BAB 1 PENDAHULUAN. ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TELAAH PUSTAKA. mengenai penelitian ini, berdasarkan variabel-variabel yang menjadi obyek

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. membutuhkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Human capital

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. organisasi. Penelitian mengenai engagement dalam pekerjaan yang berkembang

HUBUNGAN ANTARA JOB CRAFTING DENGAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN GENERASI Y DI KANTOR PUSAT PT. BANK BUKOPIN, TBK JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan dirinya, masykarakat, bangsa dan negara (Undang-undang Sisdiknas RI

BAB I PENDAHULUAN. segala kegiatan bisnis dan perekonomian, hal ini menyebabkan terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan UU No.8 Tahun1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Pegawai

KEPRIBADIAN PROAKTIF DAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN PT PLN (PERSERO) DISTRIBUSI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. yang mendefinisikan work engagement adalah tingkat keterikatan fisik,

PENDAHULUAN. Employee engagement merupakan topik yang banyak dibicarakan. beberapa tahun terakhir. Penelitian dan aplikasi mengenai topik ini banyak

BAB I PENDAHULUAN. rakyatnya, kualitas sumber daya manusia memegang peran yang cukup penting,

BAB II LANDASAN TEORI. sehingga banyak yang menyebut keterikatan kerja merupakan old wine in

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan naiknya persaingan bisnis. Masing-masing perusahaan saling beradu

BAB I PENDAHULUAN. Dunia pendidikan sangat penting untuk menjamin perkembangan kelangsungan

BAB 2 TINJAUAN REFERENSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Kahn (1990) mendefinisikan engagement sebagai hasrat karyawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Era globalisasi mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, perkembangan

untuk dapat terus mempertahankan kualitas kinerjanya. Perkembangan zaman juga menyebabkan persaingan antar perusahaan semakin ketat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Banyak penelitian yang menggunakan istilah engagement sebagai variabel

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa untuk mencapai Indonesia Sehat pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia, yakni mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia (SDM) adalah pelaksanaan job analysis, perencanaan SDM,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia pendidikan saat ini menuntut adanya penyesuaian sistem pendidikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Definisi Employee Engagement Definisi mengenai engagement saat ini masih belum jelas, istilah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kinerja. 1. Pengertian Kinerja. tujuan organisasi (Viswesvaran & Ones, 2000). McCloy et al. (1994)

BAB I PENDAHULUAN. adalah DKI Jakarta sehingga selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga merupakan pusat

BAB I PENDAHULUAN. (Kurniawati, 2013). Begitu pula seperti yang tercantum dalam UU No.20/2003

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi yang efektif semakin menyadari bahwa faktor yang sangat

BAB II LANDASAN TEORI. memiliki pengertian berbeda mengenai engagement (Albrecht, 2010).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

Pada era globalisasi saat ini, teknologi kesehatan berkembang semakin pesat

BAB I PENDAHULUAN. keuangan, kemampuan marketing, dan sumber daya manusia (SDM).

1 PENDAHULUAN Latar belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. yang telah ditetapkannya sendiri. Chaplin (2006) Life Satisfaction adalah satu

BAB I PENDAHULUAN. organisasi yang bernama Gallup pada tahun 1990-an. Menurut survei Global,

Bab I. Pendahuluan. pengelolaan yang baik pula organisasi akan mendapatkan karyawan-karyawan

BAB II LANDASAN TEORI. dari pembahasan komitmen organisasional dan work engagement terhadap job

sumber daya manusianya. Hal ini disebabkan karena dunia kerja memiliki tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Kahn (dalam May dkk, 2004) work engagement dalam. pekerjaan dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan pengelolaan sumber daya manusia telah ditandai pergeseran

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inovatif. Kompetisi yang terjadi menuntut organisasi untuk senantiasa mengembangkan

ADVERSITY QUOTIENT DAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL DALAM MENENTUKAN KETERIKATAN KERJA PADA KARYAWAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap organisasi. Banyak usaha dan daya yang dilakukan untuk mengatasi,

Salah satu tantangan terbesar perusahaan dalam persaingan di pasar global. engaged menjadi sangat berharga dalam mendukung kinerja perusahaan karena

BAB I PENDAHULUAN. seperti yang tercantum dalam UU NO.36/2009 pengertian kesehatan adalah keadaan sehat,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Work Engagement. Work engagement atau worker engagement merupakan sebuah konsep

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, serta pertumbuhan ekonomi dan

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI WORK ENGAGEMENT PADA KARYAWAN OUTSOURCING DIVISI KARTU KREDIT PT. BANK RAKYAT INDONESIA (PERSERO) TBK.

Pendahuluan Globalisasi dan tekanan internasional menuntut organisasi agar dapat meningkatkan kinerjanya. Kunci pembeda dari keunggulan kompetitif di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memenuhi kriteria yang diciri-cirikan dengan kerja keras, dedikasi dan

BAB II RERANGKA TEORITIS

2015 HUBUNGAN FAMILY SUPPORTIVE SUPERVISORY BEHAVIORS DAN TRUST IN SUPERVISOR DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT

yang memiliki peran penting dalam perusahaan karena mereka akan berhubungan dengan para pelanggan. Dalam masyarakat, karyawan pemasaran sering kali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. satunya adalah cabang Solo Raya dan Madiun Raya. Pada bulan April 2016

BAB 1 PENDAHULUAN. menaruh adanya minat terhadap pentingnya kesehatan. Sehat menurut kamus Besar

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. job description baru terhadap peningkatan derajat work engagement pada

HUBUNGAN ANTARA SELF DETERMINATION DENGAN KETERIKATAN KERJA (WORK ENGAGEMENT) PADA KARYAWAN PT JAPFA COMFEED INDONESIA CABANG SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dalam Undang-Undang Dasar Upaya

BAB I PENDAHULUAN. dan perlu dikembangkan untuk mendukung kelangsungan dan keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. semakin pesat, sumber daya manusia yang mampu dan berkualitas merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Prosiding Psikologi ISSN:

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Pesatnya perkembangan teknologi di era globalisasi ini mengharuskan setiap

KECERDASAN ADVERSITAS DAN KETERLIBATAN KERJA PADA KARYAWAN PT. GANDUM MAS KENCANA KOTA TANGERANG

DEFINISI MOTIVASI. Proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan usaha seorang. Komponen Motivasi : Intensitas, arah dan ketekunan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Permasalahan. memiliki batasan reaktif yang dapat diidentifikasi serta bekerja bersama-sama untuk

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dalam citra diri individu (Lodhal dan Kejner, 1965 dalam Khan

BAB I PENDAHULUAN. Fokus penelitian pada keluaran organisasi telah banyak dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap organisasi baik itu swasta maupun pemerintah akan berupaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bekerja bukanlah suatu hal yang baru di kalangan masyarakat. Berbeda dari

BAB I PENDAHULUAN. dalam dunia industri dan organisasi (Lingtangsari, Yusuf & Priyatama, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menghadapi era liberalisasi ekonomi Asia Pasifik (APEC) dan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kepuasan Kerja. seseorang. Menurut Wexley dan Yukl (2005: 129) kepuasan kerja adalah cara

Hubungan employee engagement dan burnout pada karyawan divisi IT

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan status Universitas Gadjah Mada (UGM) dari universitas yang

BAB III METODE PENELITIAN

2015 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN INQUIRY DAN PEMODELAN TERHADAP SELF-EFFICACY SISWA DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN JASMANI.

Peran Dukungan Sosial di Tempat Kerja Terhadap Keterikatan Kerja Karyawan

BAB I PENDAHULUAN. persaingan bisnis. Persaingan bisnis yang semakin ketat dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dibidang teknologi informasi (IT) khususnya dibidang Multimedia yakni

BAB III METODE PENELITIAN. terhadap hasil penelitian. Kegiatan penelitian harus mengikuti langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia mengalami

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap organisasi memiliki berbagai tujuan. Untuk mencapai tujuannya,

SELF REGULATION, KEPUASAN TERHADAP INFORMASI PEKERJAAN DAN WORK ENGAGEMENT: Studi Kasus pada Dosen FISIP UT

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. MSDM adalah mengelola unsur manusia secara baik agar diperoleh karyawan yang

