HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

PENGARUH KOMBINASI SELANG PEMERAHAN TERHADAP PRODUKSI DAN KOMPOSISI SUSU SAPI PERAH SKRIPSI RINA ATRIANA

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipelihara dengan tujuan menghasilkan susu. Ciri-ciri sapi FH yang baik antara

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pendapatan peternak (Anggraeni, 2012). Produksi susu sapi perah di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cara peningkatan pemberian kualitas pakan ternak. Kebutuhan pokok bertujuan

MATERI DAN METODE. Metode

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi perah Friesian Holstein (FH) merupakan salah satu jenis sapi perah

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Fries Holland (Holstein Friesian) Pemberian Pakan Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

disusun oleh: Willyan Djaja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Peranakan Ettawa (PE) merupakan hasil perkawinan antara kambing

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 6

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Rakyat di Ciater Peternakan rakyat di Ciater Kabupaten Subang merupakan peternakan yang

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA SapiFriesian Holsteindan Tampilan Produksi Susu

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian mengenai Hubungan Konsumsi Bahan Kering dan Protein Pakan

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

HASIL DAN PEMBAHASAN

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

METODE. Materi. Metode

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. besar dipelihara setiap negara sebagai sapi perahan (Muljana, 2010). Sapi FH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tahun 2011 sebanyak ekor yang tersebar di 35 Kabupaten/Kota.

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian berlangsung mulai tanggal 23 Juli 2011 sampai dengan 23 Agustus

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN. kebutuhan susu nasional mengalami peningkatan setiap tahunnya.

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III MATERI DAN METODE. pada Ransum Sapi FH dilakukan pada tanggal 4 Juli - 21 Agustus Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

HUBUNGAN VARIASI PAKAN TERHADAP MUTU SUSU SEGAR DI DESA PASIRBUNCIR KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

PRODUKSI SUSU DAN PEMBERIAN PAKAN SAPI PERAH DI KAWASAN USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH KECAMATAN CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR SKRIPSI MOHAMAD SODIQIN

PRODUKSI DAN. Suryahadi dan Despal. Departemen Ilmu Nutrisi &Teknologi Pakan, IPB

PENJABARAN RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN Minggu ke-2

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sumber utama protein, kalsium, fospor, dan vitamin.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pengaruh Fermentasi terhadap Kandungan Energi Bruto

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar

PENDAHULUAN. rendah adalah masalah yang krusial dialami Indonesia saat ini. Catatan Direktorat

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan jumlah konsumsi pakan pada setiap perlakuan selama penelitian dapat. Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

POTENSI PEMBERIAN FORMULA PAKAN KONSENTRAT KOMERSIALTERHADAP KONSUMSI DAN KADAR BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN DENGAN IMBANGAN KONSENTRAT DAN HIJAUAN YANG BERBEDA TERHADAP KANDUNGAN LAKTOSA DAN AIR PADA SUSU SAPI PERAH SKRIPSI.

HASIL DAN PEMBAHASAN

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pakan merupakan faktor yang berpengaruh cukup besar terhadap tampilan

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian pengaruh penambahan kolin klorida pada pakan terhadap kadar

MATERI DAN METODE. Materi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10 ekor sapi perah Fries

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

PEMBERIAN PAKAN PADA PENGGEMUKAN SAPI

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Ternak penelitian yang digunakan adalah sapi perah FH pada periode

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Efisiensi Penggunaan Pakan

Transkripsi:

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi sapi perah agar didapatkan kelahiran satu kali dalam setahun. Ketika kelahiran dapat diatur sehingga dihasilkan kelahiran sekali setahun, maka akan berpengaruh terhadap produksi susu yang dihasilkan. Menurut Ensminger dan Tyler (2006), rata-rata produksi susu sapi perah Friesian Holstein adalah 10.209,96 kg per laktasi. Produksi susu akan meningkat pada bulan pertama laktasi dan akan menurun perlahan-lahan pada bulan berikutnya. Apabila merujuk pada pendapat Ensminger dan Tyler (2006), artinya jika masa laktasi 305 hari maka produksi susu perhari sapi FH seharusnya adalah 33,48 kg/hari atau setara 32,56 liter/hari (BJ 1,028). Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi susu sapi perah yang digunakan pada penelitian ini yang hanya sebesar 6,18 + 0,84 liter/hari. Menurut Sudono et al., (2003), produksi susu sapi FH di Indonesia ratarata adalah 10 liter/ekor/hari. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kemampuan sapi perah yang digunakan pada penelitian kali ini, salah satunya adalah manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Pemberian pakan secara kuantitas masih belum memenuhi standar kebutuhan pakan untuk sapi perah dewasa. Pemberian pakan tidak dikondisikan sebelum dilakukan penelitian karena untuk menyesuaikan dengan keadaan riil di peternakan. Sapi yang digunakan pada penelitian kali ini adalah sapi perah laktasi ketiga bulan ketiga dengan perkiraan bobot badan 353 kg (lingkar dada 166 cm). Pakan yang diberikan dua kali sehari terdiri atas hijauan dan konsentrat. Jenis hijauan yang digunakan adalah rumput gajah sebanyak 20 kg per hari. Menurut Despal et al. (2007), rumput gajah memiliki BK 21,3%, PK 9,30%, SK 33,70%. Pemberian hijauan dalam ransum selain dapat menghemat biaya pengeluaran pakan karena harga yang relatif murah, hijauan pada ternak sapi perah juga sangat penting karena berpengaruh terhadap kadar lemak susu (Aryogi et al., 1994). Menurut Santosa et al., (2009), rumput gajah termasuk hijauan dengan kadar energi tingkat menengah. Konsentrat yang diberikan berupa konsentrat komersil sebanyak 6 kg perhari, dalam dua kali pemberian pagi dan sore. Menurut Sutardi (1980), pakan yang terlalu

banyak mengandung konsentrat akan menyebabkan menurunnya produksi asam asetat dalam rumen. Penurunan asam asetat dapat mengakibatkan rendahnya kadar lemak susu karena asam asetat merupakan bahan utama pembentuk lemak air susu. Bobot sapi pada penelitian kali ini adalah 353 kg, oleh sebab itu kebutuhan pakan dalam bahan keringnya sekitar 14,12 kg jika mengacu pada Santosa et al., (2009) yang menyatakan bahwa pemberian pakan sapi perah dalam bahan kering adalah 4% bobot tubuhnya. Menurut penelitian Mariyono et al., (1991) di daerah Grati, Jawa Timur, konsumsi BK untuk sapi laktasi ketiga dengan bobot badan ratarata tak lebih dari 350 kg adalah sebesar 12,61 kg atau sekitar 3,5% bobot tubuhnya. Berdasarkan Miller (1979), kecernaan zat-zat makanan tertinggi pada sapi perah dapat dicapai ketika perbandingan bahan kering (BK) ransum asal hijauan dengan konsentrat sampai dengan 60:40. Jika kebutuhan BK 14,12 kg dengan perbandingan hijauan konsentrat 60:40, maka dibutuhkan hijauan dalam bentuk kering sebanyak 8,47 kg dan konsentrat sebanyak 5,65 kg. Diketahui bahwa BK rumput gajah sebesar 21,3%, artinya hijauan dalam bentuk segar yang diberikan sebanyak 20 kg jika dikonversi menjadi BK hanya 4,26 kg. Jumlah ini masih belum memenuhi kebutuhan pakan hijauan untuk sapi perah. Masih dibutuhkan lagi 4,21 kg hijauan dalam bentuk BK, atau setara dengan 20 kg hijauan rumput gajah dalam bentuk segar. Pakan konsentrat yang digunakan pada penelitian kali ini memiliki nilai BK 82,7%. Total pemberian konsentrat perhari adalah 6 kg dalam bentuk segar, atau jika diubah menjadi bentuk kering diperoleh nilai 4,96 kg. Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrat yang diberikan masih belum mampu memenuhi kebutuhan harian sapi sebanyak 5,65 kg bahan kering. Pakan yang diberikan pada seekor sapi perah dewasa digunakan untuk kebutuhan hidup pokok, produksi dan pertumbuhan (Foley et al., 1973). Kekurangan pakan dapat secara langsung menyebabkan rendahnya produktivitas sapi perah, terutama jika sapi mengalami kekurangan pakan setiap hari. Selain berimbas pada produksi, kekurangan pakan dapat menyebabkan pertumbuhan sapi yang tidak optimal. Hal ini terlihat dari bobot badan sapi yang hanya 353 kg. Bobot badan tersebut masih di bawah bobot rata-rata sapi FH betina dewasa yang berkisar antara 628 kg (Sudono et al., 2003). Padahal menurut

