HUBUNGAN JENIS KEPITING BAKAU (Scylla Spp.) DENGAN MANGROVE DAN SUBSTRAT DI TAMBAK SILVOFISHERY ERETAN, INDRAMAYU

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

ANALISIS BEBERAPA ASPEK BIOLOGI KEPITING BAKAU (SCYLLA SERRATA) DI PERAIRAN SUKOLILO, PANTAI TIMUR SURABAYA

PENGELOLAAN PERIKANAN CAKALANG BERKELANJUTAN DENGAN PENDEKATAN BIOEKONOMI DI KABUPATEN FLORES TIMUR

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KORELASI ANTARA KERAPATAN AVICENNIA DENGAN KARAKTERISTIK SEDIMEN DI KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI RAWA KABUPATEN SIAK, RIAU

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Mangrove

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomis, ekologis, maupun biologis. Fungsi fisiknya yaitu sistem perakaran

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

Utara, ( Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia ABSTRACT

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

Manfaat dari penelitian ini adalah : silvofishery di Kecamatan Percut Sei Tuan yang terbaik sehingga dapat

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SUNGAI SERAPUH KECAMATAN TANJUNG PURA KABUPATEN LANGKAT

KELIMPAHAN KEPITING BAKAU (Scylla sp) DI PERAIRAN MUARA TEBO SUNGAILIAT

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. berbeda antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1993).

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PROPOSAL PRAKTEK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUN JAWA ANALISA VEGETASI MANGROVE DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA, JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

Seminar Nasional Tahunan VIII Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 16 Juli 2011

Lampiran 1. Rata-rata laju pertumbuhan bobot, lebar karapas dan panjang karapas kebiting bakau, Scyla srerata selama penelitian.

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pesisir memiliki peranan sangat penting bagi berbagai organisme yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

STRUKTUR KOMUNITAS KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN KAWASAN MANGROVE DESA JARING HALUS KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

HUBUNGAN KERAPATAN MANGROVE TERHADAP KEPADATAN KEPITING BAKAU (Scylla sp) DI KAMPUNG GISI DESA TEMBELING KABUPATEN BINTAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

DAFTAR PUSTAKA. Anonimus Data Administratif Kecamatan Medan Belawan Kota Medan.

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

PERUBAHAN WARNA SUBSTRAT PADA DAERAH HUTAN MANGROVE DESA PASSO. (Change of Substrate Colour at Mangrove Forest in Passo Village)

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

Gambar 4. Aktivitas nelayan dan berbagai produk perikanan yang dihasilkan dari perairan ekosistem mangrove (Foto oleh Onrizal)

I. PENDAHULUAN. Menurut Tomlinson(1986), mangrove merupakan sebutan umum yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BIOEKOLOGI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI EKOSISTEM MANGROVE KABUPATEN SUBANG JAWA BARAT DISERTASI LAURA SIAHAINENIA

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

IDENTIFIKASI POPULASI MAKROZOOBENTOS DI KAWASAN EKOSISTEM MANGROVE DESA LADONG ACEH BESAR. Lili Kasmini 11 ABSTRAK

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TUNGKAL I TANJUNG JABUNG BARAT

Fattening of Soft Shell Crab With Different Food

STRUKTUR POPULASI Assiminiea brevicula PADA ZONA AVICENNIA HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI BATANG KABUPATEN OKI. Dewi Rosanti

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGGUNAAN BENTUK DAN POSISI CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU. Shape and Position Escape Gap Application of Collapsible Mud Crab Trap

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Bab IV Deskripsi Tambak Silvofishery di Desa Dabung

Wahyudyawati et al., Analisis Hubungan Kerapatan 294

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

Transkripsi:

Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 6, No. 1, Mei 2015 Hal: 59-68 HUBUNGAN JENIS KEPITING BAKAU (Scylla Spp.) DENGAN MANGROVE DAN SUBSTRAT DI TAMBAK SILVOFISHERY ERETAN, INDRAMAYU Relationship of Mudcrab (Scylla Spp.) with Mangrove and Substrate in Silvofishery Ponds, Eretan, Indramayu Oleh: Sunarto 1*, Sulistiono 2, Isdradjad Setyobudiandi 2 1 Program Studi Pengelolaan Sumber daya Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor 2 Departemen Manajemen Sumber daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor * Korespondensi: nartosdp@gmail.com Diterima: 6 Januari 2015; Disetujui: 9 April 2015 ABSTRACT Mudcrab is one of the fishery commodity with high economic value in Indonesia. High market and price stimulated the development of the mudcrabs business in this country. The aim of this research was to evaluate interaction between habitat characteristics and the mudcrabs (Scylla spp.) species. The research was conducted in silvofishery ponds of Eretan village, Indramayu, West Java from September-November 2013 and August-September 2014. Sampling was conducted at five stations. They were BDR (Brackishwater dominated Rhizophora sp.), BDA (Brackishwater dominated Avicennia sp.), BCDR (Brackishwater cannal dominated Rhizopora sp.), BCDA (Brackishwater cannal dominated Avicennia sp.) and SMF (Side of the mangrove forest). The result showed there were two species of the mudcrabs Scylla paramamosain and Scylla olivacea. S. paramamosain was dominated than S. olivacea at all stations. Total number of the S. paramamosain was 107 ind (consisted of 67 male and 40 female), while total number of the S. olivacea was 28 ind (consisted of 17 male and 11 female). Composition of the mudcrabs species in each station was 91% S. paramamosain and 9% S. olivacea at BDR, 89% S. paramamosain and 11% S. olivacea at BDA, 86% S. paramamosain and 14% S. olivacea at BCDR, 68% S. paramamosain and 32% S. olivacea at BCDA, 73% S. paramamosain and 27% S. olivacea at SMF. Differences between kinds of mudcrab in each stations showed there are interaction between kinds of mudcrabs with habitat characteristics. Keywords: Indramayu, mangrove, mudcrabs, substrate, ABSTRAK Kepiting bakau (Scylla spp.) merupakan salah satu komoditas perikanan di Indonesia yang bernilai ekonomis tinggi. Luasnya pemasaran dan tingginya nilai jual kepiting bakau membuat bisnis tersebut semakin berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keberadaan jenis kepiting bakau dengan karakteristik habitatnya. Penelitian ini dilakukan dari Agustus-November 2013 dan Agustus-September 2014 pada kawasan tambak silvofishery Desa Eretan, Indramayu, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan pada lima stasiun pengamatan diantaranya TSDR (Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp.), TSDA (Tambak silvofishery

