BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dirasakan baik oleh perusahaan maupun karyawan (Giannikis dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh pengaturan kerja

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini karyawan tidak lagi mendefinisikan kesuksesan karir dengan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencapai tingkat produktifitas maksimal. Persaingan yang ketat juga

BAB I PENDAHULUAN. pergeseran industri dan perubahan perilaku karyawan. Sumber daya manusia (SDM)

BAB I PENDAHULUAN. rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, lingkup penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. daripada apakah mereka tinggal (Allen dan Meyer, 1990). Maksudnya

BAB I PENDAHULUAN. Hidup di tempat kerja, pekerjaan dan keluarga, pekerjaan dan pemenuhan

BAB II LANDASAN TEORI. (2003), work-family conflict (WFC) merupakan suatu bentuk konflik peran

BAB I PENDAHULUAN. karyawan ataupun pekerjaan yang dapat mempengaruhi kehidupan keluarga

ABSTRAK. Kata kunci: work-family conflict, kelelahan emosional, intention to leave.

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berbentuk perusahaan. Perusahaan merupakan badan usaha yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tracey, 2000). Intensi keluar sendiri, bisa dipengaruhi banyak hal mulai

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dalam bidang kedokteran membuat rumah sakit dari pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kemudahan dan pelayanan yang diberikan. Mulai dari kemudahan

TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat Memperoleh derajat S-2 Magister Akuntansi. Diajukan oleh. Nama : Harman Setiyawan NIM : C4C

BAB I PENDAHULUAN. menarik perhatian kalangan organisasi. Perputaran karyawan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi yang modern sekarang ini, sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. perubahan-perubahan yang terjadi di kedua domain (pekerjaan personal).

BAB2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki kebutuhan-kebutuhan pokok untuk

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh konflik pekerjaan..., Sekar Adelina Rara, FPsi UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. masa depan keluarga menjadi fenomena yang sudah lazim terjadi pada era

BAB 1 PENDAHULUAN. dapat digunakan untuk mencapai tujuan organisasi salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kinerja karyawan dibutuhkan setiap organisasi untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam diri individu, yang pada akhirnya menyebabkan konflik-pekerjaankeluarga

BAB V SIMPULAN, KETERBATASAN DAN IMPLIKASI. kuliner skala UKM. Setelah dilakukan analisis pada bab empat, dapat diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan terjadinya perubahan ini adalah globalisasi dalam bidang ekonomi serta

BAB I PENDAHULUAN. Kinerja suatu perusahaan tidak dapat berhasil, dikarenakan setiap karyawan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan semakin tingginya tingkat pendidikan, ilmu pengetahuan, pesatnya

BAB I PENDAHULUAN. sama lain. Lingkungan dari keluarga dan kerja seringkali disimpulkan sebagai

Judul : Pengaruh Keterikatan Kerja, Persepsi Dukungan Organisasional dan Komitmen Organisasional Terhadap Turnover Intention Karyawan Muji Motor

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN DAN SARAN. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran dari mediasi komitmen organisasional

Bab 2. Literature Review

BAB I PENDAHULUAN. Dengan berkembangnya dunia industri saat ini banyak perusahaan yang muncul

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan yang diinginkan. Karyawan sebagai sumber daya manusia

BAB I. Pendahuluan. langsung akan berdampak pada adanya perubahan-perubahan di berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. kerja selalu dipenuhi oleh para pelamar setiap harinya. Pekerjaan adalah suatu aspek

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tanggung jawabnya di rumah sakit perawat harus dihadapkan pada pekerjaan yang

2015 HUBUNGAN FAMILY SUPPORTIVE SUPERVISORY BEHAVIORS DAN TRUST IN SUPERVISOR DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Dewasa ini, perusahaan semakin berorientasi pada pelanggan dan

BAB I PENDAHULUAN. individu yang belajar di Perguruan Tinggi. Setelah menyelesaikan studinya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bekerja bukanlah suatu hal yang baru di kalangan masyarakat. Berbeda dari

