BAB IV ANALISA PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisa Data Dan Uji Hipotesa Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat hubungan antara religiusitas dan well-being pada komunitas salafi di Jakarta, maka dari hasil pengujian statistik yang telah dilakukan dengan menggunakan uji Rank Spearman dan dengan bantuan komputer program SPSS 20.0 for Windows, didapat koefisien korelasi (r) sebesar 0.414 dan p = 0.000. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta. Maka, Ho ditolak dan hipotesa alternatif (Ha) diterima, yang menunjukkan adanya hubungan positif antara religiusitas dengan well-being. Artinya, semakin tinggi religiusitas individu muslim di komunitas salafi, maka semakin tinggi well-being individu tersebut. Sebaliknya semakin rendah religiusitas individu muslim di komunitas salafi, maka semakin rendah well-being individu tersebut. Perhitungan koefisien korelasi di atas dapat dilihat pada tabel berikut: 60
Tabel 4. Korelasi Antara Religiusitas dan Well-Being Pada Komunitas Salafi. Correlations Religiusitas Well-Being Spearman's rho Religiusitas Correlation Coefficient 1.000.414 ** Sig. (2-tailed)..000 N 100 100 Well-Being Correlation Coefficient.414 ** 1.000 Sig. (2-tailed).000. N 100 100 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Dasar Pengambilan Keputusan dalam Uji Korelasi Spearman: 1. Jika nilai sig. < 0,05 maka, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara variabel yang dihubungkan. 2. Sebaliknya, Jika nilai sig. > 0,05 maka, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat korelasi yang signifikan antara variabel yang dihubungkan. Kriteria tingkat hubungan koefisien korelasi antar variabel berkisar antara ± 0,00 sampai ± 1,00 tanda + adalah positif dan tanda adalah negatif. Adapun kriteria penafsirannya adalah: 1. 0,00 sampai 0,20, artinya : hampir tidak ada korelasi 2. 0,21 sampai 0,40, artinya : korelasi rendah 3. 0,41 sampai 0,60, artinya : korelasi sedang 4. 0,61 sampai 0,80, artinya : korelasi tinggi 5. 0,81 sampai 1,00, artinya : korelasi sempurna 61
Dari hasil uji, nilai Sig menunjukan angka 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara religiusitas dan well-being pada komunitas salafi di Jakarta. Tingkat hubungan ditunjukan pada nilai Correlation Coefisien yaitu sebesar 0,414 yang artinya tingkat hubungan antara variabel dalam kriterian korelasi sedang, dengan tingkat signifikansi 0.01 (tingkat kepercayaan 99%). 4.2 Deskripsi Data Penelitian Tabel 5. Deskripsi Data Penelitian Religiusitas dan Well-Being. Variabel N Data Hipotetik Data Empirik Mean Skor SD Mean Skor SD Min Max Min Max Religiusitas 100 62.50 25 100 12.50 90,93 60 100 7,744 Well-Being 100 45.00 18 72 9.00 61,26 40 71 6,782 Skor empirik merupakan skor yang didapat di lapangan, sedangkan skor hipotetik merupakan skor yang diharapkan dapat dicapai oleh sampel penelitian. Mean empirik pada variabel religiusitas sebesar 90,93 lebih besar dari skor hipotetik sebesar 62,5. Dengan standar deviasi empirik 7,744 dan hipotetik 12,5. Hal ini berarti skor subjek untuk religiusitas di lapangan memenuhi skor yang diharapkan dicapai oleh sampel penelitian. Maka dapat dikatakan bahwa religiusitas sampel penelitian lebih tinggi daripada rata-rata individu pada populasi umumnya. 62
Sedangkan mean empirik pada variabel well-being sebesar 61,26 lebih besar dari skor hipotetik sebesar 45. Dengan standar deviasi empirik 6,782 dan hipotetik 9. Hal ini berarti skor subjek untuk well-being di lapangan juga memenuhi skor yang diharapkan dicapai oleh sampel penelitian. Maka dapat dikatakan bahwa well-being sampel penelitian lebih tinggi daripada rata-rata individu pada populasi umumnya. 4.3 Kategorisasi Analisis data penelitian ini dilakukan dengan pengelompokan yang mengacu pada kriteria kategorisasi. Berikut kategorisasi berdasarkan hasil yang didapatkan di lapangan. 4.3.1 Kategorisasi Religiusitas Tabel 6. Kategorisasi Skor Religiusitas. Pedoman Skor Kategori Frekuensi Persentase X (µ+1σ) X 75 Tinggi 93 93% (µ-1σ) X < (µ+1σ) 50 X < 75 Sedang 7 7% X < (µ-1σ) X < 50 Rendah 0 0,0% Total 100 100,0% Keterangan: X = skor subjek µ = Rerata (mean) hipotetik σ = Deviasi standar (SD) hipotetik Berdasarkan hasil kategori yang telah dilakukan, dapat diketahui terdapat 93 orang (93,0%) menyatakan bahwa religiusitas pada komunitas Salafi tergolong tinggi, 63