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan ekonomi global yang dicirikan dengan perubahan cepat, dinamika tinggi, permintaan tinggi atas inovasi, dan (karenanya) memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi telah menuntut organisasi-organisasi modern untuk menjadi lebih terdesentralisasi (tidak terpusat). Hal ini ditujukan guna menghasilkan inovasi secara cepat, mencapai fleksibilitas, dan melakukan perubahan-perubahan yang berkelanjutan. Karenanya, organisasi-organisasi membutuhkan para karyawan yang tidak hanya memiliki keinginan, tetapi juga mampu melakukan pekerjaan diluar job descriptions yang diberikan organisasi kepadanya secara proaktif dengan mengambil inisiatif. Perilaku proaktif dan inisiatif semacam itu merupakan sebuah konsep bernilai tinggi daripada sekedar tren/mode manajemen, dapat menjadi penentu penting keberhasilan organisasional, dan dapat meningkatkan efektifitas organisasional. Sudah waktunya bagi organisasi-organisasi untuk memusatkan perhatian mereka pada cara-cara untuk mengenali dan memperbaiki kebijakankebijakan dan sistem-sistem yang justru berpotensi menekan inisiatif individual semacam ini. Perilaku proaktif merupakan sebuah bentuk spesifik atas perilaku termotivasi pada kerja, dimana para karyawan mengambil inisiatif dalam memperbaiki keadaan- 1

keadaan saat ini atau menciptakan keadaan-keadaan baru; dan meliputi tantangan terhadap status quo daripada secara pasif menyesuaikan diri pada kondisi-kondisi saat ini. (Bateman & Crant, 1993; Crant, 2000). Para karyawan yang proaktif akan menunjukkan perilaku yang bersifat self-directed, antisipatif, dan fokus pada masa depan dengan tujuan untuk membawa perubahan baik bagi situasi yang dihadapinya, dirinya sendiri, orang lain, kelompok, maupun organisasi (Belschak & Den Hartog, 2009 dalam Bindl & Parker, 2009; Grant & Ashford, 2008; Griffin, Neal, & Parker, 2007; Parker & Collins, in press.; Parker, Williams, & Turner, 2006). Selain itu, seseorang yang memiliki kepribadian proaktif tidak terdesak oleh tekanantekanan situasional; mereka akan memecahkan berbagai masalah; dan merasa memiliki tanggung jawab untuk mencari kesempatan, menunjukkan inisiatif, mengambil tindakan, serta gigih hingga terjadi perubahan dalam lingkungannya (Crant, 2000). Namun, perubahan yang dibawa oleh perilaku proaktif haruslah bersifat konstruktif dan konsisten terhadap misi organisasi (Morrison & Phelps, 1999; Frese, Kring, Soose, & Zempel, 1996). Salah satu hal yang dapat mendorong para karyawan untuk menunjukkan perilaku semacam itu adalah proses kognitif-motivasional yang terjadi dalam diri individu karyawan. Dengan kata lain, seorang karyawan akan bercermin dan menilai kemampuan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum menunjukkan perilaku proaktif, mengingat keterlibatannya dalam perilaku semacam itu menyiratkan hadirnya ide-ide baru yang tidak selalu disukai oleh orang lain. Seorang karyawan perlu memiliki 2

