5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

dokumen-dokumen yang mirip
INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN

Komposisi Isi Saluran Pencernaan Ikan Teri (Stolephorus spp.) di Perairan Barru, Selat Makassar

INTERAKSI PREDASI TERI (Stolephorus spp.) SELAMA PROSES PENANGKAPAN IKAN DENGAN BAGAN RAMBO: HUBUNGANNYA DENGAN KELIMPAHAN PLANKTON AMIRUDDIN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang s

8 POSISI JENIS IKAN YANG TERTANGKAP DALAM PIRAMIDA MAKANAN 8.1 PENDAHULUAN

5 PEMBAHASAN 5.1 Proses penangkapan pada bagan rambo

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

PROSIDING Kajian Ilmiah Dosen Sulbar ISBN:

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL 4.1 Proses penangkapan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

4 HASIL 4.1 Proses penangkapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

J. Sains & Teknologi, Agustus 2017, Vol. 17 No. 2 : ISSN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI JENIS PLANKTON DI PERAIRAN MUARA BADAK, KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

PERBEDAAN PRODUKSI BAGAN PERAHU BERDASARKAN PERIODE BULAN DI PERAIRAN KABUPATEN BARRU

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. Zooplankton adalah hewan berukuran mikro yang dapat bergerak lebih bebas di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. besar di perairan. Plankton merupakan organisme renik yang melayang-layang dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. penting dalam ekosistem perairan termasuk danau. Fitoplankton berperan sebagai

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

I. PENDAHULUAN. Perairan Lhokseumawe Selat Malaka merupakan daerah tangkapan ikan yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

7. PEMBAHASAN UMUM 7.1 Dinamika Hasil Tangkapan Ikan Pelagis Kecil

STUDI TENTANG PRODUKTIVITAS BAGAN TANCAP DI PERAIRAN KABUPATEN JENEPONTO SULAWESI SELATAN WARDA SUSANIATI L

2.2. Struktur Komunitas

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULU 1.1. Latar Belakang Masalah

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Selat Bali

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KEANEKARAGAMAN PLANKTON PADA HUTAN MANGROVE DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH. Halidah

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

ANALISIS HASIL TANGKAPAN IKAN TERI (Stolephorus sp.) DENGAN ALAT TANGKAP BAGAN PERAHU BERDASARKAN PERBEDAAN KEDALAMAN DI PERAIRAN MORODEMAK

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

KOMPOSISI DAN KELIMPAHAN PLANKTON DI PERAIRAN PULAU GUSUNG KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN SKRIPSI. Oleh: ABDULLAH AFIF

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB III BAHAN DAN METODE

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN

PENGEMBANGAN LAMPU BAWAH AIR SEBAGAI ALAT BANTU PADA BAGAN TANCAP DI DESA TAMBAK LEKOK KECAMATAN LEKOK PASURUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

Gambar 4. Peta Rata-Rata Suhu Setiap Stasiun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk meningkatkan produksi perikanan adalah melalui budidaya (Karya

BAB I PENDAHULUAN. (Barus, 1996). Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau

Transkripsi:

