PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS"

Transkripsi

1 PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) FAUZIAH ALHASANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam dafar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2006 Fauziah Alhasanah

3 ABSTRAK FAUZIAH ALHASANAH. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan BABA BARUS. Tanah longsor adalah penyebab terjadinya bencana alam di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Peta bahaya dan risiko tanah longsor yang ada saat ini belum memadai untuk digunakan dalam membuat suatu kebijakan. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan peta potensi bahaya dan peta risiko untuk mitigasi daerah-daerah bahaya tanah longsor dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografis. Hasil menunjukkan bahwa separuh wilayah di kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah rawan terhadap tanah longsor, yaitu Ha atau 65,51% dan wilayah yang berpotensi sangat rawan tanah longsor sekitar Ha (21,67%), kurang rawan Ha (12,16%) dan tidak rawan sekitar 85 Ha (0,66%). Penggabungan peta bahaya tanah longsor dan peta properti menghasilkan tingkat risiko tanah longsor. Namun demikian, sebagian besar wilayah masuk dalam kategori kurang berisiko (7.962 Ha/61,67%) dan wilayah yang berisiko tinggi memiliki luasan terkecil yaitu 568 Ha atau 4,4%. Fenomena yang terjadi adalah wilayah yang memiliki tingkat bahaya tanah longsor yang tinggi belum tentu memiliki nilai risiko yang tinggi, karena dalam perhitungn risiko ditentukan oleh nilai properti yang ada seperti infrastruktur, jaringan jalan, dan penggunaan lahan, sedangkan tingkat bahaya tanah longsor ditentukan oleh faktor alam meliputi curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi serta penggunaan lahan.

4 ABSTRACT FAUZIAH ALHASANAH. Mapping and Analysing of Landslide Hazard Zone and its Mitigation Using Geographic Information System (Case Study in North Sumedang and South Sumedang Subdistric, Sumedang Distric, West Java). Under the direction of MUHAMMAD ARDIANSYAH and BABA BARUS. Landslide is the natural disaster that most frequently occurred in the study area of North Sumedang and South Sumedang subdistric. The existing of landslide hazard and risk maps are not yet adequate to be use in policy making. The aim of the research is to provide potential hazard and risk maps to mitigate landslide hazard using geographic information system technology. The result showed that most area in the North Sumedang and South Sumedang subdistrict is moderate landslide hazard covered Ha (65,51%), high landslide hazard covered Ha (21,67%), low landslide hazard covered Ha (12,16%) and very low landslide hazard covered 85 Ha (0,66%). Combining landslide hazard with property value has produced map of landslide risk. Nevertheless most areas are low risk class (7.962 Ha/61,67%) and the high risk areas are only occurred in small places (568 Ha/4,4 %). This phenomena showed that area with high potential class of landslide hazard is not always having a high value of risk. The risk is determined by properties value such as: infrastructure, road network and land use, while the landslide hazardous class is determined by natural factors such as: slope, soil type, geology and land use.

5 Hak cipta milik Fauziah Alhasanah, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

6 PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) FAUZIAH ALHASANAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

7 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat) : Fauziah Alhasanah : P : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. M. Ardiansyah Ketua Dr. Baba Barus, M.Sc. Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc. Tanggal Ujian : 11 April 2006 Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT pencipta alam semesta yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia -Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah tanah longsor dengan judul Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor serta Upaya Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat). Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M. Ardiansyah dan Dr. Baba Barus, selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam mengekspresikan pikiran ke dalam sebuah tulisan. Kepada Dr. Ir. S.D. Tarigan selaku penguji, penulis ucapkan terimakasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Bapak Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. dan seluruh staff pengajar program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas ilmu-ilmu yang diberikan. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir. Mubekti, M.Sc. dan seluruh rekanrekan di P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta. Khusus kepada Ir. Hartanto Sanjaya, M.Sc. dan Laju Gandharum, S.Si. penulis sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya telah banyak membimbing dan membantu dalam penelitian ini. Terimakasih yang tulus penulis ucapkan untuk kedua orangtuaku tercinta atas do a dan kesabarannya dalam mendidik penulis. Terimakasih penulis ucapkan pula kepada kedua kakak tercinta, sahabat-sahabat terdekat, rekan-rekan di PS-PSL (2003) serta M. Iqbal, M.Si., atas kesabarannya dalam mendampingi dan membantu dalam penyelesaian tesis ini, penulis ucapakan terimakasih yang tak terhingga. Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian ini penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai materi pembanding dalam pelaksanaan penelitian lanjutan. Bogor, Juni 2006 Fauziah Alhasanah

9 RIWAYAT HIDUP Fauziah Alhasanah dilahirkan di Jakarta pada 3 Februari 1980, putri ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Fairus Syahdan dan Yulita. Pada tahun 1998, penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas di SMU Negeri 1 Cimanggis. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta dan lulus pada tahun Sejak Juni 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai asisten peneliti pada P3-TISDA BPP Teknologi Jakarta. Pada Agustus 2003, penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

10 Untuk dia yang mampu memberi sepercik asa A friend in need is a friend indeed

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Kerangka Pemikiran... 5 II. TINJAUAN PUSTAKA Proses Terjadinya Longsor Pengertian dan Batasan Gerakan Massa Faktor Penyebab Tanah Longsor Peta Bahaya dan Risiko Longsor Mitigasi Bencana Tanah Longsor Sistem Informasi Geografis III. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Metodologi Persiapan Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik Tahap Interpretasi, Analisis Pembuatan Peta Bahaya Longsor Validasi Lapangan Analisis Ulang Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko Peta Properti Peta Risiko Longsor Mitigasi Bencana Tanah Longsor IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Wilayah Penelitian Administrasi dan Kependudukan Curah Hujan Suhu Topografi Hidrologi Penggunaan Lahan Geologi Jenis Tanah Bencana Longsor Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor... 51

12 Halaman Faktor-faktor Pemicu Bahaya Tanah Longsor Kelerengan Jenis Tanah Geologi Tutupan Lahan Analisis Wilayah Risiko Tanah Longsor Peta Infrastruktur Peta Jaringan Jalan Peta Penggunaan Lahan Peta Risiko Tanah Longsor Mitigasi Penanggulangan Risiko Tanah Longsor V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 78

13 DAFTAR TABEL Halaman 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor Klasifikasi Wilayah Rawan (Potensial) Tanah Longsor Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang Kelas Lereng dan Luasannya Jenis Penggunaan Lahan Luasannya Satuan Batuan Beserta Luasannya Jenis Tanah Beserta Luasannya Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang Telah Dilakukan Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor Potensi Bahaya Longsor pada Lima Kelas Lereng Jenis Tanah dan Potensi Bahaya Longsor Satuan Batuan dan Potensi Bahaya Longsor Tutupan Lahan dan Potensi Bahaya Longsor Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Infrastruktur Nilai Skoring dan Jarak Buffering dari Jenis Jalan Nilai Skoring dari Jenis Penggunaan Lahan Matriks Penentuan Nilai Risiko Kelas dan Nilai Risiko Tanah Longsor Beserta Luasannya Tingkat Risiko Tanah Longsor Berdasarkan Desa di Kecamatan Sumedang Utara dan Selatan Luas Wilayah Sangat Rawan dan Sangat Berisiko Tanah Longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan Faktor Penyebab Bahaya, Potensi Bahaya, Tingkat Risiko, dan Mitigasinya di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan... 72

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian Diagram Tipe Gerakan Massa ProsesTerjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya Hubungan Sebab-Akibat Bencana Manajemen Resiko Bencana Tanah Longsor Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor Diagram Alir Tahap Penelitian Lokasi Penelitian Peta Wilayah Administrasi Kec. Sumedang Utara dan Sumedang Selatan Peta Kontur Peta Kelas Lereng Peta Penggunaan Lahan Citra ASTER tahun Peta Geologi Peta Tanah Tinjau Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor Peta Bahaya Tanah Longsor Peta Properti Peta Risiko Tanah Longsor Tahapan Mitigasi Tanah Longsor... 69

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Wilayah Rawan Longsor di Provinsi Jawa Barat... 78

16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Pergerakan tersebut terjadi karena adanya faktor gaya yang terletak pada bidang tanah yang tidak rata atau disebut dengan lereng. Selanjutnya, gaya yang menahan massa tanah di sepanjang lereng tersebut dipengaruhi oleh kedudukan muka air tanah, sifat fisik tanah, dan sudut dalam tahanan geser tanah yang bekerja di sepanjang bidang luncuran (Sutikno 1997). Faktor penyebab tanah longsor secara alamiah meliputi morfologi permukaan bumi, penggunaan lahan, litologi, struktur geologi, curah hujan, dan kegempaan. Selain faktor alamiah, juga disebabkan oleh faktor aktivitas manusia yang mempengaruhi suatu bentang alam, seperti kegiatan pertanian, pembebanan lereng, pemotongan lereng, dan penambangan. Tanah longsor dikategorikan sebagai salah satu penyebab bencana alam, di samping gempa bumi, banjir, dan angin topan, dan lain-lain. Bahaya bencana tanah longsor berpengaruh besar terhadap kelangsungan kehidupan manusia dan senantiasa mengancam keselamatan manusia. Di Indonesia, terjadinya tanah longsor telah mengakibatkan kerugian yang besar, misalnya kehilangan jiwa manusia, kerusakan harta benda, dan terganggunya ekosistem alam. Dari data Bakornas Penanggulangan Bencana, sejak tahun 1998 hingga pertengahan tahun 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia, dimana 85% dari bencana tersebut merupakan banjir dan longsor (Marwanta 2003). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa longsor merupakan bencana alam yang sangat mengancam dan penting untuk diperhatikan setelah banjir, karena frekwensi kejadian dan jumlah korban jiwa yang ditimbulkan cukup signifikan. Tingginya frekuensi terjadinya tanah longsor di Indonesia disebabkan struktur topografi yang berbentuk pengunungan dan perbukitan yang sangat dominan. Selain itu, tanah longsor juga disebabkan perbuatan manusia yang merusak sumber daya alam, seperti penebangan liar dan kegiatan -kegiatan merusak lainnya yang tidak memperdulikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

17 2 Salah satu kejadian bencana tanah longsor yang sangat parah dan menimbulkan korban yang tidak sedikit adalah yang terjadi di Bahorok (Sumatera Utara) pada 3 November Bencana tanah longsor di Bahorok tersebut menyebabkan ratusan kepala keluarga kehilangan tempat tinggal dan tempat usahanya, di samping jumlah korban meninggal dan luka-luka yang mencapai ratusan jiwa. Pada awal tahun 2006, kejadian tanah longsor di Indonesia yang sangat parah terjadi di Banjarnegara (Jawa Tengah) dan Jember (Jawa Timur). Kejadian tanah longsor di kedua daerah tersebut menyebabkan sebanyak paling tidak 62 orang tewas, puluhan hilang dan ribuan lainnya harus mengungsi dalam peristiwa banjir bandang di Jember. Sementara peristiwa tanah longsor di Banjarnegara mengakibatkan ratusan orang tewas akibat tertimbun tanah. 1 Provinsi Jawa Barat termasuk salah satu daerah yang sangat potensial terjadinya bencana tanah longsor. Hal ini disebabkan topografi sebagian besar wilayahnya yang berbukit dan bergunung. Di samping itu, juga disebabkan tingginya tingkat kepadatan penduduk di wilayah perbukitan sehingga menimbulkan tekanan terhadap ekosistem. Faktor lainnya yang menyebabkan cukup tingginya kerentanan bahaya tanah longsor di wilayah Jawa Barat adalah kesadaran lingkungan yang relatif rendah, serta pemanfaatan lahan dan ruang yang kurang baik. Menurut Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan diketahui bahwa kawasan rawan longsor di Provinsi Jawa Barat menyebar di sepuluh kabupaten/kota, antara lain Bandung, Cianjur, Bogor, Sukabumi, Majalengka, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, dan Purwakarta (Anonim 2002). Wilayah rawan longsor di Provinsi Jawa Barat secara lengkap dan terperinci disajikan pada Lampiran 1. Dilihat dari aspek demografi, dua belas kabupaten/kota tersebut merupakan kawasan padat penduduk dan pemukiman penduduk pada umumnya terletak pada lereng perbukitan. Oleh sebab itu, untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih besar dan banyak akibat bahaya tanah longsor di daerah-daerah tersebut, diperlukan upaya -upaya yang mengarah kepada tindakan meminimalisir akibat yang akan ditimbulkan. Upaya-upaya tersebut perlu dilakukan mengingat kejadian tanah longsor pada umumnya akan mengakibatkan kerugian material dan korban jiwa yang tidak sedikit, terutama di wilayah yang padat penduduknya. Mencegah bahaya longsor lebih murah daripada menanggulangi atau membangun kembali bangunan dan infrastruktur yang rusak. Carter (1992) 1.

