BAB I PENDAHULUAN. Bruto (PDRB)-nya, sektor industri pengolahan secara konsisten merupakan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI PENUTUP. perkembangan IKM dilihat dari aspek pengembangan SDM dan aspek. pemasaran. Adapun sebaliknya aspek kemitraan tidak berdampak.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

6. URUSAN PERINDUSTRIAN

I. PENDAHULUAN. Industri nasional memiliki visi pembangunan untuk membawa Indonesia

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

BAB I PENDUHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perkembangan Jumlah Usaha Kecil, Menengah (UKM) dan Usaha Besar (UB) di Jawa Barat Tahun

terealisasi sebesar Rp atau 97,36%. Adapun program dan alokasi anggaran dapat dilihat pada tabel berikut :

13 NAMA UNIT ORGANISASI : DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN

BAB I PENDAHULUAN. rentan terhadap pasar bebas yang mulai dibuka, serta kurang mendapat dukungan

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

A. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki potensi ekonomi tinggi, potensi yang mulai diperhatikan dunia internasional.

PENETAPAN KINERJA DINAS KOPERASI, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN TAHUN 2015

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki peranan yang penting bagi pertumbuhan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan potensi, aspirasi

Mendukung terciptanya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja. Meningkatnya jumlah minat investor untuk melakukan investasi di Indonesia

TUPOKSI DINAS PERINDUSTRIAN, KOPERASI, USAHA KECIL DAN MENENGAH KOTA MATARAM

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

7. URUSAN PERDAGANGAN

PEGUKURAN KINERJA KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transformasi dari perekonomian yang berbasis industri. Sektor industri

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan pendapatan bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Kabupaten Lampung Tengah memiliki luas wilayah sebesar 4.789,82 Km 2 yang

I. PENDAHULUAN. Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi tahun 1998, menyatakan bahwa. bersama akan maksimal, dengan demikian kemakmuran sebuah bangsa dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN FASILITASI SERTIFIKASI PRODUK DAN PROSES PRODUKSI TA. 2016

DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO

Analisis Isu-Isu Strategis

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam. secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pencapaian tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Renja Perubahan Tahun 2016 Dinas Koperasi dan UMKM Kab. Banyuwangi

RENCANA KERJA (RENJA)

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. industri lagi, tetapi mereka harus lebih mengandalkan SDM yang kreatif.

Laporan Kinerja Tahun 2016 Dinas Koperasi, UKM & Perindag Kabupaten Banyuasin BAB I PENDAHULUAN

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

IV.B.10. Urusan Wajib Koperasi dan UKM

BAB I PENDAHULUAN. kerja yang baru, jumlah unit usaha bordir yang tercatat selama tahun 2015 adalah

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG 2010

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan BAB III Urusan Desentralisasi 10. URUSAN KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

IV.B.10. Urusan Wajib Koperasi dan UKM

BAB I PENDAHULUAN. alam dan budayanya, serta memiliki potensi yang cukup besar di sektor pertanian. Sebagian

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

PERAN ASPARTAN (ASOSIASI PASAR TANI) DALAM MENDORONG BERKEMBANGNYA UMKM DI KABUPATEN SLEMAN

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 1 Tahun 2009

10. URUSAN KOPERASI DAN UKM

PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN Jalan Erlangga Gianyar, Telp (0361) G i a n y a r

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

Ketua Komisi VI DPR RI. Anggota Komisi VI DPR RI

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

WALIKOTA MATARAM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN WALIKOTA MATARAM NOMOR : 46 TAHUN 2016 TENTANG

Perencanaan dan Perjanjian Kerja

Dampak Positif UMKM Perempuan Kurangi Angka Kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. kecil merupakan bagian dari dunia usaha nasional yang. mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang sangat strategis dalam

7. URUSAN PERDAGANGAN

5.1. Analisa Produk Unggulan Daerah (PUD) Analisis Location Quotient (LQ) Sub Sektor Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Perindustrian saat ini sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat

LAMPIRAN I.2 : KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH DINAS PERINDUSTRIAN, PERDAGANGAN, KOPERASI DAN U K M. JUMLAH ( Rp. ) ANGGARAN SETELAH PERUBAHAN

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

4.2.7 URUSAN PILIHAN PERINDUSTRIAN KONDISI UMUM

IV.C.6. Urusan Pilihan Perindustrian

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 29 TAHUN 2008 TENTANG PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

8.1. Keuangan Daerah APBD

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN. Sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) memiliki kontribusi yang cukup. penting didalam pembangunan nasional. Kemampuannya untuk tetap bertahan

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

terhadap PDRB Kota Bandung Kota Bandung APBD Pendukung Usaha bagi Usaha Mikro UMKM binaan Kecil Menengah

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur

BUPATI KUDUS. PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 20 Tahun 2010 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumber daya alam yang

KABUPATEN GRESIK RINCIAN APBD MENURUT URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH, ORGANISASI PENDAPATAN,BELANJA DAN PEMBIAYAAN TAHUN ANGGARAN 2017

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS CEPAT TUMBUH DI KABUPATEN REJANG LEBONG BUPATI REJANG LEBONG,

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

I. PENDAHULUAN. semakin banyaknya jumlah angkatan kerja yang siap kerja tidak mampu

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI PASURUAN NOMOR 52 TAHUN 2017 TENTANG PUSAT STRATEGI DAN LAYANAN EKONOMI MASLAHAT