Campbell et al., (2003), sapi yang bertubuh besar secara normal mampu mensekresi susu lebih banyak dibanding dengan sapi berukuran kecil. Selain faktor pakan, yang menyebabkan rendahnya produksi susu sapi yang digunakan pada penelitian ini adalah suhu yang relatif tinggi. Menurut Atabany et al. (2008), produksi susu per ekor perhari pada sapi perah FH di Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan produksi susu di negara asalnya. Indonesia sebagai negara tropis cenderung memiliki suhu yang lebih tinggi dari suhu negara asal sapi perah FH yang beriklim sedang. Suhu lingkungan rata-rata pada tempat penelitian berkisar antara 29-33 o C, sedangkan suhu nyaman sapi perah tidak lebih dari 23 o C. Menurut Anderson et al. (1985), pengaruh langsung stress panas terhadap produksi susu disebabkan meningkatnya kebutuhan hidup pokok untuk menghilangkan kelebihan beban panas, mengurangi laju metabolis, dan mengurangi konsumsi pakan. Rataan berat jenis pada penelitian ini adalah 1,0274 + 0,98. Nilai ini memenuhi standar Badan Standar Nasional Indonesia dalam SNI (2011) mengenai susu segar yaitu sebesar 1,0270. Berat jenis susu bergantung pada kandungan bahan kering tanpa lemak (BKTL) dalam susu. Semakin tinggi kadar BKTL susu, maka berat jenis akan semakin tinggi. Bahan kering tanpa lemak merupakan total padatan susu setelah dikurangi kandungan lemak dalam susu. Semakin tinggi kadar BKTL maka kualitas susu dapat dikatakan semakin baik. Kandungan bahan kering tanpa lemak susu pada penelitian ini sebesar 7,77 + 0,20 %. Nilai ini sedikit dibawah nilai BKTL minimum 7,8% berdasarkan Badan Standaridisasi Nasional (2011). Menurut Schmidt (1971), BKTL susu maksimum pada awal laktasi dan menurun dengan cepat 2 sampai 3 bulan awal laktasi, kemudian meningkat kembali sampai akhir laktasi. Rata-rata kandungan lemak susu sapi perah pada penelitian ini adalah 3,76 + 0,98 %. Meskipun angka ini masih dibawah kadar lemak rata-rata untuk sapi FH menurut Leaver (1983) sebesar 3,8%, namun perbedaannya tidak terlalu jauh. Muchtadi dan Sugiono (1992) menyatakan bahwa kadar lemak susu dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu 1) kadar lemak pakan, 2) pengaruh iklim dengan kadar lemak susu akan lebih tinggi saat musim dingin, 3) waktu laktasi dan prosedur pemerahan, 4) umur sapi yaitu semakin tua kadar lemaknya akan semakin rendah, dan 5) waktu pemerahan.

Hasil pengukuran kadar protein rata-rata pada penelitian ini 3,43 + 0,11 %. Meskipun nilai tersebut tergolong dibawah standar jika mengacu pada Winarno (1993) yang menyatakan bahwa kadar protein susu sapi segar sekitar 3,5%, namun kadar protein tersebut masih diatas batas minimum yang ditetapkan oleh SNI 3141.1-2011 yaitu sebesar 2,8%. Laktosa adalah bagian dari komponen susu yang memberi rasa manis pada susu. Semakin tinggi persentase laktosa dalam susu, maka susu tersebut akan semakin manis dan memiliki kandungan energi yang lebih tinggi. Laktosa susu berbahan dasar monosakarida berupa glukosa dan galaktosa. Laktosa terdapat larut dalam air susu. Rataan persentase laktosa yang diperoleh dari penelitian ini adalah 3,67 + 0,11 %. Menurut Jenkins et al. (1984) dan Moallem et al. (1997), tinggi rendahnya laktosa dalam susu mengindikasikan tinggi rendahnya aktivitas mikroba rumen. Faktor penyebabnya karena aktivitas mikroba rumen sangat erat kaitannya dengan kerja enzim pencerna selulosa. Ketika pencernaan selulosa meningkat maka asam lemak terbang yang dihasilkan akan meningkat pula. Asam lemak yang meningkat akan meningkatkan glukosa. Lebih lanjut Arora (1995) menyatakan bahwa sebagian glukosa akan masuk ke kelenjar mamae dan diubah menjadi laktosa. Pengaruh Selang Pemerahan terhadap Produksi Susu Selain pemberian pakan dan manajemen pemeliharaan, manajemen pemerahan juga merupakan salah satu aspek yang harus diperhatikan. Jika sapi perah diperah dua kali sehari dengan jarak waktu yang sama antar pemerahan maka akan sedikit sekali menyebabkan perubahan susunan susu (Sudono et al., 2003). Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa ada kemungkinan perbedaan produksi dan komponen susu yang dihasilkan apabila jarak waktu pemerahannya tidak sama. Hasil analisis ragam yang disajikan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa selang pemerahan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi (ml/puting/hari) dan laju sekresi susu (ml/jam). Berdasarkan pengamatan diperoleh hasil bahwa produksi susu lebih banyak (P<0,05) dengan laju sekresi yang lebih cepat (P<0,05) pada selang pemerahan 15:9 jam dibandingkan dengan selang pemerahan lainnya. Hal ini berbeda dengan pendapat Schimdt dan Timberger (1962) yang menyatakan bahwa selang pemerahan 12:12 memiliki persentase produksi susu yang lebih tinggi 0,3% dibanding selang pemerahan 14:10 jam. Perbedaan antara hasil penelitian ini dengan

hasil Schimdt dan Timberger (1962) disebabkan karena adanya perbedaan selang pemerahan yaitu 15:9 dengan 12:12 atau 10:14 maupun kondisi sapi yang tidak optimal pada penelitian ini akibat pemeliharaan yang kurang baik, yaitu pakan yang belum mencukupi kebutuhan harian sapi, kualitas hijauan yang rendah dan suhu lingkungan yang tinggi. Tabel 3. Produksi Susu (ml) dan Laju Sekresi Susu (ml/jam) pada Setiap Kombinasi Selang Pemerahan Perlakuan Produksi (ml/puting/hari) Laju sekresi susu (ml/jam) A (12:12) 1367,97 ± 220,37 a 114,00 ± 25,80 a B (13:11) 1451,56 ± 220,37 a 121,24 ± 25,80 a C (14:10) 1494,84 ± 220,37 a 125,67 ± 25,80 a D (15:9) 1866,09 ± 220,37 b 171,00 ± 25,80 b Keterangan : superskrip berbeda pada setiap kolom menandakan hasil yang berbeda nyata (P <0,05) Perbedaan hasil tersebut terjadi karena pemerahan pertama dilakukan pada sore hari untuk perlakuan 15:9, yaitu pada pukul 14.00, sedangkan pemerahan pagi dilakukan pukul 05.00 untuk semua perlakuan. Selama selang 9 jam tersebut, antara pukul 05.00 sampai dengan 14.00, ambing sudah mulai terisi penuh oleh air susu. Begitupun dengan selang pemerahan 15 jam, antara pukul 14.00 sampai dengan pukul 05.00, produksi susu menjadi lebih banyak karena interval yang lebih lama. Sebenarnya produksi susu bisa saja menjadi lebih tinggi jika selang pemerahan 15 jam dibagi lagi kedalam 2 kali waktu pemerahan. Menurut Blakely dan Bade (1994), rata-rata laju sekresi susu mengalami penurunan mulai 10-12 jam pasca pemerahan sebelumnya, akan tetapi tidak secara drastis. Hal inilah yang kemudian menyebabkan perlakuan 15:9 jam memiliki nilai produksi susu yang lebih tinggi dari perlakuan lain. Sebaiknya jika dilakukan pemerahan lebih dari 2 kali sehari susu yang diperoleh menjadi lebih banyak. Namun dikarenakan produksi susu di Indonesia masih tergolong rendah, maka pemerahan lebih dari 2 kali sehari hanya akan meningkatkan biaya operasional pegawai dan belum menguntungkan. Hasil uji analisis ragam pada Tabel 4 juga menunjukkan bahwa perlakuan selang pemerahan yang berbeda memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap

produksi susu dengan satuan gram. Nilai produksi untuk tiap-tiap perlakuan yang berbeda antara lain, perlakuan 12:12 jam (1404,3 gram), 13:11 jam (1491,07 gram), 14:10 jam (1535,80 gram), dan perlakuan 15:9 (1913,22 gram). Produksi susu untuk perlakuan 15:9 menunjukkan nilai yang lebih banyak (P<0,05) dibandingkan perlakuan yang lainnya. Laju sekresi susu untuk perlakuan selang pemerahan 15:9 didapat nilai sebesar 171 ml/jam. Laju sekresi pada selang pemerahan 15:9 adalah lebih cepat (P<0,05) dari laju sekresi susu untuk perlakuan selang pemerahan yang lainnya. Hal ini dapat terjadi karena produksi susu yang diperoleh untuk perlakuan 15:9 ini lebih banyak (P<0,05) dari perlakuan yang lain. Diketahui bahwa laju sekresi susu diperoleh dari produksi susu dibagi dengan lamanya selang pemerahan. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa ketika satuannya dikonversi menjadi gram/jam, laju sekresi susu untuk perlakuan 15:9 tetap jauh lebih cepat (P<0,05) dibanding perlakuan yang lainnya. Tabel 4. Hasil Pengukuran Produksi Susu, Produksi Lemak, Produksi Protein, Produksi Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) dan Kecepatan Laju Sekresi Susu untuk Setiap Perlakuan Kombinasi Selang Pemerahan Kombinasi selang pemeraha Produksi susu (g/puting) Laju sekresi (g/jam) Lemak susu (g/puting) BKTL susu (g/puting) Protein susu (g/puting) n A (12:12) 1404,30±224,8 a 117,02±26,5 a 54,08 ± 8,4 a 108,58±17,6 a 47,37±8,0 a B (13:11) 1491,07±224,8 a 124,54±26,5 a 56,74 ± 8,4 a 116,54±17,6 a 51,52±8,0 a C (14:10) 1535,80±224,8 a 129,11±26,5 a 56,35 ± 8,4 a 119,55±17,6 a 52,78±8,0 a D (15:9) 1913,22±224,8 b 175,55±26,5 b 72,28 ± 8,4 b 148,92±17,6 b 65,96±8,0 b Keterangan : superskrip berbeda pada setiap kolom menandakan hasil yang berbeda nyata (P <0,05) Pengaruh Selang Pemerahan terhadap Komposisi Susu Pada penelitian ini, selain faktor yang terkait produksi, diukur juga pengaruh selang pemerahan terhadap kualitas susu. Indikator kualitas yang diukur yaitu berat jenis (BJ), kadar lemak, kadar bahan kering tanpa lemak (BKTL), kadar protein, serta kadar laktosa. Nilai kelima indikator kualitas tersebut bervariasi untuk masingmasing sampel. Setelah dilakukan uji analisis ragam, (Tabel 5) diperoleh bahwa perlakuan selang pemerahan yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata

terhadap BJ, persentase kadar lemak, kadar BKTL, kadar protein, dan kadar laktosa dalam susu segar. Data selengkapnya tersaji pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengukuran Berat Jenis (BJ), Kadar Lemak, Kadar Bahan Kering Tanpa Lemak, Kadar Protein dan Kadar Laktosa untuk Setiap Perlakuan Kombinasi Selang Pemerahan Kombinasi BJ Lemak BKTL (%) Protein (%) Laktosa (%) selang pemerahan (%) A (12:12) 1,027±0,0005 a 3,79±0,05 a 7,72±0,04 a 3,41±0,02 a 3,66±0,02 a B (13:11) 1,027±0,0005 a 3,72±0,05 a 7,81±0,04 a 3,45±0,02 a 3,70±0,02 a C (14:10) 1,027±0,0005 a 3,67±0,05 a 7,78±0,04 a 3,43±0,02 a 3,69±0,02 a D (15:9) 1,026±0,0005 a 3,73±0,05 a 7,77±0,04 a 3,44±0,02 a 3,69±0,02 a Keterangan : superskrip berbeda pada setiap kolom menandakan hasil yang berbeda nyata (P< 0.05) Secara umum komposisi susu sapi menurut Ensminger dan Tyler (2006), terdiri atas air 87,2%, lemak 3,7%, bahan kering tanpa lemak 9,1%, protein 3,5%, laktosa 4,9% dan mineral 0,7%, namun banyak faktor yang mempengaruhi komposisi susu sapi perah. Menurut Santosa et al. (2009), faktor yang mempengaruhi komposisi dan kualitas susu antara lain jenis ternak, pakan yang diberikan, kesehatan ternak, serta manajemen pemerahan, kebersihan dan sanitasi. Standar nilai berat jenis susu segar menurut SNI No. 3141.1-2011 adalah 1,027 g/cm 3. Berdasarkan hasil pengamatan, berat jenis dari susu untuk perlakuan 15:9 berada di bawah ketetapan SNI. Nilai rata-rata berat jenis untuk perlakuan A, B, dan C adalah 1,027 g/cm 3, sedangkan untuk perlakuan D (15:9) lebih rendah yaitu 1,026 g/cm 3. Menurut Rahman et al., (1992), berat jenis susu dipengaruhi oleh zatzat padatan yang terkandung didalam susu seperti lemak, protein, laktosa dan mineral. Semakin banyak kandungan padatan dalam susu, maka nilai berat jenisnya akan semakin tinggi dan susu akan semakin kental. Nilai berat jenis yang rendah pada sampel menandakan bahwa susu tersebut mempunyai kandungan padatan yang lebih sedikit. Hasil pengujian susu segar untuk parameter kadar lemak memiliki nilai ratarata yang berbeda untuk setiap perlakuan. Pada perlakuan 12:12 rata-rata persentase kadar lemak susu sebesar 3,79%, perlakuan 13:11 sebesar 3,72%, perlakuan 14:10 sebesar 3,67%, dan perlakuan 15:9 sebesar 3,73%. Persentase kadar lemak susu

