TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba UP3 Jonggol Domba Garut

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

EFISIENSI PENGGUNAAN PROTEIN RANSUM KOMPLIT YANG MENGANDUNG Indigofera zollingeriana DAN LIMBAH TAUGE PADA PENGGEMUKKAN DOMBA LOKAL JANTAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk. Domba Lokal memiliki bobot badan antara kg pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Indigofera sp.

PENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba merupakan salah satu jenis ternak ruminansia yang banyak

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing lokal Indonesia yang memiliki

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Penelitian

PENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

HASIL DA PEMBAHASA. Konsumsi Bahan Kering Ransum

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Potensi Kambing sebagai Ternak Penghasil Daging

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Kandungan Nutrien Daging pada Beberapa Ternak (per 100 gram daging) Protein (g) 21 19, ,5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan, yang merupakan hasil persilangan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Zat Makanan Biomineral Dienkapsulasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN 482,91 55, ,01 67,22

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu (Bligon) merupakan kambing hasil persilangan antara

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Garut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan populasi yang cukup tinggi. Kambing Kacang mempunyai ukuran tubuh

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

TINJAUAN PUSTAKA. dengan lingkungan maupun kultur masyarakat Indonesia. Beberapa kelebihan. banyak mengkonsumsi jenis pakan hijauan.

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis

PEMBAHASAN. Zat Makanan Ransum Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara lengkap tercantum pada Tabel 4.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara lain terdapat benjolan sebesar kacang di leher atas, bertubuh kecil, leher

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Kelinci

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Karakteristik Domba Lokal di Indonesia

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan Serat Kasar. Kecernaan serat suatu bahan pakan penyusun ransum akan mempengaruhi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya dari pulau Madura. Sapi Madura merupakan ternak yang dikembangkan

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

Pada kondisi padang penggembalaan yang baik, kenaikan berat badan domba bisa mencapai antara 0,9-1,3 kg seminggu per ekor. Padang penggembalaan yang

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kualitas Sabut Kelapa Sawit Fermentasi oleh Pleurotus ostreatus dan Kandungan Ransum Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kelinci New Zealand White berasal dari Amerika. Menurut Tambunan dkk.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

PENDAHULUAN. Domba adalah salah satu ternak ruminansia kecil yang banyak. Indonesia populasi domba pada tahun 2015 yaitu ekor, dan populasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh wilayah Indonesia. Kambing Kacang memiliki daya adaptasi yang tinggi

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci Pertumbuhan Kelinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Ransum

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Jantan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan pertambahan penduduk dari tahun ke tahun yang terus meningkat

TINJAUAN PUSTAKA Domba garut Domba Ekor Tipis

I. PENDAHULUAN. masyarakat meningkat pula. Namun, perlu dipikirkan efek samping yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tanduknya mengarah ke depan (Rahman, 2007). Sapi FH memiliki produksi susu

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Ettawa dari

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

HASIL DAN PEMBAHASAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. merupakan ruminansia yang berasal dari Asia dan pertama kali di domestikasi

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Devendra dan Burns (1994) menyatakan bahwa kambing menyukai pakan

I. PENDAHULUAN. Pakan merupakan masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat

PENDAHULUAN. memadai, ditambah dengan diberlakukannya pasar bebas. Membanjirnya susu

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. : Artiodactyla, famili : Bovidae, genus : Ovis, spesies : Ovis aries (Blackely dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Madura merupakan hasil persilangan antara sapi Bali (Bos sondaicus)

TINJAUAN PUSTAKA. (Sumber : Damron, 2003)

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal

PENDAHULUAN. karena Indonesia memiliki dua musim yakni musim hujan dan musim kemarau.