18 3 menyatakan bahwa upaya pencegahan terjadinya bencana disebut sebagai mitigasi, yang definisikan sebagai tindakan yang dilakukan untuk mengurangi dampak dari suatu bencana (alam maupun disebabkan oleh manusia) terhadap suatu bangsa atau komunitas, agar masyarakat merasa aman dalam beraktivitas di tempatnya. Salah satu bentuk mitigasi dalam rangka menghadapi terjadinya bencana alam dan sekaligus untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya adalah tersedianya sistem peringatan dini (early warning system). Tidak adanya sistem peringatan dini yang dapat menyelamatkan masyarakat dan lingkungan serta minimnya pemahaman tentang lingkungan tempat mereka tinggal, menjadi penyebab banyaknya jatuh korban pada setiap bencana longsor. Mitigasi dalam manajemen bencana longsor terdiri dari beberapa elemen, antara lain mulai dari penyusunan data base daerah potensi bahaya longsor hingga pembuatan peta zonasi bencana (hazard map). Menurut Asriningrum (2003), semua daerah di Indonesia belum memiliki peta rawan longsor yang memadai sehingga daerah-daerah yang rawan terjadinya longsor belum terpetakan dengan baik. Akibatnya, daerah-daerah rawan longsor belum dapat dipantau sehingga ketika longsor terjadi sulit diantisipasi dan sangat potensial menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Selama ini, peta yang tersedia sangat tidak memadai untuk mendeteksi titik-titik tertentu yang rawan terkena bencana longsor. Peta yang ada selama ini dibuat dalam skala 1 : Padahal, idealnya skala yang harus dibuat adalah 1 : supaya titik-titik yang rawan bahaya longsor dapat diketahui secara detail (Asriningrum 2003). Teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan metode yang tepat dalam melakukan pembuatan peta zonasi bahaya tanah longsor untuk suatu cakupan daerah yang luas dengan waktu yang relatif singkat. Penerapan teknologi SIG dapat membantu upaya mitigasi bencana alam dengan melakukan identifikasi lokasi serta pengkajian masalah yang berkaitan dengan dampak tanah longsor. Upaya mitigasi untuk mengurangi atau meminimalisir dampak akibat tanah longsor (mitigasi) dilakukan dengan cara membuat suatu model penyusunan SIG, yakni dengan menggabungkan beberapa peta sebagai variabel untuk memperoleh kawasan yang rentan terhadap bahaya dan risiko tanah longsor.

19 4 Hal tersebut sejalan dengan pendapat Suhendar (1994) yang menyatakan bahwa citra satelit dapat digunakan secara tidak langsung dalam penentuan potensi tanah longsor, menggambarkan permukaan suatu wilayah, struktur geologi, dan hubungan pertumbuhan dengan kondisi kelembaban. Selanjutnya, Suhendar (1994) juga berpendapat bahwa teknik SIG sangat membantu untuk menganalisis data daerah bahaya tanah longsor dan pendugaan risikonya Perumusan Masalah Dari keseluruhan wilayah sebaran rawan longsor di Provinsi Jawa Barat sebagaimana disebutkan di atas, dalam penelitian ini dipilih salah satu wilayah yang akan dikaji secara mendalam, yaitu Kabupaten Sumedang. Dipilihnya Kabupaten Sumedang sebagai wilayah penelitian dengan pertimbangan bahwa daerah ini memiliki potensi yang besar terjadinya tanah longsor dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat. Kondisi topografi dan geologi wilayah Kabupaten Sumedang pada umumnya adalah wilayah perbukitan dan kebanyakannya merupakan lereng terjal, batuan penyusun berupa endapan vulkanik muda, tanah pelapukan berupa tanah lempung dan lempung pasiran cukup tebal. Selanjutnya, curah hujan ratarata 40 cm per hari pada musim hujan. Berdasarkan hasil identifikasi Direktorat Geologi Tata Lingkungan diketahui bahwa terdapat sembilan kecamatan di Kabupaten Sumedang yang memiliki potensi bahaya longsor relatif besar, yaitu Kecamatan Darmaraja, Cimalaka, Rancakalong, Wado, Sumedang Selatan, Tanjungsari, Tanjungkerta, Sumedang Utara dan Jatigede. Penelitian ini akan difokuskan pada dua kecamatan yaitu Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan daerah penyangga (buffer zone) ibukota Kabupaten Sumedang mengingat lokasinya yang dekat dan berbatasan langsung dengan ibukota kabupaten. Dengan demikian, perkembangan kedua daerah ini cukup pesat seiring dengan pesatnya dinamika pembangunan di pusat kota. Hal ini ditandai dengan berkembangnya kawasan pemukiman penduduk yang telah mencapai ke kawasan lereng perbukitan di dua kecamatan tersebut. Dengan demikian, beban lereng menjadi bartambah sehingga kawasan pemukiman di daerah ini sangat rentan terhadap ancaman tanah longsor. Hal ini mengacu pada pendapat Sutikno (2000) yang

20 5 menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan tegangan geser yang memungkinkan terjadinya gerakan tanah. Berdasarkan gambaran tersebut, dapat dirumuskan permasalahanpermasalahan sebagai berikut, yaitu : a. Bagaimanakah sebaran lokasi yang potensial rawan bahaya tanah longsor aktif dan longsor pasif di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan? b. Bagaiamankah sebaran lokasi yang memiliki potensi risiko tanah longsor? c. Bagaimanakah mitigasi terhadap daerah rawan longsor dengan menggunakan teknologi SIG? 1.3. Tujuan Penelitian a. Menganalisis faktor penyebab potensi bahaya tanah longsor di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. b. Memetakan wilayah bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. c. Menganalisis tingkat risiko dan memetakan risiko tanah longsor di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. d. Menganalisis upaya mitigasi terhadap daerah rawan tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan Kegunaan Penelitian a. Peta potensi bahaya dan peta risiko tanah longsor diharapkan bermanfaat sebagai bagian dari upaya mitigasi bahaya tanah longsor yang dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah setempat dan masyarakat maupun instansi terkait lainnya di wilayah Kabupaten Sumedang. b. Sebagai bagian dari upaya penyadaran kepada masyarakat untuk mengurangi tindakan yang dapat memicu terjadinya longsoran, khususnya mereka yang tinggal di kawasan rentan longsor dan sekitarnya Kerangka Pemikiran Quarantelli (1998) diacu dalam Smith (2001) memberikan pengertian bencana sebagai suatu kejadian aktual, lebih dari suatu ancaman yang potensial atau dengan diistilahkan sebagai realisasi dari bahaya. Bencana pada dasarnya merupakan fenomena sosial yang terjadi ketika suatu komunitas mengalami

21 6 kerugian akibat bencana tersebut. Secara lebih rinci, d efinisi bencana difokuskan pada ruang dan waktu ketika suatu komunitas menghadapi bahaya yang besar dan hancurnya berbagai fasilitas penting yang dimilikinya, jatuhnya korban manusia, kerusakan harta benda dan lingkungan, sehingga berpengaruh pada kemampuan komunitas tersebut untuk mengatasinya tanpa bantuan dari pihak luar. Bencana tanah longsor adalah istilah umum dan mencakup ragam yang luas dari bentuk-bentuk tanah dan proses-proses yang melibatkan gerakan bumi, batu-batuan atau puing-puing pada lereng bawah di bawah pengaruh gravitasi. Biasanya, terjadinya tanah longsor didahului oleh fenomena alam lainnya, yaitu seperti gempa bumi, banjir dan gunung berapi. Kerusakan yang disebabkan oleh tanah longsor pada selang waktu tertentu dapat menyebabkan kerugian properti yang lebih banyak dibandingkan dengan kejadian geologi lain. Bencana dapat terjadi karena saling bertemu dua faktor, yakni bahaya (hazard) dan kerentanan (vulnerability). Oleh karena itu harus saling diketahui faktor-faktor bahaya dan kerentanan yang terdapat di suatu daerah, agar daerah tersebut dapat terbebas atau terhindarkan dari bencana. Istilah bahaya atau hazard mempunyai pengertian kemungkinan terjadinya bahaya dalam suatu periode tertentu pada suatu daerah yang berpotensi terjadinya bahaya tersebut. Bahaya berubah menjadi bencana apabila telah mengakibatkan korban jiwa, kehilangan atau kerusakan harta dan kerusakan lingkungan. Salah satu keterbatasan manusia dalam memahami karakteristik dari banyak faktor penyebab bencana lebih disebabkan karena kurang tersedianya informasi keruangan dan kewilayahan yang detil, komprehensif, dan up to date. Informasi yang diberikan dapat berupa peta kertas atau sistem informasi. Oleh karena itu, penguatan sistem pemetaan merupakan salah satu faktor yang perlu dilakukan untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkan bencana tanah longsor. Implementasi dari tindakan penanganan bencana harus didahului dengan melokalisir daerah-daerah yang rawan terhadap tanah longsor. Peta zonasi bahaya tanah longsor memungkinkan para perencana menetapkan dan memutuskan tingkat risiko dengan mempertimbangkan penghindaran, pencegahan atau mitigasi dari bahaya tanah longsor sekarang dan yang akan datang. Peta atau basis data yang dihasilkan juga dapat dimanfaatkan untuk proses mitigasi bencana-bencana alam lainnya seperti banjir, letusan gunung api, dan

22 7 gempa bumi. Di samping itu, peta ini dapat bermanfaat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan secara umum. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian digambarkan dalam diagram alir berikut. Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penelitian

23 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Proses Terjadinya Longsor Cruden (1991) mengemukakan longsoran (landslide) sebagai pergerakan suatu massa batuan, tanah, atau bahan rombakan material penyusun lereng (yang merupakan percampuran tanah dan batuan) menuruni lereng. Terjadinya longsoran pada umumnya disebabkan oleh batuan hasil pelapukan yang terletak pada topografi yang mempunyai kemiringan terjal sampai sangat terjal dan berada di atas batuan yang bersifat kedap air (impermeable) sehingga berfungsi sebagai bidang luncur. Berdasarkan tipe gerakan dan material yang mengalami gerakan, Sutikno (1994) membedakan gerakan massa tanah/batuan menjadi tiga tipe, yaitu (i) tipe gerakan lambat (mencakup rayapan tanah, rayapan talus, rayapan batuan, gletser, dan solifluction); (ii) tipe aliran cepat (mencakup aliran lumpur, aliran tanah, debris avalance, longsoran (landslide), nendatan (slump), longsoran hancuran, batu longsor, dan batu jatuh (rock fall); dan (iii) terban, yakni turunnya material kulit bumi ke bawah tanpa permukaan bebas dan pergeseran horizontal. Secara teoritis, tanah longsor terjadi disebabkan adanya gaya gravitasi yang bekerja pada suatu massa (tanah dan atau batuan). Dalam hal ini, besarnya pengaruh gaya gravitasi terhadap massa tersebut, ditentukan oleh besarnya sudut kemiringan lereng terhadap bidang horizontal (slope). Semakin besar slope, akan semakin besar kemungkinan terjadinya gerakan massa, begitu juga sebaliknya. Secara matematis, Pidwirny (1996) dalam Purnomo (2003) merumuskan persamaan pengaruh gravitasi, sebagai berikut : dimana : F : Gaya gravitasi (Kg.m/dt²) W : Berat massa batuan di suatu titik α : Sudut lereng F = W sin α Peristiwa tanah longsor atau dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada lereng-lereng alam atau buatan. Kondisi tersebut sebenarnya merupakan fenomena alam, yaitu alam mencari keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya

24 9 dan menyebabkan terjadinya pengurangan kekuatan geser serta peningkatan tegangan geser tanah (Suryolelono 2005). Dalam buku Gerakan Tanah di Indonesia yang diterbitkan oleh Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (DGTL) dinyatakan bahwa kemantapan suatu lereng untuk dapat mengalami gerakan tanah dievaluasi dengan menghitung faktor keamanan (Factor of safety, disimbolkan dengan Fs). Fs diperoleh dengan cara membandingkan antara gaya yang menahan dengan gaya yang meluncurkan. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut : Fs = Gaya yang menahan Gaya yang meluncurkan Apabila gaya yang menahan lebih besar daripada gaya yang meluncurkan (Fs > 1) maka lereng akan mantap. Sebaliknya, apabila gaya yang menahan lebih kecil dari gaya yang meluncurkan (Fs < 1) maka lereng tersebut akan bergerak (tidak mantap). Setiap sesuatu perubahan yang menyebabkan berkurangnya gaya yang menahan atau memperbesar gaya yang meluncurkan, akan menambah kemungkinan terjadinya gerakan tanah. Besarnya gaya penahan material pembentuk lereng atau disebut juga sebagai kekuatan geser (shear strength) menjadi berkurang karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari alam itu sendiri. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi geologi sebagaimana dikemukakan Sutikno (2000), yaitu sebagai berikut: a. Komposisi dan tekstur material. b. Jenis material lempung, daya ikat antar butir lemah, bentuk butiran halus dan seragam. c. Reaksi kimia. d. Perubahan ion, hidrasi lempung dan pengeringan lempung. e. Pengaruh tekanan air pori. f. Perubahan struktur material karena pengaruh pelapukan. g. Vegetasi/tutupan lahan yang berubah. Selanjutnya, Sutikno (2000) juga menjelaskan bahwa peningkatan tegangan geser dapat disebabkan oleh banyak faktor antara lain : a. Hilangnya penahan lateral; karena aktifitas erosi, pelapukan, penambahan kemiringan lereng, dan pemotongan lereng.

25 10 b. Kelebihan beban; karena air hujan yang meresap ke tanah, pembangunan diatas lereng, dan genangan air di atas lereng. c. Getaran; karena gempa bumi atau mesin kendaraan. d. Hilangnya tahanan bagian bawah lereng; karena pengikisan air, penambangan batuan, pembuatan terowongan, dan eksploitasi air tanah berlebihan. e. Tekanan lateral; karena pengisian air di pori-pori antarbutiran tanah dan pengembangan tanah. f. Struktur geologi; yang berpotensi mendorong terjadinya longsor adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan, sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring. g. Sifat batuan; pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan vulkanis yang berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak. Tanah dengan ukuran batuan yang halus dan seragam, kurang padat atau kurang kompak. h. Air; adanya genangan air, kolam ikan, rembesan, susut air cepat. Saluran air yang terhambat pada lereng menjadi salah satu sebab yang mendorong munculnya pergerakan tanah atau longsor. i. Vegetasi/tutupan lahan; peranan vegetasi pada kasus longsor sangat kompleks. Jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mampu menembus sampai lapisan batuan dasar maka tumbuhan tersebut akan sangat berfungsi sebagai penahan massa lereng. Di sisi lain meskipun tumbuhan memiliki perakaran yang dangkal tetapi tumbuh pada lapisan tanah yang memiliki daya kohesi yang kuat sehingga menambah kestabilan lereng. Pada kasus tertentu tumbuhan yang hidup pada lereng dengan kemiringan tertentu justru berperan sebagai penambah beban lereng yang mendorong terjadinya longsor Pengertian dan Batasan Gerakan Massa Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting. Mass Wasting yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa batuan, regolith dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah.