ekspektasi atas kendali pada tindakan yang diambilnya dan merasa bahwa ia termotivasi oleh kendali tersebut. Mereka yang memiliki orientasi kendali tinggi akan memiliki rasa tanggung jawab yang lebih kuat; tidak mudah menyerah saat masalahmasalah muncul; mencari lebih banyak kesempatan untuk bertindak; memiliki ekspektasi atas keberhasilan yang lebih tinggi dan (karenanya) memiliki orientasi pada jangka panjang dalam baik penentuan maupun perencanaan tujuan; serta aktif mencari informasi terkait pengetahuan atas timing (dimana dan kapan) untuk menunjukkan inisiatif (Frese & Fay, 2001). Karenanya, karyawan tersebut harus memiliki tingkat kepercayaan yang cukup pada kemampuannya untuk dapat menunjukkan perilaku proaktif (Bindl et al., 2009). Orientasi kendali tersebut mengacu pada konsep self-efficacy, atau harapan bahwa seseorang mampu untuk melakukan sebuah tindakan tertentu secara efektif (Bandura, 1997 dalam Frese et al., 2001; Bandura, 1986 dalam Bindl et al., 2009). Disamping proses kognitif-motivasional atas self-efficacy, proses-proses terkait pengaruh positif (positive affect-related processes) juga dapat membentuk perilaku proaktif (Bindl et al., 2009). Affect positif akan (1) membuat individu memilih untuk mengalokasikan upaya mereka pada tujuan jangka panjang yang menantang bahkan seringkali, yang beresiko; (2) mendorong individu untuk menunjukkan perilaku yang lebih bertanggungjawab dan konsisten dengan fokus jangka panjangnya; dan (3) mendorong perjuangan individu untuk mencapai tujuantujuan tersebut. Proses-proses ini terhimpun sepanjang waktu hingga pada akhirnya 3

membangun ( build ) aspek-aspek atas para individu yang lebih bertahan, seperti self-efficacy (Parker, 2007 dalam Bindl et al., 2009). Konsep yang dekat, meskipun tidak identik, dengan affect positif terkait kerja adalah work engagement (Bindl et al., 2009). Work engagement merupakan kondisi pikiran terkait kerja yang positif; memuaskan (fulfilling); dan dicirikan oleh vigor, dedication, serta absorption. Para karyawan yang memiliki tingkat vigor tinggi akan merasa bertenaga dalam bekerja, memiliki keuletan mental yang tinggi, menginvestasikan upaya kedalam pekerjaannya, tidak cepat lelah, dan persisten bahkan dihadapan kesulitan. Para karyawan yang memiliki tingkat dedication tinggi dalam pekerjaannya akan memiliki rasa berarti (sense of significance), antusias, bangga, terinspirasi, dan tertantang oleh pekerjaannya. Terakhir, para karyawan yang absorbed akan larut kedalam pekerjaannya hingga waktu terasa berlalu begitu cepat dan sulit untuk melepaskan dari pekerjaannya. Work engagement mengacu pada sebuah kondisi afektif-kognitif yang persisten dan tidak terfokus pada objek, kejadian, individual, atau perilaku tertentu. Mengingat absorption mirip dengan konsep mengalir (flow) kondisi dimana para karyawan sangat terfokus, memiliki kendali penuh, berpikiran jernih, memiliki sinergi antara pikiran dan tubuh yang baik, mudah berkonsentrasi, lupa waktu, dan mengalami kenikmatan intrinsik (Csikszentmihalyi, 1990 dalam Schaufeli, Salanova, González-Romá, & Bakker, 2002) yang mengacu pada pengalaman-pengalaman 4

jangka waktu yang relatif pendek dan memuncak, maka absorption akan cenderung lebih pantas untuk dipertimbangkan sebagai konsekuensi work engagement daripada sebagai salah satu komponennya. Self-efficacy mampu mendorong para karyawan untuk menunjukkan work engagement dan juga (pada akhirnya) perilaku proaktif karena self-efficacy mendorong seseorang untuk melakukan rangkaian tindakan efektif untuk mengubah lingkungan. Dalam hal ini, self-efficacy bertindak sebagai sebuah mekanisme motivasi diri (self-motivating mechanism) dimana seseorang yang memandang tinggi kompetensinya akan menciptakan tujuan bagi dirinya sendiri dan terdorong untuk mengeluarkan upaya serta persistensi dalam mengatasi rintangan-rintangan (Bandura, 2001). Dalam sudut pandang lain dimana self-efficacy dipertimbangkan sebagai sumber daya pribadi (personal resources); seseorang yang memiliki tingkat sumber daya pribadi yang tinggi akan (1) semakin menghormati dirinya sendiri, (2) memiliki ekspektasi atas goal self-concordance yang tinggi, (3) semakin terdorong secara intrinsik untuk mengejar tujuannya, dan (4) memicu kinerja dan kepuasan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, para karyawan yang merasa penting, kuat, dan antusias terhadap pekerjaan mereka akan menunjukkan kinerja yang baik (Salanova, Lorente, Chambel, & Martínez, 2011). Sumber daya pribadi sendiri merupakan aspek keuletan diri yang mengacu pada penilaian atas keberhasilan para individu untuk mengendalikan dan memberikan dampak pada lingkungan mereka (Hobfoll, Johnson, 5

