BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi Berwirausaha 1.1. Pengertian Intensi Berdasarkan teori planned behavior milik Ajzen (2005), intensi memiliki tiga faktor penentu dasar yaitu individu dalam alam, pengaruh sosial, dan masalah kontrol. Faktor penentu adanya intensi yang pertama adalah sikap individu terhadap perilaku atau keyakinan perilaku. Penentu kedua adalah persepsi seseorang dalam tekanan sosial tentang apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan, hal tersebut berhubungan dengan norma subjektif. Ketiga adalah selfefficacy dalam melakukan hal yang menarik, hal ini disebut sebagai kontrol perilaku. Teori ini mengasumsikan keyakinan perilaku, norma subjektif dan kontrol perilaku merupakan bentuk munculnya sebuah intensi. Berikut adalah representatif gambaran mengenai terbentuknya intensi seperti yang telah dijelaskan. 12
13 Gambar 1. The theory of planned behavior Sumber. Ajzen, 2005 Bandura (Wijaya, 2007) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Sehingga intensi dapat diartikan sebagai bentuk dari keinginan untuk melakukan sesuatu pada diri individu. Ajzen (Abrorry & Sukamto, 2013) mendefinisikan intensi sebagai bentuk dari indikasi kesiapan individu dalam menampilkan perilaku dan dipertimbangkan sebagai bentuk perilaku yang telah dilakukan oleh individu. Bentuk kesiapan pada individu dapat dilihat dari intensi yang dimiliki individu tersebut, ketika kesiapan individu tinggi hal tersebut dapat diindikasikan bahwa intensi yang dimiliki juga tinggi. Intensi mengindikasikan seberapa kuat keinginan individu untuk melakukan sesuatu, seberapa banyak usaha yang direncanakan dalam menghadapi tekanan. Menurut Nursito dan Nugroho (2013), intensi merupakan fungsi dari sikap yang mungkin
14 ditampilkan dalam berperilaku tertentu. Intensi merupakan mediator pengaruh faktor motivasi yang memungkinkan untuk dapat memunculkan suatu perilaku. Intensi diartikan juga sebagai kecenderungan individu untuk melakukan sesuatu atau tidak. 1.2. Pengertian Wirausaha Saat ini istilah wirausaha atau entrepreneur sudah tidak asing lagi untuk didengar. Berwirausaha berperan penting bagi perkembangan ekonomi bangsa. Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa berwirausaha berguna sebagai agen perubahan (agent of change) dari ekonomi progresif (Darmanto, 2012). Meredith (2000) mengungkapkan bahwa para wirausaha adalah individu yang mampu melihat kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan mengambil keputusan yang tepat guna memastikan kesuksesan. Selain itu seorang wirausaha juga berorientasi pada tindakan dan memiliki motivasi yang tinggi mengambil resiko dalam mengejar tujuan. Peters, dkk. (2003) mengungkapkan bahwa kewirausahaan adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dengan nilai dengan mencurahkan waktu dan upaya yang diperlukan, dengan asumsi risiko keuangan, psikis, dan sosial yang menyertainya, dan menerima imbalan dihasilkan kepuasan moneter dan pribadi dan kemerdekaan.
15 Menurut Longnecker, Moore dan Patty (Azwar, 2013) Wirausaha adalah seorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya system ekonomi perusahaan yang bebas. Sebagian besar pendorong perubahan, inovasi dan kemajuan di perekonomian kita akan datang dari para wirausaha; orang yang memiliki kemampuan untuk mengambil resiko dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. 1.3.Pengertian Intensi Berwirausaha Intensi berwirausaha saat ini sudah banyak diteliti oleh peneliti dan merupakan topik yang menarik untuk dibahas, karena hal tersebut berhubungan erat dengan perekonomian bangsa. Intensi berwirausaha (entrepreneurial intentions) menurut Katz dan Gartner (Indarti & Rostiani, 2008) yaitu proses pencarian informasi yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembentukan suatu usaha. Pencarian informasi menjadi bentuk usaha awal dalam berwirausaha. Mempelajari apa yang dibutuhkan dan apa resiko yang mungkin saja terjadi. Menurut Lee dan Wong (Azwar, 2013) bahwa Entrepreneurial intention atau niat kewirausahaan merupakan langkah awal dari sebuah proses pendirian suatu usaha yang umumnya bersifat jangka panjang. Menurut Krueger, dkk (Nursito & Nugroho, 2013), intensi kewirausahaan adalah prediksi yang dipercaya dapat mengukur
16 perilaku kewirausahaan dan aktivitasnya. Serta mencerminkan komitmen individu dalam memulai sebuah usaha baru dan isu sentral yang perlu dipahami dalam proses pendirian usaha. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa intensi berwirausaha adalah bentuk indikasi kebulatan tekad untuk melakukan sesuatu yang mungkin dimunculkan dalam berperilaku. 2. Faktor Penentu Intensi Berwirausaha Menurut Fisbein dan Ajzen ( Wijaya, 2007) intensi adalah fungsi dari tiga determinan dasar, yaitu: a. Keyakinan perilaku, mengacu pada sejauh mana individu memegang penilaian pribadi positif atau negatif tentang menjadi seorang pengusaha. Ini mencakup tidak hanya afektif (saya suka itu, itu menarik), tetapi juga pertimbangan evaluatif (itu memiliki kelebihan). Misalnya individu lebih menilai dirinya sebagai individu yang mampu untuk mencapai sebuah tujuan usaha, sehingga dapat dikatakan individu tersebut memiliki nilai pribadi yang positif. b. Keyakinan normatif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang sekitarnya dan motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap persepsi individu bahwa referensi orang lain yang menyetujui akan mempengaruhi keputusan untuk berwirausaha atau tidak. Misalnya ketika keluarga memberikan dukungan positif terhadap usaha yang akan dibuat oleh individu