60 Marine Fisheries 6 (1): 59-68, Mei 2015 dominan Avicennia sp.), KDR (Kanal dominan Rhizopora sp.), KDA (Kanal dominan Avicennia sp.) dan PHM (Pinggiran hutan mangrove). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat dua jenis kepiting bakau yaitu Scylla paramamosain dan S. olivacea. Di lokasi penelitian jumlah Scylla paramamosain yang tertangkap sebanyak 107 individu yang terdiri dari 67 jantan dan 40 betina, sedangkan jumlah S. olivacea yang tertangkap sebanyak 28 individu yang terdiri atas 17 jantan dan 11 betina. Hasil penelitian menunjukkan pada umumnya jumlah S. paramamosain yang tertangkap melebihi S. olivacea. Persentase kepiting bakau yang tertangkap pada tiap stasiun pengamatan yaitu 91% S. paramamosain dan 9% S. olivacea pada TSDR, 89% S. paramamosain dan 11% S. olivacea pada TSDA, 86% S. paramamosain dan 14% S. olivacea pada KDR, 68% S. paramamosain dan 32% S. olivacea pada KDA, 73% S. paramamosain dan 27% S. olivacea pada PHM. Perbedaan jumlah jenis kepiting bakau yang diperoleh pada tiap stasiun penangkapan menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kepiting bakau dengan habitat hidupnya. Kata kunci: Indramayu, mangrove, kepiting bakau, substrat, PENDAHULUAN Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Pesisir Utara Jawa Barat, yang terletak pada posisi 107 0 52-108 0 36 BT dan 6 0 15-6 0 40 LS. Potensi perikanan tambak di Kabupaten Indramayu pada tahun 2004 tersebar di 12 kecamatan dengan luas areal tambak sebesar 15.289,5 ha dan produksi tambak sebesar 19.791 ton (DKP Indramayu 2006). Salah satu kecamatan yang memiliki areal pertambakan luas adalah Kecamatan Kandanghaur, yaitu sekitar 583,89 ha (Utomo 2001). Sistem tambak yang dikembangkan di daerah ini yaitu ada dua jenis, salah satunya tambak yang terintegrasi dengan tanaman mangrove, yang dikenal dengan sistem tambak silvofishery. Model silvofishery yang digunakan adalah model silvofishery empang parit. Kawasan tambak silvofishery di daerah ini memiliki jenis dan tingkat kerapatan mangrove yang berbeda. Sebagian besar jenis mangrove yang terdapat di kawasan ini yaitu Rhizopora sp. dan Avicenia sp. Di kawasan ini banyak ditemukan kepiting bakau (Scylla sp.). Jenis kepiting bakau tinggal di kawasan mangrove maupun perairan payau dan penyebarannya sangat luas yaitu sampai Indo Pasifik (Watanabe et al. 2000). Kepiting bakau (Scylla spp.) ragam jenis dan kelimpahannya berbedabeda di setiap wilayah (Sara 2000; Sulaeman dan Naevdal 2000). Perbedaan jenis kepiting bakau dapat diidentifikasi berdasarkan bentuk, ukuran, warna dan karakter gen (Keenan et al. 1998 dalam Kosuge 2001). Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan pantai yang mempunyai nilai ekonomis penting. Keberadaan kepiting bakau ini terkait dengan masih banyaknya mangrove di kawasan silvofishery. Hal ini dikarenakan secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki peran utama sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) sebagian besar jenis biota laut (ikan, udang dan kepiting) yang bernilai ekono-mi penting. Keberadaan mangrove juga memi-liki peranan penting terhadap kualitas air. Hal ini dikarenakan, mangrove dapat menyerap bahan organik dan dapat menyaring air sehingga air yang melalui mangrove relatif bersih dan mangrove juga merupakan mata rantai penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Arief 2003). Budidaya kepiting bakau belum berkembang, salah satunya disebabkan oleh masalah pembenihan (Gunarto 1990). Ketiadaan benih mengakibatkan pembudidaya mengandalkan benih tangkapan dari alam. Bertambahnya jumlah populasi manusia dan kebutuhan ekonomi akan mengakibatkan tekanan pada kepiting bakau dan habitatnya (Hauff et al. 2006; Susanto 2008; Colik 1999) sehingga akan terjadi penurunan populasi kepiting bakau di alam yang diakibatkan oleh degradasi ekosistem mangrove dan kelebihan tangkap (over exploitation) (Siahainenia 2008). Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perlu dolakukan penelitian lanjutan mengenai hubungan antara keberadaan kepiting bakau dengan kondisi mangrove dan substrat pada kawasan tambak silvofishery. Tujuan akhir dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui keberadaan kepiting bakau pada kondisi mangrove dan substrat yang berbeda sehingga dapat bermanfaat untuk pengembangan pengelolaan kepiting bakau yang tepat di kawasan tambak silvofishery.

Sunarto et al. Hubungan Scylla spp. dengan Mangrove dan Substrat... 61 METODE Penelitian dilakukan di kawasan pertambakan sistem silvofishery Desa Eretan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Penelitian ini berlangsung selama 12 bulan, sedangkan pengambilan sampel dilakukan selama 5 bulan yaitu September-November 2013 dan Agustus-September 2014. Pengambilan data dilakukan pada lima stasiun. Stasiun 1 Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp. (TSDR), Stasiun 2 Tambak silvofishery dominan Avicennia sp. (TSDA), Stasiun 3 Kanal air dominan Rhizopora sp. (KDR), Stasiun 4 Kanal air dominan Avicennia sp. (KDA) dan Stasiun 5 Pinggiran hutan mangrove (PHM). Metode penelitian yang diambil adalah metode survei. Penentuan stasiun penelitian berdasarkan perbedaan jenis mangrove (Tabel 1). Pengukuran dan pengambilan sampel dilakukan pada siang dan malam hari, pada siang hari yaitu suhu, salinitas, ph dan substrat dasar mangrove dan pada sore dan malam hari yaitu suhu, salinitas, ph dan kepiting bakau. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu thermometer air raksa, kertas ph universal, hand refraktometer, ice box volume 36 L, jangka sorong, timbangan digital serta alat tulis (untuk mengukur dan mencatat ukuran dan berat kepiting bakau), alat tangkap kepiting (pancing dan bubu), pipa paralon, serta buku identifikasi kepiting bakau dan mangrove. Sedangkan bahan yang dibutuhkan yaitu contoh kepiting bakau, air, substrat, kertas label, karet gelang dan tissu. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan alat tangkap tradisional yaitu pancing dan bubu. Pada tiap stasiun pengamatan, pancing dan bubu ditempatkan secara acak dalam petak pengamatan. Penempatan alat tangkap bubu dilakukan pada sore hari kemudian diambil pada pagi hari, sedangkan penangkapan dengan alat tangkap pancing kepiting diamati selama pemasangan alat tangkap. Kepiting bakau yang diperoleh diidentifikasi, dihitung jumlah individu per jenis, jenis kelamin, panjang dan lebar karapas. Pengukuran parameter dilakukan secara insitu dan eksitu. Fraksi substrat dilakukan dengan cara mengambil sampel substrat pada tiap stasiun pengamatan kemudian dilakukan analisis persentase butiran di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB, sedangkan untuk pengukuran TSS dan C-Organik dilakukan di Laboratorium Proling IPB. Perbandingan jumlah jenis kepiting bakau, jumlah komposisi jenis kelamin dan perbandingan persentase jumlah jenis kepiting antar stasiun dengan menggunakan pendekatan deskriptif komparatif menggunakan diagram batang kemudian dilanjutkan dengan Chi Square dan PCA. TSDR TSDA PHM Lokasi penelitian KDR Jawa barat Sumber: DKP Indramayu 2008 Gambar 1 Lokasi Penelitian Eretan Kandanghaur