tersebut memenuhi standar minimal kadar lemak susu yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional melalui SNI (2011) yaitu sebesar 3,00%. Meskipun pakan hijauan yang diberikan masih dibawah standar pemberian, tapi karena produksi susu perhari tergolong rendah, maka kadar lemak akan cenderung tinggi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama 4 periode dengan masingmasing periode 16 hari, diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan selang pemerahan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap persentase kadar lemak susu. Persentase lemak susu cenderung konstan sesuai dengan pernyataan Sudono et al., (2003) yaitu kadar lemak susu mulai menurun setelah 1-2 bulan masa laktasi, kemudian pada 2-3 bulan masa laktasi kadar lemak sudah mulai konstan, selanjutnya sedikit meningkat. Penelitian ini dilakukan setelah 3 bulan masa laktasi. Berbeda dengan nilai kadar lemak dalam persen. Pada Tabel 4 disaat persentase kadar lemak tersebut dikonversi menjadi gram dengan cara mengalikannya dengan gram produksi harian, diperoleh kesimpulan bahwa perbedaan perlakuan selang pemerahan akan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap berat lemak susu (gram). Masing-masing nilai berat lemak susu untuk tiap perlakuan yaitu, perlakuan A 54,08 gram, B 56,74 gram, C 56,35 gram, dan perlakuan D sebesar 72,28 gram. Selanjutnya dilakukan pengujian lanjutan yaitu menggunakan uji banding Tukey, dan diperoleh kesimpulan bahwa kadar lemak susu dalam satuan gram untuk perlakuan 15:9 berbeda secara statistik dengan tiga perlakuan yang lain, yaitu perlakuan 12:12, 13:11, dan 14:10. Hal ini dapat terjadi dikarenakan persentase tersebut didapatkan dari gram produksi susu masing-masing perlakuan. Diketahui bahwa jumlah (gram) produksi susu untuk perlakuan 15:9 memiliki nilai paling tinggi dan hasil uji bandingnya menunjukkan bahwa gram produksi tersebut berbeda secara statistik dengan perlakuan yang lain. Lemak merupakan salah satu kompenen penting penyusun susu sebagai indikator harga jual maupun indikator kebutuhan energi ternak. Kadar lemak dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah jenis pakan. Menurut Siregar (1997), pemberian konsentrat yang terlalu banyak dapat menurunkan kadar lemak susu. Sebaliknya, ketika pemberian hijauan diperbanyak, maka akan berakibat pada meningkatnya konsumsi pakan, produksi susu dan kadar lemak susu.

Nilai persentase kadar protein pada Tabel 5 menunjukkan perlakuan 12:12 sebesar 3,41%, perlakuan 13:11 sebesar 3,42%, perlakuan 14:10 sebesar 3,43%, dan perlakuan 15:9 sebesar 3,44%. Persentase kadar protein susu tersebut masih memenuhi standar minimal yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional (2011) yaitu sebesar 2,80%. Persentase protein masing-masing perlakuan ini tidak berbeda secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa kadar protein susu selama proses pengambilan data atau bahkan selama laktasi cenderung tetap. Nilai kadar protein dalam bentuk gram memberikan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan, yaitu perlakuan 15:9 jam memiliki nilai yang lebih tinggi dari perlakuan yang lain dan berbeda secara statistik (P<0,05). Menurut Schmidt et al. (1988), sama halnya dengan lemak susu, protein susu juga berkorelasi negatif dengan produksi susu. Bahan kering tanpa lemak (BKTL) dapat digunakan untuk menentukan harga jual susu, semakin tinggi persentasenya maka harga susu akan semakin mahal. Data hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan nilai persentase kadar bahan kering tanpa lemak pada perlakuan 12:12 sebesar 7,72%, perlakuan 13:11 sebesar 7,81%, perlakuan 14:10 sebesar 7,78%, dan perlakuan 15:9 sebesar 7,77%. Nilai tersebut bisa dikatakan masih berada dalam kadar BKTL yang telah ditetapkan Badan Standardisasi Nasional No 3141.1 dalam SNI (2011) yaitu sebesar 7,80%. Persentase tertinggi adalah pada perlakuan 13:11 jam, namun secara statistik persentase BKTL untuk masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata. Nilai BKTL selanjutnya dapat mempengaruhi besar kecilnya berat jenis susu. Semakin tinggi persentase BKTL maka nilai berat jenis akan semakin tinggi. Perlakuan yang berbeda berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah bahan kering tanpa lemak susu dalam bentuk gram (Tabel 4). Nilai BKTL berturut-turut untuk keempat perlakuan adalah 108,58 gram untuk perlakuan A, 116,54 gram untuk perlakuan B, 119,55 gram perlakuan C, dan 148,92 untuk perlakuan D. Perlakuan D memiliki nilai gram BKTL yang lebih tinggi dari yang lain, dan setelah dilakukan uji banding terbukti berbeda secara statistik dari yang lainnya. Menurut Wattiaux (2000), kadar laktosa dapat berbanding terbalik dengan kadar lemak. Laktosa didalam sel sekretori ambing dapat diubah menjadi α-gliserol- P sebagai prekursor pembentukan lemak. Data hasil penelitian (Tabel 5) menunjukkan nilai persentase kadar laktosa pada perlakuan 12:12 sebesar 3,66%,