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan laba (Cheng, et.al.,

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengambilalihan kepemilikan perusahaan (acquisition), penggabungan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V SIMPULAN. dalam bab sebelumnya, keterbatasan dan saran untuk penelitian selanjutnya. Hasil

BAB I PENDAHULUAN. dimainkan oleh orang yaitu karyawan dalam organisasi dapat memberikan sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

BAB V PENUTUP. keluarga terhadap konflik pekerjaan keluarga dan kepuasan kerja. Dari hasil

BAB I PENDAHULUAN. sebagian besar waktunya. Walaupun berbeda, pekerjaan dan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. atau organisasi. Menurut Robbins (2008) perusahaan atau organisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. untuk menarik para wisatawan agar mau berkunjung. Hal ini penting dilakukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Seiring berjalannya waktu, pertumbuhan Kantor Akuntan Publik (KAP) kini semakin kompetitif.

BAB I PENDAHULUAN. penting. Sumber daya manusia, dalam hal ini karyawan yang handal, mampu

BAB I PENDAHULUAN. dampak positif maupun negatif bagi organisasi. sehat memberikan beberapa manfaat positif kepada organisasi, antara lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dewasa (Frone et al,1992). Dalam beberapa dekade ini perkembangan dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan salah satu aset berharga yang dimiliki sebuah

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan berdasarkan jenis kelamin yang sangat luas di semua Negara (Anker,

BAB I PENDAHULUAN. sebagainya. Disamping itu pula, pekerjaan semakin sulit untuk didapatkan.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kemajuan teknologi telah membawa manusia pada era yang ditandai oleh

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu tantangan terberat bagi bangsa Indonesia pada era globalisasi

BAB I PENDAHULUAN. Pekerjaan dan keluarga adalah dua unsur yang paling penting dalam

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Pendahuluan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sumber daya manusia yang kompetitif akan terlahir dari dunia

Bab 5. Kesimpulan dan Implikasi

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Era globalisasi ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan pada

1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 8

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Abstrak. Kata Kunci: Kepemimpinan Transformasional, Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi dan Organizational Citizenship Behavior.

BAB V PENUTUP. a. Diketahui bahwa kebanyakan responden menjawab selalu dan sering. untuk melakukan upaya minimal agar tetap dapat bekerja.

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian women-friendly HRM (Human Resource Management) dorongan organisasi, golongan kecil itu yang menguji bagaimana pekerja

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya jumlah pasangan yang bekerja (dual-earner couples) dan

BAB I PENDAHULUAN. distributor barang, kreditor, karyawan, pemilik, serta pemerintah. Para pemangku

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada jaman modernisasi ini, komunikasi menjadi suatu hal yang paling

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi adalah kelompok kerja sama orang-orang yang diadakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. proses produksi barang maupun jasa. Cascio (1998) menegaskan bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat dibandingkan dengan waktu waktu sebelumnya, misalnya

BAB V PENUTUP. Penelitian serupa mengenai hubungan kepemimpinan karismatik dengan kepuasan kerja

BAB I PENDAHULUAN. dan sering diteliti dalam literatur akuntansi dan bisnis. Dalam akuntansi,

BAB I PENDAHULUAN. pesat seiring berkembangnya kemajuan teknologi. Persaingan dan tuntutantuntutan

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang bernama Gallup pada tahun 1990-an. Menurut survei Global,

BAB I PENDAHULUAN. Hunt et al. (2000) menyatakan bahwa ekonomi global sedang dipenuhi dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan keluarga interdependent satu sama lain sebagaimana keduanya. berkaitan dengan pemenuhan hidup seseorang. Melalui pekerjaan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Fokus penelitian pada keluaran organisasi telah banyak dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. menarik, karena memberikan beberapa manfaat baik bagi organisasi, karyawan

BAB I PENDAHULUAN. jalannya suatu organisasi (Dewi, 2008). Mengelola dengan baik sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kaum perempuan di sektor publik. Tampak tidak ada sektor publik yang belum

BAB I PENDAHULUAN. Sistem evaluasi kinerja masih menjadi topik yang mendominasi dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Selama satu dekade terakhir, pembahasan mengenai pengaturan kerja fleksibel telah mengalami peningkatan (Kattenbach, 2010; Origo dan Pagani, 2008; Sanchez et.al., 2007), terutama terkait dengan manfaat dan dampak positif yang dapat dirasakan baik oleh perusahaan maupun karyawan (Giannikis dan Mihail, 2011). Berdasarkan beberapa survei, hingga saat ini, banyak perusahaan yang telah menawarkan dan menerapkan pengaturan kerja fleksibel kepada karyawannya (Shockley dan Allen, 2012; Kattenbach, 2010; Casper dan Harris, 2008; Kelliher dan Anderson, 2008; Mann et.al., 2000) dan hal tersebut diprediksi akan terus mengalami peningkatan (Grant et.al, 2013; Mann et.al., 2000). Topik ini berkembang seiring dengan adanya tuntutan peran keluarga yang besar, sebagai dampak dari perubahan komposisi keluarga dan tenaga kerja seperti adanya ibu pekerja dan pasangan dual-karir yang mempunyai tanggung jawab terhadap anak atau orang tua (Fiksenbaum, 2014; Allen, 2001). Tuntutan ini dapat bersinggungan dengan tuntutan peran pekerjaan, misalkan seorang ibu pekerja lebih mementingkan untuk merawat anaknya yang sedang sakit dibandingkan dengan pekerjaannya, atau sebaliknya, karena sibuk dengan pekerjaannya, seorang ibu harus rela kehilangan waktu untuk menemani anaknya di rumah. Ada juga pasangan dual-karir yang sama-sama sibuk bekerja sehingga urusan rumah tangganya terbengkalai. Perubahan komposisi keluarga dan tenaga kerja seperti 1

pada kedua kasus tersebut tidak hanya terjadi di negara maju (e.g. Giannikis dan Mihail, 2011), melainkan terjadi juga di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Malaysia (Nastiti, 2006). Bahkan, di Indonesia, seorang anak yang sudah bekerja, mempunyai tanggung jawab yang besar untuk merawat orang tuanya, namun dengan tuntutan pekerjaan yang diterimanya membuat dia kesulitan untuk membagi waktu agar bisa bersama dengan orang tuanya, dan akan lebih sulit lagi bagi dia jika tempat kerjanya jauh dari rumah orang tuanya. Hal ini menandakan bahwa karyawan yang memiliki peran dan tanggung jawab pekerjaan dan keluarga memiliki kesulitan untuk membagi waktu antara kehidupan pekerjaan dan keluarga yang mereka jalankan. Hal ini selaras dengan adanya laporan yang menunjukkan bahwa sejak tahun 1996, banyak karyawan yang memiliki kesulitan untuk mengelola waktu antara kehidupan pekerjaan dan keluarga mereka (Fikesenbaum, 2014). Mengatasi hal tersebut, banyak perusahaan yang mengimplementasikan program atau kebijakan yang dirancang khusus untuk mengakomodasi kebutuhan tenaga kerja yang beragam, seperti jadwal kerja yang fleksibel, dan kebijakan perawatan anak (Batt dan Valcour, 2003; Allen, 2001). Jadwal kerja fleksibel dan kebijakan perawatan anak merupakan sebagian contoh dari penerapan kebijakan pengaturan kerja fleksibel. Pengaturan kerja fleksibel didefinisikan sebagai kebijakan dan praktik apapun, baik formal atau informal, dari suatu organisasi, yang memungkinkan fleksibilitas karyawan untuk bekerja secara bervariasi terkait kapan dan dimana pekerjaan dilakukan (Maxwell et.al., 2007). Pengaturan ini digunakan perusahaan untuk mengurangi tekanan yang dirasakan oleh karyawan 2

atas meningkatnya sejumlah kewajiban pekerjaan dan rumah (de Sivatte dan Guadamillas, 2013). Melalui pengaturan ini, diharapkan karyawan dapat memenuhi tuntutan pekerjaan dan keluarga secara terpadu (Batt dan Valcour, 2003). Giannikis dan Mihail (2011) menyebutkan bahwa pengaturan kerja fleksibel penting bagi organisasi. Hal ini disebabkan karena pengaturan kerja fleksibel memungkinkan perusahaan untuk menarik dan mempertahankan karyawan yang berbakat, berkualitas, dan berdedikasi (Giannikis dan Mihail, 2011; Lin et.al., 2011; Allen, 2001), mempertahankan keunggulan kompetitif perusahaan (Lin et.al., 2011; Sanchez et.al., 2007; Allen, 2001), dan dapat meningkatkan kinerja perusahaan (Sanchez et.al., 2007). Dari sisi karyawan, beberapa peneliti telah menemukan dampak positif dari penerapan pengaturan kerja fleksibel, diantaranya adalah dapat menciptakan keseimbangan kerjakehidupan karyawan (e.g. Grant et.al., 2013; Shockley dan Allen, 2012; Kelliher dan Anderson, 2008; Watson dan Lightfoot, 2003), komitmen karyawan (e.g. de Sivatte dan Guadamillas, 2013), dan kepuasan kerja (e.g. Wheatley dalam Grant et.al., 2013; Kelliher dan Anderson, 2008). Kajian yang ada masih menghasilkan temuan yang berbeda-beda, khususnya terkait pengaruh ketersediaan pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar. Beberapa temuan memperlihatkan bahwa ketersediaan pengaturan kerja fleksibel dapat menurunkan konflik kerjake-keluarga (e.g. de Sivatte dan Guadamillas, 2013; Allen, 2001; Thompson et.al., 1999). Hal ini sesuai dengan Work/Family Border Theory, yaitu sebuah teori yang 3

menjelaskan bahwa seorang individu dapat mengelola dan mengatasi domain pekerjaan dan keluarga serta batasan yang ada diantara keduanya dalam rangka untuk mencapai keseimbangan yang mengacu pada kepuasan dan rendahnya konflik peran (Clark, 2000). Konflik peran yang disinggung oleh Clark tersebut merupakan konflik antar peran, yaitu konflik antara peran pekerjaan dan keluarga. Konflik antar peran ini terjadi ketika tekanan yang muncul di salah satu peran tidak sesuai dengan tekanan yang muncul dalam peran lain (Greenhaus dan Beutell, 1985). Jika seorang karyawan bekerja secara fleksibel, misalkan bekerja dari rumah, dapat dibayangkan bahwa karyawan tersebut memiliki kontrol dalam mengintegrasikan aktivitas pekerjaan dan keluarga. Batasan yang muncul antara domain pekerjaan dan keluarga menjadi tipis, sehingga tidak akan sulit bagi karyawan untuk berpindah dari satu peran ke peran lainnya. Dengan kata lain, karyawan tersebut dapat menjalankan kehidupan pekerjaan dan keluarga secara terpadu, dan konflik antar peran yang mungkin muncul pun dapat diminimalisir. Meskipun demikian, banyak temuan lain yang menunjukkan bahwa antara ketersediaan pengaturan kerja fleksibel dengan konflik kerja-ke-keluarga tidak memiliki keterkaitan (e.g. Mennino et.al., 2005; Thompson dan Prottas 2005; Batt dan Vacour, 2003). Pada beberapa literatur, pengaturan kerja fleksibel yang disediakan oleh perusahaan bagi karyawannya terbukti dapat menurunkan tingkat intensi keluar karyawan. Hal ini sesuai dengan Teori Pertukaran Sosial, yaitu hubungan yang baik dapat tercipta ketika terjadi transaksi yang adil dan saling menguntungkan 4

