah sebaran lokasi yang potensial rawan bahaya tanah longsor aktif dan longsor pasif di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan? b. Bagaiamankah sebaran lokasi yang memiliki potensi risiko tanah longsor? c. Bagaimanakah mitigasi terhadap daerah rawan longsor dengan menggunakan teknologi SIG? 1.3. Tujuan Penelitian a. Menganalisis faktor penyebab potensi bahaya tanah longsor di wilayah b. Memetakan wilayah bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. c. Menganalisis tingkat risiko dan memetakan risiko tanah longsor di wilayah d. Menganalisis upaya mitigasi terhadap daerah rawan tanah longsor di 1.4. Kegunaan Penelitian a. Peta potensi bahaya dan peta risiko tanah longsor diharapkan bermanfaat sebagai bagian dari upaya mitigasi bahaya tanah longsor yang dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah setempat dan masyarakat maupun instansi terkait lainnya di wilayah Kabupaten Sumedang. b. Sebagai bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya mereka yang tinggal di kawasan rentan longsor dan sekitarnya. 1.5. Kerangka Pemikiran Quarantelli (1998) diacu dalam Smith (2001) memberikan pengertian bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami

6 kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, d efinisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar. Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain. Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan. Salah satu keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik dari banyak faktor penyebab bencana lebih disebabkan karena kurang tersedianya informasi keruangan dan kewilayahan yang detil, komprehensif, dan up to date. Informasi yang diberikan dapat berupa peta kertas atau sistem informasi. Oleh karena itu, penguatan sistem pemetaan merupakan salah satu faktor yang perlu dilakukan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan bencana tanah longsor. Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap tanah longsor. Peta zonasi bahaya tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan memutuskan tingkat risiko dengan mempertimbangkan penghindaran, pencegahan atau mitigasi dari bahaya tanah longsor sekarang dan yang akan datang. Peta atau basis data yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan untuk proses mitigasi bencana-bencana alam lainnya seperti banjir, letusan gunung api, dan

7 gempa bumi. Di samping itu, peta ini dapat bermanfaat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan secara umum. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam diagram alir berikut. Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian