BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

memperoleh status, kehormatan, dan kekuatan dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta pengaruhnya di arena global.

mengakibatkan potensi ancaman dan esklasi konflik. Eskalasi konflik di kawasan mulai terlihat dari persaingan anggaran belanja militer Cina, Korea

bilateral, multilateral maupun regional dan peningkatan henemoni Amerika Serikat di dunia. Pada masa perang dingin, kebijakan luar negeri Amerika

BAB I PENDAHULUAN. II, di era 1950-an ialah Perdana Menteri Yoshida Shigeru. Ia dikenal karena

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

sebagai seratus persen aman, tetapi dalam beberapa dekade ini Asia Tenggara merupakan salah satu kawasan yang cenderung bebas perang.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 4 KESIMPULAN. 97 Universitas Indonesia. Dampak pengembangan..., Alfina Farmaritia Wicahyani, FISIP UI, 2010.

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 KESIMPULAN. Universitas Indonesia

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1.1 Latar Belakang. BAB I : Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Serikat masih berupa non-intervensi. Namun ketika Perang Dunia Kedua

BAB I PENDAHULUAN. meyampaikan pendapatnya di pertemuan rakyat terbuka untuk kepentingan

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN

dalam merespon serangkaian tindakan provokatif Korea Selatan dalam bentuk latihan gabungan dalam skala besar yang dilakukan secara rutin, dan

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

DIALOG KOREA UTARA-KOREA SELATAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEAMANAN KAWASAN

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB 5 PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya Perang Dingin menyebabkan munculnya perubahan mendasar

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

RESUME. bagian selatan yang juga merupakan benua terkecil di dunia. Di sebelah. barat Australia berbatasan dengan Indonesia dan Papua New Guinea,

BAB I PENDAHULUAN. < diakses 16 Juni 2016.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

BAB 5 KESIMPULAN. Kebijakan nuklir..., Tide Aji Pratama, FISIP UI., 2008.

BAB I PENDAHULUAN. News. Retrieved from

terlalu keras kepada kelima negara tersebut. Karena akan berakibat pada hubungan kemitraan diantara ASEAN dan kelima negara tersebut.

SEJARAH PEPERANGAN ABAD MODERN DOSEN : AGUS SUBAGYO, S.IP., M.SI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

Pada pokoknya Hukum Internasional menghendaki agar sengketa-sengketa antar negara dapat diselesaikan secara damai he Hague Peace

BAB II HUBUNGAN JEPANG DENGAN KOREA SELATAN. memiliki isu-isu yang belum terselesaikan. Kedua negara masih memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UAS ASIA TIMUR OKKY LARAS SAKTI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

OEPARTEMEN PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA BUKU PUTIH PERTAHANAN INDONESIA

JURUSAN SOSIAL YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kita. Konflik tersebut terjadi karena interaksi antar kedua negara atau lebih

MUHAMMAD NAFIS PENGANTAR ILMU TEKNOLOGI MARITIM

BAB I PENDAHULUAN. 1 The Columbia Encyclopedia, Yoshida Shigeru (online), 2013,

Kemunduran Amerika Serikat dilihat sebagai sebuah kemunduran yang bersifat

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. untuk menjaga keamanan nasional sekaligus memenuhi kepentingan nasional.

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

BAB V KESIMPULAN. Islam, telah membawa pengaruh dala etnis dan agama yang dianut.

Ancaman Terhadap Ketahanan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. p K. Kishimoto, Politics in Modern Japan: Development and Organization, 3rd ed., Japan Echo, Tokyo, 1988,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah

BAB IV PENUTUP. Strategi keamanan..., Fitria Purnihastuti, FISIP UI, 2008

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

BAB I PENDAHULUAN. Jepang merupakan salah satu negara yang patut diperhitungkan dalam

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI

BAB VI. 6.1 Kesimpulan Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Hafiz al-

KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

H. BUDI MULYANA, S.IP., M.SI

BAB I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

91 menganut prinsip penyeleasaian sengketa dilakukan dengan jalan damai maka ASEAN berusaha untuk tidak menggunakan langkah yang represif atau dengan

Sambutan Presiden RI pd Prasetya dan Pelantikan Perwira TNI dan Polri, 2 Juli 2013, di Surabaya Selasa, 02 Juli 2013

DASAR KLAIM DAN UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA GUGUS KEPULAUAN SENKAKU ATAU DIOYU OLEH JEPANG DAN TIONGKOK SKRIPSI

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

MI STRATEGI

untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah organisasi internasional yang paling terkenal saat ini adalah

HUBUNGAN INTERNASIONAL DI ASIA TENGGARA PADA ERA PERANG DINGIN. Dewi Triwahyuni

2015 DAMPAK DOKTRIN BREZHNEV TERHADAP PERKEMBANGAN POLITIK DI AFGHANISTAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

2 Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Neg

internasional. Kanada juga mulai melihat kepentingannya dalam kacamata norma keamanan manusia. Setelah terlibat dalam invasi Amerika di Afghanistan

UNIVERSITAS INDONESIA

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

PROLIFERASI SENJATA NUKLIR DEWI TRIWAHYUNI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG PERTAHANAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Darma Persada

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UPAYA JEPANG DIBAWAH PEMERINTAHAN SHINZO ABE DALAM MENINGKATKAN PERTAHANAN MILITER. Oleh. Abstract

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jepang merupakan negara yang unik karena konsep pasifis dan anti militer yang dimilikinya walaupun memiliki potensi besar untuk memiliki militer yang kuat. Keunikan ini muncul akibat kekalahannya pada Perang Dunia kedua. Keunikannya yaitu, tidak seperti negara normal lainnya Jepang melepaskan hak kedaulatannya untuk menyatakan perang sebagaimana tercantum dalam konstitusi Jepang 1947. Sebagai gantinya, Jepang mengadakan perjanjian pertahanan dengan Amerika Serikat (AS) untuk membantu menjaga wilayah kedaulatannya. Pada masa perang dingin ini, Jepang melancarkan politik isolasi yang didasarkan pada Doktrin Yoshida yang berimplikasi pada perilaku Jepang yaitu minim berkontribusi pada isu isu keamanan internasional dan fokus pada pembangunan dalam negeri. Namun tidak dipungkiri bahwa terdapat usaha untuk membangun kekuatan militer melalui pembentukan Japan Self Defense Force (JSDF) pada masa itu. Akan tetapi pembentukan JSDF merupakan gagasan yang dikeluarkan oleh AS, bukan dari dometik Jepang. JSDF dibanun dengan tujuan untuk melindungi dari dampak Perang Besar Korea. AS juga ingin membagi beban melindungi Jepang dengan pemerintah Jepang dan memanfaatkannya sebagai bantuan pasukan AS dalam Perang Dingin. Harapan AS terhadap potensi tambahan kekuatan dari Jepang tidak terpenuhi karena kuatnya pengaruh dari PM Yoshida dan doktrinnya, sehingga perkembangan JSDF tidak signifikan dan tetap bergantung besar pada AS sebagai pelindung utamanya. Memasuki masa setelah perang dingin, secara perlahan mulai terjadi perubahan pada politik domestik Jepang, tepatnya pada konsep kebijakan pertahanan. Perubahan kebijakan pertahanan pertama tertuang dalam National Defense Program Guidelines (NDPG) 1997 yaitu kini JSDF berperan sebagai kekuatan utama pelindung Jepang dari ancaman dan menjadikan tentara AS sebagai kekuatan cadangan. 1 Sebelum Pedoman Pertahanan Nasional 1997 tersebut, tentara AS menjadi kekuatan utama dalam hubungan kerja sama pertahanan ini. Perubahan konsep hubungan ini sangat mempengaruhi faktor kemandirian Jepang dalam 1 E. J. L Southgate, From Japan to Afghanistan: The U.S Japan Joint Security Relationship, the War on Terror, and the Ignominious End of the Pacifist State?, University of Pennsylvania Law Review, Vol. 151, No. 4, April 2003, p. 1616. 4

bidang pertahanan sehingga memicu berbagai macam perubahan. Beberapa contoh dari perubahan arah kebijakan politik pertahanan yaitu pengiriman pengiriman SDF Jepang pada 15 Desember 2003 dalam perang Irak 2, pembentukan Kementrian Pertahanan pada 2007, adopsi strategi Defense Capacibility dalam Pedoman Pertahanan Nasional 2004 yang lebih agresif dan lainnya. Perubahan ini menandakan munculnya perubahan pada paham pasifis yaitu muncul kelonggaran toleransi terhadap penggunaan dan pengembangan kekuatan militer oleh domestik Jepang mengikuti perubahan keadaan yang dihadapi. Pada 23 November 2013, Tiongkok mengeluarkan kebijakan perluasan zona identifikasi pertahanan udara atau Air Defense Identification Zone (ADIZ) yang mencakup wilayah udara kepulauan Senkaku milik Jepang. 3 Jika ada yang melewati wilayah udara Senkaku namun tidak mengikuti peraturan identifikasi Tiongkok, maka akan dianggap ancaman dan akan ditembak jatuh oleh Tingkok. Konflik perluasan ADIZ ini telah meningkatkan lebih jauh tingkat ancaman keamanan Jepang dari yang sebelumnya. Sebelum perluasan ADIZ terjadi, Jepang telah lebih dulu dikelilingi oleh negara tetangga yang memiliki potensi ancaman yang besar. Ancaman ini muncul akibat sejarah penjajahan yang dilakukannya pada Perang Dunia kedua dan perbedaan kepentingan. Negara tetangga yang memiliki hubungan buruk dengan Jepang yaitu Rusia, Tiongkok, Korea Utara dan Korea Selatan. Hubungan buruk tersebut telah memuncullkan beberapa konflik besar dan kecil. Dari semua Negara yang disebutkan, Tiongkok termasuk salah satu Negara yang memiliki hubungan diplomatis yang buruk dan patut diwaspadai. Namun selama ini dalam menghadapi semua ancaman tersebut, postur pertahanan Jepang yang bergantung banyak pada AS telah sangat cukup dalam menghadapi ancaman keamanan. Tindakan sepihak Tiongkok tersebut merupakan ancaman terhadap keamanan dan kedaulatan Jepang serta kemungkinan eskalasi konflik lebih lanjut. Posisi Tiongkok yang semakin kuat secara ekonomi dan militer juga akan semakin sulit dihadapi Jepang. Konflik ini juga akan menjadi pusat perhatian dunia, mengingat pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini adalah negara maju. Maka dari itu Jepang merasa wajib untuk menunjukkan kekuatannya di mata dunia, terutama Tiongkok, untuk menjaga wibawanya dan keutuhan wilayah kedaulatannya. Kasus ini juga menunjukkan bahwa AS pengaruh intervensi AS tidak 2 The Asahi Shimbun, Koizumi commits SDF personnel to Iraq (daring), 10 Desember 2003, <http://www.asahi.com/english/politics/tky200312100160.html>, diakses 26 Januari 2014. 3 J. Osawa, China s ADIZ over the East China Sea: A Great Wall in the Sky?, Brookings (daring), 17 Desember 2013, <http://www.brookings.edu/research/opinions/2013/12/17-china-air-defense-identification-zoneosawa>, diakses 25Maret 2014. 5

efektif di hadapan Tiongkok setelah sebelumnya dapat melindungi Jepang dengan efektif. Kondisi ini menyadarkan Jepang untuk meraih kemandirian dalam mempertahankan kedaulatannya. Namun bukan berarti Jepang dapat mengeluarkan pernyataan atau kebijakan agresif yang langsung ditujukan pada Tiongkok karena adanya ketergantungan ekonomi antar keduanya. Karena itu, Jepang berfokus pada menggunakan jalur diplomasi dan kepercayaan kepada Tiongkok untuk menyelesaikan konflik ini dengan damai. Jalur diplomasi yang kurang efektif menjadikan jalur militer sebuah alternatif pilihan. Pemerintah Jepang merespon situasi ini dengan secara hati-hati yaitu dengan menjadikan menambah bagian pengembangan kekuatan militer dalam kebijakan pertahanannya dengan alasan pertahanan diri. Militer kini sejajar dengan diplomasi yaitu menjadi salah satu cara penting dalam melindungi kepentingan dan keamanan negara dari ancaman global dan regional. Jepang memberi perhatian lebih pada masuknya ancaman keamanan ke wilayah udara dan laut. Ancaman yang masuk tersebut akan dihdapi oleh kekuatan pertahanan domestik dan gabungan kekuatan pertahanan bersama AS dan negara kawan lainnya. Maka muncul kebutuhan untuk memiliki militer yang kuat dan kerja sama pertahanan dengan negara yang lebih banyak. Pemilihan jalur militer untuk merespon konflik ini menjadi kajian yang menarik, mengingat konsep pasifis selalu dominan dalam kebijakan pertahanan Jepang selama ini. B. Rumusan Masalah Skripsi ini akan menjawab permasalahan, yakni: Bagaimana respon Jepang terhadap perluasan Wilayah ADIZ Tiongkok dan apa implikasinya terhadap kebijakan pertahanan Jepang tahun 2014? C. Landasan Konseptual Guna menjawab dan menganalisa permasalahan yang telah penulis tuliskan di atas, landasan konseptual yang akan penulis gunakan ialah: 1. Teori Hukum Angkasa Internasional Organisasi Penerbangan Sipil Internasional atau International Civil Aviation Organization (ICIAO) merupakan agensi spesial milik PBB yang mengatur mengenai penerbangan internasional. Organisasi ini memiliki dasar hukum yaitu Konvensi Penerbangan Sipil Internasional mengatur pemakaian wilayah udara internasional antar negara. Organisasi 6

ini memiliki anggota sebanyak 191 negara terhitung menurut data tahun 2013. 4 Beberapa anggotanya yaitu Jepang, AS, dan Tiongkok merupakan anggota dewan dari ICIAO. 5 Tujuan utamanya adalah menjadi forum penerbangan internasional dan membuat standarisasi serta membangun dunia penerbangan sipil. 6 Anggotanya menyetujui Konvensi Penerbangan Sipil Internasional yang didasarkan atas Konvensi Chicago dan menjadi dasar hukum internasional angkasa dunia. Berikut adalah beberapa hukum penting yang yang terkait dengan bidang penelitian tulisan ini dalam Konvensi Penerbangan Sipil Internasional: a) Bab satu artikel satu menyatakan bahwa setiap negara yang menyetujui konvensi ini mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan utuh dan ekslusif atas wilayah udara diatas teritorinya. 7 b) Bab satu artikel tiga b menyatakan bahwa pesawat yang digunakan dalam militer, dimodifikasi, dan milik polisi dikategorikan sebagai Pesawat Negara. 8 c) Bab satu artikel tiga c menyatakan bahwa tidak boleh ada Pesawat Negara dari negara yang menyetujui konvensi ini, terbang memasuki wilayah negara lain tanpa persetujuan kecuali jika ada perjanjian tertentu. 9 d) Bab satu artikel tiga bis menyatakan bahwa negara yang menyetujui konvensi ini mengakui bahwa negara harus menghindari penggunaan senjata pada pesawat sipil yang sedang terbang. Jika terjadi pencegatan, maka keselamatan penumpang haruslah diutamakan. 10 e) Bab 19 artikel 89 menyatakan bahwa pada saat perang dan kondisi darurat, konvensi ini tidak akan membatasi kebebasan negara untuk bertindak. 11 Konvensi ini hanya berupa fondasi dasar bagi negara-negara untuk dapat bekerja sama dalam bidang udara sipil. Tujuannya agar tercipta kerja sama yang teratur, adil, dan menguntungkan semua pihak. 4 International Civil Aviation Organization, Member States (daring), < http://www.icao.int/abouticao/pages/member-states.aspx>, diakses 11 April 2015. 5 International Civil Aviation Organization, Member States (daring. 6 International Civil Aviation Organization, Vision & Mission (daring), < http://www.icao.int/abouticao/pages/vision-and-mission.aspx>, diakses 11 April 2015. 7 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), < http://www.icao.int/publications/documents/7300_cons.pdf>, p.2, diakses 11 April 2015. 8 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), p. 2. 9 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), p. 2. 10 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), p. 3. 11 International Civil Aviation Organization, Convention on International Civil Aviation - Doc 7300 (daring), p. 40. 7

2. Teori Negara Pasifis Proaktif Kamiya Matake seorang profesor di akademi pertahanan nasional Jepang ( National Defense Academy of Japan) membuat sebuah tulisan berjudul A Nation of Proactive Pacifism National Strategy for Twenty-first-Century Japan. Tulisan ini menjelaskan mengenai bagaimana Jepang harus bersikap untuk menyesuaikan diri di abad ke-20. Jepang pasca perang dunia kedua memiliki tiga tujuan yaitu (1) keamanan negara di bawah perlindungan aliansi keamanan AS dalam perang dingin, (2) pemulihan ekonomi bekerja sama dengan AS dan (3) menyelesaikan masalah pasca perang dengan negara-negara Asia. 12 Tiga tujuan tersebut tidak lagi relevan pada setelah perang dingin karena tujuan pertama tidak lagi relevan dan tujuan kedua serta ketiga telah tercapai. Untuk itu Jepang membutuhkan tujuan nasional yang baru untuk sebagai pedoman untuk melindungi kepentingan-kepentingan Jepang di kancah internasional. Profesor Matake mengusulkan konsep Negara pasifis proaktif sebagai citra Jepang yang baru. Konsep ini mendefinisikan Jepang sebagai negara yang tidak akan pernah menggunakan kekuatan militer untuk memenuhi ambisi negara namun tidak menutup pilihan untuk berkontribusi secara militer yang setara dengan kekuatan negaranya untuk membuat dan menjaga perdamaian internasional. 13 Konsep tersebut akan dijalankan sebagai berikut yaitu Jepang (1) tidak akan bertujuan menjadi kekuatan militer besar dan akan mempertahankan sebanyak mungkin aspek pembatasan kekuatan militer diri sendiri, (2) menghindari aksi militer selain dalam situasi perlindungan diri sendiri dan kerja sama internasional untuk perdamaian, (3). t api tetap mengembangkan kemampuan militer yang dibutuhkan untuk pertahanan dan kerja sama dengan negara lain tanpa adanya larangan, (4) aktif bekerja sama dalam aksi perdamaian internasional sepadan dengan kekuatan nasional Jepang dalam bentuk militer dan non-militer. 14 3. Teori Negara Normal Jepang yang normal menurut Mike M. Mochizuki adalah Jepang yang memiliki kebijakan pertahanan yang bebas, berdaulat penuh untuk mengaturnya sendiri. Normalisasi 12 K. Matake, A Nation of Proactive Pacifism National Strategy for Twenty-first-Century Japan, Discuss Japan (daring), <http://www.japanpolicyforum.jp/en/archives/diplomacy/pt20140120123844.html>, diakses 25 Maret 2014. 13 K. Matake, A Nation of Proactive Pacifism National Strategy for Twenty-first-Century Japan, Discuss Japan (daring). 14 K. Matake, A Nation of Proactive Pacifism National Strategy for Twenty-first-Century Japan, Discuss Japan (daring). 8

ini dicapai melalui menghapus konstitusi 1947 pasal 9, mengembangkan militer Jepang secara mandiri, kesetaraan peranan AS-Jepang dalam kerja sama dan bahkan menghapus kerja sama keamanan dengan AS. 15 Menurutnya ini merupakan satu-satunya cara agar Jepang lepas dari ketergantungan pada kekuatan eksternal dan menjadi Negara normal yang berdaulat seutuhnya. Namun mayoritas parlemen Jepang menginginkan perkembangan kebijakan militer yang bersifat pasifis dan menyesuaikan dengan perkembangan militer AS. Pandangan mayoritas ini juga dianut oleh masyarakat Jepang berkat sejarah keberhasilan Doktrin Yoshida dan dukungan legal pasal 9 konstitusi 1947. Selama tidak ada bahaya yang sangat mengancam, maka kebijakan pertahanan seperti negara normal akan sukar untuk dicapai. Pandangan mayoritas ini bertahan dengan kuat dan lama selama Perang Dingin dan awal pasca Perang Dingin. Namun perubahan situasi dan kondisi dunia membuat pandangan mayoritas tidak lagi cukup untuk melindungi kepentingan Jepang. Peningkatan ancaman regional dan global, pergeseran perimbangan kekuatan dunia dengan munculnya Negara kuat yang baru, dan menurunnya pengaruh AS memaksa Jepang harus lebih mandiri melindungi kepentingannya. Reaksi yang muncul dari parlemen Jepang adalah keinginan untuk lebih aktif secara militer dengan memperkuat militer dan keinginan merevisi hukum yang membatasi pengembangan dan pemanfaatan kekuatan militer. Selain militer yang lebih kuat, Jepang juga menginginkan kerja sama pertahanan yang lebih baik. Kerja sama yang lebih baik merupakan kerja sama pertahanan di mana Jepang tidak hanya menjadi pihak yang dilindungi namun juga ikut melindungi dan berkontribusi aktif dalam bidang militer. Pada akhirnya kebijakan ini selain meningkatkan keseluruhan kekuatan militer, juga akan meningkatkan martabatnya di mata internasional sesuai dengan statusnya sebagai Negara besar yang berdaulat penuh. Perkembangan konsep kebijakan pertahanan ini akan mengarahkan Jepang menjadi Negara normal, seperti negara besar lainnya yang berdaulat penuh. D. Argumen Utama Bagi Jepang, perluasan wilayah ADIZ Tiongkok telah meningkatkan ancaman keamanan. Kebijakan Tiongkok tersebut dapat memiliki kemungkinan besar untuk memicu terjadinya konflik bersenjata antara Tiongkok dan Jepang. Kemungkinan terburuk yang dapat 15 M. M. Mochizuki, Japan s search for strategy, International Security, vol. 8, no. 3, winter 1983/ 84, pp. 151 179; 9