17 tersebut sehingga secara tidak langsung akan memberikan keyakinan untuk memulai sebuah usaha baru. c. Kontrol perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukan kontrol perilaku yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan persepi terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau mempersulit. Persepsi ini yang akan mengendalikan perilaku individu tersebut. Misalnya individu yang mempersepsikan sendiri kemudahan atau kesulitan untuk menjadi seorang pengusaha. Intensi berwirausaha memiliki tiga aspek yaitu keyakinan perilaku, keyakinan normatif serta kontrol perilaku. Ketiga aspek tersebut merupakan bentuk keyakinan yang membentuk dan mengontrol perilaku pada individu. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Berwirausaha Faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha (Indarti & Rostiani, 2008) adalah: a. Faktor kepribadian: kebutuhan akan prestasi dan efikasi diri b. Faktor lingkungan, yang dilihat pada tiga elemen kontekstual: akses kepada modal, informasi dan jaringan sosial c. Faktor demografis: jender, umur, latar belakang pendidikan dan pengalaman bekerja.
18 Adapun teori lain yang menyatakan faktor yang mempengaruhi intensi kewirausahaan (Wijaya, 2007) adalah a. Lingkungan keluarga Orang tua akan memberikan corak budaya, suasana rumah, pandangan hidup dan pola sosialisasi yang akan menentukan sikap dan perilaku. Orang tua yang berwirausaha biasanya akan mendorong kemandirian, berprestasi, dan bertanggung jawab. b. Pendidikan Menurut Hisrich dan Peters (Wijaya, 2007) mengatakan bahwa pendidikan penting bagi wirausaha, tidak hanya gelar, namun pendidikan mampu meberikan peranan dalam mengatasi masalahmasalah dalam bisnis. c. Nilai personal Nilai personal dibentuk oleh motivasi dan optimisme individu. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Indarti dan Kristiansen (Wijaya,2007) bahwa tingkat intensi berwirausaha dipengaruhi tinggi rendahnya kapasitas motivasi, pengendalian diri, dan optimisme. d. Usia Roe (Wijaya, 2007) mengatakan bahwa minat terhadap pekerjaan mengalami perubahan sejalan dengan usia namun menjadi relatif stabil pada post abdolence.
19 e. Jenis kelamin Manson dan Hog (Wijaya, 2007) mengemukakan bahwa kebanyakan wanita menganggap pekerjaan bukanlah hal yang penting. Karena wanita masih dihadapkan pada tuntutan tradisional untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha sangat berhubungan dengan faktor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut merupakan faktor keperibadian serta nilai personal dari individu dimana dibutuhkan dalam membentuk keyakinan positif. Keyakinan positif tersebut diantaraya adalah optimisme pada individu, dimana optimism merupakan bagian dari modal psikologiss positif. B. Modal Psikologis 1. Pengertian Modal psikologis Menurut Luthans, dkk (2007) modal psikologis merupakan bentuk psikologi positif dimana setiap individu mampu memilikinya. Psikologi positif ditandai dengan kepercayaan diri dalam upaya untuk mencapai keberhasilan, membuat atribusi positif tentang kesuksesan sekarang dan masa depan, tekun dalam mencapai tujuan untuk berhasil, serta kemampuan untuk dapat bertahan dan bangkit ketika dilanda masalah. Menurut Luthans, dkk (Hedissa, dkk, 2012) modal psikologis merupakan keadaan positif psikologis seseorang yang berkembang dan
20 terdiri dari karakteristik adanya kepercaya dirian (self efficacy) dalam semua tugas, optimisme, harapan (hope), serta kemampuan untuk bertahan dan maju ketika dihadapkan pada sebuah masalah (resiliency). Individu digambarkan memiliki karakter-karakter yang percaya terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam mencapai tujuan, memiliki emosi positif dalam mancapai tujuan, serta mampu meresapi kejadian positif sebagai faktor internal yang menetap, serta mampu kembali dari situasi yang menekan. Menurut Osigweh (Abrorry & Sukamto, 2013) modal psikologis adalah suatu pendekatan yang dicirikan pada dimensi-dimensi yang bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu sehingga bisa membantu kinerja organisasi. Setiap dinemsi memiliki peran tersendiri dalam menunjang kinerja individu. Sehingga dapat dengan mudah mengoptimalkan potensi yang dimiliki individu. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa modal psikologis adalah sebuah bentuk modal psikologiss positif yang dimiliki individu dalam mengoptimalkan potensi yang dimiliki guna menunjang kinerja yang baik.