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba Jonggol R1 (a) dan Domba Jonggol R2 (b) Gambar 4. Domba Garut R1 (a) dan Domba Garut R2 (b)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merah bata dan kaki bagian bawah berwarna putih (Gunawan, 1993). Menurut

PENAMPILAN DOMBA LOKAL YANG DIKANDANGKAN DENGAN PAKAN KOMBINASI TIGA MACAM RUMPUT (BRACHARIA HUMIDICOLA, BRACHARIA DECUMBENS DAN RUMPUT ALAM)

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2003). Pemberian total mixed ration lebih menjamin meratanya distribusi asupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata; Subphylum :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manusia. Ternak babi bila diklasifikasikan termasuk ke dalam kelas Mamalia, ordo

I. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing

FORMULASI RANSUM PADA USAHA TERNAK SAPI PENGGEMUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TEKNIK PENGOLAHAN UMB (Urea Molases Blok) UNTUK TERNAK RUMINANSIA Catur Prasetiyono LOKA PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KEPRI

TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil

I. PENDAHULUAN. nutrien pakan dan juga produk mikroba rumen. Untuk memaksimalkan

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan, sehingga

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba merupakan jenis ternak yang termasuk dalam ruminansia kecil. Ternak domba termasuk dalam kerajaan Animalia (hewan), filum Chordata (hewan bertulang belakang), kelas Mammalia (hewan menyusui), ordo Artiodactyla (hewan berkuku genap), family Bovidae (memamah biak), genus Ovis (domba) dan spesies Ovis Aries (domba yang telah didomestikasi) (Blakely dan Bade, 1998). Domba lokal yang terdapat di Indonesia terutama di daerah Jawa termasuk dalam tiga bangsa domba yaitu : domba lokal ekor tipis (Javanese thin-tailed), domba priangan dan domba lokal ekor gemuk (East Java fat-tailed). Ensminger (1991) menyatakan bahwa, awal domba didomestikasi di kawasan Asia dan Eropa. Ciri khas pada domba domestikasi adalah tanduk yang berpenampang segitiga dan tanduk yang melilit seperti spiral yang pada umumnya ditemukan pada jantan. Domba UP3 Jonggol Domba UP3 Jonggol dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis domba lokal karena telah dibudidayakan di Lingkungan UP3 Jonggol (Unit Pendidikan dan Penelitian Peternakan Jonggol) sejak tahun 1980 dan merupakan hasil persilangan secara acak domba tipis setempat dengan domba garut atau priangan yang dipelihara dengan sistem penggembalaan (Rahayu et al., 2011). Hasil penelitian Ramdan (2007) melaporkan bahwa domba UP3J mempunyai bobot tubuh dewasa sebesar 34,9 kg untuk jantan dan 26,1 kg untuk betina, domba ini sudah terseleksi untuk lingkungan yang kering dan panas secara alami. Domba Garut Domba Garut dikategorikan dalam dalam dua tipe, yaitu tipe tangkas dan tipe pedaging. Domba Garut pedaging jantan maupun betina memiliki ciri-ciri garis muka lurus, bentuk mata normal, bentuk telinga hiris (rumpung), garis punggung lurus, bentuk bulu lurus dengan warna dasar dominan putih, jantan bertanduk dan betina kebanyakan tidak bertanduk (Riwantoro, 2005). Hasil penelitian Gunawan et al. (2006) melaporkan bahwa bobot sapih domba Garut jantan super dapat mencapai 3

14,12±3,11 kg, sedangkan menurut Einstiana (2006), rataan bobot badan domba Garut jantan umur 2-3 tahun 40,80±12,30 kg dan domba Garut betina 27,57±3,80 kg. Domba Garut memiliki bobot badan yang besar dibandingkan dengan bobot badan domba lokal lain. Domba Garut mempunyai tingkat kesuburan yang tinggi (prolifik), mempunyai potensi baik untuk dikembangkan sebagai sumber daging serta dapat dijadikan sebagai daya tarik pariwisata daerah (Mansjoer et al., 2007). Domba Garut termasuk ke dalam bangsa domba yang mempunyai tingkat kedewasaan lebih awal, jarak beranak pendek, serta pada domba jantan memiliki libido tinggi, bobot hidup jantan dan betina dewasa masing-masing mencapai 40-85 kg dan 34-59 kg (Damayanti et al., 2001). Indigofera zollingeriana Indigofera zollingeriana merupakan tanaman leguminosa pohon dengan genus Indigofera dan memiliki 700 spesies yang tersebar mulai dari benua Afrika, Asia, Australia, dan Amerika Utara, sekitar tahun 1900 Indigofera sp. dibawa ke Indonesia oleh bangsa Eropa, serta terus berkembang luas hingga saat ini (Tjelele, 2006). Jenis leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia karena toleran terhadap musim kering, genangan air serta tahan terhadap salinitas (Hassen et al., 2007). Berdasarkan penelitian Hassen et al. (2006) menggunakan beberapa spesies Indigofera sp. antara lain I. amorphoides, I. arrecta, I. brevicalyx, I. coerulea, I. costata, I. cryptantha, I. spicata, I. trita, I. vicioides diketahui bahwa tanaman ini sangat berpotensi digunakan sebagai tanaman pakan sekaligus sebagai tanaman pelindung karena mampu memperbaiki kondisi tanah penggembalaan yang mengalami overgrazing dan erosi. Hasil penelitian Abdullah dan Suharlina (2010) menunjukkan bahwa umur panen yang tepat untuk menghasilkan kualitas indigofera terbaik adalah pada defoliasi umur 60 hari dengan intensitas defoliasi 100 cm dari permukaan tanah pada batang utama dan 10 cm dari pangkal percabangan pada cabang tanaman. Tepung daun Indigofera zollingeriana mengandung protein kasar 27,9%, NDF 19%-50%, serat kasar 15%, phosphor 0,19%, calcium 0,22% dan kecernaan bahan organik (in vitro) sebesar 56%-72% (Hassen et al., 2007). Perlakuan pemupukan pada daun menggunakan pupuk cair mengakibatkan peningkatan nilai cerna (in vitro) menjadi 67%-73% untuk kecernaan bahan organik dan 70%-80% untuk kecernaan bahan kering (Jovintry, 2011). 4

Gambar 1. Indigofera zollingeriana Sumber : Dokumentasi Penelitian (2011) Kualitas daun Indigofera zollingeriana dalam bentuk pellet mengandung protein kasar sebesar 25,66%, yang artinya bisa dijadikan bahan sebagai substitusi konsentrat (Abdullah, 2010). Kajian terhadap legume indigofera telah banyak dilakukan terhadap kambing perah, dengan nilai kecernaan bahan kering daun Indigofera sp. yang diberikan sebanyak 45% dari total ransum kambing Boerka adalah 60% (Tarigan, 2009). Winugroho dan Widiawati (2009) menyatakan bahwa jika legume pohon digunakan sebagai campuran ransum berbasis rumput maka dapat meningkatkan kualitas ransum dengan cara meningkatkan kadar protein kasar dalam ransum. Limbah Tauge Limbah tauge merupakan hasil samping dari pembuatan tauge yang berasal dari kacang hijau, tidak dikonsumsi oleh manusia, yaitu berupa kulit tauge atau lebih dikenal dengan angkup tauge yang berwarna hijau. Hasil survei potensi ketersediaan limbah tauge di Kotamadya Bogor telah dilakukan oleh Rahayu et al. (2010) menunjukkan potensi limbah tauge di Kota Bogor berkisar sebesar 1,5 ton/hari dengan total produksi tauge sekitar 6,5 ton/hari. Kandungan nutrien limbah tauge dapat dilihat Secara kualitatif berdasarkan uji laboratorium menunjukkan bahwa limbah tauge memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik, yaitu mengandung protein 13,62%, lemak 1,17%, serat kasar 49,44%, dan kandungan TDN adalah 64,65% (Rahayu et al., 2010). Berdasarkan survei diatas, limbah tauge ini berpotensi untuk digunakan sebagai pakan ternak, terutama pada peternakan-peternakan di wilayah urban (dipinggir kota). 5

Gambar 2. Limbah Tauge Sumber: Dokumentasi Penelitian (2011) Penelitian yang telah dilakukan pada peternakan penggemukkan domba ekor gemuk di wilayah Bogor dengan memanfaatkan limbah tauge dalam ransumnya menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge hingga 50% dalam ransum dapat menghasilkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) yang cukup tinggi yaitu sebesar 145 g/e/h lebih tinggi dibandingkan ternak yang hanya mendapat ransum konsentrat yaitu sebesar 96 g/e/h (Wandito, 2011). Kebutuhan Pakan dan Pertumbuhan Pertumbuhan umumnya diukur berdasarkan bobot tubuh dan tinggi. Pengukuran bobot tubuh berguna untuk menentukan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga (Parakkasi, 1999). Herman (2003) menjelaskan domba muda mencapai 75% bobot dewasa pada umur satu tahun dan 25% lagi enam bulan kemudian yaitu pada umur 18 bulan, dengan pakan yang sesuai kebutuhannya. Kebutuhan protein domba dipengaruhi oleh umur, masa pertumbuhan, status fisiologis, ukuran dewasa/masak, kondisi tubuh serta rasio energi protein (Parakkasi, 1999). Kebutuhan protein untuk pertambahan bobot hidup meningkat dengan meningkatnya bobot hidup (NRC, 1985). Ternak yang memiliki bobot badan rendah dan masuk masa pertumbuhan membutuhkan protein lebih tinggi dibandingkan ternak dewasa yang telah masuk masa penggemukkan (Anggorodi, 1994). Protein yang dibutuhkan domba berkisar antara 10%-12% bahan kering ransum. Berdasarkan NRC (1985) domba dengan bobot hidup 10-20 kg haruslah mengkonsumsi bahan kering sebesar 500-1000 g/e/h atau 4%-5% dari bobot badan, serta mengkonsumsi protein kasar sekitar 127-167 g/e/h. Herman (2003) menyatakan bahwa kebutuhan protein dan pertumbuhan ternak mempunyai hubungan yang erat dengan kebutuhan 6

energi, sehingga kebutuhan energi perlu diperhitungkan. Menurut NRC (1985) kebutuhan TDN domba pada bobot tubuh 10-20 kg dengan pertambahan bobot tubuh 200-250 gr/hari yaitu 0,4-0,8 kg. Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu kriteria yang digunakan dalam mengukur pertumbuhan. Bobot tubuh seekor ternak dipengaruhi oleh bangsa ternak, jenis kelamin, umur, jenis kelahiran, dan jenis pakan (NRC, 1985). Pertambahan bobot badan merupakan kemampuan ternak untuk mengubah zat nutrisi yang terdapat dalam pakan menjadi daging. Menurut NRC (1985) pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain total protein yang diperoleh setiap hari, jenis ternak, umur, keadaan genetis, kondisi lingkungan, kondisi setiap individu dan manajemen tatalaksana pemeliharaan. Cheeke (1999) menyatakan bahwa kualitas dan kuantitas pakan sangat mempengaruhi pertambahan bobot badan. Purbowati (2007) melaporkan domba yang diberi complete feed (17,35% protein kasar) dalam bentuk pellet 5,6% bobot badan menghasilkan PBB 164 g/hari. Astuti dan Sastradipraja (1999) menyatakan bahwa domba yang hanya diberi rumput saja dan dipelihara dalam kandang mempunyai pertambahan bobot badan yaitu sekitar 50 g/e/hari, sedangkan yang digembalakan dan hanya diberi rumput saja mempunyai pertambahan bobot badan rata-rata yaitu sekitar 45,83 g/e/hari. Wandito (2011) melaporkan rataan pertambahan bobot badan harian domba ekor gemuk jantan yang diberi pakan konsentrat dan limbah tauge pada taraf pemberian yang berbeda yaitu berkisar antara 96,30-145,83 g/e/hari, dengan rataan umumnya adalah 114,97±41,32 g/e/hari. Konsumsi Protein Kasar Konsumsi adalah faktor essensial yang mendasar untuk hidup dan menentukan produksi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi diantaranya adalah bobot badan, jenis kelamin, umur, faktor genetik, makanan yang diberikan, dan lingkungan (Parakkasi, 1999). Jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan secara ad libitum disebut tingkat konsumsi (Voluntary Feed Intake) (Parakkasi, 1999). Legume pohon bisa digunakan sebagai alternatif sumber protein yang cukup tinggi dengan kandungan serat kasar 7