ARAHAN PENGEMBANGAN PERWILAYAHAN KEGIATAN AGRIBISNIS DI KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh : NURUL KAMILIA L2D

BAB I PENDAHULUAN. mampu bertahan dan terus berkembang di tengah krisis, karena pada umumnya

I. PENDAHULUAN. orang pada tahun (Daryanto 2010). Daryanto (2009) mengatakan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

a. PROGRAM DAN KEGIATAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Potensi Kota Bandar Lampung Dilihat Dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)-nya, sektor industri pengolahan secara konsisten merupakan yang cukup berpengaruh bahkan di tahun-tahun terakhir ini merupakan yang paling signifikan perannya sebesar 21,09% atau 1/5 dari total PDRB diikuti oleh sektor pengangkutan dan komunikasi 20,93%, sektor keuangan, dan jasa perusahaan di angka 17,93%, sektor jasa 13,08%, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 13,03% dan diikuti sektor lain yang berada pada kisaran di bawah 10%. Meskipun masih fluktuatif sejak tahun 2008 hingga beberapa tahun setelahnya, akan tetapi sektor industri mulai tumbuh konsisten sejak tahun 2012. Fluktuasi tersebut diklaim oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung terjadi karena dampak dari krisis ekonomi di tahun 2008 serta tidak dipungkiri juga jika butuh waktu bagi sektor ini untuk menyesuaikan terhadap imbas kenaikan harga BBM pada 2005 (BPS Kota Bandar Lampung, 2012:21). Namun, hal tersebut tidak menafikan pengaruh sektor ini sebagai komponen 1

terbesar dalam membentuk keadaan ekonomi masyarakat Bandar Lampung yang terus bertumbuh baik. Terbukti dilihat dari besarnya pertumbuhan ratarata sektor ini setiap tahunnya sebesar 25,86% (BPS Kota Bandar Lampung, 2012:21). Gambar I.1 PDRB Kota Bandar Lampung Sumber : BPS Kota Bandar Lampung,2012 PDRB sebagaimana di atas disajikan menggunakan pendekatan produksi. Menurut Sumodiningrat (Tangkilisan, 2005:90) PDRB bisa dihitung berdasarkan sudut produksi (production side), pendapatan (income side) maupun sudut pengeluaran (expenditure side). Dari ketiga pendekatan tersebut memang yang paling banyak digunakan oleh kabupaten atau kota adalah pendekatan produksi. Pendekatan produksi mengacu pada total nilai barang dan 2

jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit produksi di suatu daerah. Oleh sebab itu, PDRB dari sudut produksi merupakan penghitungan final yang menggambarkan besaran peranan masing-masing komponen terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, dari struktur PDRB bisa dilihat sektor-sektor produksi mana yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan begitu struktur PDRB Kota Bandar Lampung menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan merupakan leading sector perekonomian. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi kota ini ada pada pengembangan industri pengolahannya. 1.1.1. Industri Pengolahan di Bandar Lampung Secara umum sektor industri dibagi menjadi dua yaitu industri migas (minyak dan gas) serta industri non-migas. Sedangkan industri pengolahan sendiri adalah sebuah unit usaha yang bergerak di sektor industri non-migas yang mengubah bahan baku produksinya. Aktifitas mengubah bahan baku ini meliputi pengubahan bahan mentah menjadi setengah jadi, bahan mentah menjadi barang jadi ataupun bahan setengah jadi menjadi barang jadi. Kata jadi dalam barang setengah jadi maupun barang jadi disini mengacu pada penambahan nilai suatu barang ataupun perubahan bentuk barang menjadi komoditas yang nilai jualnya bertambah. 3

Untuk industri di Kota Bandar Lampung yang berada langsung dibawah tanggung jawab Pemkot Bandar Lampung keseluruhannya adalah industri nonmigas. Adapun industri non-migas tersebut semuanya diklasifikasikan sebagai sektor industri pengolahan. Hal ini menurut Bapak Husnal selaku Kepala Bidang Industri Disperindgakop (Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM) Kota Bandar Lampung disebabkan karena di kota ini tidak ada industri secara langsung menjual bahan mentah yang berada dibawah kendali Pemkot Bandar Lampung (wawancara 24 Juli 2014). Sehingga, pembahasan mengenai industri di Kota Bandar Lampung pastilah yang dimaksud adalah industri pengolahan. Berdasarkan jenis industri, pengolahan di Bandar Lampung tergolong ke dalam kelompok Industri Kecil dan Menengah (IKM). Berbeda dengan jenis usaha yang dikelompokkan berdasarkan jumlah omzet, sektor industri dikelompokkan berdasarkan daya tampung tenaga kerjanya. Adapun yang masuk dalam kelompok IKM adalah industri berskala rumah tangga, kecil dan menengah. Dari tabel di bawah, klasifikasi didasarkan pada kuantitas serapan tenaga kerjanya. Industri menengah adalah perusahaan industri yang menggunakan tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang. Industri kecil lima orang sampai dengan 19 orang. Industri kerajinan rumah tangga adalah industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari 5 orang. 4