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru Perairan Kabupaten Barru terletak di pantai barat pulau Sulawesi dan merupakan bagian dari Selat Makassar. Perairan ini merupakan salah satu pintu masuk arus lintas Indonesia (ARLINDO) dari arah utara sehingga secara umum kondisi perairannya banyak dipengaruhi oleh massa air laut dari Samudera Pasifik. Hasil pengukuran beberapa parameter perairan selama penelitian menunjukkan bahwa kondisi perairan Kabupaten Barru relatif homogen dimana fluktuasi nilai-nilai yang diperoleh relatif kecil. Pengukuran suhu dan salinitas perairan menunjukkan nilai maksimum umumnya terjadi pada hauling III menjelang pagi hari (jam 04:30-05:00). Salinitas maksimum pada hauling III dapat disebabkan kondisi pasang yang terjadi menjelang pagi hari dimana massa air bergerak dari arah lautan dengan salinitas yang lebih tinggi menuju ke arah daratan, sebaliknya salinitas pada hauling I (jam 21:00-22:00) ditemukan salinitas lebih rendah mencapai 28, dimana pada waktu ini terjadi surut dan massa air banyak mendapat pengaruh dari massa air daratan utama sehingga salinitasnya lebih rendah. Pada stasion 3, 4 yang terletak lebih jauh dari daratan utama ditemukan kecenderung salinitas lebih tinggi dibandingkan stasion 1, 2, 6, 7 dan 8 yang terletak lebih dekat pantai. Hal ini disebabkan pengaruh masukan massa air dari daratan utama dengan salinitas yang lebih rendah pada stasion dekat pantai utamanya pada stasion 1 dan 8 yang terletak dekat dengan muara sungai (Gambar 9). Kecepatan arus yang lebih besar biasanya terjadi pada hauling I yang dapat disebabkan pengaruh angin yang bertiup cukup kencang pada saat itu. Walaupun arus untuk arus daerah dekat pantai umumnya pengaruh pasang surut lebih besar dibandingkan pengaruh angin, namun pengukuran yang dilakukan hanya pada arus permukaan sehingga pengaruh angin dapat lebih dominan. Umumnya arus pada musim barat lebih kencang daripada arus yang terjadi pada musim timur. Hasil pengukuran oksigen terlarut (DO) memperlihatkan nilai yang cukup besar. Konsentrasi DO di perairan ini berada di atas batas minimum untuk

47 mendukung kehidupan di perairan seperti yang disebutkan oleh Prescot (1973) yaitu sebesar 2,0 mgo 2 /liter. 5.2 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Keterkaitan yang erat antara fitoplankton sebagai sumber energi di lautan dengan zooplankton merupakan tahap awal penghantaran energi ke jenjang trofik yang lebih tinggi. Tidak teridentifikasinya korelasi nyata antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton yang berarti bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton tidak disertai dengan peningkatan kelimpahan zooplankton saat itu yang dapat disebabkan adanya time lag karena zooplankton membutuhkan waktu untuk tumbuh mengikuti pertumbuhan fitoplankton. Jika diamati lebih seksama, terdapat trend bahwa peningkatan kelimpahan fitoplankton dalam suatu periode pengambilan data akan diikuti oleh kenaikan kelimpahan zooplankton setelah pengambilan data selanjutnya (Gambar 13). Fenomena ini masih perlu dikaji lagi karena selama penelitian stasion pengambilan data berada pada lokasi yang berbeda. Hubungan yang tidak nyata antara kelimpahan fitoplankton dan zooplankton juga ditemukan oleh Hauhamu (1995) di teluk Ambon dan Umar (2002) di teluk Siddo yang menemukan perbedaan temporal keaneragaman dan dominansi antara fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton yang ditemukan adalah kelas Bacillariophyceae (diatom), Dynophyceae (dinoflagellata) dan Chrysophycae, dimana kelas Bacillariophyceae adalah yang paling umum ditemukan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Parson et al. (1977), yang mengelompokkan fitoplankton di lautan menjadi delapan kelas yaitu Cyanophyceae, Rhodophyceae, Dynophyceae, Haptophyceae, Chrysophycae, Xanthophyceae, Chlorophyceae dan Bacillariophyceae (diatom). Diantara kelas-kelas itu, kelas Bacillariophyceae dan Dynophyceae merupakan fitoplankton yang umum ditemukan di laut. Dalam perairan tropis, umumnya Bacillariophyceae ditemukan dalam kelimpahan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan kelas Bacillariophyceae memiliki laju penggandaan yang relatif cepat dari kelas lainnya, tetapi dalam kasus tertentu, Dynophyceae dapat dijumpai dalam kelimpahan yang tinggi dan mampu menghambat pertumbuhan plankton