dihadapi Jepang adalah kalah dalam menyaingi kekuatan Tiongkok dan melepaskan kepemilikan atas kepulauan Senkaku. Kasus ini juga memunculkan dua fakta yang menjadi masalah yaitu munculnya batasan kemampuan intervensi AS dan bidang pertahanan Jepang yang tidak mencukupi untuk melindungi diri sendiri. Menghadapi situasi ini, mayoritas Jepang sadar bahwa Jepang harus dapat mandiri melindungi diri sendiri. Jepang juga harus memulai kerja sama dengan negara lainnya karena tidak dapat mengandalkan AS semata untuk mendapatkan perlindungan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibuatlah kebijakan pertahanan yang berorientasi pada pengembangan militer secara mandiri yang dapat menjadi penghalau ancaman dan dapat berperan aktif dalam kerja sama pertahanan. Kebijakan pertahanan tersebut akan menghasilkan Jepang negara normal yang memiliki pertahanan yang kuat dan berdaulat bebas mengaturnya. Bentuk Jepang sebagai negara normal ini sesuai dengan pandangan PM Shinzo Abe yang menginginkan Jepang lebih mandiri dan aktif menggunakan dan mengembangkan kekuatan militernya untuk kepentingan negara. Selama ini usaha normalisasi Jepang oleh Abe terhambat oleh kuatnya paham pasifis anti militer dan keinginan untuk tetap bergantung pada AS. Namun dengan adanya kasus perluasan ADIZ telah memudahkan usaha Abe dalam normalisasi Jepang. E. Metode Penelitian Skripsi ini akan menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui studi data resmi yang dipublikasikan oleh pemerintah Jepang, berita online yang terpercaya dan studi literatur terkait. Jepang merupakan negara yang memberi publikasi lengkap terhadap data-data dari tiap kementriannya, terutama kementrian pertahanan dan luar negeri. Data-data resmi pemerintah Jepang sangat lengkap dan dapat diakses secara mudah melalui jaringan internet. Pemberitaan online yang terpercaya digunakan untuk melengkapi dan memperkuat analisa karena berita menyajikan data-data terbaru. Studi literatur terkait juga menjadi bahan acuan untuk memperkuat teori agar dapat mempertajam analisa dalam skripsi ini. F. Jangkauan Penelitian Penulis akan membatasi penelitian ini pada kebijakan pertahanan pemerintahan perdana menteri Shinzo Abe yang kedua dari hingga Juni 2014. Pembatasan ini ditujukan untuk memberikan penjabaran yang lebih berfokus. 10

G. Sistematika Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari lima bab; pada bab I, penulis akan menjabarkan latar belakang permasalahan skripsi. Pada bab II, penulis apa, mengapa dan bagaimana perluasan ADIZ Tiongkok terjadi dari sudut pandng sejarah dan Tiongkok untuk memahami dasar permasalahan. Pada bab III, penulis akan menjabarkan bagaimana Jepang merespon kebijakan perluasan wilayah ADIZ Tiongkok. Kebijakan apa saja yang diambil oleh Jepang setelah terjadinya kasus ADIZ akan dibahas sehingga dapat dimengerti konsep kebijakan yang diambil. Bab IV akan menyampaikan implikasi kebijakan Jepang dalam merespon perluasan ADIZ Tiongkok pada postur pertahanan Jepang pada tahun 2014 dimasa kepemimpinan Shinzo Abe. Bab V merupakan kesimpulan akhir yang dapat ditarik dari skripsi ini. 11