26 11 Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi antarmaterial akan semakin lemah, sehingga memungkinkan partikel-partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain itu air juga akan menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk menyebabkan material untuk meluncur ke bawah. Selanjutnya, pengertian dan batasan masing-masing tipe gerakan massa, menurut klasifikasi Varnes (1978) dalam Cooke dan Doornkamp (1990), secara rinci dijelaskan sebagai berikut : a. Jatuhan (Falls) Rock Falls adalah gerakan pecahan batuan dan jatuh bebas. Peristiwa ini sangat umum terjadi pada lereng yang sangat terjal, dimana material lepas tidak dapat tetap tinggal. Pecahan batuan ini dapat langsung jatuh atau membenturbentur dinding tebing sebelum sampai di bawah tebing. Peristiwa rock falls ini banyak terjadi pada batuan yang mengalami pelapukan fisik karena proses pemanasan dan pendinginan batuan atau oleh pertumbuhan akar tumbuhan. Contohnya, pada tebing di pinggir jalan yang baru dikupas, terutama yang batuannya masih segar atau agak lapuk dan banyak rekahan. Selain rock falls, dalam terminologi jatuhan juga dikenal istilah soil falls, yaitu gerakan yang terjadi akibat pemotongan pada massa tanah (soil) atau muka teras. Soil falls ini biasanya terjadi pada bagian yang tidak stabil. Prosesnya dimulai pada saat massa terpisah dari tebing terjal yang disebabkan retakan, sebelum lereng terjal tersebut runtuh. b. Robohan (Topples) Merupakan gerakan robohan ke arah depan. Topples dapat terjadi pada batuan maupun tanah, dan biasanya merupakan hasil dari retakan-retakan setelah terjadinya massa yang jatuh. Selanjutnya material robohan tersebut bergerak sebagai aliran (flow) atau sebagai longsoran (slide). c. Longsoran (Slides) Longsoran (slides) merupakan perpindahan masa batuan atau tanah melalui suatu permukaan bidang. Permukaan bidang tersebut dapat merupakan kekar, sesar, atau bidang perlapisan yang searah dengan kemiringan lereng.

27 12 d. Nendatan (Slump) Nendatan (slump) merupakan perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang lengkung. Pada proses nendatan, material yang dipindahkan tidak terlalu besar kecepatannya dan tidak terlalu jauh. Proses ini merupakan sedimen kohesif yang tebal seperti lempung. Permukaan retakan blok slump dicirikan oleh bentuk seperti sendok dan cekung ke arah atas. Pada saat terjadi pergerakan, terbentuk tebing yang lengkung dan blok yang terletak dipermukaan akan berputar ke belakang. Umumnya slump terjadi karena kemiringan lereng terlalu terjal, dapat juga terjadi karena beban pada kemiringan lereng terlalu besar, yang menyebabkan terjadinya internal stress pada meterial di bawahnya. Slump terjadi pada material yang lemah dan kaya akan lempung berada di bawah material yang lebih keras atau resisten seperti batu pasir. Air tanah yang meresap melalui batu pasir akan melemahkan lempung yang berada di bawahnya. e. Aliran (Flow) Aliran pada tanah penting juga untuk diperhatikan, mengingat gerakan massa jenis ini sering menimbulkan malapetaka. Dalam hal gerakan massa jenis flow ini, dapat berupa debris flow (aliran bahan rombakan) dengan material berukuran butir kasar, sampai dengan mudflow (aliran lumpur), yakni aliran material dengan ukuran butir secara dominan adalah lempung. Aliran lumpur (mudflow) terjadi apabila material cairan kental bergerak menuruni lereng dengan cepat. Biasanya materialnya jenuh air dan utamanya partikel halus (debris). Tipe gerakan massa ini umum terjadi di daerah yang curah hujannya tinggi, seperti di Indonesia. Selanjutnya, kecepatan alirnya tidak hanya bergantung pada kecuraman lereng tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan air. Aliran campuran lumpur, tanah, batuan, dan air ini mampu membawa atau mendorong bongkah yang besar, pohon-pohon atau bahkan bangunan besar seperti rumah. Di daerah gunung api aktif, terdapat aliran (flow) dari gerakan massa yang sangat khas, yakni lahar. Lahar merupakan aliran piroklastik, berukuran dari debu vulkanik sampai bongkah (bomb), yang jenuh air menuruni lereng. Komponen utama yang membedakan berbagai macam aliran tersebut, adalah dalam hal kandungan air dan dapat terlihat pada bentukan akhir lahan yang mengalami kerusakan akibat flow ini. Apabila bentukan akhir lahannya

28 13 cenderung berlumpur, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya kandungan air pada aliran tersebut, begitu juga sebaliknya. Aliran (flow) berdasarkan kandungan air dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mudflow dan earthflow. Karena dipengaruhi oleh kandungan air yang ada, mudflow lebih banyak terjadi di daerah semi arid. Sedangkan earthflow lebih sering terjadi di daerah bawah (humid) akibat hujan yang terus menerus. Selain sering terjadi pada lereng perbukitan, earthflow juga sering terjadi berasosiasi dengan slump. Selanjutnya, kecepatan earthflow sangat tergantung pada kemiringan lereng dan konsistensi dari materialnya. Berdasarkan kekentalannya, kecepatan earthflow dan mudflow jauh berbeda. Karena eartflow agak kental, maka alirannya tidak secepat mudflow. f. Kompleks/Campuran (Complex) Gerakan massa kompleks terjadi bilamana beberapa tipe gerakan terjadi dalam satu kejadian dan dalam waktu yang sama. Kombinasi yang khas terjadi adalah gerakan massa berupa rockfalls dengan debris avalanches serta rockfalls dengan rock flowsides, rotational slides, dan earthflow (atau pada umumnya mudflows). g. Avalanches Gerakan massa tipe avalanches ini biasa terjadi pada salju atau es. Lahan yang terbentuk mempunyai kategori yang berbeda dari tipe gerakan massa yang lain, karena dalam media yang ada ikut berperan. h. Solifluction Gerakan massa tipe ini termasuk lambat dan hanya terjadi pada elevasi tinggi dan dengan suhu dingin. Pada musim semi dan panas, hanya bagian atas es atau salju yang mencair, sedangkan tanah di bawahnya masih beku. Air dari pencairan es ini tidak mengalir dan membuat tanah menjadi jenuh. Kejenuhan tanah akan air membuatnya mudah bergerak, seperti halnya pada rayapan. Keseluruhan tipe gerakan massa sebagaimana telah dijelaskan di atas secara visual disajikan dalam Gambar 2.

29 14 FALLS Rock Fall ROCK Joint opened coarse Soil fall SOILS fine-grained Original support removed mixed sediments undercut by river TOPPLES Rock topple Debris topple clay-gravel clean sand SLIDES Rotational slump Slides Rotational Earth block slide Translational Rock slide scarp face control by joints dip slope control by bedding planes main scarp head graben pressure ridge toe failure along faults moderate slip surface FLOWS Rock Avalanche Debris flow Sand or silt flow rock fall flow tongue of rock debris Earth flow source area main track depositional area Rock fragmen flow (flow slide) Debris avalanche Sand run COMPLEX Gambar 2. Diagram Tipe Gerakan Massa (menurut Varnes 1978 dalam Cooke dan Doornkamp 1990) 2.3. Faktor Penyebab Tanah Longsor Karnawati (2004) menjelaskan bahwa terjadinya longsor karena adanya faktor-faktor pengontrol gerakan dan proses-proses pemicu gerakan seperti yang terlihat dalam skema dalam Gambar 3.

30 15 Gambar 3. Proses Terjadinya Gerakan Tanah/Batuan dan Komponen-komponen Penyebabnya (Karnawati 2004) Dari gambar di atas, terlihat bahwa faktor-faktor pengontrol gerakan tanah meliputi kondisi morfologi, geologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan tata guna lahan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi sehingga mewujudkan suatu kondisi lereng yang cenderung atau berpotensi untuk bergerak. Kondisi lereng yang demikian disebut sebagai kondisi rentan untuk bergerak. Gerakan pada lereng baru benar-benar dapat terjadi apabila ada pemicu gerakan. Pemicu gerakan merupakan proses-proses alamiah ataupun non alamiah yang dapat merubah kondisi lereng dari rentan (siap bergerak) menjadi mulai bergerak. Menurut Goenadi et al. (2003), faktor pemicu terjadinya longsor dikelompokkan menjadi dua, yakni faktor yang bersifat tetap (statis), dan faktor yang bersifat mudah berubah (dinamis). Faktor pemicu yang bersifat dinamis ini mempunyai pengaruh yang cukup besar karena kejadian tanah longsor sering dipicu oleh adanya perubahan gaya atau energi akibat perubahan faktor yang bersifat dinamis. Yang termasuk ke dalam kategori faktor pemicu dinamis ini adalah curah hujan dan penggunaan lahan. Pada kelompok faktor pemicu yang bersifat dinamis, sebenarnya ada faktor kegempaan. Namun karena daerah penelitian tidak terlalu luas, maka seluruh daerah penelitian dapat dianggap mempunyai tingkat faktor kegempaan yang sama. Selanjutnya, faktor pemicu terjadinya tanah longsor yang bersifat statis dibagi lagi ke dalam dua kelompok, yaitu faktor batuan (jenis litologi penyusun dan struktur geologi), dan faktor (sifat fisik) tanah. Secara lebih rinci, faktor-faktor tersebut di atas disajikan dalam Tabel 1.

31 16 Tabel 1. Faktor Penyebab dan Faktor Pemicu Tanah Longsor No. Faktor Penyebab Parameter 1. Faktor Pemicu Dinamis 2. Faktor Pemicu Statis Sumber: Goenadi et al. (2003) 1. Kemiringan Lereng 2. Curah Hujan 3. Penggunaan Lahan (aktivitas manusia) 4. Jenis Batuan dan Struktur Geologi 5. Kedalaman Solum Tanah 6. Permeabilitas Tanah 7. Tekstur Tanah 2.4. Peta Bahaya dan Risiko Longsor Mikrozoning (risk mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk pengkajian risiko bahaya kawasan secara rinci, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan pengumpulan data (sekunder maupun survai di lapangan), analisis, dan penyajian dalam bentuk peta risiko. Dengan demikian kegiatan mikrozoning dimaksudkan untuk memberi informasi risiko bencana dalam suatu wilayah agar pembangunan yang akan dilakukan dapat ditempatkan pada kawasan yang aman (Naryanto 2001). Pembuatan peta risiko tanah longsor dapat dilakukan berdasarkan metode Sistem Informasi Geografis (SIG). Dengan menggunakan metode ini, penentuan tingkat kerentanan tanah di suatu wilayah dapat dilakukan dengan lebih kuantitatif. Metode ini banyak dimanfaatkan dalam berbagai studi dan kegiatan pengelolaan sumberdaya lahan maupun pemetaan bahaya longsoran (Rengers dan Soeters 1993 dalam Barus 1999) Mitigasi Bencana Tanah longsor Bencana (disaster) disebabkan oleh faktor alam dan/atau manusia yang dapat menimbulkan bahaya (hazard) dan ke rentanan (vulnerability) terhadap manusia dan lingkungan itu sendiri. Dalam manajemen mitigasi bencana, sebab dan akibat tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (interdependensi) yang secara skematis disajikan dalam Gambar 4. Dari gambar tersebut, terdapat faktor umpan balik yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem. Umpan balik (feed back) disini diartikan sebagai upaya untuk mengidentifikasi langkahlangkah yang akan dilakukan dalam manajemen mitigasi termasuk sebab terjadinya bencana.

32 17 Gambar 4. Hubungan Sebab-Akibat Bencana (Kotter 2004) Selanjutnya untuk mengidentifikasi langkah-langkah antisipasi, baik sebelum dan sesudah terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam maupun manusia, diperlukan suatu sistem manajemen risiko bencana. Upaya dalam mengindetifikasi langkah-langkah antisipasi bencana tanah longsor dengan melibatkan unsur-unsur manajemen risiko digambarkan sebagai berikut. Gambar 5. Manajemen Risiko Bencana Tanah longsor (Kotter 2004)

33 18 Paripurno (2004) mengemukakan bencana (disaster) merupakan fenomena sosial yang terjadi akibat kolektivitas atas komponen ancaman (hazard) berupa fenomena alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain serta (risk ) risiko yang ditimbulkan. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat ancaman tersebut, atau bahkan menjadi sumber ancaman tersebut. Risiko merupakan gabungan dari unsur-unsur risiko itu sendiri dan bahaya serta kerentanan (UNDRO 1991). Hubungan antara risiko dan unsur-unsurnya, bahaya, dan kerentanan secara metematis diformulasikan sebagai berikut : dimana : Rt : Risiko E : Unsur-unsur dari Risiko H : Bahaya V : Kerentanan Rt = ( E)( Rs) = ( E)( HxV ) Risiko (Rt) diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti dan hancurnya aktivitas ekonomi oleh karena fenomena alam tertentu yang dihasilkan dari unsur-unsur risiko dan bahaya serta kerentanan. Adapun unsur-unsur dari risiko (E) terdiri dari populasi, bagunan-bangunan, aktivitas ekonomi, pelayanan masyarakat, fasilitas dan infrastruktur, dan lainnya yang memiliki risiko pada suatu area. Bahaya (H) adalah kemungkinan dari kejadian dalam jangka waktu tertentu pada suatu wilayah yang berpotensi terhadap rusaknya fenomena alam. Selanjutnya, kerentanan (V) diartikan sebagai tingkat kerusakan dari suatu unsur risiko dari suatu fenomena alam pada skala tertentu, yaitu dari 0 (tidak ada kerusakan) sampai 1 (kerusakan total). Risiko biasanya dihitung secara matematis yang merupakan probabilitas dari dampak konsekuensi suatu ancaman. Selanjutnya, hasil dari analisis risiko perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi untuk mengurangi risiko tersebut. Rekomendasi tersebut apabila dikaitkan dengan rencana pembangunan disebut dengan rencana mitigasi. Pada dasarnya kegiatan mitigasi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu mitigasi struktural dan nonstruktural. Menurut Naryanto (2001), dalam