48 sehingga terjadi blooming spesies tertentu seperti yang terjadi pada kasus red tide. Penelitian ini hanya menemukan 3 kelas fitoplankton, sementara Parson et al. (1977) menyatakan bahwa terdapat 8 kelas fitoplankton di lautan. Hal ini disebabkan oleh faktor waktu pengambilan sampel plankton yang dilakukan pada waktu malam hari sehingga berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis yang diperoleh. Anakotta (2002) dalam penelitiannya di teluk Kupang dan menemukan komposisi dan kelimpahan fitoplankton pada malam hari lebih kecil dibandingkan pada siang hari. Komposisi jenis zooplankton lebih banyak ditemukan dibandingkan fitoplankton, anggota kelompok zooplankton jumlahnya lebih besar dari kelompok fitoplankton. Zooplankton itu sendiri terdiri dari berbagai macam organisme akuatik hewani baik yang bersifat holoplankton seperti Copepoda maupun meroplankton seperti larva ikan, larva moluska dan lain-lain. Selain itu faktor migrasi vertikal zooplankton yang cenderung naik ke permukaan pada malam hari menyebabkan jenis zooplankton lebih banyak ditemukan pada penelitian ini. Kelimpahan zooplankton secara umum didominasi oleh sub kelas Copepoda, namun demikian terdapat variasi kelimpahan berdasarkan komposisi jenis pada setiap stasion penelitian. Beberapa jenis melimpah pada stasion penelitian tertentu tetapi kemudian tidak ditemukan pada stasion yang lain. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan komunitas yang dinamis, sehingga suatu jenis dapat lebih dominan dari yang lainnya pada interval waktu tertentu tetapi kemudian menjadi langka pada interval waktu yang lain. Seperti yang ditunjukkan oleh larva dan telur ikan, ditemukan cukup dominan pada stasion 1, 6, 7 dan 8 tetapi pada stasion 2 dan 4 menjadi langka bahkan pada stasion 3 tidak ditemukan sama sekali. Selain itu sub kelas Malacostraca ditemukan dalam jumlah yang sedikit pada stasion 4 tetapi kemudian dominan stasion 7 dan 8 (Gambar 12).

49 5.3 Hasil Tangkapan Ikan Hasil tangkapan bagan rambo sangat beranekaragam, terdiri dari berbagai spesies. Secara umum jumlah hasil tangkapan didominasi oleh ikan-ikan tangkapan utama seperti teri, kembung, layang, cumi, tembang, japuh, peperek dan selar yang mencapai 88,3% dari total hasil tangkapan (Tabel 5), selebihnya adalah ikan lain yang termasuk by-catch dan discard. Jenis ikan tangkapan utama tersebut termasuk ikan demersal dan pelagis yang berukuran kecil yang dimungkinkan karena bagan rambo menggunakan jaring dengan mesh size yang berukuran kecil. Keanekaragaman jenis tangkapan dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari fishing ground di daerah tropis yang memiliki variasi jenis ikan yang lebih banyak dibandingkan daerah lain. By-cath dapat diartikan sebagai hasil tangkapan sampingan dan masih bernilai ekonomis. Termasuk kelompok ini dalam hasil tangkapan bagan rambo adalah kwee (Caranx), alu-alu (Sphyraena), baronang (Siganus), bambangan (Lutjanus) dan beberapa jenis ikan lain. Discard adalah hasil tangkapan sampingan yang tidak bernilai ekonomis dan biasanya dibuang kembali ke laut karena tidak dimanfaatkan. Termasuk dalam kelompok ini adalah buntal (Diodon, Arothron), beseng-beseng (Apogon) dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan di lapangan, jumlah hasil tangkapan sampingan yang termasuk discard hampir ditemukan setiap waktu hauling tetapi dalam jumlah yang sangat sedikit atau dapat dikatakan hampir semua tangkapan bagan rambo dimanfaatkan. Jumlah hasil tangkapan yang diperoleh dapat dijadikan gambaran besarnya schooling ikan yang masuk pada catchable area bagan rambo. Jenis dominan yang paling banyak ditangkap adalah teri (Stolephorus) yang mencapai 28,8% dari total total hasil tangkapan (Tabel 5). Terdapat variasi hasil tangkapan teri pada setiap stasion penelitian. Tangkapan yang relatif besar ditemukan pada stasion 3, 6 dan 7 (Gambar 15). Pada stasion ini kelimpahan zooplankton juga ditemukan relatif tinggi. Terdapat dugaan bahwa hasil tangkapan teri berhubungan dengan kelimpahan zooplankton pada saat itu, dengan pertimbangan bahwa salah satu tujuan teri memasuki catchable area bagan rambo adalah untuk mencari makan dan makanan teri adalah zooplankton, dimana kondisi perairan yang lebih terang karena cahaya lampu bagan rambo menjadi daya tarik dalam membantu teri untuk

50 menangkap mangsanya. Hal ini juga berkaitan dengan migrasi verikal zooplankton yang berada disekitar permukaan perairan pada saat malam hari. Namun demikian, proses ini tidak sesederhana penjelasan di atas dan masih terdapat faktor-faktor lain yang bersama-sama memberi pengaruh dalam menentukan jumlah tangkapan teri oleh bagan rambo. Korelasi positif hasil tangkapan teri dengan kelimpahan zooplankton di perairan menunjukkan bahwa kelimpahan zooplankton di perairan memberikan kontribusi terhadap jumlah hasil tangkapan sebanyak 40,3%; selain itu masih terdapat faktor-faktor lain yang tidak terukur dalam penelitian ini. Faktor lain tersebut diduga adalah kondisi fisik-kimia perairan dan pencahayaan bagan rambo, diduga memberikan kontribusi dalam menentukan variasi jumlah tangkapan. Selain itu faktor teknis penangkapan seperti pelolosan ikan pada saat proses hauling dapat juga memberi pengaruh jumlah hasil tangkapan. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut sejauh mana pengaruh kondisi fisik-kimia perairan dan teknis penangkapan terhadap hasil tangkapan ikan bagan rambo. Data jumlah hasil tangkapan teri berdasarkan waktu hauling menunjukkan bahwa tangkapan terbesar umumnya terjadi di hauling III (jam 04:30 05:00), kemudian pada hauling I (jam 21:00 22:00) dan terendah terjadi pada hauling II (jam 01:00 02:00) (Gambar 16). Hal ini dapat diartikan bahwa penangkapan efektif teri oleh bagan rambo dapat dilakukan pada hauling III dan I. Jika hal ini dihubungkan dengan kelimpahan plankton sebagai makanan teri, ternyata jumlah tangkapan tidak berkorelasi dengan besarnya kelimpahan plankton yang relatif sama pada setiap waktu hauling (Gambar 14). Selain itu, jika dihubungkan dengan faktor cahaya lampu bagan sebagai daya tarik ikan untuk masuk ke catchable area ternyata juga tidak berkorelasi karena besarnya intensitas lampu selalu sama tetapi diperoleh hasil tangkapan yang berbeda-beda. Terdapat beberapa dugaan yang dapat menyebabkan perbedaan hasil tangkapan pada setiap hauling, diantaranya adalah kebiasaan waktu makan ikan (feeding periodicity) dan kondisi lingkungan. Feeding periodicity dapat diartikan sebagai periode (waktu) ikan mengambil makanannya dalam waktu 24 jam (Effendie, 1997). Ikan teri melakukan aktivitas mencari makan pada malam hari yaitu saat menjelang malam hari sampai menjelang pagi hari, namun dari hasil