yang rendah serta palatabilitasnya yang tinggi sehingga dapat meningkatkan konsumsi ternak (Winugroho dan Widiawati, 2009). Konsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas yang tergantung pada penampilan dan bentuk pakan, bau, rasa, tekstur, dan suhu lingkungan (Church dan Pond, 1998). Mathius et al. (2002) menyatakan tingkat konsumsi bahan kering sangat mempengaruhi kecukupan pasokan nutrien (khususnya protein dan energi). McDonald et al. (2002) menambahkan bahwa kecernaan pakan dan laju digesta pakan juga mempengaruhi konsumsi ransum, kecernaan yang tinggi dan laju digesta yang cepat akan meningkatkan kosumsi ransum. Menurut Purbowati et al. (2007), pemberian pakan bentuk pellet, selain dapat digunakan untuk mengontrol konsumsi pakan konsentrat dan pakan kasar sesuai dengan proporsi yang diberikan, juga untuk memperbaiki palatabilitas pakan. Hasil penelitian Rianto et al. (2007) melaporkan bahwa konsumsi total protein kasar pada domba ekor tipis jantan yang diberi pakan hijauan dan konsentrat dengan metode penyajian berbeda yaitu berkisar 84,78-91,17 g/e/hari. Faktor yang dapat mempengaruhi konsumsi protein kasar adalah konsumsi bahan kering dan kandungan protein kasar dalam ransum (Rianto et al., 2007). Parakkasi (1999) menyatakan, bahwa faktor pakan yang mempengaruhi konsumsi bahan kering untuk ruminansia antara lain sifat fisik dan komposisi kimia pakan. Hasil penelitian Puastuti et al. (2006) melaporkan bahwa konsumsi total protein kasar pada domba jantan yang diberi ransum komplit dengan sumber protein yang berbeda yaitu berkisar antara 119,51-132,82 g/e/hari. Kecernaan Protein Kasar Kecernaan ransum adalah suatu pengukuran untuk mengetahui kemampuan sistem pencernaan ternak dalam mengubah nutrien pakan menjadi komponen kimia sederhana sehingga mudah diserap dan digunakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhannya (Damron, 2006). Campbell et al. (2003) menyatakan bahwa kecernaan merupakan persentase pakan yang dapat dicerna dalam sistem pencernaan yang kemudian dapat diserap tubuh dan sebaliknya yang tidak terserap dibuang melalui feses. Kecernaan protein bahan makanan tergantung pada kandungan protein ransum, bahan makanan dengan kandungan protein yang rendah mempunyai kecernaan protein yang rendah, begitu pula sebaliknya (Anggorodi, 1994). Kisaran 8