antara pihak-pihak yang melakukan transaksi (Cropanzano dan Mitchell, 2005). Perusahaan dan karyawan sebagai pihak-pihak yang bertransaksi akan memiliki hubungan yang kuat ketika perusahaan dapat mengelola karyawan dengan baik, yaitu dengan memenuhi berbagai hak dan kebutuhan karyawan. Sebagai imbalannya, karyawan harus selalu ada untuk perusahaan, menjalankan kewajiban kerja, mencurahkan segenap kemampuannya untuk bekerja pada perusahaan. Saat ini, banyak karyawan yang mengalami kesulitan dalam membagi waktu antara kehidupan pekerjaan dan keluarga. Pekerjaan dan keluarga merupakan dua domain penting yang ada dalam kehidupan orang dewasa (Cloninger et.al., 2015; Rathi dan Barath, 2013; Zhang et.al., 2012). Oleh karena itu, jika perusahaan tidak mau karyawannya keluar dan mencari pekerjaan yang dapat mambantu karyawan menjalankan kedua domain secara terpadu, maka sudah seharusnya perusahaan membantu karyawan untuk mencari solusi atas permasalahan yang ada. Dalam hal ini, perusahaan dapat menawarkan kebijakan yang ramah keluarga seperti pengaturan kerja fleksibel, yang mana pengaturan ini dapat memudahkan karyawan dalam mengintegrasikan kehidupan pekerjaan dan keluarganya. Perlakuan baik yang diterima oleh karyawan melalui kebijakan pengaturan kerja fleksibel pada akhirnya akan dibayar dengan keputusan karyawan untuk tetap bekerja di perusahaan. Penjelasan tersebut dibuktikan melalui beberapa temuan yang menunjukkan bahwa ketersediaan pengaturan kerja fleksibel dapat menurunkan intensi keluar karyawan (e.g. Batt dan Valcour 2003; Allen 2001; Thompson et.al., 1999). Akan tetapi, terdapat temuan lain yang tidak memperlihatkan adanya keterkaitan antara pengaturan kerja fleksibel dengan 5

intensi keluar karyawan (e.g. de Sivatte dan Guadamillas, 2013). Berdasarkan temuan yang berbeda-beda tersebut, pengaruh dari kebijakan pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluaga dan intensi keluar penting untuk dipahami lebih lanjut, mengingat kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan muncul ketika konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar terjadi. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik kerja-keluarga pada tingkatan yang tinggi memiliki dampak negatif yang dapat merugikan karyawan maupun perusahaan (Rathi dan Barath, 2013). Beberapa peneliti menemukan bahwa konflik kerja-keluarga memiliki hubungan dengan penurunan kepuasan kerja, komitmen organisasional, kepuasan keluarga, kepuasan perkawinan, dan kepuasan hidup, serta mendatangkan ketidakhadiran kerja dan turnover (Fiksenbaum, 2014; Rathi dan Barath, 2013; Zhang et.al., 2012). Lebih spesifik, Zhang et.al. (2012) menemukan hubungan yang positif antara konflik kerja-kekeluarga dan kelelahan emosional. Hubungan tersebut muncul sebagai dampak dari adanya tuntutan pekerjaan yang berlebihan (Zhang et.al., 2012). Sejalan dengan temuan tersebut, hasil penelitian Montgomery (dalam Fiksenbaum, 2014) menunjukkan bahwa konflik kerja-ke-keluarga berhubungan negatif dengan semangat kerja, dan memediasi pengaruh tuntutan pekerjaan terhadap kelelahan dan sinisme. Terkait dengan intensi keluar, ditakutkan jika intensi keluar sudah muncul pada diri karyawan, maka actual turnover akan terjadi. Temuan yang ada menunjukkan bahwa turnover mengharuskan perusahaan mengeluarkan biaya yang mahal untuk kepegawaian atau pembayaran lembur tambahan untuk 6

mengurangi kekurangan karyawan, dan untuk penggantian karyawan yang berpengalaman dengan karyawan baru yang belum berpengalaman (Slatten et.al., 2011). Temuan lain menyebutkan bahwa intensi keluar dapat mengganggu kerja karyawan (Addae et.al. dalam Rahman dan Nas, 2013) dan dapat memberikan dampak negatif pada kinerja perusahaan (Low et.al. dalam Rahman dan Nas, 2013). Supportive work-family culture dapat menjelaskan mekanisme hubungan sebab akibat yang terjadi antara pengaturan kerja fleksibel dengan konflik kerjake-keluarga dan intensi keluar. Seperti yang disebutkan oleh Allen (2001), pada praktiknya, meskipun implementasi pengaturan kerja fleksibel dapat membantu karyawan dalam mengintegrasikan kehidupan pekerjaan dan keluarga, namun ketersediaan pengaturan ini sendiri seringkali tidak diikuti dengan perubahan pada nilai-nilai dan norma organisasi yang sesuai, sehingga akan menghalangi kesuksesan karyawan dalam menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga. Hal ini disebabkan karena perusahaan menerapkan pengaturan kerja fleksibel semata-mata untuk memperoleh manfaat dari pengaturan ini. Seharusnya, perusahaan menerapkan pengaturan kerja fleksibel karena perusahaan peduli dan perhatian terhadap kebutuhan karyawan. Adapun nilai-nilai dan norma organisasi yang sesuai dengan pengaturan kerja fleksibel sebagai pengaturan yang ramah keluarga adalah nilai-nilai dan norma yang dapat memberikan dukungan dan kepedulian terhadap kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawan. Nilai-nilai dan norma organisasi yang dimaksud adalah budaya kerja-keluarga. Budaya kerja-keluarga merupakan 7