51 analisis makanan diketahui bahwa tingkat kepenuhan isi perut teri yang banyak berisi zooplankton ditemukan pada hauling III sehingga dapat diartikan bahwa teri aktif mengambil makanannya menjelang pagi hari. Kondisi perairan juga diduga mempengaruhi hasil tangkapan teri utamanya suhu dan salinitas, dimana terjadi peningkatan suhu dan salinitas menjelang pagi hari yang berkesesuaian dengan peningkatan hasil tangkapan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Hauhamu (1995) bahwa peningkatan suhu sampai batas tertentu akan merangsang hewan air untuk makan dan meningkatkan aktivitas fisiologi seperti metabolisme dan pencernaan makanan. Perbandingan antara hasil tangkapan teri dengan hasil tangkapan ikan selain teri menunjukkan trend yang hampir sama. Keberadaan teri dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi ikan-ikan lain utamanya untuk jenis ikan yang bukan fototaksis positif untuk masuk dalam catchable area bagan rambo. Jumlah tangkapan teri menunjukkan korelasi positif dengan beberapa jenis ikan tangkapan utama lain yaitu layang (Decapterus), tembang (Sardinella), peperek (Leiognathus), selar (Selar) dan ikan lain dimana kenaikan jumlah tangkapan teri juga diikuti oleh kenaikan jumlah tangkapan ikan selain teri pada saat itu. 5.4 Pemangsaan Individu-individu mahkluk hidup dihubungkan oleh adanya interaksi makan-memakan. Interaksi ini terjadi karena individu-individu memiliki keinginan untuk selalu ingin hidup dan berjuang untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk mempertahankan jenisnya, (Ediyono et al. 1999 diacu oleh Sudirman 2003). Selanjutnya dikatakan bahwa semua mahkluk hidup yang hidup bersama-sama pada suatu habitat atau ekosistem yang sama akan berinteraksi satu dengan lainnya. Interaksi yang terjadi dapat bersifat menguntungkan (mutualisme dan komensalisme), merugikan (predasi, kompetisi, parasitisme) atau bersifat netral yang tidak saling mengganggu antar populasi walaupun berada dalam habitat yang sama dan memiliki kebutuhan yang sama karena tercukupinya kebutuhan. Effendie (1997) mengungkapkan bahwa jika ditelaah makanan ikan sejak dari awal pembentukannya sampai ke makanan yang dimakan oleh ikan,

52 sebenarnya merupakan rantai makanan (food chain). Fitoplankton dapat memproduksi bahan organik dari bahan anorganik (produsen primer) yang dimangsa oleh zooplankton (konsumer primer) dan selanjutnya zooplankton akan dimangsa oleh ikan kecil seperti teri sebagai (konsumer sekunder) dan teri akan dimangsa juga oleh ikan yang lebih besar dari trofik level yang lebih tinggi. Dapat juga interaksi makan-pemakan terjadi tumpang tindih, dimana satu jenis produsen dimangsa oleh beberapa jenis konsumen dan satu jenis konsumen memakan beberapa jenis makanan sehingga terbentuk suatu jaringan makanan (food webs). Hal ini juga ditunjukkan dalam penelitian ini, dimana teri selain memangsa zooplankton juga memangsa fitoplankton, selain itu teri sebagai produsen juga dimangsa oleh beberapa jenis ikan pemangsa seperti selar, peperek, buntal, kwee dan ikan-ikan lain. 5.4.1 Pemangsaan teri hitam (Stolephorus insularis) terhadap plankton Kelimpahan teri selain disebabkan oleh faktor lingkungan juga oleh ketersediaan makanannya di perairan. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa makanan teri jenis Stolephorus insularis keseluruhannya adalah plankton. Berdasarkan analisis indeks pilihan makanan terlihat bahwa kecenderungan Stolephorus insularis lebih banyak memilih zooplankton dari pada fitoplankton utamanya zooplankton dari kelompok Copepoda, Malacostraca, Polychaeta, Nauplius dan Branchiopoda. Hal ini menunjukkan tingkat preferensi Stolephorus insularis terhadap makanannya yang lebih menyukai zooplankton daripada fitoplankton. Hutomo et al. (1987) menyatakan bahwa teri termasuk ikan bersifat selective feeder yang memanfaatkan jenis-jenis makanan yang menjadi kesukaannya dan sesuai dengan kebutuhannya. Preferensi makanan Stolephorus spp. terhadap zooplankton juga disebutkan oleh Burhanuddin et al. (1975) yang memeriksa komposisi makanan teri jenis Stolephorus devisi dan mendapatkan Copepoda dan fragmen crustacea lain sebagai kelompok dominan yang banyak ditemukan. Selain itu Hauhamu (1995) pada jenis Stolephorus spp. dan Sudirman (2003) pada teri jenis Stolephorus insularis serta beberapa penelitian lainnya mendapatkan hasil yang sama.

53 Pemangsaan fitoplankton oleh teri kemungkinan lebih disebabkan karena keberadaan fitoplankton di perairan dalam kelimpahan yang besar, sehingga lebih memudahkan teri memangsa fitoplankton. Hal ini lebih jelas jika melihat komposisi makanan dari kelompok fitoplankton yang banyak ditemukan adalah kelas Bacillorophyceae, sedangkan kelas Bacillorophyceae itu sendiri merupakan komponen utama plankton di perairan. Kelas Bacillorophyceae yang dominan ditemukan adalah dari genus Chaetoceros, Coscinodiscus, Leptocylinricus dan Rhizosolenia. Hasil yang hampir sama diperoleh oleh Sumadhiharga (1978) dan Manuhutu (1988) pada penelitiannya di Teluk Ambon yang melaporkan bahwa dalam lambung Stolephorus spp. ditemukan fitoplankton dari genus Trichodesmium, Coscinodiscus dan Rhizosollenia. Penelitian ini menunjukkan bahwa hasil tangkapan teri banyak dipengaruhi faktor ketersediaan makanan (pemangaan teri terhadap zooplankton), namun kesimpulan sementara ini perlu dikaji lebih jauh. Penelitian selanjutnya diharapkan mengkaji hubungan hasil tangkapan dengan faktor lain yang diduga mempengaruhi hasil tangkapan seperti kondisi perairan, pencahayaan lampu bagan rambo dan beberapa faktor lain. 5.4.2 Pemangsaan teri (Stolephorus spp.) oleh ikan pemangsa Keberadaan teri dalam food web di lautan sangat penting karena merupakan penghubung antara plankton dengan ikan-ikan lain. Teri sebagai konsumer tingkat pertama akan dimangsa oleh ikan kecil sebagai konsumer tingkat kedua yang selanjutnya dimangsa lagi oleh ikan-ikan pada trofik level yang lebih tinggi sampai pada top konsumer sehingga terbentuk rantai makanan. Dapat juga terjadi teri dimangsa oleh ikan pada tingkat trofik level lain sehingga terbentuk suatu jaringan makanan dan terjadi tumpang tindih relung makanan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa teri dimangsa oleh beberapa jenis predator yang masuk pada catchable area bagan rambo. Hal ini dapat diartikan bahwa kedatangan ikan-ikan tertentu pada area penangkapan bagan rambo selain disebabkan oleh ketertarikan ikan oleh cahaya lampu, juga karena keberadaan teri sebagai daya tarik ikan lain. Kesimpulan ini didasarkan pada hasil