7 orang (7,0%) menyatakan bahwa religiusitas pada komunitas Salafi dapat dikatakan dalam kriteria sedang. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subjek merasakan bahwa religiusitas pada komunitas Salafi cenderung tinggi, hal ini dikarenakan mereka mendalami agamanya dan mengamalkannya. Dalam Yazid (2012) dinyatakan bahwa barangsiapa yang pendapatnya sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah mengenai akidah, hukum dan suluknya menurut pemahaman Salaf, maka ia disebut salafi meskipun tempatnya jauh dan berbeda masanya. Sebaliknya, barangsiapa pendapatnya menyalahi Al-Qur-an dan As-Sunnah, maka ia bukan seorang Salafi meskipun ia hidup pada zaman Sahabat, Ta-bi in dan Tabi ut Tabi in. Dalam Wahyudi (2008) juga dijelaskan bahwa komunitas salafi adalah kumpulan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al Qur an dan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap dan mengerjakan amalan. Mereka tidak menyimpang kepada selain ajaran Al Qur an dan As Sunnah, baik dalam urusan keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik hukum. 4.3.2 Kategorisasi Well-Being. Tabel 7. Kategorisasi Well-Being. Pedoman Skor Kategori Frekuensi Persentase X (µ+1σ) X 54 Tinggi 89 89% (µ-1σ) X < (µ+1σ) 36 X < 54 Sedang 11 11% X < (µ-1σ) X < 36 Rendah 0 0,0% Total 100 100,0% 64
Keterangan: X = skor subjek µ = Rerata (mean) hipotetik σ = Deviasi standar (SD) hipotetik Berdasarkan hasil kategori yang telah dilakukan, dapat diketahui terdapat 89 orang (89,0%) menyatakan bahwa well-being pada komunitas Salafi tergolong tinggi, 11 orang (11,0%) menyatakan bahwa well-being pada komunitas Salafi dapat dikatakan dalam kriteria sedang. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar subjek merasakan bahwa well-being pada komunitas Salafi cenderung tinggi, hal ini berkaitan dengan tingginya tingkat religiusitas individu di komunitas salafi, karena salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being adalah religiusitas. Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan hubungan antara religiusitas dengan psychological well-being diantaranya adalah Penelitian Argyle (2001) yang menyatakan bahwa religiusitas membantu individu mempertahankan kesehatan mental individu pada saat saat sulit. Selain itu Najati (2005) menyatakan bahwa kehidupan religius atau keagamaan dapat membantu manusia dalam menurunkan kecemasan, kegelisahan, dan ketegangan. Lalu Bastaman (dalam Saputri 2013) juga menyatakan, bahwa individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai setiap kejadian hidupnya secara positif, sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna dan terhindar dari stres maupun depresi. Dengan kata lain, seseorang yang menjalankan kegiatan keagamaan, seperti beribadah, berdoa, dan membaca kitab suci agama diasumsikan akan memiliki kondisi psychological well-being yang baik pula. 65
4.4 Hasil Tambahan 4.4.1 Hubungan Dimensi Religiusitas Dengan Variabel Well Being a) Hasil data tambahan hubungan dimensi ideologi dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta. Tabel 8. Hubungan dimensi ideologi dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta Variabel R hitung Sig Keterangan Dimensi Ideologi dengan well-being 0,447 0,000 Berkorelasi Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat tabel diatas menunjukan nilai hubungan Koefisien Korelasi (Kolom R hitung) antara dimensi ideologi dengan wellbeing sebesar 0,447 dengan taraf signifikan 0,000. Taraf signifikan 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara dimensi ideologi dengan variabel well-being. Nilai R hitung menunjukan angka positif, jadi semakin tinggi ideologi maka semakin tinggi pula well-being. b) Hasil data tambahan hubungan dimensi praktik ibadah dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta. Tabel 9. Hubungan dimensi praktik ibadah dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta Variabel R hitung Sig Keterangan Dimensi praktik ibadah dengan well-being 0,376 0,000 Berkorelasi 66
Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat tabel diatas menunjukan nilai hubungan Koefisien Korelasi (Kolom R hitung) antara dimensi praktik ibadah dengan well-being sebesar 0,376 dengan taraf signifikan 0,000. Taraf signifikan 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara dimensi praktik ibadah dengan variabel well-being. Nilai R hitung menunjukan angka positif, jadi semakin tinggi praktik ibadah maka semakin tinggi pula well-being. c) Hasil data tambahan hubungan dimensi pengamalan dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta. Tabel 10. Hubungan dimensi pengamalan dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta Variabel R hitung Sig Keterangan Dimensi pengamalan dengan well-being 0,387 0,000 Berkorelasi Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat tabel diatas menunjukan nilai hubungan Koefisien Korelasi (Kolom R hitung) antara dimensi pengamalan dengan well-being sebesar 0,387 dengan taraf signifikan 0,000. Taraf signifikan 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara dimensi pengamalan dengan variabel well-being. Nilai R hitung menunjukan angka positif, jadi semakin tinggi pengamalan maka semakin tinggi pula well-being. d) Hasil data tambahan hubungan dimensi pengalaman dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta. 67
Tabel 11. Hubungan dimensi pengalaman dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta Variabel R hitung Sig Keterangan Dimensi pengalaman dengan well-being 0,394 0,000 Berkorelasi Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat tabel diatas menunjukan nilai hubungan Koefisien Korelasi (Kolom R hitung) antara dimensi pengalaman dengan well-being sebesar 0,394 dengan taraf signifikan 0,000. Taraf signifikan 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara dimensi pengalaman dengan variabel well-being. Nilai R hitung menunjukan angka positif, jadi semakin tinggi pengalaman maka semakin tinggi pula well-being. e) Hasil data tambahan hubungan dimensi pengetahuan dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta. Tabel 12. Hubungan dimensi pengetahuan dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta Variabel R hitung Sig Keterangan Dimensi pengetahuan dengan well-being 0,364 0,000 Berkorelasi Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat dilihat tabel diatas menunjukan nilai hubungan Koefisien Korelasi (Kolom R hitung) antara dimensi pengetahuan dengan well-being sebesar 0,364 dengan taraf signifikan 0,000. Taraf signifikan 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan antara dimensi pengetahuan dengan variabel well-being. Nilai R hitung menunjukan angka positif, jadi semakin tinggi pengetahuan maka semakin tinggi pula well-being. 68
4.5 Pembahasan Hasil penelitian pada sampel individu muslim di komunitas salafi Jakarta menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan well-being pada komunitas salafi di Jakarta. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara religiusitas dan wellbeing. Diantaranya adalah teori dari Ellison (dalam Trankle, 2009) yang menjelaskan adanya korelasi antara religiusitas dengan psychological well-being, dimana pada individu dengan religiusitas yang kuat, lebih tinggi tingkat psychological well-being nya. Dalam penelitian ini, penulis mendapati bahwa individu muslim yang kehidupannya berpedoman dan diatur oleh nilai-nilai religiusitas, sehingga hanya memilih pekerjaan yang sesuai syariat Islam saja sebagai sumber penghasilan, ternyata memiliki kesejahteraan yang baik. Hal ini sesuai dengan penelitian Sharabi (2012) yang menyatakan dalam Islam, bekerja tidak hanya untuk mencapai keuntungan materi saja, ada yang lebih penting dari itu, yaitu sebagai bentuk penyembahan untuk mendapatkan ridha Allah. Berdasarkan hasil di atas, dapat dikatakan bahwa individu yang memiliki religiusitas yang baik maka akan mampu mengorganisasikan kehidupannya dengan baik sehingga mengarahkan individu tersebut untuk dapat menggapai kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang menunjukkan bahwa individu yang religius 69