34 19 pelaksanaannya, kedua kelompok mitigasi tersebut harus dilakukan bersamasama dan saling memperkuat. Terhadap kedua kelompok mitigasi tersebut, Paripurno (2004) memberikan definisi untuk kegiatan mitigasi berbentuk struktural sebagai kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak. Adapun mitigasi non struktural berupa penyusunan peraturan-peraturan, pengelolaan tata ruang, dan pelatihan Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG secara umum dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan integrasi data, dan permodelan data sehingga dapat diperoleh informasi spasial yang lebih komprehensif. Informasi spasial tersebut nantinya dapat digunakan sebagai bahan dalam pengambilan keputusan. SIG merupakan suatu perangkat yang memiliki kemampuan penuh untuk pengumpulan, penyimpanan, pemanggilan, pentransformasian, dan penampilan data dijital keruangan dari suatu wilayah untuk kegunaan tertentu (Burrough 1996). Teknologi ini berkembang cukup pesat khususnya untuk penanganan pekerjaan pemetaan yang dilengkapi dengan data base karena berbagai alasan. Aronoff (1989) menyebutkan beberapa alasan pentingnya penggunaan SIG dalam pemetaan, antara lain : a. Kemampuan untuk pemrosesan dan pengolahan data dalam volume besar, khususnya dalam peta tematik. b. Kemampuan untuk penyesuaian dengan perkembangan teknologi komputer. c. Kemampuan untuk penyesuaian dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. d. Kemampuan untuk mengekstrak dan mengintegrasikan data dari berbagai media (peta, foto udara, dan citra satelit). e. Kemampuan untuk melakukan overlay yang dapat menghasilkan kombinasi informasi dari berbagai peta. Selanjutnya, SIG memiliki kemampuan untuk keperluan analisis keruangan. Beberapa macam analisis keruangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Klasifikasi/Reklasifikasi Digunakan untuk mengklasifikasikan atau reklasifikasi data spasial atau data atribut menjadi data spasial baru dengan memakai kriteria tertentu.

35 20 b. Overlay Analisis ini digunakan untuk mengetahui hasil interaksi atau gabungan dari beberapa peta. Overlay beberapa peta akan menghasilkan satu peta yang menggambarkan luasan atau poligon yang terbentuk dari irisan dari beberapa peta. Selain itu overlay juga menghasilkan gabungan data dari beberapa peta yang saling beririsan. Kemampuan SIG dapat diselaraskan dengan teknologi pemotretan udara dan remote sensing. Citra satelit merekam objek di permukaan bumi seperti apa adanya di permukaan bumi, sehingga dari interpretasi citra dapat dideteksi kondisi liputan lahan saat perekaman. Pada dasarnya, teknologi berbasis satelit ini menyajikan informasi awal kondisi wilayah. Keunggulan utamanya adalah dapat menyajikan informasi secara aktual dan akurat. 2 Teknik penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk dijadikan sebagai penyediaan informasi tentang berbagai parameter faktor penyebab kemungkinan terjadinya bahaya longsor di suatu daerah. Dengan tersedianya peta daerah rawan bencana, akan mempermudah penggambaran kondisi daerah yang bersangkutan dan pada domain inilah peran data satelit teknologi inderaja. Data satelit memiliki keunggulan dibandingkan dengan peta atau foto udara, karena dapat menyajikan informasi tentang karakteristik spektral obyek di permukaan bumi yang tidak dapat ditangkap oleh mata telanjang. Sensor satelit multispektral dapat 'memilah' pantulan gelombang elektromagnetik yang datang dari permukaan Bumi. Dengan demikian, obyek yang menurut mata telanjang serupa, akan tampak sangat berbeda pada citra satelit. Peta-peta tematik yang berbeda, baik yang diperoleh dari analisis inderaja maupun cara lain dapat dipadukan untuk menghasilkan peta turunan. Peta turunan ini dapat berupa zonasi kerentanan banjir, peta zonasi rawan longsor, dan peta zonasi rawan kebakaran hutan. Proses penggabungan informasi dalam berbagai peta dengan cara tumpang susun (map overlay) untuk menurunkan informasi baru disebut dengan pemodelan spasial. Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang mampu melakukan pemodelan spasial cetak/0110/28/iptek/pote22.htm

36 21 Perbedaan antara SIG dengan inderaja terletak pada sumber data utamanya. SIG menggabungkan banyak data spasial yang telah tersedia untuk menurunkan informasi (berupa peta) baru, sedangkan inderaja langsung membuat peta baru dari suatu citra inderaja, misalnya citra satelit. Hasil keluaran proses inderaja dapat menjadi masukan dalam SIG. Pada berbagai aplikasi lingkungan, pemodelan melalui citra satelit akan kurang handal tanpa disertai SIG. Sebaliknya SIG tanpa inderaja akan kurang berarti karena tidak disertai informasi terbaru yang akurat.

37 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Desember 2004 sampai dengan Desember Lokasi penelitiannya terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (P3TISDA BPPT), Jakarta Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Landsat TM Kabupaten Sumedang path-row akuisisi 18 September tahun 1996, Landsat ETM7+ path-row akuisisi 12 Agustus tahun 2002, dan ASTER akuisisi 30 Agustus tahun 2003, peta topografi, serta beberapa peta tematik seperti Peta Geologi, Peta Tutupan Lahan, Peta Kontur, Peta Infrastruktur, Peta Dasar, dan Peta Tanah. Software yang digunakan adalah ERDAS Imagine 8.7, Multispec, Global Mapper 6.05, Arc View 3.3 dan Global Positioning System (GPS) Metodologi Secara sistematis, kegiatan penelitian dilaksanakan melalui tahapantahapan berikut, yaitu : a. Persiapan. b. Penyusunan peta dasar dan peta tematik. c. Interpretasi, analisis, dan pembuatan peta bahaya longsor. d. Validasi lapangan. e. Analisis ulang. f. Pengolahan data, penyusunan peta properti, dan peta risiko longsor. g. Penyajian hasil penelitian Persiapan Kegiatan diawali dengan pengumpulan data dan peta-peta pendukung, studi pustaka, dan penelaahan data sekunder terutama berkaitan dengan historical event tanah longsor. Pada tahap ini, juga dilakukan konsultasi ke instansi terkait untuk memperoleh informasi tentang tanah longsor.

38 Penyusunan Peta Dasar dan Peta Tematik Peta dasar (format digital) disiapkan untuk penyajian peta-peta tematik parameter pemicu tanah longso r (peta permeabilitas tanah, kontur, penggunaan lahan, jaringan jalan, infrastruktur dan geologi). a. Peta Permeabilitas Tanah (drainase dan tekstur tanah) Permeabilitas tanah diidentifikasi berdasarkan Peta Tanah Tingkat Tinjau skala 1: Provinsi Jawa Barat (Puslittanak), dengan memperhatikan faktor drainase, tekstur tanah, dan posisinya. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor. b. Peta Kontur Kelerengan (tingkat kecuraman) dan geomorfologi dianalisis menggunakan Peta Rupabumi, skala 1: (Bakosurtanal) dengan pendekatan garis kontur. Peta ini berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor. c. Peta Penggunaan Lahan Peta Penggunaan Lahan/Land Use, skala 1: (Bakosurtanal) direvisi dengan citra Landsat, citra ASTER dan hasil pengamatan lapangan. d. Peta Geologi Peta Geologi, skala 1: (Direktorat Geologi, Bandung, 1994) dijadikan dasar untuk pengelompokkan kondisi geologi/litologi sebagai faktor kerawanan terhadap kestabilan tanah dalam kedudukannya dalam suatu lereng. e. Peta Infrastruktur Peta Infrastruktur diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1: (Bakosurtanal). f. Peta Jaringan Jalan Peta Jaringan Jalan diperoleh dari peta Rupabumi, skala 1: (Bakosurtanal). Peta Permeabilitas Tanah, Lereng, Geologi berguna dalam penyusunan peta bahaya tanah longsor. Adapun Peta Tutupan Lahan berguna untuk penyusunan bahaya tanah longsor dan risiko longsor. Adapun Peta Infrastruktur dan Peta Jaringan Jalan berguna untuk pembuatan peta risiko tanah longsor Tahap Interpretasi, Analisis, dan Pembuatan Peta Bahaya Longsor Tahap pertama adalah interpretasi citra Landsat dan citra ASTER (FCC 321) tahun 2003 pada lokasi longsoran. Interpretasi citra adalah penafsiran suatu

39 24 objek pada citra atau foto udara dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Citra Landsat dan ASTER digunakan untuk mengupdate peta tutupan lahan, sehingga akan dihasilkan tutupan lahan terkini. Adapun cara memperbaharui (up-dating) Peta Tutupan Lahan dilakukan dengan menafsirkan objek pada citra ASTER tahun Hal ini diperlukan karena Peta Tutupan Lahan yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi terkini sehingga dengan proses up-dating akan dihasilkan peta yang lebih baru. Analisis dan pengolahan data selanjutnya dimulai setelah peta-peta tematik parameter fisik wilayah (permeabilitas tanah, penggunaan lahan, dsb) tersedia. Peta-peta tematik ditumpangtindihkan dengan mempertimbangkan skor untuk mendapatkan kelas sebaran wilayah rawan tanah longsor. Sifat fisik wilayah yang dijadikan parameter pemicu tanah longsor disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Skor Parameter Pemicu Tanah Longsor No. Parameter Nilai Harkat (Skor ) I Curah hujan (mm/tahun) a. sangat basah (>3000 mm) 5 b. basah ( mm) 4 c. sedang/lembab ( mm) 3 d. kering ( mm) 2 e. sangat kering (> 1500 mm) 1 II Kelerengan (%) a. > 45 5 b c d e. < 8 1 III Permeabilitas tanah a. sangat lambat 5 b. lambat 4 c. agak cepat/sedang 3 d. cepat 2 e. sangat cepat 1 IV Tutupan lahan a. tegalan, sawah 5 b. semak -belukar 4 c. hutan dan perkebunan 3 d. kota/permukiman, bandara, dan lapangan golf 2 e. tambak, waduk, dan perairan 1 V Geologi a. batuan volkanik (tuf, pasir) 3 b. batuan sedimen (liat, napal) 2 c. batuan berbahan resent (aluvial) 1 Keterangan : 1, 2, 3, 4, dan 5 adalah nilai dari parameter. Diacu dari hasil penelitian Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Tahun 2004

40 25 Berdasarkan Tabel 2, tidak terdapat parameter sungai dan jalan yang dijadikan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor. Hal ini karena pada penelitian-penelitian terdahulu, bahwa tanah longsor yang terjadi di Kabupaten Sumedang pada umumnya disebabkan oleh faktor lereng dan curah hujan. Dasar penggunaan skor dalam pembuatan peta bahaya tanah longsor mengacu pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Puslittanak Bogor mengenai Pengkajian Potensi Bencana Kekeringan, Banjir, dan Longsor di Kawasan Satuan Wilayah Sungai Citarum-Ciliwung Berbasis Sistem Informasi Geografi. Dalam penelitian tersebut, setiap parameter pemicu terjadinya tanah longsor ditentukan dengan bobot dan skor. Dalam penelitian ini, telah dilakukan simulasi penggunaan skor dan bobot serta dengan dan tanpa bobot. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peta bahaya tanah longsor yang diperoleh dengan dan tanpa bobot relatif sama. Oleh karena itu penggunaan bobot dalam penelitian ini ditiadakan, sehingga yang digunakan hanya skor. Diantara kelima parameter pemicu tanah longsor sebagaimana diuraikan dalam Tabel 2, terdapat satu parameter yang perlu dijelaskan lebih lanjut, yaitu permeabilitas tanah. Untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat lambat, diberikan skor tertinggi, yaitu 5. Adapun untuk tingkat permeabilitas tanah yang sangat cepat, diberikan skor terendah, yaitu 1. Skor dari tertinggi ke yang terendah menunjukkan tingkat kerawanan bahaya tanah longsor. Semakin tinggi skor, maka semakin berpotensi terjadinya tanah longsor. Hal ini dipengaruhi oleh sifat tanah dan kemiringan lereng. Apabila di bawa h lapisan tanah terdapat lapisan kedap air, maka air yang masuk akan tertahan dan tanah (pada kemiringan tertentu) akan berpotensi tergelincir menjadi longsor. Skor dengan overlay dikerjakan mempergunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografi ArcView versi 3.3. Pada proses tumpang tindih ini, skor masing-masing data parameter tersebut dijumlahkan, sehingga pada akhir analisis diperoleh sejumlah zona (pada perangkat lunak berupa poligon-poligon). Kemudian, wilayah rawan (potensial) tanah longsor dikelompokkan ke dalam empat kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; (iii) kurang rawan; dan (iv) tidak rawan. Klasifikasi wilayah rawan tanah longsor ini mengacu pada klasifikasi gerakan tanah yang digunakan pada Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G)

41 26 Bandung, yaitu (i) Rawan Longsor Tinggi; (ii) Rawan Longsor Menengah; (iii) Rawan Longsor Rendah; (iv) dan Rawan Longsor Sangat Rendah. Di samping itu, juga mengacu kepada hasil-hasil penelitian tentang tanah longsor yang telah dipublikasikan oleh Puslittanak dan BPPT. Secara terperinci, parameterparameter yang membentuk klasifikasi wilayah rawan bahaya tanah longsor disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi Wilayah Rawan (Poten sial) Tanah Longsor Kelas Parameter Sangat Rawan - Kelerengan di atas 30% - Permeabilitas tanah agak cepat s.d. sangat lambat - Curah hujan >2.000 mm/tahun - Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan perkebunan - Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik Rawan - Kelerengan di atas 15% - Permeabilitas tanah agak cepat/sedang - Tutupan lahan didominasi sawah, semak belukar, hutan, dan perkebunan - Satuan batuan pada umumnya berupa volkanik Kurang Raw an - Kelerengan di atas 8% - Permeabilitas tanah cepat - Tutupan lahannya perkebunan dan pemukiman Tidak Rawan - Kelerengan kurang dari 8% - Permeabilitas cepat - Satuan batuan pada umumnya berbahan resent - Penggunaan lahan berupa pemukiman Sumber : Puslittanak dan BPPT 2004, 2004 (Diolah) Validasi Lapangan Validasi lapangan dilakukan untuk mencocokkan hasil analisis peta bahaya tanah longsor dengan keadaan sebenarnya di lapangan (baik secara langsung maupun melalui informasi dari instansi-intansi terkait). Hasil dari validasi lapangan dan data informasi yang terkumpul dijadikan bahan dalam analisis ulang Analisis Ulang Analisis ulang dilakukan untuk memperbaiki peta bahaya longsor berdasarkan dari hasil validasi lapangan. Peta bahaya longsor yang telah dihasilkan pada tahapan awal penelitian, disempurnakan berdasarkan hasil survai lapangan.