54 pemerikasaan isi perut pada beberapa jenis ikan hasil tangkapan dimana ditemukan teri sebagai organisme makanan yang dominan. Analisis isi perut dalam penelitian ini hanya dilakukan pada beberapa jenis ikan tangkapan utama yaitu selar dan peperek secara kontinyu sehingga tidak bisa menjelaskan interaksi pemangsaan teri oleh ikan-ikan lain seperti kembung, layang, cumi, tembang, dan beberapa ikan jenis lain yang masuk di catchable area bagan rambo. Namun demikian, berdasarkankan uji korelasi antara hasil tangkapan teri dengan beberapa kelompok ikan yang tertangkap oleh bagan rambo terlihat bahwa hasil tangkapan teri secara signifikan berkorelasi dengan tangkapan layang, tembang, peperek, selar dan ikan lain. Hasil pemeriksaan isi perut juga menunjukkan beberapa jenis ikan yang masuk dalam kelompok ikan lain yang diketahui secara pasti melakukan aktivitas pemangsaan terhadap teri selama berada di catchable area bagan rambo adalah alu-alu, buntal, kwee, kerong-kerong, bambangan dan lencam. Namun pemeriksaan ini tidak dilakukan secara kontinyu selama penelitian karena jenis ikan-ikan tersebut hanya tertangkap pada periode tertentu. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat memeriksa secara kontinyu semua jenis ikan yang tertangkap oleh bagan rambo sehingga diketahui dengan baik motivasi kedatangannya pada catchable area bagan rambo apakah karena mencari makan, faktor cahaya atau faktor lain. Hasil analisis statistik juga memperlihatkan bahwa semakin banyak teri yang masuk di catchable area bagan rambo maka semakin banyak pula teri dimangsa oleh ikan-ikan pemangsa. Hal ini disebabkan kemudahan ikan-ikan pemangsa untuk menangkap mangsanya. Selain itu jika melihat dalam skala yang lebih luas maka hal ini juga menunjukkan sifat ikan-ikan pemangsa untuk memanfaatkan potensi sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan makanannya yang secara maksimal. Secara umum keberadaan teri pada catchable area bagan rambo mempunyai peran yang sangat penting atas kehadiran ikan-ikan pemangsa, sehingga populasi ikan teri di daerah fishing ground akan sangat menentukan populasi ikan-ikan lainnya. Ditinjau dari segi kelestarian ikan-ikan lain seperti

55 selar dan peperek di fishing ground tersebut maka populasi ikan teri perlu dipertahankan. Hal yang menarik, kaitannya pemangsaan teri oleh ikan pemangsa dengan penangkapan teri oleh manusia (nelayan) terdapat suatu kompetisi tidak langsung antara ikan pemangsa dengan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya yang sama. Eksploitasi secara berlebihan teri oleh nelayan akan mengurangi sumber makanan bagi ikan-ikan lain dan dapat mempengaruhi pertumbuhannya yang akhirnya akan mengurangi potensi sumberdaya perikanan untuk kebutuhan manusia itu sendiri. Oleh karena itu perlu pengkajian lebih lanjut terhadap persaingan secara tidak langsung antara ikan pemangsa teri dengan nelayan serta bagaimana dampaknya terhadap potensi sumberdaya teri tersebut maupun kedua kompetitor itu sendiri. Pengelolaan perikanan tangkap haruslah berkesinambungan yaitu dengan mempertimbangan keseimbangan potensi sumberdaya yang ada. Menurut Kaswadji (2006 komunikasi pribadi) disebutkan bahwa keseimbangan potensi suatu sumberdaya perikanan secara umum tergantung dari 2 faktor, yaitu (1) faktor yang dapat menambah stok ikan (input) yaitu rukruitmen dan pertumbuhan; dan (2) faktor yang dapat mengurangi stok ikan (output) yaitu mortalitas alami dan penangkapan. Stok ikan akan mengalami penurunan jika faktor input lebih kecil dari output, sebaliknya jika input lebih besar dari output maka terjadi surplus stok ikan. Pemanfaatan yang optimal terjadi jika input seimbang dengan output. Rukruitmen, pertumbuhan dan mortalitas ikan merupakan proses alami dan sangat sulit kontrol oleh manusia, sedangkan penangkapan merupakan faktor yang dapat kontrol. Dengan demikian pengelolaan perikanan tangkap yang berkesinambungan akan lebih bijaksana jika dilakukan dengan pengaturan sistem penangkapan.