Tabel I.1 Jenis Usaha Industri di Kota Bandar Lampung Sumber : LAKIP Disperindagkop Kota Bandar Lampung, 2013 Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa sektor industri pengolahan sebagai penyumbang terbesar terhadap PDRB. Adapun memang secara konsisten industri ini terus tumbuh setiap tahun mulai dari jumlah tenaga kerja yang terserap hingga jumlah usaha industri itu sendiri. Tabel di atas menunjukkan bahwa mulai dari 2009 secara konsisten jumlah usaha yang bergerak di sektor industri pengolahan terus bertumbuh rata-rata 3,74% per tahun. Selain dilihat dari konsistensi pertumbuhan jumlahnya, potensi IKM juga bisa dilihat dari tingginya angka penyerapan tenaga kerja. Jumlah tenaga 5

kerja yang terserap juga secara konsisten terus tumbuh setiap tahunnya. Seperti yang dipaparkan pada pada tabel di bawah ini. Tabel I.2 Jumlah Tenaga Kerja Sektor IKM di Kota Bandar Lampung Tenaga 2011 2012 Pertumbuhan (%) Kerja Jumlah 13 116 13 842 5,54 Sumber : BPS Kota Bandar Lampung (2013:148) Tabel di atas menunjukkan bahwa sektor IKM menyerap cukup banyak tenaga kerja dengan pertumbuhan penyerapan berkisar di atas 5%. Adapun jumlah pada tahun 2012 tenaga kerja dari sektor industri sebanyak 13.842 orang, jumlah ini bahkan jauh melampaui jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh perusahaan besar non-industri di kota Bandar Lampung yang totalnya hanya 3203 orang (BPS Kota Bandar Lampung, 2013:52). 1.1.2. Alokasi Anggaran Industri Minim Perkembangan jumlah IKM serta penyerapan tenaga kerja yang sangat besar ini menunjukkan bahwa sektor IKM sangat potensial sebagai sektor utama menuju kemajuan daerah. Oleh karena leading sector perekonomiannya 6

adalah IKM, maka sejatinya intervensi pemerintah harus dioptimalkan dalam memicu perkembangan sektor tersebut. Akan tetapi, dilihat dari kebijakan Pemkot Bandar Lampung, nampak ada kesenjangan antara kebijakan pemerintah dengan optimalisasi potensi kota tersebut. Asumsi dasar yang muncul adalah bahwa program operasional pemerintah belum ditujukan secara optimal untuk memicu maksimalisasi perkembangan IKM. Gejala ini dapat dilihat secara mudah dari alokasi belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandar Lampung. Total alokasi belanja Pemkot untuk urusan pilihan industri pada 2013 hanya berkisar Rp. 299.000.000,- atau tidak sampai 0,015% dari total belanja keseluruhan. Sektor ini sangat jauh terlampau oleh belanja di bidang kesehatan, pendidikan bahkan perumahan. Bahkan di tingkat Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang menangani sektor industri pengolahan secara langsung yaitu Disperindagkop Kota Bandar Lampung sekalipun, anggaran untuk instansi ini secara keseluruhan juga belum bisa dikatakan optimal. Padahal, angka tersebut sudah dihitung dengan asumsi bahwa program-program Disperindagkop tersebut berpengaruh terhadap perkembangan industri pengolahan meliputi anggaran belanja untuk urusan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) sebesar Rp. 4,5 Milyar, untuk urusan perdagangan sebesar Rp. 800.000.000,- sehingga total keseluruhan anggaran yang 7

dikucurkan kepada Disperindagkop adalah Rp 5,7 Milyar. Nilai tersebut hanya sebesar 0,30% dari keseluruhan belanja daerah. Mengindikasikan bahwa memang Pemkot kurang serius menggarap leading sector pertumbuhan ekonomi daerahnya. Gambar I.2 Total Anggaran Untuk Pengembangan IKM Sumber : Perwali Penjabaran APBD Perubahan Kota Bandar Lampung, 2013 Angka pada gambar di atas, tidak semua diperuntukkan pada pengembangan IKM. Akan tetapi memang ada irisan antar keduanya sehingga ada beberapa pos anggaran yang berkaitan dengan industri. Satu hal yang pasti bahwa belanja urusan industri memang 100% untuk pengembangan IKM. Dalam struktur Disperindagkop, kedua urusan di atas dipisahkan menjadi urusan per-bidang sehingga ada dua bidang yang menaungi urusan indsutri yaitu Bidang UKM, serta Bidang Perindustrian. Sebagaimana dijelaskan pada sub-bahasan sebelumnya bahwa industri pengolahan di kota ini dibagi ke dalam jenis IKM, klasifikasi tersebut secara kelembagaan masuk ke dalam jenis 8

UMKM. Singkatnya, industri pengolahan di Bandar Lampung merupakan jenis IKM yang merupakan bagian dari UMKM. Oleh karena alokasi anggaran untuk urusan UMKM juga termasuk di dalamnya mengurus masalah industri namun tidak semua UMKM bergerak di sektor industri atau gampangnya tidak semua UMKM adalah IKM. Oleh sebab itu, membahas anggaran untuk pengembangan IKM tidak dapat dipisahkan antar kedua urusan sebagaimana tabel di atas. Kembali pada masalah anggaran, nilai Rp.4,8 Milyar bisa dikatakan kecil dengan pertimbangan beberapa hal salah satunya dengan membandingkan porsi belanja untuk sektor lain. Untuk sektor pertanian misalnya saja yang kontribusinya terhadap PDRB hanya 5,55% atau hanya ¼ dari total PDRB industri pengolahan dan 1/20 dari total PDRB, justru alokasi belanjanya Rp.7,4 Milyar. Padahal angka tersebut baru dihitung dari satu komponen yaitu belanja urusan pertanian dan bukan merupakan jumlah dari seluruh anggaran yang ditangani oleh Dinas Pertanian. Angka Rp. 4,8 Milyar yang dimiliki Disperindagkop tersebut belum lagi dipotong dengan belanja rutin pegawai sehingga secara bersih untuk melaksanakan program, total belanja langsung yang dikelola oleh Disperindagkop Kota Bandar Lampung pada 2013 adalah sebesar Rp. 2.628.500.600 atau hanya setengah dari total dana keseluruhan. Meskipun sektor industri masuk ke dalam urusan pilihan Pemerintah Daerah sesuai dengan perundang-undangan, akan tetapi urusan pilihan 9