asumsi, keyakinan, dan nilai-nilai bersama tentang sejauh mana organisasi mendukung dan menghargai integrasi dari kehidupan pribadi dan pekerjaan karyawan (Thompson et.al., 1999). Budaya kerja-keluarga yang dalam berbagai aspek dapat memberikan dukungannya kepada usaha karyawan dalam mengintegrasikan kehidupan pekerjaan dan keluarga akan dirasakan karyawan sebagai supportive work-family culture. Berdasarkan konsep perubahan dari Anderson dan Anderson (2010), diketahui bahwa satu pemicu perubahan dapat mendorong perubahan lainnya. Perubahan pada bagian organizational imperatives (struktur, sistem, proses, teknologi, sumber daya, keterampilan dasar atau bahkan kepegawaian) akan mendorong perubahan pada bagian cultural imperatives (Anderson dan Anderson, 2010). Dalam hal ini, jika perusahaan betul-betul menyediakan pengaturan kerja fleksibel karena peduli terhadap kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawan maka, sudah seharusnya budaya organisasi yang ada disesuaikan dengan kebijakan atau program yag ada, sehingga karyawan dapat merasakan supportive work-family culture. Dilihat dari hasil statistik, persepsi karyawan atas supportive work-family culture memang dapat menurunkan konflik kerja-ke-keluarga (e.g. de Sivatte dan Guadamillas, 2013) dan intensi keluar karyawan (e.g. Thompson et.al., 1999). Berdasarkan temuan ini, terlihat adanya kemungkinan bahwa supportive workfamily culture dapat memediasi pengaruh ketersediaan pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar karyawan. Namun, pengujian mediasi supportive work-family culture pada hubungan tersebut masih jarang dilakukan, apalagi pada konteks negara berkembang seperti Indonesia. 8

Dengan melihat penelitian-penelitian terdahulu di atas, maka penelitian ini bermaksud mengangkat isu pengaturan kerja fleksibel dengan cara menganalisis pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar yang dimediasi oleh supportive work-family culture. 1.2 Rumusan Masalah Topik mengenai pengaturan kerja fleksibel telah menarik perhatian akademisi maupun praktisi. Banyak perusahaan yang telah menawarkan dan menerapkan kebijakan ini kepada karyawannya (Shockley dan Allen, 2012; Kattenbach, 2010; Kelliher dan Anderson, 2008; Mann et. al., 2000). Banyak juga akademisi yang meneliti kebijakan dan penggunaan dari pengaturan kerja fleksibel hubungannya dengan berbagai macam konsekuensi yang akan diterima baik oleh perusahaan maupun karyawan (e.g. Fiksenbaum, 2014; Grant et.al., 2013; de Sivatte dan Guadamillas, 2013; Shockley dan Allen, 2012; Lin et.al., 2011; Giannikis dan Mihail, 2011; Kattenbach, 2010; Kelliher dan Anderson, 2008; Origo dan Pagani, 2008; Sanchez et.al., 2007; Thompson et.al., 1999). Di antara kajian yang ada, diketahui bahwa pengaruh ketersediaan pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar karyawan masih menghasilkan temuan yang berbeda-beda, yaitu ada yang menemukan pengaruh negatif di antara variabel-variabel tersebut ada pula yang tidak menemukan hubungan sama sekali. Hal tersebut dapat disebabkan karena perusahaan yang menerapkan pengaturan kerja fleksibel lebih tertarik dengan manfaat yang akan diterima perusahaan dari pengaturan ini, dan bukan 9