42 Pengolahan Data, Penyusunan Peta Properti dan Peta Risiko Pada tahap ini dilakukan penyelarasan semua data (baik data sekunder maupun survai lapangan) dengan peta rawan longsor. Selanjutnya akan dibangun peta properti dan peta risiko tanah longsor Peta Properti Peta properti merupakan gambaran umum keadaan suatu wilayah yang dihubungkan dengan nilai ekonomi yang dimiliki suatu lahan baik dalam keadaan terlantar (lahan tidur) maupun dengan berbagai aktivitas ekonomi yang berlangsung diatasnya (pemukiman, industri, sawah, tegalan, kolam/tambak dan infrastruktur lainnya). Peta properti diperoleh dengan menggabungkan peta penggunaan lahan dan peta infrastruktur serta peta jaringan jalan. Nilai properti suatu wilayah dapat ditentukan apabila di wilayah yang terkena bencana tanah longsor tersebut menyebabkan kerugian dan kemungkinan hilangnya korban jiwa, kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi yang cukup tinggi Peta Risiko Longsor Peta ini dihasilkan dari penggabungan antara peta bahaya/rawan longsor dengan peta properti. Peta risiko tanah longsor ini akhirnya akan menghasilkan informasi wilayah-wilayah yang memerlukan mitigasi bencana. Wilayah yang memiliki nilai risiko tinggi bukan saja dikarenakan wilayah tersebut memiliki bahaya longsor tinggi tetapi lebih ditekankan pada wilayah yang memiliki nilai properti yang tinggi. Langkah kerja pembuatan peta risiko tanah longsor secara skematis disajikan dalam Gambar 6.

43 28 Gambar 6. Langkah Kerja Pembuatan Peta Risiko Tanah Longsor Dari Gambar 6 terlihat bahwa dua jenis peta, yaitu peta infrastruktur dan peta jalan dilakukan proses buffering. Buffering merupakan upaya yang bertujuan untuk membentuk suatu area, poligon, atau zona baru dalam jarak tertentu yang berfungsi untuk menutupi objek spasial. Buffering tidak dilakukan pada peta penggunaan lahan dan peta bahaya, karena batasannya sudah diketahui. Buffering dilakukan pada data titik dan ga ris untuk mendapatkan suatu poligon, dengan atribut skor yang telah ditentukan. Proses selanjutnya adalah melakukan griding, yaitu melakukan perubahan terhadap format data keempat peta tersebut dari bentuk vektor menjadi raster. Kemudian, data hasil griding dianalisis dengan menggunakan software Global Mapper untuk mempercepat dan mempermudah dalam pemrosesan data pada tahapan berikutnya. Dari gambar di atas juga terlihat bahwa proses ini menggunakan software SPSS yang berguna untuk membaca titik koordinat (x dan y) dan skor (z) di setiap pixel pada masing-masing peta. Setelah melalui proses dengan menggunakan beberapa software, diperoleh hasil penggabungan berupa skor

44 29 pada masing-masing peta. Nilai skor yang diperoleh tersebut, selanjutnya dilakukan reklasifikasi (pengelompokan kembali) dengan menggunakan software ArcView, sehingga menghasilkan nilai risiko sebagai dasar dalam pembuatan peta risiko tanah longsor Mitigasi Bencana Tanah Longsor Dalam melakukan upaya mitigasi bencana diperlukan tahapan kegiatan yang dapat memberikan gambaran secara rinci mengenai upaya yang harus dilakukan. Tahapan-tahapan tersebut meliputi pengkajian potensi bencana, analisis kerawanan, dan analisis risiko bencana. Setelah dihasilkan Peta Risiko Tanah Longsor, perlu ditindaklanjuti dengan rekomendasi-rekomendasi berbagai alternatif tindakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan mananggulangi bencana tanah longsor. Tahapan penelitian secara sistematik sebagaimana diuraikan di atas secara skematik digambarkan dalam diagram alir berikut.

45 Gambar 7. Diagram Alir Tahap Penelitian 30

46 # # IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Wilayah Penelitian Administrasi dan Kependudukan Kabupaten Sumedang terletak pada 06º º56 50 Lintang Selatan dan 107º º58 30 Bujur Timur serta berada pada ketinggian m dpl. Bata s-batas administrasi Kabupaten Sumedang sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Subang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Garut, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung, serta sebelah timur barbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Gambaran spasial lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. PETA KABUPATEN SUMEDANG DAN SEKITARNYA ' ' ' ' 6 40' KAB. I N DR AMAYU 6 40' KAB. MAJALEN GKA KAB. S UBAN G SUMED ANG U TARA SUMED ANG SELATAN KAB. BAND UNG KAB. GAR UT 7 00' ' 6 50' 7 00' ' ' ' ' Keterangan : Batas Kabupaten Sumedang Utara Sumedang Selatan Kecamatan-kecamatan di Kab. Sumedang LOKASI PENELITIAN KABUPAT EN SUMEDANG, PRO VINSI JAWA BARAT Km N Gambar 8. Lokasi Penelitian

47 32 Penyebaran penduduk di Kabupaten Sumedang terkonsentrasi di Kecamatan Jatinangor, Cimanggung, Tanjungsari, Sumedang Selatan, Sumedang Utara, dan Cimalaka. Penyebaran yang tidak merata tersebut karena pusat kegiatan pendidikan, ekonomi, hiburan, pemukiman, dan industri lebih banyak berada di kecamatan-kecamatan tersebut. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sumedang disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk per Kecamatan di Kabupaten Sumedang Tahun 2003 No Kecamatan Jumlah Penduduk 1 Surian Cisarua Cibugel Ganeas Tomo Tanjungmedar Jatigede Cisitu Ujungjaya Sukasari Conggeang Buahdua Tanjungkerta Situraja Paseh Rancakalong Darmaraja Jatinunggal Wado Pamulihan Cimalaka Tanjungsari Cimanggung Sumedang Selatan Sumedang Utara Jatinangor Sumber : BPS Kabupaten Sumedang (2003) Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa jumlah penduduk Kabupaten Sumedang per kecamatan pada tahun 2003 sebanyak jiwa. Selain itu, dari tabel di atas juga dapat diketahui bahwa Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan termasuk wilayah yang memiliki jumlah penduduk di atas jiwa.

48 33 Secara geografis, letak kedua kecamatan tersebut berada pada posisi 06º81-06º96 Lintang Selatan dan 107º85-107º97 Bujur Timur. Adapun secara administrasi pemerintahan, Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan terdiri dari 24 desa dengan luas wilayah mencapai ±12.914,80 Ha. Peta orientasi lokasi Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan disajikan dalam Gambar 9. Adapun pembagian wilayah (desa) dan luasan dari desa di dua kecamatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Luas Wilayah (Desa/Kelurahan) di Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Sumedang Selatan No. Nama Kecamatan/Desa Jumlah (Ha) Sumedang Selatan 1 Baginda 383,16 2 Ciherang 654,56 3 Cipameungpeuk 610,96 4 Cipancar 1.487,17 5 Citengah 1.511,48 6 Gunasari 804,10 7 Pasanggrahan 1.211,16 8 Regol Wetan 642,79 9 Kota Kulon 318,53 10 Meruya Mekar 601,14 11 Sukagalih 117,78 12 Sukajaya 1.404,19 Sumedang Utara 13 Jatihurip 125,20 14 Jatimulya 478,68 15 Kebonjati 43,02 16 Kota Kaler 381,95 17 Girimukti 147,29 18 Margamukti 449,05 19 Mekarjaya 199,32 20 Mulyasari 516,59 21 Padasuka 149,31 22 Sirnamulya 277,04 23 Situ 228,44 24 Talun 171,88 Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 1999 Total ,80

49 107 52'00" '00" '00" '00" 6 50'00" 6 52'00" KEC. CIMALAKA MEKARJAYA JATIMULYA KEBONJATI MARGAMUKTI KEC. RANCAKALONG JATIHURIP KEC. SUMEDANG UTARA PADASUKA SITU SIRNAMULYA KOTA KALER MULYASARI GIRIMUKTI KEC. CISARUA KOTA KULON TALUN CIHERANG KEC. SUMEDANG SELATAN SUKAGALIH KEC. GANEAS KEC. PAMULIHAN PASANGGRAHAN CIPAMEUNGPEUK GUNASARI REGOL WETAN BAGINDA 6 54'00" 6 48'00" 6 48'00" 6 50'00" 6 52'00" 6 54'00" SUKAJAYA 6 56'00" MERUYA MEKAR CITENGAH CIPANCAR 6 56'00" KAB. GARUT '00" '00" '00" '00" WILAYAH ADMINISTRASI KEC. SUMEDANG UTARA DAN KEC. SUMEDANG SELATAN KETERANGAN Batas Kecamatan Batas Desa N LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT Sumber data : - Peta Digital Rupabumi Skala 1 : Bakosurtanal - RTRW Kab. Sumedang Proyeksi : Geografis Km Gambar 9. Peta Wilayah Administrasi

50 Curah Hujan Curah hujan merupakan salah satu pemicu terjadinya longsor. Infiltrasi air hujan ke dalam lapisan tanah akan melemahkan material pembentuk lereng, sehingga memicu terjadinya longsor. Curah hujan yang tinggi, intensitas, dan lamanya hujan berperan dalam menentukan longsor tidaknya suatu lereng. Berdasarkan data Badan Perencanaan Daerah Sumedang, Kabupaten Sumedang mempunyai curah hujan tahunan rata-rata yang berkisar antara mm/tahun, yang meliputi sebagian besar wilayah Kabupaten Sumedang terutama wilayah Kabupaten Sumedang bagian tengah. Wilayah yang ada di Kabupaten Sumedang bagian tenggara merupakan daerah dengan curah hujan yang tinggi, berkisar antara mm/tahun. Pada beberapa tempat tertentu, curah hujan ada yang mencapai mm/tahun. Wilayah Kabupaten Sumedang bagian utara mempunyai curah hujan tahunan rata -rata yang berkisar antara mm/tahun. Bahkan, di sekitar Gunung Tampomas curah hujannya sangat tinggi yaitu mm/tahun. Pengaruh curah hujan sebagai pemicu terjadinya tanah longsor ditunjukkan dari jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Sumedang selama periode Rincian lengkap mengenai jumlah kejadian longsor di Kabupaten Sumedang pada tingkat curah hujan yang berbeda disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan di Kabupaten Sumedang Periode No. Kecamatan Curah Hujan Rata-rata (mm/th) Kejadian 1 Buahdua Cadasngampar/Jatigede Cibugel Cikeruh/ Jatinangor Cimalaka Cimanggung Congeang Darmaraja Paseh Rancakalong Situraja Sumedang Selatan Sumedang Utara Tanjungkerta Tanjungsari Tomo Ujungjaya Wado Jumlah 45 Sumber : Hasil Pengolahan Data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2002)

51 36 Berdasarkan data pada Tabel 6, menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 15 tahun, telah terjadi 45 kejadian longsor pada tingkat curah hujan yang berbeda. Adapun jumlah kejadian tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan sebanyak 15 kejadian atau sebesar 33,33% dari total jumlah kejadian tanah longsor di Kabupaten Sumedang dalam kurun waktu tersebut. Pada penelitian ini, yang berlokasi di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, nilai parameter curah hujan dianggap sama untuk seluruh daerah di dua kecamatan tersebut. Hal ini karena perbedaan jumlah curah hujan rata-rata pada dua kecamatan tersebut tidak terlalu signifikan atau ekstrem Suhu Suhu udara di Kabupaten Sumedang rata-rata berkisar antara 22,5-23,3ºC. Suhu maksimum mencapai 23,3ºC terjadi pada bulan Mei, September, dan Oktober. Adapun suhu minimum sebesar 22,5ºC terjadi pada bulan Juli Topografi Berdasarkan data Status Lingkungan Hidup (SLH) yang dikeluarkan oleh Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat, dijelaskan bahwa bentang alam Kabupaten Sumedang cukup bervariasi, dari dataran sampai perbukitan. Secara garis besar, ketinggian wilayah di Kabupaten Sumedang dapat diklasifikasikan menjadi enam kelas, yaitu: a m dpl Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Tomo dan sebagian Kecamatan Ujungjaya dengan luas ± 5.858,05 Ha. b m dpl Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Conggeang, Buahdua, Tomo dan Ujungjaya dengan luas ± 5.673,54 Ha. c m dpl Meliputi sebagian besar wilayah Kecamatan Conggeang, Buahdua, Tomo dan Ujungjaya dengan luas ± 7.294,82 Ha. d m dpl Meliputi sebagian Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang Utara, Cimalaka, Tanjungkerta, Conggeang, Buahdua, Tomo, Darmaraja, Situraja, Wado, Cadasngampar, Paseh, Ujungjaya dan Cibugel dengan luas ± ,55 Ha.