lebih sejahtera dan lebih puas dengan kehidupannya dibandingkan individu yang tidak religius (Saputri, 2013). Dalam Rahman P.A (2012), dimensi keyakinan (akidah) menunjuk pada seberapa tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran agamanya, salah satunya menyangkut keyakinan tentang Allah, dimana dengan keyakinan tersebut akan menimbulkan perasaan dekat dengan Tuhannya sehingga akan mendatangkan rasa ketenangan dan rasa aman dalam mencari nafkah. Hal ini membuktikan bahwa dalam religiusitas Islam, setiap muslim harus menunjukkan, mencerminkan, dan mempraktekan semua keyakinan Islam yang dinyatakan dalam Al Qur'an dan Hadits untuk mempengaruhi sikap dan perilaku baik mereka (Zahrah, Abdul Hamid, Abdul Rani, & Kamil, 2016). Peribadatan (praktek agama) menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana diperintahkan dan dianjurkan oleh agamanya, diantaranya adalah shalat, puasa, zakat, haji, membaca al-qur an, doa, zikir, ibadah qurban, iktikaf di mesjid dan sebagainya. Individu yang melaksanakan ibadah-ibadah tersebut dengan baik dan benar maka akan dapat merasakan ketenangan jiwa, kesehatan fisik, pengendalian emosi yang baik, mengusir kecemasan dan kesedihan dan mendatangkan kesenangan, kesejahteraan dan kehidupan yang baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Bastaman (dalam Saputri 2013) yang menyatakan, bahwa individu yang memiliki tingkat religiusitas tinggi lebih mampu memaknai setiap kejadian hidupnya secara positif, sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna dan terhindar dari stres maupun depresi. 70
Dengan kata lain, seseorang yang menjalankan kegiatan keagamaan, seperti beribadah, berdoa, dan membaca kitab suci agama diasumsikan akan memiliki kondisi psychological well-being yang baik pula. Dimensi pengalaman (atau penghayatan) menunjuk pada seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religius. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tenteram dan sejahtera karena menuhankan Allah, perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al-Qur an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat pertolongan atau peringatan dari Allah. Individu yang memiliki panghayatan yang baik terhadap ajaran agamanya, misalnya dalam hal shalat khusyuk, maka akan mengarahkan dirinya untuk mencapai kesejahteraan. Hal ini sejalan dengan penelitian Nur Hidayah (2008) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara kekhusyukan shalat dengan kebahagiaan. Dimensi pengamalan atau akhlak menunjuk pada seberapa tingkatan seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerja sama, berderma, menyejahterakan dan menumbuhkembangkan orang lain, menegakkan keadilan dan kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, 71
tidak mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum-minuman yang memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam, dan sebagainya. Salah satu yang terlihat disini adalah sikap memaafkan, dimana menurut Seligman (2002) memaafkan dapat menurunkan stress dan meningkatkan kemungkinan terciptanya kepuasan hidup. individu muslim yang memiliki pengamalan terhadap ajaran agamanya (akhlak) yang baik maka akan mengarahkan hidupnya untuk mencapai kebahagiaan (sejahtera). Dimensi pengetahuan agama atau ilmu menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Qur an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun iman dan rukun Islam), hukum-hukum Islam, sejarah Islam, dan sebagainya. Individu muslim yang memiliki pengetahuan yang baik tentang agamanya maka akan memudahkannya untuk melaksanakan ibadah dengan baik dan benar, sehingga ibadah itu dapat memberi dampak positif pada kehidupannya dan mencapai kesejahteraan. Kelima dimensi religiusitas ini membuat individu muslim yang menjalankan Islam dengan tuntunan syariat, merasa semua yang diberikan Allah pada kehidupannya adalah baik, sehingga individu tersebut merasa senang. Hal ini menyebabkan psychological well-being nya menjadi tinggi. 72