seharusnya menjadi poin penting dalam agenda pembangunan karena mengacu pada potensi yang dimiliki oleh daerah. Namun justru urusan pilihan memang dinomorduakan untuk beberapa kasus, di Bandar Lampung khususnya. Bayangkan saja, industri pengolahan yang menyumbang 1/5 total PDRB tidak sampai 10% pendanaannya, bandingkan dengan belanja untuk urusan wajib seperti pendidikan yang menyedot 33% dari total belanja. Berangkat dari masalah minimnya anggaran untuk sektor industri, hal tersebut menunjukkan bahwa arah kebijakan Pemkot Bandar Lampung tidak mengacu pada optimalisasi potensi kota yaitu sektor industri, maka peneliti berupaya mempermasalahkan hal tersebut ke ranah yang lebih sistematis guna memberikan sumbangan pemikiran terstruktur terkait kebijakan pengembangan industri di Bandar Lampung. Memang, jika dinilai secara sederhana tidak ada masalah dengan seberapa besar intervensi pemerintah jikalau memang sektor IKM tetaplah berkembang secara konsisten. Tetapi logika tersebut akan terbalikkan jika pemikiran dilandaskan kepada fungsi kehadiran pemerintah guna mensejahterakan masyarakat. PDRB menunjukkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan sektor industri pengolahan mengharuskan intervensi tersebut dilaksanakan. Yang perlu dipermasalahkan adalah dimana peran pemerintah guna mengoptimalisasikan leading sector perekonomian tersebut. Kata optimal mengacu terhadap perkembangan mencapai titik maksimal/terbaik disamping 10

perkembangan yang sudah ada. Oleh karena dituntut adanya intervensi pemerintah, maka penulis berupaya mengangkat masalah ini pada alur pemikiran sistematis melalui jalur meneliti guna memberikan penilaian yang akan digunakan sebagai acuan kebijakan kedepannya. Penilaian dimaksudkan kepada bagaimana dampak kebijakan yang dilakukan oleh Pemkot Bandar Lampung sejauh ini dalam hal mengembangkan potensi sektor industri pengolahan. Hal tersebut perlu dipertanyakan guna menilai sebenarnya apakah program yang sudah dilakukan beberapa tahun belakangan ini sudah berdampak sesuai yang diharapkan. I.2. Fokus dan Batasan Penelitian Unit analisis dalam penelitian ini adalah fokus terhadap apa yang dilakukan oleh Disperindagkop Kota Bandar Lampung dalam rangka pengembangan industri. Hal ini dikarenakan memang fokus pengembangan IKM oleh Pemkot dititikberatkan pada SKPD tersebut yang salah satu fungsinya adalah untuk mengembangkan IKM. Selain itu, dalam RPJMD Kota Bandar Lampung tahun 2010-2015 juga secara tegas tertulis bahwa program pengembangan IKM menjadi salah satu tugas khusus untuk SKPD ini. Adapun memang dalam lingkup yang lebih luas yaitu kebijakan pengembangan IKM, program yang berkaitan dengan sektor industri juga dilaksanakan oleh SKPD lain. Misalnya saja, program pembangunan infrastruktur kawasan pesisir 11

Bandar Lampung, untuk menunjang kegiatan perdagangan, wisata bahari dan industri perikanan oleh Dinas Perikanan atau program peningkatan dan pembinaan hubungan industrial oleh Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Akan tetapi, program yang dilakukan oleh kedua dinas tersebut sifatnya tidak secara langsung pada pelaku IKM atau tidak secara langsung ditujukan untuk pengembangan industri. Misalnya saja yang dilakukan oleh Disnakertrans sebenarnya tujuan intinya adalah untuk pemberdayaan tenaga kerja sehingga berkembangan industri sebagai dampak lanjutan saja. Oleh sebab itu, tepat kiranya jika unit analisis dalam penelitian ini difokuskan pada Disperindagkop saja. Penilaian dampak dilakukan hanya kepada program industri yang menjadi prioritas oleh Pemkot Bandar Lampung. Hal ini menjadi pertimbangan penting karena beberapa program pengembangan indsutri memang difokuskan pada sektor produk unggulan saja. Misalnya program pelatihan dan pembinaan IKM yang keseluruhan pesertanya adalah pelaku industri pada produk unggulan saja. Karena gejala yang terjadi demikian, maka kiranya memang sesuai dengan proyeksi pembangunan Pemkot dalam Renstra 2010 s/d 2015, pengembangan industri difokuskan pada produk unggulan kota. Penetapan kebijakan pengembangan produk unggulan ini menurut Ambar berdasarkan hasil wawancara pada 13 Agustus 2014, diamini secara 12