21 2. Aspek-aspek Modal Psikologis Menurut Luthans, dkk (2007) Modal psikologis dibagi menjadi empat dimensi, yaitu: a. Percaya Diri (Self-efficacy) atau kepercayaan diri (Self-efficacy) didefinisikan Albert Bandura (1997) sebagai keyakinan atau rasa percaya diri individu terhadap kemampuan untuk memunculkan motivasi, kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk melakukan sesuatu dengan sukses. Self efficacy ini sendiri mengacu pada keyakinan masyarakat tentang kemampuannya untuk berhasil melaksanakan tindakan yang mengarah pada hasil yang diinginkan. Lebih lanjut Bandura menyatakan (Luthans, dkk., 2007) bahwa efikasi diri adalah suatu justifikasi personal atau keyakinan bagaimana baiknya individu dalam mengeksekusi sejumlah tindakan yang diperlukan untuk menyesuaikan diri pada suatu situasi. b. Harapan (Hope: The Will And The Way) menurut C. Rich Snyder (Abrorry & Sukamto, 2013) adalah keadaan psikologis positif yang didasarkan pada kesadaran yang saling mempengaruhi antara agency (energi untuk mencapai tujuan) dan path ways, yakni perencanaan untuk mencapai tujuan. Harapan didefinisikan sebagai kemampuan yang dirasakan untuk mendapatkan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dan memotivasi diri sendiri untuk menggunakan cara tersebut guna mencapai kesuksesan. Selain itu individu berharap
22 memiliki kemampuan untuk mengembangkan berbagai strategi dalam mencapai tujuan. Sehingga terbentuk keadaan diri yang bersemangat dan termotivasi untuk menjalankan berbagai strategi pencapaian tujuan usaha. c. Optimisme (Optimism) menurut Seligman (Abrorry & Sukamto, 2013) adalah suatu explanatory style yang memberikan atribusi peristiwaperistiwa positif pada sebab-sebab yang personal, permanent, serta pervasive dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa negatif pada faktor-faktor yang eksternal, sementara, serta situasional. Individu optimis mengambil kredit untuk hal-hal baik yang terjadi untuk meningkatkan moral dan menjauhkan diri dari yang buruk hal yang terjadi (Shahnawaz & Jafri, 2009) d. Resiliensi (Resiliency) didefinisikan oleh Grotberg (Maulidnya & Eliana, 2013) sebagai kemampuan individu dalam mengatasi kesulitan dan tantangan dalam kehidupan dan tidak lari dari permasalahan. Menurut De Vries dan Shields (Maulidnya & Eliana, 2013) konsep resiliensi juga sering digunakan dalam studi ketahanan dan peralihan karir untuk mendeskripsikan individu tetap dengan cita-cita karir saat menghadapi kesulitan yang dialami.