perlakuan 13:11 sebesar 3,70%, perlakuan 14:10 sebesar 3,69%, dan perlakuan 15:9 sebesar 3,69%. Persentase laktosa tertinggi terdapat pada perlakuan 13:11 jam, namun secara statistik persentase laktosa untuk masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata. Oleh karena itu selang pemerahan dengan waktu yang berbeda-beda tidak akan mempengaruhi kadar laktosa susu. Tabel 6 menunjukkan hasil pengukuran produksi, kadar lemak, kadar BKTL, dan laju sekresi susu untuk setiap selang pemerahan. Tabel 6. Hasil Pengukuran Produksi Susu, Produksi Lemak, Produksi BKTL, dan Laju Sekresi Susu pada Setiap Selang Pemerahan Selang pemerahan Produksi susu Laju sekresi Lemak BKTL (jam) (gram) (gram/jam) (gram) (gram) 9 1075,2±137,78 119,44±22,3 46,04±7,02 84,13±10,69 10 679,38±137,78 a 67,94±22,3 a 27,03±7,02 a 53,49±10,69 a 11 703,58±137,78 a 63,96±22,3 ab 27,47±7,02 a 55,42±10,69 a 12 702,14±137,78 a 58,52±22,3 ab 27,04±7,02 a 54,29±10,69 a 13 787,49±137,78 ab 60,58±22,3 ab 29,26±7,02 a 61,12±10,69 ab 14 856,41±137,78 b 61,17±22,3 ab 29,32±7,02 a 66,06±10,69 b 15 841,23±137,78 b 55,87±22,3 b 26,24±7,02 a 64,79±10,69 b Keterangan : superskrip berbeda pada setiap kolom menandakan hasil yang berbeda nyata (P < 0.05) Hasil pengukuran untuk produksi susu, laju sekresi, produksi lemak dan produksi BKTL susu pada selang pemerahan 9 jam jauh lebih tinggi dibanding selang pemerahan yang lain. Sejauh ini belum diketahui penyebab tingginya hasil pengukuran tersebut. Uji analisis ragam (ANOVA) untuk selang pemerahan 10 jam hingga 15 jam yang dapat dilihat pada Tabel 6 menunjukkan, bahwa selang pemerahan yang berbeda untuk masing-masing jam berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap produksi dan laju sekresi susu. Produksi susu dengan lama selang pemerahan 10 jam memiliki nilai yang paling sedikit dibanding selang pemerahan yang lain. Berangsur-angsur produksi menjadi semakin banyak seiring pertambahan waktu selang pemerahan, kecuali selang pemerahan 15 jam, sedikit lebih rendah dari selang pemerahan 14 jam. Hasil ini sesuai dengan pendapat Eckles dan Anthony (1956) yang menyatakan bahwa apabila interval pemerahan tidak sama, maka produksi susu akan lebih banyak pada interval yang lebih lama, dan kandungan lemak akan lebih banyak pada interval yang lebih singkat.