menerapkan pengaturan kerja fleksibel karena bentuk kepeduliannya kepada karyawan dan keluarga karyawan. Bagi perusahaan yang betul-betul peduli dengan karyawan dan keluarga karyawan, maka penerapan pengaturan kerja fleksibel akan mendorong perusahaan untuk merubah budaya yang ada menjadi supportive work-family culture (Allen, 2001). Artinya, jika budaya kerja-keluarga yang dirasakan oleh karyawan dapat mendukung karyawan dalam mengintegrasikan kehidupan pekerjaan dan keluarga (supportive work-family culture), maka secara tidak langsung ketersediaan pengaturan kerja fleksibel dapat menurunkan konflik kerjake-keluarga dan intensi keluar karyawan. Hal ini selaras dengan konsep perubahan dari Anderson dan Anderson (2010), yaitu perubahan pada bagian organizational imperatives (struktur, sistem, proses, teknologi, sumber daya, keterampilan dasar atau bahkan kepegawaian) akan mendorong perubahan pada bagian cultural imperatives (Anderson dan Anderson, 2010). Akan tetapi, secara empiris, kepastian dari hubungan sebab akibat tersebut masih jarang ditemukan, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka menganalisis hubungan tersebut, maka dilakukan kajian empiris melalui penelitian ini. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan paparan pada bagian latar belakang dan rumusan masalah, maka dapat disusun beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. Apakah pengaturan kerja fleksibel berpengaruh negatif terhadap 10

konflik kerja-ke-keluarga? b. Apakah pengaturan kerja fleksibel berpengaruh negatif terhadap intensi keluar karyawan? c. Apakah supportive work-family culture memediasi pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga? d. Apakah supportive work-family culture memediasi pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap intensi keluar karyawan? 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menganalisis pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga; b. Menganalisis pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap intensi keluar karyawan; c. Menganalisis peran mediasi supportive work-family culture pada pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-kekeluarga; d. Menganalisis peran mediasi supportive work-family culture pada pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap intensi keluar karyawan; 1.5 Kontribusi Penelitian Kontribusi yang diharapkan dapat diberikan penelitian ini terbagi ke dalam dua aspek, yaitu empiris dan praktis. 11

1.5.1 Kontribusi Empiris Penelitian ini diharapkan mampu memperkaya kajian di bidang pengaturan kerja fleksibel, khususnya memberikan tambahan bukti empiris terkait pengaruh pengaturan kerja fleksibel terhadap konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar, dengan menyertakan supportive work-family culture sebagai variabel pemediasi. Penggunaan sampel dari negara berkembang juga dapat memperkaya bukti empiris, karena selama ini penelitian pada konteks pengaturan kerja fleksibel lebih sering dilakukan di negara maju. 1.5.2 Kontribusi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang baik bagi perusahaan yang menerapkan kebijakan pengaturan kerja fleksibel, khususnya dalam meminimalisir konflik kerja-ke-keluarga dan intensi keluar karyawan, dengan mengikutsertakan penerapan supportive work-family culture. 1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini terdiri dari lima bab yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. 12

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Bab ini terdiri dari penjelasan teori dan konsep yang digunakan dalam penelitian ini, pengembangan hipotesis, pernyataan hipotesis dan model penelitian. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini terdiri dari jenis penelitian, tahapan penelitian, populasi dan sampel, pengumpulan data, definisi operasional, pengukuran variabel, uji instrumen serta teknik analisis data. BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Bab ini terdiri dari hasil penyebaran kuesioner, karakteristik responden, hasil uji validitas dan reliabilitas, statistik deskriptif, hasil uji asumsi klasik, hasil pengujian hipotesis, dan pembahasan. BAB V PENUTUP Bab ini terdiri dari kesimpulan hasil penelitian, implikasi penelitian, keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian mendatang. 13