normal nilai kecernaan protein kasar menurut Manurung (1996) yaitu 43,70%- 71,94%. Hasil penelitian Rianto et al. (2007) melaporkan bahwa kecernaan protein pada domba ekor tipis jantan yang diberi pakan hijauan dan konsentrat dengan metode penyajian berbeda yaitu berkisar 64,30%-67,03%. Hasil penelitian Puastuti et al. (2006) melaporkan bahwa kecernaan protein domba jantan yang diberi ransum komplit dengan sumber protein yang berbeda yaitu sekitar 74,73%-80,63%. Metabolisme Protein pada Ruminansia Protein merupakan zat organik yang terdiri dari karbon, hidrogen, sulfur, dan fosfor. Protein mengandung 51%-55% karbon, 6,5%-7,3% hydrogen, 21,5%-23,5% oksigen, 15,5%-18% nitrogen, 0,5%-2% sulfur dan 1,5% fosfor. Unsur-unsur tersebut terdapat dalam bentuk asam amino yang terkait satu sama lain oleh ikatan peptide protein yang berasal dari makanan akan dihidrolisa oleh mikroba rumen. Metabolisme merupakan sejumlah proses yang meliputi proses sintesa (anabolisme) dan perombakan (katabolisme) dalam protoplasma sel organisme hidup, proses ini membutuhkan energi untuk reaksi kimia dalam sel hidupnya dan produk metabolisme diasimilasikan untuk perbaikan dan sintesa jaringan baru atau produksi (McDonald et al., 2002). Protein dalam tubuh ternak salah satunya berfungsi untuk pertumbuhan atau pembentukan jaringan baru (Anggorodi, 1994). Degradasi protein dalam rumen dipengaruhi oleh sumber protein, bentuk fisik dan kimia makanan, gerak laju makanan, gerak laju makanan dalam rumen, jumlah konsumsi ransum, konsumsi energi, pertumbuhan mikroba dan ukuran partikel makanan. Mikroorganisme rumen menghasilkan enzim protease yang digunakan untuk menghidrolisa protein pakan menjadi peptide dan asam amino, yang selanjutnya dihidrolisa menjadi CO 2, ammonia (NH 3 ), dan VFA. Konsentrasi ammonia dalam rumen tergantung pada kelarutan dan jumlah protein pakan. Ammonia yang dihasilkan dapat diubah menjadi protein mikroba kemudian akan mengalir ke abomasum, usus halus, dan hati. NH 3 masuk ke dalam hati diubah menjadi urea, urea yang dihasilkan sebagian masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva ataupun dinding rumen dan sebagian lagi akan dieksresikan melalui urin. Ammonia merupakan nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama kerangka karbon sumber energi akan disintesa menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (McDonald et al., 2002). 9

Gambar 3. Metabolisme Protein dalam Rumen Sumber : McDonald et al. (2002) Nitrogen yang keluar melalui feses berasal dari protein pakan yang tidak tercerna, yang disebut dengan nitrogen endogenous terdiri dari enzim-enzim pencerna dan cairan lainnya yang diekskresikan ke dalam saluran pencernaan (Parakkasi, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran nitrogen melalui feses yaitu bobot badan, konsumsi bahan kering, kandungan serat kasar serta kandungan energi dan protein ransum (Yan et al., 2007). Nitrogen yang hilang melalui feses ruminansia kira-kira 0,6% dari konsumsi bahan kering atau ±4% dari protein ransum (Pond et al., 1995). Hasil penelitian Rianto et al. (2007) melaporkan bahwa protein kasar feses pada domba ekor tipis jantan yang diberi pakan hijauan dan konsentrat dengan metode penyajian berbeda yaitu berkisar 28,32-30,59 g/e/hari. Hasil penelitian Puastuti et al. (2006) melaporkan bahwa protein kasar feses domba jantan yang diberi ransum komplit dengan sumber protein yang berbeda yaitu berkisar antara 24,56-31 g/e/hari. Nitrogen yang keluar melalui urin antara lain berupa keratin, ammonia, asam amino, urea dan allantoin. Nitrogen yang keluar melalui urin merupakan sisa hasil 10