62 Marine Fisheries 6 (1): 59-68, Mei 2015 Tabel 1 Penentuan Titik Pengamatan Sampling Penangkapan Kepiting Bakau (Scylla spp.) Stasiun Nama Stasiun Sampling Ulangan Sampling 1 Tambak Silvofishery Dominan Rhizopora sp. 25 2 Tambak Silvofishery Dominan Avicenia sp. 25 3 Kanal Tambak Dominan Rhizopora sp. 25 4 Kanal Tambak Dominan Avicenia sp. 25 5 Pinggiran Hutan Mangrove 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Wilayah Sistem tambak yang dikembangkan di Kecamatan Kandanghaur yaitu ada dua jenis, salah satunya yaitu tambak yang terintegrasi dengan tanaman mangrove, yang dikenal dengan sistem tambak silvofishery, sistem ini pertama kali diperkenalkan di Birma (Primavera 2000). Model silvofishery yang digunakan adalah kombinasi model silvofishery empang parit dan empang inti. Kawasan tambak model silvofishery di lokasi penelitian terletak dekat dengan pantai, jenis tanaman mangrove yang teridentifikasi yaitu Rhizopora sp. dan Avicennia sp. Tambak yang terintegrasi dengan tanaman mangrove digunakan oleh masyarakat sekitar untuk membudidayakan udang windu (Pennaeus monodon) dan bandeng (Chanos chanos). Keberadaan mangrove juga dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk menangkap kepiting bakau. Kondisi lingkungan mangrove yang terdapat di lokasi penelitian ini yaitu TSDR (Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp.), TSDA (Tambak silvofishery dominan Avicennia sp.), KDR (Kanal dominan Rhizopora sp.), KDA (Kanal dominan Avicennia sp.) dan PHM (Pinggiran hutan mangrove). Kondisi lingkungan dan jenis mangrove yang berbeda antar stasiun pengamatan merupakan salah satu faktor penting yang dapat menggambarkan keberadaan kepiting bakau dengan kondisi lingkungannya. Mangrove tidak hanya terdapat di tambak, akan tetapi terdapat juga di sepanjang saluran air (kanal). Saluran air ini berfungsi untuk untuk memasukan dan mengeluarkan air. Jenis mangrove yang terdapat di saluran air (kanal) yaitu Rhizopora sp. dan Avicennia sp, masyarakat lokal menyebutnya tanaman bakauan dan api-api. Kondisi Parameter Fisika dan Kimia Perairan Kepiting bakau untuk dapat hidup dan berkembang biak harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya. Penyesuaian diri tersebut dimaksudkan bukan hanya untuk mendapatkan makanan tetapi juga harus dapat menyesuaikan diri terhadap kondisi fisik kimia lingkungan seperti suhu, salinitas, ph, TSS, C- Organik dan persentase tekstur substrat. Distribusi Lebar dan Panjang Karapas Kepiting Bakau (Scylla spp.) Ukuran lebar karapas kepiting bakau yang tertangkap juga memiliki frekuensi ukuran yang berbeda. Berdasarkan frekuensi ukuran tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak kepiting bakau muda yang tertangkap. Hal ini disebabkan pada tingkat megalopa kepiting mulai beruaya pada dasar perairan berlumpur menuju perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki peairan muara sungai, kemudian ke perairan hutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan (Afrianto dan Liviawaty 1993). Jumlah Individu dan Penyebaran Kepiting Bakau (Scylla spp.) Berdasarkan hasil penelitian telah ditemukan dua jenis kepiting bakau yaitu Scylla paramamosain dan Scylla olivacea (Gambar 12). Jumlah sampel kepiting bakau yang tertangkap sejumlah 135 individu yaitu terdiri dari S. Paramamosain 107 individu dan S. Olivacea 28 individu. Berdasarkan jumlah hasil tangkapan diketahui bahwa jumlah S. Paramamosain lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah S. Olivacea. Jumlah S. paramamosain yang banyak dikarenakan keterkaitan antara jenis substrat yang paling banyak adalah jenis substrat lumpur. Hal ini dikarenakan S. paramamosain merupakan kepiting lumpur yang lebih suka terhadap substrat lumpur dan ditemukan pada sebagian besar wilayah pesisir utara jawa. Substrat yang lunak merupakan habitat yang disukai kepiting bakau karena kepiting dapat dengan mudah menggali lubang sebagai tempat istirahat dan sebagai tempat berlindung disaat kepiting melakukan molting (Sara 2000). Selain itu, banyaknya jumlah S. paramamosain yang tinggi merupakan indikasi bahwa terdapat kecenderungan jika di suatu daerah terjadi keanekaragaman jenis biota yang rendah, ma-