konstitusional melalui Surat Keputusan (SK) Walikota Bandar Lampung NO. 421/III.24/HK/2012 Tanggal 03 Mei 2012. Adapun simpulan dari SK Walikota tersebut adalah ditetapkan 8 produk unggulan Kota Bandar Lampung yang dibagi ke dalam dua kelompok yaitu pangan dan sandang. Tabel I.3 Produk Unggulan IKM di Kota Bandar Lampung Sandang Pangan 1. Kaos Lampung 1. Keripik Pisang 2. Sulam Usus 2. Kopi 3. Batik Siger 3. Ikan Olahan 4. Batik Gabovira 4. Emping Melinjo Sumber : SK Walikota Bandar Lampung NO. 421/III.24/HK/2012 Produk unggulan tersebut ditetapkan dengan beberapa pertimbangan diantaranya adalah berdasarkan kekhasan produk dengan budaya Lampung, ketersediaan potensi meliputi potensi sumber daya khususnya bahan baku. Seperti keripik pisang karena jumlah kebun pisang yang berlimpah di kota ini. Sulam usus karena merupakan baju adat khas daerah Lampung serta alasan serupa untuk produk lainnya. Selain terfokus pada pengembangan produk unggulan, penelitian ini juga berusaha memetakan rangkaian program yang dilaksanakan oleh Disperindagkop Kota Bandar Lampung dengan hanya memfokuskan pada 13

program yang berkaitan dengan pengembangan industri. Beberapa pertimbangan yang digunakan untuk menentukan fokus program serta kegiatan yang akan dievaluasi diantaranya adalah pertama, kebijakan pengembangan industri diampu oleh Disperindagkop Kota Bandar Lampung, dilihat dari struktur organisasinya, SKPD tersebut terbagi dalam empat bidang yang menangani urusan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Keempat bidang tersebut adalah Bidang Koperasi, Bidang UKM, Bidang Industri serta Bidang Perdagangan. Pemilahan pertama berdasarkan hubungan antara tugas pokok dan fungsi (tupoksi) masing-masing bidang dengan sektor industri. Bidang Koperasi memang berkaitan dengan sektor industri karena IKM termasuk ke dalam bagian/anggota dari satuan koperasi tertentu. Sehingga, program untuk pengembangan koperasi juga memiliki pengaruh terhadap IKM sebagai anggotanya. Misal, IKM A adalah bagian dari Koperasi B, maka intervensi program terhadap Koperasi B juga akan memiliki dampak pada IKM A sebagai anggotanya. Akan tetapi, berdasarkan sifat dan jenis kegiatannya, program untuk Koperasi B bukan merupakan intervensi langsung terhadap IKM A. Lebih bersifat manajerial yaitu bagaimana mengembangkan usaha dengan spirit kebersamaan dalam prinsip perkoperasian. Sedangkan peneliti berupaya menjelaskan dampak intervensi secara langsung oleh Disperindagkop terhadap pelaku IKM dimana pelaku IKM dihitung, dinilai serta diperlakukan sebagai 14

satu kesatuan obyek sasaran program dan bukan merupakan bagian dari sebuah kelompok usaha seperti Kelompok Usaha Bersama (KUB) atau Koperasi. Maksud peneliti adalah bahwa dalam program yang dipilih, IKM dinilai sebagai aktor utama dalam aktivitas pengembangan. Dengan begitu benar kiranya jika dalam program yang langsung mengintervensi IKM akan dinilai dampaknya terhadap perkembangan IKM. Oleh sebab itu, sudah tepat pula jika programprogram dari Bidang Koperasi atau untuk urusan Koperasi tidak dimasukkan sebagai fokus dalam penelitian ini. Gambar I.3 Struktur Organisasi Disperindagkop Kota Bandar Lampung Sumber: SK Walikota Bandar Lampung No 11, 2008 Program yang sifat intervensinya tidak langsung kepada IKM juga teridentifikasi pada program-program yang dilakukan oleh Bidang 15

Perdagangan. Hal ini dikarenakan program-program dari Bidang Perdagangan lebih ditujukan pada pelaku usaha dagang. Aktivitasnya dilakukan di pasar baik tradisional maupun swalayan. Pelaku IKM tidak masuk dalam kategori pelaku usaha dagang karena aktivitasnya bukan hanya menjual barang saja akan tetapi memproduksi barang dengan cara mengubah bahan baku. Memang ada kemungkinan IKM disebut sebagai pedagang karena mereka menjual barang hasil produksinya, akan tetapi hanya sebagian IKM saja yang melakukan aktivitas jual-beli di pasar. Selain itu, jika memang pelaku IKM usaha dagangnya dilakukan di pasar, maka yang menjadi fokus dari Bidang Perdagangan adalah urusan perdagangannya dan bukan urusan industri. Akhirnya, program-program Bidang Perdagangan juga tidak menjadi fokus peneliti karena lemah pengaruhnya terhadap sektor industri. Peneliti tidak berupaya mereduksi atau bahkan mengeliminasi pengaruh Bidang Koperasi dan Perdagangan terhadap sektor industri, akan tetapi berdasarkan penjelasan yang disampaikan sebelumnya, peneliti berasumsi bahwa dampak dari program-program kedua bidang akan sangat kecil terhadap pengembangan IKM. Sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil penelitian jika keduanya tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. Pertimbangan kedua yang digunakan peneliti adalah keterkaitan antara IKM dan UMKM. Bidang UKM yang secara tupoksi memang mengampu 16