proses metabolisme jaringan tubuh yang disebut endogenous urinary nitrogen. Hasil penelitian Rianto et al. (2007) melaporkan bahwa total protein kasar urin pada domba ekor tipis jantan yang diberi pakan hijauan dan konsentrat dengan metode penyajian berbeda yaitu berkisar 25,59-30,90 g/e/hari. Hasil penelitian Puastuti et al. (2006) melaporkan bahwa protein kasar urin domba jantan yang diberi ransum komplit dengan sumber protein berbeda yaitu 25,75-43,75 g/e/hari. Retensi Protein pada Ruminansia Retensi protein merupakan penimbunan protein yang diperoleh dari protein pakan yang dikonsumsi ternak dikurangi dengan protein yang dikeluarkan melalui feses dan urin (Rianto et al., 2007). Retensi nitrogen merupakan salah satu metode yang umum digunakan untuk mengevaluasi kualitas protein. Meningkatnya konsumsi nitrogen tidak selalu disertai dengan peningkatan bobot badan terutama jika energi di dalam ransum rendah (Parakkasi, 1999). Khoerunnisa (2006) menyatakan bahwa semakin meningkatnya konsumsi protein kasar pada ternak, maka semakin meningkat pula protein yang tertinggal di dalam tubuh ternak tersebut. Deposisi protein hasil penelitian Arifin et al. (2005) yang menggunakan pakan penguat pollard dengan aras yang berbeda pada domba lokal jantan berumur 12 bulan, yaitu berkisar antara 59,93%-66,42%. Hasil penelitian ini juga sedikit lebih rendah daripada temuan Rianto et al. (2006) yang mendapatkan deposisi protein sebesar 39,73% pada domba Garut yang mendapat pakan rumput gajah, konsentrat dan ampas tahu. Rianto et al. (2007) juga melaporkan bahwa protein kasar terdeposisi pada domba ekor tipis jantan yang diberi pakan hijauan dan konsentrat dengan metode penyajian berbeda yaitu berkisar 26,89-30,42 g/e/hari. Hasil penelitian Puastuti et al. (2006) melaporkan bahwa retensi protein domba jantan yang diberi ransum komplit dengan sumber protein berbeda yaitu berkisar antara 57,06-65,81 g/e/hari atau sekitar 46,56%-51,84% dari total konsumsi protein. Efisiensi Pakan Efisiensi pakan merupakan rasio antara pertambahan bobot badan yang dihasilkan dengan jumlah ransum yang dikonsumsi. Efisiensi terhadap penggunaan pakan dapat dilihat dari besar kecilnya nilai konversi. Semakin kecil nilai konversi, maka semakin efisien ternak dalam menggunakan pakan tersebut untuk produksi 11

daging. Semakin besar nilai efisiensi pakan, maka penggunaan pakan semakin baik dalam pertumbuhan ternak. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa efisiensi pakan dipengaruhi oleh suhu lingkungan, potensi genetik, nutrisi pakan, kandungan energi, dan penyakit serta dipengaruhi oleh banyaknya pakan yang dikonsumsi, bobot badan, aktivitas tubuh. Mulyaningsih (2006) melaporkan bahwa efisiensi pakan domba ekor tipis jantan yang diberi konsentrat 100% yaitu sekitar 17%, dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan ternak yang diberi rumput dan konsentrat dengan rasio 25:75 yang hanya memiliki efisiensi pakan sebesar 10%. Efisiensi Penggunaan Protein Pembentukan Protein Daging Peningkatan protein dalam pakan dapat meningkatkan kandungan air, protein dan abu tubuh, dan menurunkan lemak tubuh. Konsentrasi protein dalam pakan dan aras pemberian pakan juga mempengaruhi berat potong ternak. Peningkatan aras pemberian pakan bisa meningkatkan kadar lemak, dan menurunkan kandungan air tubuh atau karkas, tetapi tidak mempengaruhi persentase protein (Soeparno, 2005). Beberapa faktor yang menyebabkan tidak adanya pengaruh aras protein pakan terhadap komposisi karkas antara lain adalah perbedaan aras protein pakan yang relatif kecil, aras konsumsi energi yang seimbang, serta berat potong yang tinggi. Sifat kimiawi nutrien yang diabsorbsi dan efisiensi konversi pakan menjadi komponen tubuh seperti protein, lemak, dan mineral ikut menentukan komposisi berbagai organ dan jaringan tubuh ternak. Ternak yang mengkonsumsi energi melebihi kebutuhan untuk pemeliharaan tubuh, akan menimbun energi dalam bentuk lemak di dalam tubuhnya. Deposisi lemak tersebut dapat terjadi pada ternak ruminansia seperti domba dan sapi, karena berat air tubuh, protein, dan abu berdasarkan berat tubuh kosong bebas lemak, secara relatif adalah konstan (Soeparno, 2005). 12