Sunarto et al. Hubungan Scylla spp. dengan Mangrove dan Substrat... 63 ka kepadatan atau keseragaman sebaran dari populasinya akan tinggi (Dahdouh et al. 1999). Gambar 2 Nilai temperatur Gambar 3 Nilai salinitas Gambar 4 Nilai ph Gambar 5 Nilai TSS Gambar 6 Nilai C-organik Gambar 7 Persentase tekstur pasir Gambar 8 Persentase tekstur debu Gambar 9 Persentase tekstur liat

64 Marine Fisheries 6 (1): 59-68, Mei 2015 Gambar 10 Distribusi lebar karapas Scylla paramamosain Gambar 11 Distribusi lebar karapas Scylla olivacea Scylla paramamosain Scylla olivacea Gambar 12 Jenis kepiting bakau (Scylla spp.) Keberadaan jenis kepiting bakau berbeda antar stasiun pengamatan, pada Stasiun kanal dominan Rhizopora sp. (KDR) lebih banyak ditemukan Scylla paramamosain sedangkan pada Stasiun kanal dominan Avicennia sp. (KDA) lebih banyak ditemukan Scylla olivacea. Perbedaan ini dikarenakan karena adanya perbedaan kondisi substrat antara KDR dan KDA. Kondisi substrat di Stasiun KDA lebih keras, sedangkan di Stasiun KDR kondisinya lebih lunak jika dibandingkan dengan Stasiun KDA. Hal ini ditunjukan dengan kandungan persentase liat dan pasir (Gambar 9 dan 11). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Nazar (2002) dalam Avianto et al. (2012) yang menyatakan bahwa S. olivacea banyak ditemukan di substrat liat yang berada di belakang hutan mangrove. Jumlah kepiting yang tertangkap antar stasiun menunjukkan perbedaan (Gambar 13). Pada umumnya jumlah kepiting yang ditangkap pada Stasiun kanal (KDR dan KDA) lebih banyak jika dibandingkan dengan stasiun penangkapan lainnya (TSDR, TSDA dan PHM). Hal ini disebabkan karena ketersediaan makanan dan kondisi kualitas air pada kanal lebih baik dan mendukung kehidupan kepiting bakau. Pada tepian kanal lebih banyak terdapat tanaman mangrove dengan berbagai ukuran, hal ini menyebabkan ketersediaan makanan melimpah. Semakin banyak