urusan UMKM maka sebenarnya mempunyai hubungan erat dengan pengembangan IKM. Hal ini dikarenakan memang IKM merupakan bagian dari UMKM. Meskipun tidak semua UMKM adalah IKM, akan tetapi dari programprogram untuk UMKM, setiap usaha dihitung sebagai satu kesatuan obyek/sasaran. Sehingga, meskipun jumlah IKM yang terlibat dalam program Bidang UMKM sangat kecil jumlahnya, namun tetap saja mendapat intervensi secara langsung sehingga cukup relevan sebagai fokus penelitian untuk menilai dampak program terhadap IKM ter-intervensi. Dengan begitu, ada dua Bidang yang program-programnya akan menjadi fokus dalam penelitian. Kebijakan Pengembangan Industri di Bandar Lampung memang sudah direncanakan dalam Renstra Pembangunan Industri Tahun 2010-2015. Akan tetapi, tidak semua program dan kegiatan terlaksana. Kasus yang terjadi adalah beberapa program yang direncanakan tidak terlaksana ataupun program terlaksana tetapi tidak mencakup seluruh kegiatan dalam program tersebut. Gejala ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 17

Gambar I. 4 Rencana Strategis Pengembangan IKM di Kota Bandar Lampung Tahun 2010 s/d 2015 NO 1 2 PROGRAM Program Penciptaan Iklim Usaha Kecil Menengah yang Kondusif Program Pengembangan Kewirausahaan dan keunggulan Kompetitif Usaha Kecil Menengah KEGIATAN 1. Perencanaan, Koordinasi dan Pengembangan Usaha Kecil Menengah. 2. Fasilitasi Pengembangan Usaha Kecil Menengah 1. Memfasilitasi Peningkatan Kemitraan Usaha bagi Usaha Mikro Kecil 2. Sosialisasi dan fasilitasi HAKI kepada Usaha Mikro Kecil Menengah. 3. Fasilitasi Pengembangan Sarana Promosi Hasil Produksi 4. Penyelenggaraan Pelatihan Kewirausahaan 5. Pelatihan Manajemen Pengelolaan Koperasi / KUD. 6. Sosialisasi dan Pelatihan Pola pengelolaan Limbah Industri dalam menjaga kelestarian kawasan usaha Mikro Kecil dan Menengah 3 4 Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha bagi Usaha Mikro Kecil Menengah Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah 1. Bantuan Pinjaman Modal Bergulir bagi Koperasi. 2. Sosialisasi Dukungan Informasi Penyediaan Permodalan 3. Pemantauan pengelolaan Penggunaan Dana pemerintah bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah 4. Pengembangan Sarana Pemasaran Produk Usaha Mikro Kecil 5. Penyelenggaraan pembinaan industri rumah tangga, industri kecil dan industri menengah 6. Penyelenggaraan Promosi Produk Usaha Mikro Kecil Menengah 7. Monitoring, evaluasi dan pelaporan 8. Pengendalian Kredit Ekonomi Kerakyatan 1. Pembinaan dan Pelatihan Industri Kecil dan Menengah dalam 2. Fasilitasi kerjasama Kemitraan Industri Mikro Kecil dan menengah dengan swasta 5 Program Peningkatan Kemampuan 1. Pembinaan kemampuan teknologi industri. Teknologi Industri 6 Program Penataan Struktur Industri 1. Pembinaan keterkaitan produksi industri hulu hingga ke hilir 7 Program Pengembangan Sentra-sentra 1. Penyediaan sarna informasi industri potensial Industri Potensial Ket: Program/Kegiatan Terlaksana Program/Kegiatan Tidak Terlaksana Sumber : Renstra Disperindagkop Kota Bandar Lampung Tahun 2010-2015, 2010 18

Acuan peneliti dalam menentukan mana saja program/kegiatan yang masuk dalam kategori dilaksanakan dalam rangka kebijakan pengembangan industri adalah bahwa sesuai Renstra, program-program adalah bagian dari kebijakan berkelanjutan mulai tahun 2010 hingga 2015. Dalam jangka waktu tersebut, kapanpun dimulai program/kegiatan asalkan konsisten setiap tahunnya dilaksanakan maka masuk dalam kelompok program/kegiatan berkelanjutan. Oleh sebab itu jika program/kegiatan tidak dilaksanakan pada 2013 lalu maka tidak termasuk dalam kategori kebijakan berkelanjutan. Berdasarkan paparan tabel di atas, terlihat pada kolom berwarna kuning adalah program/kegiatan yang tidak terlaksana sedangkan berwarna hijau adalah program/kegiatan yang dapat dilaksanakan. Terlihat bahwa ada tiga program yang tidak terlaksana, adapun dari sisa empat program yang terlaksana tidak semua kegiatan diimplementasikan. Terhitung ada 13 program tak ter-implementasi sehingga total hanya ada empat program yang terdiri dari delapan kegiatan yang terlaksana. Dari total empat program dan delapan kegiatan yang dilaksanakan, peneliti mencoba memberikan batasan kembali terfokus pada program/kegiatan yang bersifat intervensi secara langsung kepada pelaku IKM. Program pengembangan sentra-sentra industri potensial sebenarnya tidak menjadi fokus kebijakan pembangunan industri, hal ini disebabkan karena sentra-sentra 19