52 37 e m dpl Meliputi sebagian wilayah Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang Utara, Cimalaka, Tanjungkerta, Tanjungsari, Cikeruh, Rancakalong, Conggeang, Buahdua, Tomo, Darmaraja, Situraja, Wado, Paseh, Cimanggung, dan Cibugel dengan luas ± ,71 Ha. f. Di atas 1001 m dpl Meliputi sebagian wilayah Kecamatan Sumedang Selatan, Cimalaka, Situraja, Tanjungsari, Rancakalong, Conggeang, Buahdua, Cibugel, Darmaraja, Wado, dan Cimanggung dengan luas ± ,78 Ha. Berdasarkan kelas ketinggian dan sebarannya tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terletak pada ketinggian 100 s.d. di atas m dpl. Berdasarkan garis kontur dan titik tinggi Rupa Bumi Indonesia skala 1: yang bersumber dari Bakosurtanal, dibuatkan kelas lereng dengan menggunakan software Arc View 3.3 ext 3D. Pada tabel di bawah ini disajikan kelas lereng dan luas wilayahnya pada kedua kecamatan tersebut. Selanjutnya, peta kontur dan peta kelas lereng wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11. Tabel 7. Kelas Lereng dan Luasannya No. Kelas Lereng (%) Jumlah (Ha) , , , ,45 5 > ,67 Total ,80 Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 2005

53 107 52'00" '00" '00" '00" 6 56'00" 6 54'00" 6 48'00" 6 48'00" 6 50'00" SUMEDANG UTARA 6 50'00" 6 52'00" SUMEDANG SELATAN 6 52'00" 6 54'00" 6 56'00" '00" '00" '00" '00" KONTUR KEC. SUMEDANG UTARA DAN KEC. SUMEDANG SELATAN L E G E N D A Batas Kecamatan Interval Kontur (Meter) Sumber data : - Peta Digital Rupabumi Skala 1 : Bakosurtanal Proyeksi : Geografis N Gambar 10. Peta Kontur LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT Km

54 107 52'00" '00" '00" '00" 6 48'00" CIMALAKA 6 48'00" 6 50'00" RANCAKALONG SUMEDANG UTARA CISARUA 6 50'00" 6 52'00" SUMEDANG SELATAN 6 52'00" GANEAS PAMULIHAN 6 56'00" 6 54'00" 6 54'00" 6 56'00" CIMANGGUNG '00" '00" KAB. GARUT '00" '00" KELAS LERENG KEC. SUMEDANG UTARA DAN KEC. SUMEDANG SELATAN KETERANGAN Batas Kecamatan Batas Desa 0% - 8% 8% - 15% 15% - 30% 30% - 45% >45% Sumber data : - Peta Digital Rupabumi Skala 1 : Bakosurtanal Proyeksi : Geografis N LOKASI PENELITIAN KABUPATEN SUMEDANG, PROVINSI JAWA BARAT Km Gambar 11. Peta Kelas Lereng

55 Hidrologi Pola aliran sungai yang terdapat di Kabupaten Sumedang terbentuk oleh sungai besar dengan anak-anak sungainya. Secara umum aliran sungai yang terdapat di wilayah ini dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu aliran golongan Sungai Cimanuk dan Cipeles. Sebenarnya, aliran Cipeles merupakan anak sungai Cimanuk. Seluruh aliran sungai di Kabupaten Sumedang membentuk pola Daerah Aliran Sungai (DAS) yang terbagi menjadi enam Sub- DAS, yakni Citarik, Cipeles, Cipunegara, Cipelang, Cimanuk, dan Cilutung Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil up-dating peta penggunaan lahan skala 1: dari Bakosurtanal tahun 1999 dengan citra Landsat dan Aster, diketahui bahwa jenis dan persentase penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan sebagian besar didominasi oleh hutan dan belukar/semak. Rincian jenis dan persentase penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Jenis Penggunaan Lahan dan Luasannya No Keterangan Jumlah (ha) Persentase 1 Air 65,70 1% 2 Belukar/Semak 2.511,65 19% 3 Gedung 0,51 0% 4 Hutan 4.222,35 33% 5 Kebun/Perkebunan 584,54 5% 6 Pemukiman 1.326,58 10% 7 Rumput/Tanah kosong 36,43 0% 8 Sawah Irigasi 981,96 8% 9 Sawah Tadah Hujan 1.679,36 13% 10 Tegalan/Ladang 1.498,73 12% Total ,80 100% Sumber : Bakosurtanal (Diolah), 2005 Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa penggunaan lahan terluas adalah hutan (33%) yang sebagian besar terletak di wilayah Kecamatan Sumedang Selatan. Selanjutnya, berturut-turut adalah belukar/semak (19%). sawah tadah hujan (13%), tegalan (12%), pemukiman (10%). Sisanya digunakan untuk sawah irigasi, kebun, gedung, rumput/tanah kosong, dan air. Gambaran sebaran penggunaan lahan di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12 (Peta Penggunaan Lahan) dan Gambar 13 (Citra Aster tahun 2003).

56 Geologi Informasi geologi atau satuan batuan diperoleh dari peta Geologi Lembar Bandung skala 1 : (PH. Silitonga 1973) dan peta Geologi Lembar Arjowinangun skala 1 : (Djuri 1995). Kedua peta tersebut diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung. Berdasarkan stratigrafi hasil penelitian yang dilakukan Silitonga (1973) dan Djuri (1995), di daerah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan terdapat enam satuan batuan, yaitu : a. Ql (Endapan Danau) Lempung tufaan, batupasir tufaan, kerikil tufaan. Membentuk bidang-bidang perlapisan mendatar di beberapa tempat. Mengandung kongkresi-kongkresi gamping, sisa-sisa tumbuhan, moluska air tawar dan tulang-tulang binatang bertulang belakang. Setempat mengandung sisipan breksi. Luas endapan danau ini mencapai Ha atau 2% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. b. Qvb (Hasil Gunungapi Tua-Breksi) Breksi gunungapi, endapan lahar. Komponen-komponennya terdiri atas batuan beku bersifat andesit dan basal. Luas hasil gunungapi tua-breksi ini mencapai Ha atau 8% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. c. Qvl (Hasil Gunungapi Tua-Lava) Lava menunjukkan kekar lempeng dan kekar tiang. Susunannya basal dan sebagian telah terpropilitisasikan. Luas satuan batuan ini mencapai Ha atau 4% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. d. Qvu (Hasil Gunungapi Tua Tak Teruraikan) Breksi gunung api, lahar dan lava berselang-seling. Luas Ha atau 78% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. e. Qyb (Breksi dan Aglomerat) Breksi dan aglomerat tufaan terdapat di sebelah tenggara G.Tampomas. Keratan-keratannya terdiri dari batuan beku bersusunan antara andesit dan basal, Luas 8.87 Ha. f. Qyu (Hasil Gunungapi Muda Tak Teruraikan) Pasir tufaan, lapili, breksi, lava, aglomerat. Sebagian berasal dari G. Tangkubanparahu dan sebagian dari G. Tanpomas. Antara Sumedang dan Bandung batuan ini membentuk dataran-dataran kecil atau bagian-bagian rata dan bukit-bukit rendah yang tertutup oleh tanah yang berwarna abu -abu

57 44 kuning dan kemerah-merahan. Luas satuan batuan ini 1046,16 Ha atau 8% dari luas wilayah Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Di wilayah Kabupaten Sumedang bagian utara, dijumpai adanya sesar dan lipatan. Sesar naik dijumpai di sekitar Pasir Bengkung yang memanjang ke arah barat sampai di sekitar Pasir Cengkudu. Sesar ini memisahkan satuan batu pasir dari satuan batuan lempung serta memotong satuan batuan vulkanik muda. Sesar turun (sesar normal) dapat dijumpai di Gunung Bongkok yang memanjang ke arah selatan dan di daerah Gunung Sembul memanjang ke arah timur sampai Gunung Bangkok pada satuan batu vulkanik. Secara ringkas jenis satuan batuan di wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan dalam Tabel 8. Selanjutnya, gambaran sebaran geologi wilayah penelitian di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat pada Gambar 14. Tabel 9. Satuan Batuan Beserta Luasannya No Satuan batuan Jumlah (ha) Persentase 1 Ql 265,24 2% 2 Qvb 973,70 8% 3 Qvl 536,36 4% 4 Qvu ,47 78% 5 Qyb 8,87 0% 6 Qyu 1.046,15 8% Total % Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (Diolah), Jenis Tanah Tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang menantukan terjadinya longsor. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka tanah tersebut akan berpotensi mengelincir menjadi longsor. Jenis tanah di Kabupaten Sumedang terdiri dari beberapa macam, diantaranya meliputi jenis tanah Aluvial, Regosol, Andosol, Grumosol, Padsolik merah kuning, Latosol, dan Mediteran Coklat Kemerahan. Gambaran sebaran jenis tanah di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dapat dilihat pada Gambar 15.

58 47 Luasan dengan persentase dari jenis tanah yang terdapat di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan disajikan pada Tabel 10. Pada Tabel 10, terlihat bahwa jenis tanah latosol coklat tua kemerahan mempunyai luasan terbesar yaitu 4.344,67 Ha, diikuti jenis tanah kompleks litosol dan latosol coklat kemerahan dan aluvial kelabu. Tabel 10. Jenis Tanah Beserta Luasannya No. Jenis Tanah Luas (Ha) Persentase 1 Aluvial Kelabu 2.293,55 18% 2 Aluvial Kelabu Tua 877,32 7% 3 Asosiasi Latosol Merah dan Regosol 488,80 4% 4 Kompleks Litosol dan Latosol Coklat Kemerahan 2.577,54 20% 5 Latos ol Coklat 511,69 4% 6 Latosol Coklat Kemerahan 363,19 3% 7 Latosol Coklat Tua Kemerahan 4.344,67 34% 8 Latosol Merah 566,44 4% 9 Latosol Merah Kekuningan 261,12 2% 10 Regosol Coklat 630,48 5% Total ,80 100% Sumber : Puslittanak (Diolah), Bencana Longsor Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) Bandung telah melakukan penelitian tentang kejadian bencana longsor dalam kurun waktu tahun di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan. Kejadian bencana longsor berdasarkan faktor bahaya longsor dan faktor risiko longsor masing-masing disajikan pada Tabel 11 dan 12. Bencana tanah longsor berdasarkan data penelitian tersebut dipicu beberapa faktor yaitu curah hujan dan tanah. Selain itu, kemiringan yang terjal dan banyaknya pembukaan lahan pada lereng menjadi kebun campuran turut memicu terjadinya bencana tanah longsor. Sebagian besar penyebab terjadinya bencana tanah longsor dapat diuraikan sebagai berikut yaitu, pada kejadian hujan lebat yang berlangsung lama, maka kondisi keairan di daerah ini melimpah yang mengakibatkan air merembes ke dalam tanah melalui pori-pori tanah. Karena air hujan tertahan di atas bidang luncuran, hal ini menyebabkan bobot massa tanah bertambah, tekanan air pori meningkat sehingga daya tahan tanah (shear streght) mengecil. Dalam kondisi ini, lapisan tanah pada lereng yang terjal cenderung bergerak, sehingga menimbulkan adanya nendatan dan beberapa retakan.

59 48 Tabel 11. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor-faktor Bahaya Longsor NO. KAMPUNG/DESA LERENG ( º ) BATUAN TATA LAHAN KONDISI KEAIRAN 1. Cihuni Hilir/Sukajaya 28º Breksi lahar, lava (Qvu) 2. Ciloa/Sukajaya 29º Breksi lahar, lava lapuk (Qvu) 3.. Cigobang/Gunasari 30º Breksi gunungapi, lava (Qvu) 4. Babakan Cibungur/ Cikondang 23º Breksi gunungapi, lava (Qvb) Kebun campuran, Pemukiman Kebun campuran, pemukiman, sawah di bawah Kebun bambu dan pemukiman Sawah di lereng bawah, pemukiman dan kebun campuran di lereng atas Lahan kering Lahan kering Lahan kering Genangan air sawah 5. Batugara/ Tanjungwangi Sumber : Direktorat VMBG, º Breksi gunungapi (Qvb) 6. Citengah/Citengah 30º Breksi gunungapi (Qvb) 7. Ciawi/Gunasari 25º Breksi gunungapi (Qvb) 8. Cibungur/Margamekar 20º Breksi lahar. tuva (Qvu) 9. Kebonsereh/ Margamekar 10. Kandangsari/ Pasanggrahan 11. Banceuy/ Pasanggrahan 12. Kareumbi/ Pasanggrahan 13. Ciseureuh/ Margamekar X = BT Y = LS 14. Pasanggrahan dan º Breksi lahar. lava lapuk (Qvu) 31º Breksi lahar. lava (Qvu + Qvl) Kebun campuran, Pemukiman Kebun campuran, Pemukiman Kebun campuran, Pemukiman Kebun campuran, Pemukiman Kebun campuran, pemukiman Kebun campuran, pemukiman 30º Breksi lahar (Qvu) Kebun campuran, pemukiman 20º Breksi gunungapi (Qvu) 25º Breksi lahar. tuva (Qvu) Kebun campuran, pemukiman Kebun campuran, pemukiman Lahan kering Lahan kering Lahan kering Genangan air sawah Lahan kering Lahan kering Lahan kering Lahan kering Lahan kering Jatimulya, Sukajaya, Ciherang, Cipameungpeuk, dan Cihanja dan Cibogol 19. Sukaluyu 18º - 32º Breksi lahar. tuva (Qvu) 20. Nanggerang/ Breksi lahar. tuva Mekarjaya 15º - 30º (Qvu) 21. Jatimulya, Kebun campuran, pesawahan, ladang, Pemukiman Pemukiman Terdapat saluran irigasi