Sunarto et al. Hubungan Scylla spp. dengan Mangrove dan Substrat... 65 mangrove maka jumlah serasah mangrove yang jatuh juga akan semakin banyak, selain dari serasah mangrove nilai C-Organik juga menunjukkan perbedaan antar stasiun, pada Stasiun KDR dan KDA jumlahnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan stasiun lainnya (TSDR, TSDA dan PHM) (Gambar 8). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Webley et al. (2009) bahwa megalopa dari beberapa spesies kepiting menunjukkan seleksi habitat aktif ketika akan menetap. Megalopa ini biasanya akan memilih habitat yang kompleks secara struktural yang dapat memberikan perlindungan dan makanan. Perilaku selektif terhadap habitat juga mulai berkembang pada tahap kepiting muda. Jumlah Komposisi Jenis Kelamin Kepiting Bakau (Scylla spp.) antar Stasiun Komposisi jenis kelamin yang diketahui sebagian besar kepiting bakau yang tertangkap adalah jantan sedangkan sebagian kecil betina. Pada stasiun KDR (Kanal Dominan Rhizopora sp.) jumlah kepiting bakau berjenis kelamin betina lebih mendominasi. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 14. Kondisi lingkungan kanal yang setiap hari terpengaruhi oleh pasang surut merupakan kondisi lingkungan yang dinamis, pada saat kondisi pasang surut maka akan terjadi distribusi nutrien dan pakan alami bagi kepiting bakau. Hal ini dikarenakan kepiting bakau aktif mencari makan pada saat terjadinya pasang (Mirera and Mtile 2009). Jumlah kepiting bakau jantan dan jumlah kepiting bakau betina juga menunjukkan perbedaan antar stasiun penangkapan. Pada stasiun TSDR, TSDA, KDA dan PHM jumlah jantan lebih mendominasi, sedangkan pada stasiun KDR jumlah betina lebih mendominasi baik S. paramamosain maupun S. olivacea. Hal ini disebabkan karena lokasi KDR berada di depan dan lebih dekat ke arah pantai. Lokasi yang dekat ke arah pantai berkaitan dengan salinitasnya, hal ini terkait dengan kebiasaan ruaya kepiting bakau betina untuk melakukan pemijahan. Letak KDR lebih dekat ke arah pantai, maka beberapa kepiting bakau betina yang akan melakukan ruaya pemijahan ke salinitas yang lebih tinggi dalam perjalanannya ke arah laut kepiting bakau betina tersebut tetangkap pancing dan masuk ke dalam bubu yang sudah diberikan pakan berupa ikan rucah. Pergerakan harian kepiting bakau yang dimulai pada saat malam hari akan bergerak keluar dari lubang persembunyian ke kanal-kanal (Bonine et al. 2008). Selama musim pemijahan kepiting bakau betina akan bermigrasi ke laut, sedangkan kepiting jantan tetap tinggal di kawasan mangrove (Sulistiono et al. 2000). Secara alamiah komposisi jenis kelamin kepiting bakau jantan lebih banyak jika dibandingkan betina (Sulistiono et al. 2000; Sara 2000). Perbedaan jumlah jenis kelamin yang diperoleh juga menunjukkan bahwa kepiting bakau jantan lebih banyak tertangkap jika dibandingkan dengan kepiting bakau betina. Hal ini dikarenakan sifat migrasi kepiting bakau terkait pemijahan di suatu lokasi perairan. Dominasi jantan dapat terjadi karena adanya pola migrasi pada kepiting bakau. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya kepiting bakau betina akan beruaya ke laut dan memijah, sedangkan kepiting jantan tetap di perairan hutan bakau atau muara sungai (Hill 1975 dalam Wijaya et al. 2010). Hasil ini bersesuaian dengan hasil penelitian Le Vay et al. (2007) yang menemukan bahwa hasil tangkapan kembali (recaptured) kepiting bakau S. paramamosain yang telah ditandai (marking) adalah 79% tertangkap pada malam hari di dataran lumpur pinggiran mangrove menuju ke laut. Selain itu dominasi jantan diduga terjadi karena adanya persaingan makanan dan sifat yang agresif dari kepiting bakau jantan (Wijaya et al. 2010). Keterangan Lokasi Stasiun: TSDR = Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp. TSDA = Tambak silvofishery dominan Avicennia sp. KDR = Kanal dominan Rhizopora sp. KDA = Kanal dominan Avicennia sp. PHM = Pinggiran Hutan Mangrove