23 Modal psikologis memiliki empat dimensi dimana keempat dimensi tersebut merupakan konsep psikologi positif. Keempat dimensi tersebut adalah percaya diri, harapan, optimism, dan resiliensi. C. Pengalaman Berwirausaha Pengalaman menjadi salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha. Pengalaman itu sendiri menurut Knoers dan Haditono (1999) adalah sebuah proses pembelajaran dan pengembangan potensi tingkah laku secara formal maupun non formal atau dapat diartikan sebagai proses yang membawa seseorang kepada suatu pola tingkah laku yang lebih tinggi Menurut Manulang (Sulaeman, 2014) pengalaman adalah proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan tentang metode suatu pekerjaan bagi para pegawai karena keterlibatan tersebut dalam pelaksanaan pekerjaannya. Pengalaman kerja menjadi faktor yang paling mempengaruhi dalam terciptanya pertumbuhan sebuah usaha. Dengan tingginya pengalaman yang dimiliki oleh para pekerja akan menyebabkan tingginya pertumbuhan usaha tersebut. Krueger dan Brazeal menunjukan bahwa pekerjaan atau pengalaman sebelumnya yang telah dilakukan mampu meningkatkan kemampuan inidvidu terutama berkaitan dengan pengenalan peluang bisnis. (Sharma & Madan, 2014)
24 Pengalaman kerja mennunjukan jenis pekerjaan yang pernah dilakukan oleh individu dan memberikan peluang besar bagi individu tersebut untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik. semakin luas pengalaman kerja seseorang, semakin terampil melakukan pekerjaan dan semakin sempurnapola pikir dan sikap dalam bertindak untuk mencapai tujuan (Puspaningsih, 2004). Terdapat beberapa pendapat mengenai pengalaman, dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pengalaman berwirausaha merupakan sebuah proses pembentukan pengetahuan dan keterampilan yang dilakukan individu guna mengawali sebuah usaha baru. D. Dinamika Psikologis Antara Modal Psikologis dan Pengalaman Berwirausaha Dengan Intensi Berwirausaha Setiap individu memiliki karateristik yang berbeda-beda. Perbedaan karateristik tentu berpengaruh pada perbedaan dalam memunculkan keinginan untuk berwirausaha. Untuk menjadi wirausaha, menurut Meredith (1992), individu yang ingin berwirausaha adalah seorang individu akan menunjukan bahwa ia haus akan tantangan serta sangat bergairah dalam menghadapi tantangan. Individu tersebut memilih untuk mencari resiko yang tinggi dibandingkan yang rendah. Apabila tugas yang dimiliki ringan, maka wirausahawan merasa kurang tertantang.
25 Kepercayaan diri yang tinggi adalah komponen yang mendukunng dalam memulai wirausaha. Memulai sesuatu yang baru dengan penuh resiko sangat dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi, apabila kepercayaan diri individu rendah maka individu cenderung takut untuk memulai sebuah usaha yang baru. Demikian hal nya dengan optimisme pada individu. Individu dengan tingkat optimisme tinggi memiliki keyakinan kuat akan keberhasilan dalam berusaha (Abrorry & Sukamto, 2013). Keterkaitan antara harapan dan optimisme sangat terlihat seperti yang dikemukakan oleh Luthans, dkk (2006) bahwa optimism dapat mencakup nilai harapan yang realistis dan ideal. Seorang wirausahawan tentu juga membutuhkan sikap optimis. Keterkaitan antara harapan dan optimisme memperlihatkan bahwa harapan yang tinggi akan memunculkan sikap optimis. Sama halnya menjadi seorang wirausahawan, memiliki harapan yang tinggi untuk memulai usaha akan memunculkan sikap optimis yang tinggi. Menurut Zimmerer (Abrorry &Sukamto, 2013) mengatakan bahwa wirausahawan cenderung optimis dan memiliki keyakinan yang kuat untuk berhasil. Sikap optimisme yang tinggi mampu memunculkan minat dalam memulai sebuah usaha mulai dengan pencarian informasi. Wirausahawan sering dikaitkan dengan kemampuan dalam melakukan antisipasi dan juga memprediksi konsekuensiyang mungkun terjadi. Resiliensi menjadi hal yang paling penting untuk bertahan dan sukses pada orang yang
26 memiliki suatu wirausaha, dibandingkan orang yang hanya memiliki pengetahuan teknis atau praktek tentang bisnisnya. (Maulidya &Eliana, 2013) Pengalaman merupakan salah satu faktor yang ternyata mampu mempengaruhi intensi berwirausaha. Pengalaman bekerja sebelumnya mampu mematangkan pikiran calon pemulai usaha. Pengalaman kerja sebelumnya mampu berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam berbisnis, penelitian tersebut dilakukan oleh Dyke, dkk. (Sharma & Madan, 2014). Pengambilan keputusan yang tepat tentu mampu menuntun para wirausaha untuk dapat menjalankan bisnisnya dengan baik. Berdasarkan beberapa faktor yang telah disebutkan diatas maka dapat disimpulkan bahwa individu yang berkeinginan tinggi untuk berwirausaha dapat didukung dengan modal psikologis yang tinggi sebagai modal dalam memulai usaha sampai dengan kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan resiko dalam berwirausaha. E. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Ada pengaruh antara modal psikologis dengan intensi berwirausaha. Semakin tinggi modal psikologis maka semakin tinggi pula intensi berwirausaha. Dan semakin rendah modal psikologis maka semakin rendah intensi berwirausaha.
27 2. Ada pengaruh antara pengalaman berwirausaha dengan intensi berwirausaha. Semakin tinggi pengalaman berwirausaha maka semakin tinggi pula intensi berwirausaha. Dan semakin rendah pengalaman berwirausaha maka semakin rendah intensi berwirausaha. 3. Ada pengaruh antara modal psikologis dan pengalaman berwirausaha dengan intensi berwirausaha. Semakin tinggi modal psikologis dan pengalaman berwirausaha maka semakin tinggi intensi berwirausaha, dan semakin rendah modal psikologis dan pengalaman berwirausaha maka semakin rendah intensi berwirausaha.