60 49 Tabel 12. Kejadian Bencana Longsor berdasarkan Faktor Risiko Longsor dan Mitigasi yang telah Dilakukan NO. KAMPUNG/DESA STATUS PENANGGULANGAN 1 Cihuni Hilir/ Sukajaya Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa 2 Ciloa/Sukajaya Rawan longsor, mengancam sekitar 120 jiwa 3 Cigobang/ Gunasari Rawan longsor, mengancam sekitar 400 jiwa 4 Babakan Cibungur/ Rawan longsor, mengancam Cikondang sekitar 135 jiwa 5 Batugara/ Rawan longsor, mengancam Tanjungwangi sekitar 100 jiwa 6 Citengah/Citengah Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa 7 Ciawi/Gunasari Rawan longsor, mengancam sekitar 175 jiwa 8 Cibungur/ Margamekar 9 Kebonsereh/ Margamekar 10 Kandangsari/ Pasanggrahan 11 Banceuy/ Pasanggrahan 12 Kareumbi/ Pasanggrahan Sumber : Direktorat VMBG, 2005 Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa Rawan longsor, mengancam sekitar 150 jiwa Rawan longsor, mengancam sekitar 140 jiwa Rawan longsor, mengancam sekitar 50 jiwa Rawan longsor, mengancam sekitar 100 jiwa Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng dis engked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Menutup retakan dan memperbaiki drainase, bila retakan berkembang, pemukiman pindah Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air Lereng disengked, dibuat dinding penahan, hindari genangan air 4.3. Analisis Wilayah Rawan Bahaya Tanah Longsor Pembuatan peta rawan bahaya longsor dilakukan dengan cara menggabungkan atau menjumlahkan nilai skor keseluruhan dari hasil tumpang tindih peta penyebab longsor yang disusun, terdiri dari peta penggunaan lahan, kemiringan lereng, geologi, dan peta jenis tanah. Peta curah hujan tidak dimasukkan dalam proses tumpang tindih, karena nilai parameter curah hujan dianggap sama untuk kedua wilayah kecamatan ini. Analisis tumpang tindih yang telah dilakukan pada keempat peta tersebut tersebut menghasilkan wilayah-wilayah yang memiliki potensi rawan bahaya longsor. Nilai tingkat potensi (rawan) tanah longsor dapat dilihat pada Tabel 13 dan hasil analisis wilayah yang memiliki potensi rawan bahaya tanah longsor berdasarkan nilai tingkat potensi yang dihasilkan disajikan pada Tabel 14.

61 50 Tabel 13. Nilai Tingkat Potensi (Rawan) Longsor No. Tingkat Potensial (Rawan) Jumlah Nilai Semua Parameter 1. Tidak Rawan Kurang Rawan Rawan Sangat Rawan Sumber : Data Primer (Diolah), 2005 Pada Tabel 13 terlihat jumlah nilai semua parameter yang dibagi ke dalam empat tingkat potensial bahaya tanah longsor. Wilayah yang memiliki tingkat potensi sangat rawan tanah longso r memiliki nilai parameter Adapun untuk tingkat potensi tidak rawan bahaya longsor memiliki nilai parameter 6-9. Tabel 14. Analisis Wilayah yang Berpotensi Rawan Bahaya Tanah Longsor No. Desa Tidak Rawan (Ha) Kurang Rawan (Ha) Rawan (Ha) Sangat Rawan (Ha) 1 Baginda 0,36 27,89 162,71 192,19 2 Ciherang - 6,62 167,45 480,50 3 Cipameungpeuk - 69,20 346,50 195,26 4 Cipancar 1,86 20, ,16 106,46 5 Citengah - 7, ,21 271,89 6 Girimukti 0,81 46,58 99,90-7 Gunasari 13,77 74,11 633,53 82,69 8 Jatihurip 0,31 38,58 72,02 14,30 9 Jatimulya 13,25 212,82 247,22 5,39 10 Kebonjati 5,88 22,85 14,29-11 Kota Kaler 2,43 166,23 166,02 47,28 12 Kota Kulon 8,91 79,58 194,20 35,84 13 Margamukti 6,57 99,71 341,10 1,67 14 Mekarjaya 4,11 85,05 104,69 5,47 15 Meruya Mekar - 7,00 503,80 90,34 16 Mulyasari 3,21 121,25 266,63 125,50 17 Padasuka 13,52 40,14 95,51 0,14 18 Pasanggrahan 8,44 159,51 683,11 360,10 19 Regol Wetan 0,90 120,39 374,59 146,91 20 Sirnamulya - 12,38 124,21 140,44 21 Situ 0,17 75,55 152,72-22 Sukagalih - 3,55 68,24 46,00 23 Sukajaya - 19,55 967,81 416,84 24 Talun 1,18 53,64 83,80 33,25 Total (Ha) 85, , , ,44 Persentase (%) 0,66 12,16 65,51 21,67 Sumber : Data Primer (Diolah), 2005

62 51 Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan memiliki potensi daerah rawan longsor yang tinggi. Hal ini terlihat dari luasan wilayah yang termasuk dalam kategori potensi rawan bahaya sekitar 8.460,41 Ha atau 65,51% dari luas wilayah kedua kecamatan tersebut. Artinya, lebih dari separuh wilayah Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan rawan bahaya longsor. Selanjutnya, luas wilayah yang berpotensi sangat rawan bahaya longsor sekitar 2.798,44 Ha (21,67%), kurang rawan 1.570,25 Ha (12,16%), dan tidak rawan sekitar 85,69 Ha (0,66%). Analisis wilayah rawan bahaya longsor juga menghasilkan informasi mengenai desa -desa yang dinyatakan berpotensi sangat rawan, rawan, kurang rawan, dan tidak rawan bahaya longsor. Dari Tabel 14, terlihat bahwa desa-desa yang memiliki potensi bahaya longsor meliputi Desa Ciherang, Sukajaya, Pasanggrahan, dan Citengah. Desa Ciherang merupakan daerah terluas yang tergolong kategori sangat rawan longsor (480,50 Ha), diikuti Sukajaya (416,84 Ha), Pasanggrahan (360,10 Ha), dan Citengah (271,89 Ha). Apabila analisis tersebut dihubungkan dengan beberapa kejadian bencana longsor di Kabupaten Su medang berdasarkan faktor bahaya dan risiko longsor sebagaimana disajikan dalam Tabel 11 dan 12, terlihat ada kesesuaian dari wilayah-wilayah yang berpotensi terjadinya bahaya longsor. Sebagai contoh, daerah-daerah yang telah mengalami bencana longsor (pada Tabel 11) adalah Desa Ciherang, Sukajaya, Citengah, dan Pasanggarahan. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, daerah-daerah tersebut juga termasuk dalam wilayah yang berpotensi rawan bahaya longsor Analisis Penyebab Bahaya Tanah Longsor Faktor-faktor Pemicu Bahaya Tanah Longsor Secara umum, faktor penyebab bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu penggunaan lahan, kelerengan, geologi, dan jenis tanah. Namun, berdasarkan analisis visual terhadap variabel-variabel penyebab bahaya tanah longsor tersebut, di wilayah penelitian bagian utara, faktor kelerengan dan penggunaan lahan merupakan dua variabel dominan yang membentuk sebaran potensi bahaya tanah longsor. Adapun untuk wilayah penelitian bagian selatan, sebaran potensi bahaya tanah longsor secara dominan dibentuk oleh faktor jenis tanah dan penggunaan lahan.

63 52 Hal ini karena pola sebaran kedua jenis variabel tersebut paling menyerupai pola sebaran potensi rawan bahaya tanah longsor di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan (Gambar 16). Adapun peta sebaran potensi rawan bahaya tanah longsor disajikan dalam Gambar 17. Gambar 16. Tampilan Variabel-variabel Penyebab Bahaya Tanah Longsor

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Bencana hidro-meteorologi seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung dan gelombang pasang

Lebih terperinci

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek

Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Bencana Longsor yang Berulang dan Mitigasi yang Belum Berhasil di Jabodetabek Oleh : Baba Barus Ketua PS Mitigasi Bencana Kerusakan Lahan Sekolah Pasca Sarjana, IPB Diskusi Pakar "Bencana Berulang di Jabodetabek:

Lebih terperinci

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai.

Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. Tipe-Tipe Tanah Longsor 1. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah ber-geraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk rata atau menggelombang landai. 2. Longsoran Rotasi Longsoran

Lebih terperinci

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO

L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO L O N G S O R BUDHI KUSWAN SUSILO Peristilahan & Pengertian Longsor = digunakan untuk ketiga istilah berikut : Landslide = tanah longsor Mass movement = gerakan massa Mass wasting = susut massa Pengertian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau menurunnya kekuatan geser suatu massa tanah. Dengan kata lain, kekuatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelongsoran Tanah Kelongsoran tanah merupakan salah satu yang paling sering terjadi pada bidang geoteknik akibat meningkatnya tegangan geser suatu massa tanah atau menurunnya

Lebih terperinci

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa

TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa AY 12 TANAH LONGSOR; merupakan salah satu bentuk gerakan tanah, suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah ke tempat yang relatif lebih rendah. Longsoran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bentuk dari gerak masa tanah, batuan dan runtuhan batu/tanah yang terjadi seketika bergerak menuju lereng bawah yang dikendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana. BAB I BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang bergerak saling menumbuk. Akibat tumbukan antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia banyak sekali daerah yang,mengalami longsoran tanah yang tersebar di daerah-daerah pegunngan di Indonesia. Gerakan tanah atau biasa di sebut tanah longsor

Lebih terperinci

WORKSHOP PENANGANAN BENCANA GERAKAN TANAH

WORKSHOP PENANGANAN BENCANA GERAKAN TANAH Usaha Pemahaman terhadap Stabilitas Lereng dan Longsoran sebagai Langkah Awal dalam Mitigasi Bencana Longsoran Imam A. Sadisun* * Departmen Teknik Geologi - Institut Teknologi Bandung * Pusat Mitigasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Pengertian Gerakan tanah adalah suatu proses perpindahan massa tanah/batuan dengan arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula dikarenakan pengaruh gravitasi, arus

Lebih terperinci

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya

I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya I. Pendahuluan Tanah longsor merupakan sebuah bencana alam, yaitu bergeraknya sebuah massa tanah dan/atau batuan menuruni lereng akibat adanya gaya gravitasi. Tanah longsor sangat rawan terjadi di kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat rawan bencana. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya berbagai bencana yang melanda berbagai wilayah secara terus menerus, yang

Lebih terperinci

J. Tek.Ling Vol. 9 No. 2 Hal: Jakarta. Mei 2008 ISSN X

J. Tek.Ling Vol. 9 No. 2 Hal: Jakarta. Mei 2008 ISSN X J. Tek.Ling Vol. 9 No. 2 Hal: 121-129 Jakarta. Mei 2008 ISSN-1441-318X MITIGASI DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR MENGGUNAKAN TEKNIK PEMODELAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS; Studi Kasus: Kecamatan Sumedang Utara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Pada daerah pertemuan

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Banjir

II TINJAUAN PUSTAKA. Banjir 9 II TINJAUAN PUSTAKA Banjir Hujan yang jatuh ke bumi akan mengalami proses intersepsi, infiltrasi dan perkolasi. Sebagian hujan yang diintersepsi oleh tajuk tanaman menguap, sebagian mencapai tanah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Longsorlahan Menurut Suripin (2002) dalam (Anjas. A, 2012) Longsor lahan merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Arsyad (dalam Ahmad Denil Efendi 1989 : 27) Mengemukakan bahwa tanah

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Arsyad (dalam Ahmad Denil Efendi 1989 : 27) Mengemukakan bahwa tanah BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Definisi Longsor Menurut Arsyad (dalam Ahmad Denil Efendi 1989 : 27) Mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang rawan terkena bencana geologi, khususnya bencana gerakan tanah. Tingginya frekuensi bencana gerakan tanah di Indonesia berhubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pasal 6 ayat (1), disebutkan bahwa Penataan Ruang di selenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Bencana alam adalah salah satu fenomena yang dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun sehingga menimbulkan risiko atau bahaya terhadap kehidupan manusia, baik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Longsor 2.2 Jenis Longsor

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Longsor 2.2 Jenis Longsor II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Batasan Longsor Longsor adalah gerakan tanah atau batuan ke bawah lereng karena pengaruh gravitasi tanpa bantuan langsung dari media lain seperti air, angin atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Geomorfologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bentuklahan, meliputi proses-proses yang bekerja terhadap batuan induk dan perubahanperubahan yang terjadi

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR KABUPATEN KARO PROVINSI SUMATERA UTARA HASIL PENELITIAN OLEH: ANITA NAOMI LUMBAN GAOL 061201012/ MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. rendah (Dibyosaputro Dalam Bayu Septianto S U. 2008). Longsorlahan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Longsorlahan Gerakan tanah atau yang lebih umum dikenal dengan istilah Longsorlahan (landslide) adalah proses perpindahan matrial pembentuk lereng berupa suatu massa tanah dan

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA Disampaikan pada Workshop Mitigasi dan Penanganan Gerakan Tanah di Indonesia 24 Januari 2008 oleh: Gatot M Soedradjat PUSAT VULKANOLOGI DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI Jln.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam penggunaan lahan. Lahan juga diartikan sebagai Permukaan daratan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam penggunaan lahan. Lahan juga diartikan sebagai Permukaan daratan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penggunaan Lahan Menurut Purwowidodo (1983) lahan mempunyai pengertian: Suatu lingkungan fisik yang mencakup seperti iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana.

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu wilayah rawan bencana. Berbagai potensi bencana alam seperti gempa, gelombang tsunami, gerakan tanah, banjir, dan

Lebih terperinci

DISASTER NURSING AND TRAUMA HEALING. Project Observasi Potensi Bencana di Kelurahan Pongangan. Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah.