Hasil pengujian uji banding Turkey menunjukkan bahwa selang pemerahan 10, 11, 12, dan 13 jam memberikan pengaruh yang sama terhadap produksi susu, selang pemerahan 13 jam juga memberikan pengaruh yang sama terhadap produksi susu dengan selang pemerahan 14 dan 15 jam, sedangkan selang pemerahan 10, 11, dan 12 jam memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap produksi dibandingkan selang pemerahan 14 dan 15 jam. Selang pemerahan juga berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap laju sekresi susu (g/jam). Secara statistik, diperoleh laju sekresi susu pada selang pemerahan 10 jam lebih cepat dari 15 jam. Nilai selang pemerahan 10 jam yaitu 67,94 g/jam, sementara selang pemerahan 15 jam sebesar 55,87 g/jam. Semakin lama selang pemerahan maka laju sekresi susu akan semakin lambat. Data hasil pengukuran kadar lemak memperlihatkan bahwa semakin lama selang pemerahan kadar lemak cenderung meningkat. Namun hasil uji banding menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara statistik antara kadar lemak dan lamanya selang pemerahan. Berbeda dengan kadar lemak, nilai kadar bahan kering tanpa lemak dalam satuan gram ternyata dipengaruhi oleh selang pemerahan yang berbeda. Masing-masing waktu selang pemerahan menunjukkan perbedaan secara statistik (P<0,05) antara selang 10, 11, 12 jam dengan selang pemerahan 14 dan 15 jam. Semakin lama selang pemerahan makan jumlah BKTL (gram) akan semakin tinggi. Hubungan Antara Selang Pemerahan, Produksi, Laju Sekresi Susu, dan Komposisi Susu Pelepasan air susu hanya berlangsung 6 sampai 8 menit, maka pemerahan harus selesai dalam masa pelepasan itu agar diperoleh hasil yang maksimum (Blakely dan Bade, 1994). Hubungan selang pemerahan, produksi, laju sekresi susu, dan komposisi susu dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Hubungan antara Selang Pemerahan dan Produksi Susu (gram) Gambar 2. Hubungan antara Selang Pemerahan dan Laju Sekresi Susu (gram/jam) Berdasarkan Gambar 1 dan 2 diperoleh hubungan antara selang pemerahan dengan produksi dan laju sekresi susu. Persamaan regresi masing-masing adalah sebagai berikut, selang pemerahan dengan produksi susu Y = 283,67 + 38,2 X (r = 0,940) dan selang pemerahan dengan laju sekresi susu Y = 85,09-1,90 X (r = - 0,845). Artinya dengan perpanjangan selang pemerahan selama 1 jam, akan menaikkan produksi susu sebanyak 38,2 gram dan menurunkan laju sekresi susu sebesar 1,90 gram/jam. Terdapat korelasi yang positif (r = 0,940) antara selang pemerahan dan produksi susu, dan korelasi negatif (r = -0,845) antara selang dengan

laju sekresi susu. Beberapa penelitian menunjukkan sekresi susu dan lemak susu mengalami penurunan dengan memperpanjang selang pemerahan (Schmidt, 1971). McKusick et al. (2002) menyatakan, bahwa produksi susu pada ambing dalam keadaan kosong akan bertambah setelah diperah dengan memperpanjang selang pemerahan. Rata-rata laju sekresi susu mengalami penurunan mulai 10-12 jam pasca pemerahan sebelumnya, tetapi tidak secara drastis. Hasil analisis regresi dan korelasi antara selang pemerahan dan produksi lemak (gram) serta selang pemerahan dengan produksi BTKL susu (gram) diperoleh bahwa tidak ada korelasi antara selang pemerahan dengan persentase kadar lemak susu. Akan tetapi, antara selang pemerahan dengan persentase kadar BKTL susu berkorelasi positif (r=0,920). Ketika selang pemerahan diperpanjang selama 1 jam, maka akan dapat menaikkan produksi BKTL susu sebesar 2,72 gram. Hubungan yang terjadi antara produksi susu dan persentase kadar lemak susu adalah ketika produksi naik sebanyak 1 gram, maka persentase kadar lemak akan turun sebanyak 3,64x10-5, hal ini mengacu pada persamaan regresi Y=0,0629-0,00003635X (r = -0,912). Begitu juga dengan persentase kadar BKTL dalam susu, berdasarkan persamaan regresi Y=0,08191-(0,56x10-5 )X, kadar BKTL akan menurun sebanyak 0,56x10-5 ketika produksi susu bertambah sebanyak 1 gram (r = -0,6183). Produksi susu berbanding terbalik dengan persentase kadar lemak dan protein yang dihasilkan. Persentase lemak dan protein berada dititik terendah ketika produksi berada pada puncak laktasi dan berangsur-angsur meningkat menjelang akhir laktasi (Schmidt et al. 1988). Hal ini sesuai dengan pendapat Akers (2002) yang menyatakan bahwa produksi susu berkorelasi negatif dengan kadar lemak susu. Hasil perhitungan analisis regresi dan korelasi menunjukkan bahwa berdasarkan persamaan regresi Y=22,7+(6,52 x10-3 )X, produksi susu berkorelasi positif dengan produksi lemak susu (r=0,377), dan berdasarkan persamaan regresi Y=4,17+(0,072)X, produksi susu (gram) juga berkorelasi positif dengan kadar BKTL susu (r=0,998).