66 Marine Fisheries 6 (1): 59-68, Mei 2015 Gambar 13 Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau (Scylla spp.) Keterangan Lokasi Stasiun: TSDR = Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp. TSDA = Tambak silvofishery dominan Avicennia sp. KDR = Kanal dominan Rhizopora sp. KDA = Kanal dominan Avicennia sp. PHM = Pinggiran Hutan Mangrove Gambar 14 Jumlah komposisi jenis kelamin scylla paramamosain antar stasiun Keterangan Lokasi Stasiun: TSDR = Tambak silvofishery dominan Rhizopora sp. TSDA = Tambak silvofishery dominan Avicennia sp. KDR = Kanal dominan Rhizopora sp. KDA = Kanal dominan Avicennia sp. PHM = Pinggiran Hutan Mangrove Gambar 15 Jumlah komposisi jenis kelamin scylla olivacea antar stasiun Analisis Chi Square dan Principal Component Analysis (PCA) Berdasarkan hasil analisis Chi Square jumlah S. paramamosain yang diperoleh pada stasiun KDR dan KDA menunjukkan perbedaan dengan stasiun lainnya, sedangkan untuk S. olivacea jumlah yang diperoleh pada KDA menunjukkan perbedaan dengan stasiun lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi lingkungan kanal merupakan habitat yang disenangi oleh dua jenis kepitng yang diperoleh yaitu S. paramamosain dan S. olivacea. Berdasarkan Principal Component Analysis (PCA) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terdapat pengelompokkan komponen parameter parameter kualitas air dengan stasiun pengamatan. Pada stasiun TSDR komponen parameternya yaitu TDS dan tekstur debu, stasiun TSDA komponen parameternya yaitu suhu, stasiun KDR komponen parameternya yaitu salinitas, tekstur pasir dan ph, stasiun KDA komponen parameternya yaitu tekstur liat dan C-Oganik sedangkan pada stasiun PHM komponen parameternya yaitu TSS. Tabel 2 Hasil analisis Chi Square antara jenis kepiting bakau, jenis kelamin dan kondisi lingkungan mangrove No Kondisi Mangrove Jumlah Kepiting Bakau Scylla Paramamosain Scylla Olivacea 1 TSDR 20 2 2 TSDA 8 1 3 KDR 37* 6 4 KDA 34* 16* 5 PHM 8 3 Hasil Chi Square 16,227 7,299

Sunarto et al. Hubungan Scylla spp. dengan Mangrove dan Substrat... 67 Gambar 16 Hasil analisis PCA KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menghasilkan beberapa kesimpulan yaitu kepiting bakau yang diperoleh yaitu Scylla paramamosain dan Scylla olivacea. Jumlah kepiting bakau yang diperoleh sebanyak 135 individu yang terdiri atas S. Paramamosain yang diperoleh lebih banyak yaitu 107 individu, sedangkan jumlah S. Olivacea yaitu 28 individu. Jumlah kepiting bakau dari kedua jenis kepiting tersebut ditemukan lebih banyak jantan daripada betina dan S. Paramamosain lebih sering ditemukan pada stasiun pengamatan kanal dominan Rhizopora sp. (KDR) sebanyak 37 individu sedangkan S. Olivacea lebih sering ditemukan pada stasiun pengamatan kanal dominan Avicennia sp. (KDA) sebanyak 16 individu. Hal ini dapat dikaitkan dengan perbedaan tekstur substrat pada Stasiun KDR (tekstur liat 65%) dan Stasiun KDA (tekstur liat 71%). Sasaran strategis dijabarkan dalam 17 tolok ukur keberhasilan program. Sasaran strategis akan dapat tercapai melalui inisiatifinisiatif tindakan jangka pendek. Tiga lembaga berperan penting untuk tercapainya sasaran strategis yaitu PPN Palabuhanratu, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Bappeda. Saran Perlu dilakukan penelitian mengenai keberadaan jumlah dan jenis kepiting bakau di tengah hutan mangrove Desa Eretan untuk melengkapi data ekobiologi kepiting bakau (Scylla spp.), selain itu perlu dilakukan penlitian keberhasilan budidaya jenis kepiting bakau (Scylla spp.) pada kondisi lingkungan yang berbeda sehingga temuan dari penelitian ini dapat menjadi dasar untuk pengembangan usaha budidaya kepiting bakau (Scylla spp.) yang lebih baik di masa yang akan datang dan dilakukan upaya pengelolaan kepiting bakau di kawasan tambak silvofishery dengan cara melakukan pembatasan penangkapan keipiting bakau di kanal dominan Rhizopora sp. yang letaknya dekat ke arah pantai, hal ini disebabkan karena dominan kepiting bakau yang tertangkap pada daerah tersebut adalah kepiting bakau berjenis kelamin betina. DAFTAR PUSTAKA Afrianto E, Liviawaty E. 1993. Pemeliharaan Kepiting. Yogyakarta: Kanisius. Avianto I, Sulistiono, Setyobudiandi I. 2012. Karakteristik Habitat dan Potensi Kepiting Bakau (Scylla serrata, S. transquebarica and S. olivacea) di Hutan Mangrove Cibako, Sancang, Kabupaten Garut Jawa Barat. Aquasains 4(2): 122-133. Arief A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius. Bonine KM, Bjorkastedt EP, Ewel KC, Palik M. 2008. Population Characteristik of the Mangrove Crab Scylla serrata in Kosrae, Federated States of Micronesia: Effect of Harvest and Implications for Management. Pacific Science 62(1): 1-19. Gunarto.1990. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian 23: 15-21. Hauff R, Ewel KC, Jack J. 2006. Tracking Human Disturbance in Mangroves: Estimating Harvest Rates on Micronesian Island. Wetlands Ecology Management 14: 95-105.