Ennis, & Jackson, 2003 dalam Del Líbano, Llorens, Salanova, & Schaufeli, 2012: 690; Xanthopoulou, Bakker, Demerouti, & Schaufeli, 2007: 123-124). Penelitian ini memiliki fokus pada hubungan antara ketiga bangun (variabel) self-efficacy, work engagement, dan perilaku proaktif. Sesuai dengan pertimbangan, konseptualisasi, dan teori yang menjadi landasan hubungan ketiga variabel diatas, maka secara spesifik penelitian ini akan fokus pada proses yang mendorong penunjukan perilaku proaktif para karyawan lewat tingkat self-efficacy dan work engagement yang mereka miliki. Penelitian yang menyelidiki hubungan proses antara variabel-variabel yang diteliti didalamnya akan melibatkan sebuah variabel intervensi (intervening variable) atau mediator/variabel mediasi. Dalam konteks ini, work engagement akan menjadi mediator yang (diharapkan) akan menjelaskan proses dalam hubungan antara self-efficacy dan perilaku proaktif. Penelitian ini akan menunjuk para karyawan PT X sebagai subjek penelitian. Sebagai perusahaan terbesar yang bergerak dalam industri perbankan di Indonesia (dalam konteks aset-aset, pinjaman-pinjaman, dan deposito), PT X memiliki pedoman standar sumber daya manusia yang menyertakan apa yang mereka sebut dengan Employee Engagement, yang kandungannya mirip dengan konsep work engagement yang akan diselidiki dan diuji dalam penelitian ini. Sebagai contoh, PT X menjelaskan employee engagement mereka sebagai kekuatan motivasi untuk meningkatkan performa. Selain itu, PT X juga menyatakan pegawainya dapat 6

dikatakan engaged apabila (contoh) berkeinginan untuk melakukan sesuatu yang lebih baik dengan melakukan upaya lebih ( go the extra mile ). Dengan mengesampingkan fakta bahwa apakah PT X memiliki kesadaran atas konsep work engagement yang sama dengan yang diselidiki dalam penelitian ini dan mencoba menerapkannya dalam struktur organisasinya, penelitian ini akan menguji (1) bila tingkat self-efficacy yang dimiliki para karyawan mendorong penunjukan perilaku proaktif; dan (2) bila tingkat work engagement yang mereka miliki memainkan peran mediasi antara hubungan self-efficacy dan perilaku proaktif. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah tingkat self-efficacy yang dimiliki para karyawan mendorong penunjukan perilaku proaktif? 2. Apakah tingkat work engagement yang dimiliki para karyawan memainkan peran mediasi antara tingkat self-efficacy yang mereka miliki dan kemungkinan penunjukan perilaku proaktif? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, maka penelitian ini ditujukan untuk: 7

1. Menganalisis pengaruh self-efficacy pada perilaku proaktif para karyawan, dan 2. Menganalisis peran mediasi work engagement pada hubungan antara selfefficacy dan perilaku proaktif para karyawan. 1.4 Kontribusi Penelitian Hasil-hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan sumbangan bagi para sarjana sumber daya manusia (human resource) maupun para sarjana psikologi organisasional lainnya dalam memperluas wawasan pada hubunganhubungan antara self-efficacy, work engagement, dan perilaku proaktif. Penelitian ini juga diharapkan untuk mampu memberikan gambaran umum atas hubunganhubungan sumber daya pribadi, motivasi, dan perilaku. Bagi subjek penelitian, hasil-hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan evaluasi-evaluasi kepantasan kebijakan-kebijakan sumber daya manusia yang saat ini diterapkan dalam organisasi dan (bahkan) diharapkan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan atas kebijakan-kebijakan sumber daya manusia yang mungkin dapat diterapkan organisasi pada masa yang akan datang. 8