industri memang telah berkembang sejak lama sekitar tahun 80-an dan berkembang secara turun temurun mulai dari anak-cucu (Ambar, Komunikasi pribadi, 13 Agustus 2014). Hal ini dapat dilihat juga dari bentuk kegiatan dalam program bersangkutan yang bentuknya adalah penyediaan informasi sentra industri dengan output berbentuk buku/laporan. Artinya memang tidak ada intervensi langsung terhadap pelaku IKM yang bentuknya mengembangkan atau memberdayakan. Oleh karena itu, program ini tidak menjadi fokus dalam penelitian ini. Selain kegiatan penyediaan informasi sentra industri, kegiatan yang tidak mencerminkan intervensi secara langsung kepada pelaku IKM juga teridentifikasi pada kegiatan pelatihan manajemen koperasi/kud, jelas karena kegiatan tersebut difokuskan pada koperasi dan bukan IKM itu sendiri. Hal yang sama terjadi pada program pengembangan kewirausahaan dalam hal ini kegiatan pelatihan kewirausahaan yang ternyata berdasarkan wawancara penulis terhadap Ibu Husna selaku staf Bidang UKM Disperindagkop Kota Bandar Lampung (wawancara pada 27 Oktober, 2014), kegiatan tersebut fokus pesertanya kepada pelaku UMKM non industri. Hal tersebut terjadi dikarenakan memang industri sudah ada bidang sendiri yaitu bidang IKM yang mengurusinya. Dengan begitu, sudah ada program pemberdayaan khusus untuk IKM. Sehingga program-program Bidang UKM lebih memilih untuk menutup 20

celah, yaitu ditujukan bagi UMKM yang belum sempat menjadi peserta program. Kalo Bidang UKM lebih ke pelatihan teoritis bentuknya dan itu ditujukan pada yang bukan industri karena untuk industri sudah ada yang menaunginya, ujar Ibu Husna. Oleh sebab itu, kegiatan pelatihan kewirausahaan mayoritas peserta yang berjumlah 100 orang adalah UMKM non IKM memang ada IKM-nya akan tetapi hanya dua orang saja itupun IKM nonproduk unggulan yaitu bordir. Untuk kegiatan pengendalian kredit ekonomi kerakyatan (EKOR) sebenarnya ditujukan pada upaya mengawal penyaluran dana ekor agar sampai kepada sasaran program dana EKOR. Peneliti menggunakan istilah program pada pemberian dana EKOR karena memang kegiatan tersebut sejatinya berbentuk program yang diampu oleh Disperindagkop. Program tersebut menggunakan dana APBD yang disimpan pada Bank Pasar dan disalurkan kreditnya kepada pelaku IKM melalui persetujuan dari Disperindagkop. Dana EKOR sendiri merupakan kredit yang ditujukan kepada UMKM yang telah memenuhi persyaratan kredit. Artinya bahwa memang penyaluran kredit dana EKOR merupakan program berkelanjutan dari Bidang UKM yang dilaksanakan sejak tahun 2006 (LAKIP Disperindagkop Kota Bandar Lampung, 2013). terminologi Program Dana EKOR memang tidak masuk ke dalam Renstra Pembangunan Industri 2010-2015 karena memang program tersebut bersifat 21

kontinyu bahkan jauh sebelum Renstra disusun. Akan tetapi yang perlu ditekankan disini adalah bahwa Dana EKOR bentuknya adalah program yang diampu oleh Bidang UKM Disperindagkop selaku implementor utama yang mendata calon kreditur, menilai kelengkapan persyaratan serta menentukan kelayakan kreditur, sedangkan Bank Pasar hanya sebagai fasilitator saja. Akan tetapi, program dana ekor-pun tidak dapat dikategorikan sebagai program bersifat intervensi langsung kepada pelaku IKM. Hal ini dikarenakan kecil kemungkinan bagi UMKM yang bergerak di sektor industri untuk mau menerima dana ekor. Memang peneliti menemukan kesulitan untuk membuktikan asumsi tersebut berdasarkan data sekunder. Dikarenakan tidak ada data tertulis dari Disperindagkop dan instansi lain di Bandar Lampung yang secara rinci menggambarkan jenis usaha dari para penerima dana ekor. Akan tetapi asumsi bahwa besar kemungkinan IKM produk unggulan tidak menerima dana ekor juga bisa dikarenakan jumlah uang yang diberikan dari program dana ekor sangatlah kecil bagi IKM yaitu hanya berkisar Rp.1.000.000,- hingga Rp. 2.000.000 sementara itu tambahan permodalan untuk produksi IKM apalagi modal awal sangatlah besar. Batasan kembali peneliti berikan untuk memudahkan penyaringan data yang lebih aktual. Hal tersebut diberikan pada kegiatan promosi produk IKM. Oleh karena dalam dokumen pelaksanaan, kegiatan tersebut bentuknya adalah 22