68 Marine Fisheries 6 (1): 59-68, Mei 2015 Hill BJ. 1976. Natural Food, Foregut Clarance Rate and Activity of the Crab, S. serrata in a Estuary. Marine Biology 47: 135-141. Kosuge T. 2001. Brief Assesment of Stock of Mudcrabs Scylla spp. in Matang Mangrove Forest, Malaysia and proposal for resources management. JARQ 35(2): 145-148. Le vay L, Ut VN, Walton ME. 2007. Population Ecology of the mudcrab Scylla paramamosain (estampador) in an Estuarine Mangrove System; a Mark-Recapture Study. Marine Biology 151:1127-1135. Mirera DO, Mtile A. 2009. Preliminary Study on the Response of Mangrove Mudcrab (Scylla serrata) to Different Feed Types Under Drive-in Cage Culture System. Journal of Ecology and Natural Environment 1(1): 7-14. Primavera. 2000. Integrated Mangrove Aquaculture System in Asia. Integrated Coastal Zone Management Autumn 2000 Edition, 121-128. Sara L. 2000. Habitat and Some Biological Parameters of Two Species of Mud Crab Scylla in Southeast Sulawesi, Indonesia. JSPS-DGHE International 22 Symposium. Sustainable Fisheries in Asia in the New Millenium: 341-346. Siahainenia L. 2008. Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sulaeman, Naevdal G. 2000. Population Genetic Studies of Red Mangrove Crab, Scylla serrata in Makassar Strait and Bone Bay, Indonesia. JSPS-DGHE International Symposium. Sustainable Fisheries in Asia in the New Millenium: 388-395. Sulistiono, Tanod A, Watanabe S. 2000. Reproduction and Growth of three species Mudcrabs (Scylla serrata, S. transquebarica, S. oceanica) in Segara Anakan Lagoon, Indonesia. JSPS-DGHE International Symposium. Sustainable Fisheries in Asia in the New Millenium: 347-351. Susanto GN. 2008. Peneluran Kepiting Bakau (Scylla spp.) dalam Kurungan Bambu di Tambak Berdasarkan Pengamatan Tingkat Kematangan Gonad. Prosiding UNILA 2008. Utomo BSB. 2001. Kajian Potensi dan Pengelolaan Secara Lestari Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Watanabe S, Fuseya R, Sulistiono. 2000. Crab Resources Around Mangrove Swamps with Special Reference to Harvesting of Mangrove Seedlings By Crabs. JSPS- DGHE International Symposium. Sustainable Fisheries in Asia in the New Millenium: 336-340. Webley JAC, Connoly RM, Young RA. 2009. Habitat Selectivity of Megalopae and Juvenile Mudcrabs (Scylla serrata): Implication for Recruitment Mechanism. Marine Biology. 156: 891-899. Wijaya NI, Yulianda F, Boer M, Juwana S. 2010. Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata F) di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi. 36(3): 443-461.