DISASTER NURSING AND TRAUMA HEALING. Project Observasi Potensi Bencana di Kelurahan Pongangan. Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah. DISASTER NURSING AND TRAUMA HEALING Project Observasi Potensi Bencana di Kelurahan Pongangan Gunung Pati, Semarang, Jawa Tengah. Disusun Oleh : 1. Luh Juita Amare Putri 22020112120009 2. Meiriza Ida W.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang paling hangat dibicarakan secara global belakangan ini. Meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer adalah pertanda iklim

Lebih terperinci

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana alam tampak semakin meningkat dari tahun ke tahun yang disebabkan oleh proses alam maupun manusia itu sendiri. Kerugian langsung berupa korban jiwa, harta

Lebih terperinci

MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224

MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG. UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 MEKANIKA TANAH 2 KESTABILAN LERENG UNIVERSITAS PEMBANGUNAN JAYA Jl. Boulevard Bintaro Sektor 7, Bintaro Jaya Tangerang Selatan 15224 PENDAHULUAN Setiap kasus tanah yang tidak rata, terdapat dua permukaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Palopo merupakan kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang telah ditetapkan sebagai kota otonom berdasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pembentukan Mamasa

Lebih terperinci

I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor,

I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor, I. PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Menurut Baldiviezo et al. (2003 dalam Purnomo, 2012) kelerengan dan penutup lahan memiliki peran dalam tanah longsor, semakin tajam kemiringan lereng pada penggunaan lahan

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT GERAKAN TANAH DI KAMPUNG BOJONGSARI, DESA SEDAPAINGAN, KECAMATAN PANAWANGAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT RACHMAN SOBARNA Penyelidik Bumi Madya pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1046, 2014 KEMENPERA. Bencana Alam. Mitigasi. Perumahan. Pemukiman. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah perbandingan relatif pasir, debu dan tanah lempung. Laju dan berapa jauh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah perbandingan relatif pasir, debu dan tanah lempung. Laju dan berapa jauh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Fisik Tanah Perbandingan relatif antar partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang mengacu pada kehalusan atau kekasaran tanah. Lebih khasnya, tekstur adalah

Lebih terperinci

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung.

DEFINISI. Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung. DEFINISI Thornbury, 1954 : Proses akibat gaya gravitasi secara langsung. Rangers, 1975 : Proses yang terjadi dibawah pengaruh gravitasi tanpa adanya media transportasi / merupakan bagian dari turunnya

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH LAMPIRAN III KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1452 K/10/MEM/2000 TANGGAL : 3 November 2000 PEDOMAN TEKNIS PEMETAAN ZONA KERENTANAN GERAKAN TANAH I. PENDAHULUAN Keperluan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bencana banjir dan longsor (Fadli, 2009). Indonesia yang berada di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Potensi longsor di Indonesia sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2008, tercatat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana.

BAB I PENDAHULUAN. tindakan dalam mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ilmu tentang bencana semakin berkembang dari tahun ke tahun seiring semakin banyaknya kejadian bencana. Berawal dengan kegiatan penanggulangan bencana mulai berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Longsor 2.1.1 Definisi Tanah Longsor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa tanah longsor bisa disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Longsor. Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Longsor. Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah TINJAUAN PUSTAKA Longsor Gerakan tanah atau lebih dikenal dengan istilah tanah longsor adalah suatu produk dari proses gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya massa tanah dan batuan ke

Lebih terperinci

Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan

Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan Standar Nasional Indonesia Pemeriksaan lokasi bencana gerakan tanah Bagian 1: Tata cara pemeriksaan ICS 13.200 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii Pendahuluan... iv 1

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal 8 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Longsor dalam kajian Geografi Menurut seorang ilmuwan kuno yang bernama Eratosthenes Geografi berasal dari bahasa Yunani Geographia yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

BAB 8. Gerakan Tanah

BAB 8. Gerakan Tanah BAB 8 Gerakan Tanah A. Pengertian Gerakan Tanah Gerakan tanah adalah perpindahan massa tanah atau batuan pada arah tegak, datar, atau miring dari kedudukannya semula, yang terjadi bila ada gangguan kesetimbangan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Bab I Pendahuluan I.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan 3 lempeng tektonik, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia, dan lempeng Pasifik. Pada daerah di sekitar batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Longsor atau landslide merupakan suatu proses pergerakan massa tanah, batuan, atau keduanya menuruni lereng di bawah pengaruh gaya gravitasi dan juga bentuklahan yang

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.2: 215-222, Agustus 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO Arifin Kamil 1, Hanny Poli, 2 & Hendriek H. Karongkong

Lebih terperinci

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran

MITIGASI BENCANA ALAM II. Tujuan Pembelajaran K-13 Kelas X Geografi MITIGASI BENCANA ALAM II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1. Memahami banjir. 2. Memahami gelombang pasang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat

BAB I PENDAHULUAN. Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bencana geologi merupakan bencana yang terjadi secara alamiah akibat proses geologi yang siklus kejadiannya mulai dari sekala beberapa tahun hingga beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lereng dan Kategorinya Lereng adalah suatu permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horisontal dan tidak terlindungi (Das 1985). Lereng

Lebih terperinci

Bab IV STABILITAS LERENG

Bab IV STABILITAS LERENG Bab IV STABILITAS LERENG PENDAHULUAN Permukaan tanah tidak horisontal gravitasi enderung menggerakkan tanah kebawah >>> perlawanan geseran tidak mampu menahan longsor. Analisis stabilitas pada permukaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain melalui media air atau angin. Erosi melalui media angin disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah Lempung Tanah lempung adalah tanah yang memiliki partikel-partikel mineral tertentu yang menghasilkan sifat-sifat plastis pada tanah bila dicampur dengan air (Grim,

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR LAHAN DI KECAMATAN DAU, KABUPATEN MALANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN GEOMORFOLOGI 1) Ika Meviana; 2) Ulfi Andrian Sari 1)2) Universitas Kanjuruhan Malang Email: 1) imeviana@gmail.com;

Lebih terperinci

MEKANIKA TANAH (CIV -205)

MEKANIKA TANAH (CIV -205) MEKANIKA TANAH (CIV -205) OUTLINE : Tipe lereng, yaitu alami, buatan Dasar teori stabilitas lereng Gaya yang bekerja pada bidang runtuh lereng Profil tanah bawah permukaan Gaya gaya yang menahan keruntuhan

Lebih terperinci

BAB IV STUDI LONGSORAN

BAB IV STUDI LONGSORAN BAB IV STUDI LONGSORAN A. Teori Dasar Fell drr. (2008) mendefinisikan longsoran sebagai pergerakan massa batuan, debris, atau tanah ke bawah lereng. Pergerakan tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. arah bawah (downward) atau ke arah luar (outward) lereng. Material pembentuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. arah bawah (downward) atau ke arah luar (outward) lereng. Material pembentuk 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Longsor lahan Longsorlahan (landslide) adalah gerakan material pembentuk lereng ke arah bawah (downward) atau ke arah luar (outward) lereng. Material pembentuk lereng tersebut

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR

GERAKAN TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR GERAKAN TANAH DI KABUPATEN KARANGANYAR Novie N. AFATIA Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana GeologiJl. Diponegoro No. 57 Bandung Pendahuluan Kabupaten Karanganyar merupakan daerah yang cukup banyak mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di bumi terdapat kira-kira 1,3 1,4 milyar km³ air : 97,5% adalah air laut, 1,75% berbentuk es dan 0,73% berada di daratan sebagai air sungai, air danau, air tanah,

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG

BAPPEDA Kabupaten Probolinggo 1.1 LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG merupakan wilayah dengan karateristik geologi dan geografis yang cukup beragam mulai dari kawasan pantai hingga pegunungan/dataran tinggi. Adanya perbedaan karateristik ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau tandus (Vera Sadarviana, 2008). Longsorlahan (landslides) merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. atau tandus (Vera Sadarviana, 2008). Longsorlahan (landslides) merupakan 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Longsorlahan Longsorlahan adalah salah satu bencana kebumian yang selalu terjadi di Indonesia, khususnya pada musim hujan. Longsorlahan sering terjadi pada daerah perbukitan

Lebih terperinci

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT

BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT BENCANA GERAKAN TANAH AKIBAT GEMPABUMI JAWA BARAT, 2 SEPTEMBER 2009 DI DESA CIKANGKARENG, KECAMATAN CIBINONG, KABUPATEN CIANJUR, PROVINSI JAWA BARAT Suranta Sari Bencana gerakan tanah terjadi beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa lereng adalah suatu permukaan tanah yang miring dan membentuk sudut tertentu terhadap suatu bidang horisontal dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang sering terjadi di Indonesia. Pada tahun 2016 di Bulan Juni bencana tanah longsor menimpa Kabupaten Purworejo,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bencana longsor merupakan proses alami bumi yang sering terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Bencana longsor merupakan proses alami bumi yang sering terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana longsor merupakan proses alami bumi yang sering terjadi pada wilayah-wilayah potensial gerakan massa (mass movement) di Indonesia. Elemen pemicu longsor yaitu

Lebih terperinci

PENGIDENTIFIKASIAN DAERAH SESAR MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI. Oleh:

PENGIDENTIFIKASIAN DAERAH SESAR MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI. Oleh: PENGIDENTIFIKASIAN DAERAH SESAR MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFRAKSI DI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER SKRIPSI Oleh: Firdha Kusuma Ayu Anggraeni NIM 091810201001 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. pengetahuan yang mencitrakan, menerangkan sifat-sifat bumi,

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. pengetahuan yang mencitrakan, menerangkan sifat-sifat bumi, BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Teori 1. Pengertian Geografi Bintarto (1968: 11) mendefinisikan geografi merupakan ilmu pengetahuan yang mencitrakan, menerangkan sifat-sifat bumi, menganalisis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. air. Melalui periode ulang, dapat ditentukan nilai debit rencana. Debit banjir BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Debit Banjir Rencana Debit banjir rencana adalah debit maksimum di sungai atau saluran alamiah dengan periode ulang (rata-rata) yang sudah ditentukan yang dapat dialirkan tanpa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Secara umum kondisi geologi menyimpan potensi kebencanaan yang dapat merugikan manusia. Kebencanaan geologi mengakibatkan kerusakan infrastruktur maupun korban manusia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia yang selalu bergerak dan saling menumbuk.

Lebih terperinci

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep)

Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten Pangkep) Analisis Spasial Untuk Menentukan Zona Risiko Bencana Banjir Bandang (Studi Kasus Kabupaten ) Arfina 1. Paharuddin 2. Sakka 3 Program Studi Geofisika Jurusan Fisika Unhas Sari Pada penelitian ini telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai, sehingga melimpah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Menurut Soewarno (1991), proses sedimentasi meliputi proses erosi, transportasi (angkutan), pengendapan (deposition) dan pemadatan (compaction) dari sedimentasi itu sendiri. Proses

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah

PENDAHULUAN. menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah PENDAHULUAN 1.1 Judul Penelitian Penelitian ini berjudul Pemetaan Zona Kerentanan Gerakan Tanah menggunakan Analisis Tidak Langsung berdasarkan SNI 13-7124-2005 Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara,

Lebih terperinci

PENANGANAN BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA

PENANGANAN BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA PENANGANAN BENCANA GERAKAN TANAH DI INDONESIA Oleh: Subagyo Pramumijoyo dan Dwikorita Karnawati Jurusan Teknik Geologi, Fakulta Teknik, Universitas Gadjah Mada 1. Pendahuluan Bencana alam seperti gerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia dikenal sebagai sebuah negara kepulauan. Secara geografis letak Indonesia terletak pada 06 04' 30"LU - 11 00' 36"LS, yang dikelilingi oleh lautan, sehingga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN I-1

BAB 1 PENDAHULUAN I-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Barat memiliki potensi tinggi dalam bahaya-bahaya alam atau geologis, terutama tanah longsor, letusan gunung berapi, dan gempa bumi. Direktorat Geologi Tata Lingkungan

Lebih terperinci

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA

GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA GERAKAN TANAH DAN BANJIR BANDANG DI WILAYAH KECAMATAN TAHUNA DAN SEKITARNYA, KABUPATEN SANGIHE, SULAWESI UTARA SURANTA Penyelidik Bumi Madya, pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Sari Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berada pada pertemuan tiga lempeng utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng pasifik. Pertemuan tiga

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Pemetaan Daerah Rawan PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Moch. Fauzan Dwi Harto, Adhitama Rachman, Putri Rida L, Maulidah Aisyah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan Pasifik. Daerah pertemuan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempengan dunia yaitu Eurasia, Pasifik dan Australia dengan ketiga lempengan ini bergerak saling menumbuk dan menghasilkan suatu

Lebih terperinci

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA BADAN GEOLOGI JALAN DIPONEGORO NO. 57 BANDUNG 40122 JALAN JEND. GATOT SUBROTO KAV. 49 JAKARTA 12950 Telepon: 022-7212834, 5228424, 021-5228371

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan

BAB I PENDAHULUAN. Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam ialah suatu sumberdaya yang terbentuk karena kekuatan alamiah, misalnya tanah, air dan perairan, biotis, udara dan ruang, mineral tentang alam, panas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana alam merupakan peristiwa alam yang disebabkan oleh proses yang terjadi alami atau diawali oleh tindakan manusia dan menimbulkan risiko atau bahaya terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunungapi Merapi merupakan gunung yang aktif, memiliki bentuk tipe stripe strato yang erupsinya telah mengalami perbedaan jenis erupsi, yaitu erupsi letusan dan leleran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian

BAB I PENDAHULUAN. dikarenakan adanya kondisi geologi Indonesia yang berupa bagian dari rangkaian 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Tanah longsor adalah salah satu bencana yang berpotensi menimbulkan korban jiwa masal. Ini merupakan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI A. Masyarakat Tangguh Bencana Berdasarkan PERKA BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, yang dimaksud dengan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi. Peristiwa tanah

BAB I PENDAHULUAN. morfologi ini banyak dipengaruhi oleh faktor geologi. Peristiwa tanah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia secara geografis terletak di daerah khatulistiwa dengan morfologi yang beragam dari daratan sampai pegunungan tinggi. Keragaman morfologi ini banyak

Lebih terperinci