pameran/expo untuk dalam dan luar kota, sehingga agak sulit untuk mendapatkan data primer dalam menilai dampak kegiatan dengan wawancara langsung kepada pelaku industrinya karena berkaitan dengan ingatan informan. Peneliti mengharapkan data yang benar-benar faktual dan bukan berbentuk perkiraan saja. Sedangkan dalam aspek pemasaran khususnya kegiatan promosi, indikator yang jelas digunakan adalah mengenai perluasan pasar dan tingkat penjualan. Untuk menilai mengenai perluasan pasar dan penjualan dipengaruhi oleh satu kegiatan tertentu sangatlah sulit. Bisa saja penjualan dipengaruhi bukan karena ikutnya IKM dalam expo, maksudnya kedua indikator penyebabnya bisa dari banyak faktor. Oleh sebab itu, masalah penilaian informan akan dua indikator tersebut sangat dipengaruhi oleh ingatan berdasarkan jangka waktu terjadinya expo, maksudnya semakin lama expo maka semakin sulit untuk menerka apakah ada dampak dari expo terhadap penjualan. Berbeda dengan kegiatan pelatihan SDM misalnya yang hasilnya bisa langsung terasa oleh SDM berupa kebisaan atau ketrampilan baru sehingga dalam skala waktu yang lebih panjang cara menilai dampaknya apakah ketrampilan baru tersebut dapat menghasilkan produk dan berdampak atau tidak. Berbeda dengan kegiatan promosi berbentuk pameran, memang bisa langsung terasa apakah pada saat pameran atau setelah pameran pasar meluas atau penjualan meningkat namun untuk skala waktu yang lebih panjang, karena 23

pameran tadi tidak menghasilkan produk nyata, maka sulit untuk menilai dampaknya. Oleh sebab itu, peneliti membatasi evaluasi dampak untuk kegiatan promosi produk IKM pada satu tahun belakang ini saja yaitu 2013 dengan asumsi bahwa tahun 2011 dan 2012 sudah terlalu lama sehingga sulit menemukan data faktual. Ini pun yang peneliti rasakan, misalnya ketika mewawancarai IKM yang mengikuti pameran pada 2011 yang menerka-nerka bahkan mengakui sudah lupa kapan dan dimana expo tersebut terjadi seperti yang diakui oleh Bapak Dirman selaku pemilik usaha Kopi Unggul Lampung yang mengatakan bahwa pameran itu waktu kapan ya, saya juga lupa tempatnya itu dimana tapi pasti adalah dampaknya kan orang-orang jadi kenal produk saya (wawancara 29 Oktober 2014). Ada satu batasan lagi terhadap fokus penelitian yang sekiranya perlu disampaikan di awal, yaitu mengenai sub kegiatan dari Kegiatan Pelatihan dan Pengembangan IKM. Bahwa salah satu sub dari kegiatan tersebut yaitu Kegiatan Pelatihan dan Pengembangan Sulam Usus tidak tepat jika dimasukkan sebagai salah satu fokus penelitian. Hal ini dikarenakan peserta kegiatan bukanlah pelaku IKM tetapi peserta non-ikm khususnya ibu-ibu rumah tangga yang mau belajar menyulam. Seperti yang dikemukakan oleh Ibu Septi selaku koordinator Kegiatan Pelatihan dan Pembinaan Sulam Usus bahwa kita pilih pesertanya yang belum bisa, biasanya ibu-ibu rumah tangga karena kalo 24

penyulam kan mereka sudah bisa jadi gak perlu dilatih lagi (wawancara pada 29 Oktober 2014). Sehingga tepat jika sub-kegiatan tersebut tidak dimasukkan dalam studi penilaian dampak ini. Dari bahasan di atas, akhirnya peneliti menentukan fokus pada programprogram yang sifatnya langsung mengintervensi pelaku IKM dalam rangka pengembangan usaha industrinya. Adapun program-program yang menjadi obyek penelitian dan dilakukan oleh Disperindagkop Kota Bandar Lampung sampai tahun 2013 sesuai dengan Renstra Pembangunan Industri Tahun 2010-2015 antara lain: Tabel I.4 Program-Program Pengembangan IKM di Bandar Lampung No Program Kegiatan Pelaksanaan 2011 2012 2013 1 Program Pelatihan dan Pengembangan IKM Pengembangan IKM Fasilitasi Kerjasama IKM dan Swasta 2 Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha Promosi Produk IKM Sumber : Data pribadi peneliti 2014, diolah 25

I.3. Rumusan Masalah Seperti dijelaskan sebelumnya, penelitian ini berupaya menilai dampak dari kebijakan pengembangan industri di Bandar Lampung. Maka dengan adanya batasan fokus penelitian, beberapa program yang sudah disampaikan pada bahasan sebelumnya, disimpulkan oleh peneliti sebagai satu kesatuan dalam kebijakan Pemkot Bandar Lampung dalam rangka mengembangkan sektor industri khsusunya produk industri unggulan. Dengan begitu akan membuat lebih efisien penelitian ini dalam rangka berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana dampak Program Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Kota Bandar Lampung? I.4. Tujuan Penelitian : Dikarenakan pertanyaan penelitian ini mengenai bagaimana dampak dari Program Pengembangan IKM, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana dampak Program Pengembangan IKM di Kota Bandar Lampung. I.5. Manfaat penelitian : Pertanyaan penelitian serta tujuan dari penelitian ini berangkat dari masalah-masalah yang telah disampaikan sebelumnya pada sub bahasan mengenai latar belakang penelitian. Oleh sebab itu, penelitian ini akan 26

bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan pelaku IKM. Adapun jika dibuat berdasarkan poinnya, maka manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hasil penilaian memberikan data serta informasi kepada berbagai stakeholders mengenai kualitas dampak kebijakan pengembangan IKM di Bandar Lampung 2. Sebagai masukan untuk Pemkot Bandar Lampung guna membuat prioritas kebijakan berbasis kebutuhan masyarakat yang mengacu pada sektor berpengaruh terhadap PDRB. 3. Sebagai masukan untuk Pemkot Bandar Lampung guna mengetahui nilai dari dampak kebijakan sehingga menjadi masukan bagi kebijakan di tahun-tahun berikutnya. 27