BAB III ASUMSI ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

Kinerja Perekonomian Indonesia dan Amanat Pasal 44 RUU APBN 2012

NOTA KEUANGAN DAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA PERUBAHAN TAHUN ANGGARAN 2012 REPUBLIK INDONESIA

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

PERKEMBANGAN EKONOMI, KETENAGAKERJAAN, DAN KEMISKINAN

Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta KUPA

Pemerintah Provinsi Bali

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun memberikan dampak pada

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

RELEASE NOTE INFLASI JULI 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN I 2017

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

WARTA INDEKS HARGA KONSUMEN (IHK) BPS KABUPATEN KENDAL

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

RELEASE NOTE INFLASI JUNI 2016

LAPORAN LIAISON. Triwulan I Konsumsi rumah tangga pada triwulan I-2015 diperkirakan masih tumbuh

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... v Daftar Grafik... vii

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2016

PEMERINTAH KABUPATEN PURBALINGGA Catatan atas Laporan Keuangan Untuk Tahun yang Berakhir 31 Desember 2014 dan 2013

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

hal- ii Rancangan Kebijakan Umum APBD (KUA) Tahun Anggaran 2017

Bab. I Pendahuluan INDEKS HARGA KONSUMEN DAN LAJU INFLASI TAHUN 2013

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2014 REPUBLIK INDONESIA

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2016

BERITA RESMI STATISTIK

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/LAJU INFLASI KOTA SALATIGA

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

KONDISI EKONOMI KOTA TASIKMALAYA

TPI dan Pokjanas TPID. Analisis Inflasi. Analisis Inflasi Januari 2016 TPI dan Pokjanas TPID 1

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

Pidato Presiden - Penyampaian Keterangan Pemerintah atas RUU APBN serta..., Jakarta, 16 Agustus 2016 Selasa, 16 Agustus 2016

Realisasi Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBNP 2015

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

Laporan Perkembangan Perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta Triwulan I 2014

RELEASE NOTE INFLASI JANUARI 2017

RELEASE NOTE INFLASI SEPTEMBER 2016

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/LAJU INFLASI KOTA SALATIGA

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TRIWULAN III-2016

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/LAJU INFLASI KOTA SALATIGA

RINGKASAN APBN TAHUN 2017

1. Tinjauan Umum

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TAHUN 2016

RELEASE NOTE INFLASI DESEMBER 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI BALI TRIWULAN I 2016

Inflasi IHK 2015 Berada dalam Sasaran Inflasi Bank Indonesia

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TRIWULAN II-2017

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

Kebijakan Umum APBD Tahun Anggaran 2010 III- 1

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA TAHUN 2016

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN / INFLASI KOTA PURWODADI APRIL 2016 DEFLASI 0,40 PERSEN

RELEASE NOTE INFLASI MEI 2017

RELEASE NOTE INFLASI FEBRUARI 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TRIWULAN I-2017

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

LAPORAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA SEMESTER PERTAMA TAHUN ANGGARAN 2012 R E P U B L I K I N D O N E S I A

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB Lapangan Usaha TAHUN 2015

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN / INFLASI KOTA PURWODADI JULI 2015 INFLASI 0,92 PERSEN

2 Sehubungan dengan lemahnya perekonomian global, kinerja perekonomian domestik 2015 diharapkan dapat tetap terjaga dengan baik. Pertumbuhan ekonomi p

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN / INFLASI KOTA PURWODADI AGUSTUS 2015 INFLASI 0,39 PERSEN

RELEASE NOTE INFLASI AGUSTUS 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2014

8.1. Keuangan Daerah APBD

DAFTAR ISI. Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... iv Daftar Grafik... vi

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN / INFLASI KOTA PURWODADI AGUSTUS 2016 DEFLASI 0,54 PERSEN

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

WARTA INDEKS HARGA KONSUMEN (IHK) BPS KABUPATEN KENDAL

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN I- 2013

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

RELEASE NOTE INFLASI OKTOBER 2016

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/LAJU INFLASI KOTA SALATIGA

PERTUMBUHAN EKONOMI RIAU TRIWULAN III/2016

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR EKONOMI MAKRO DAN REALISASI APBN SEMESTER I 2009

BERITA RESMI STATISTIK

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA TRIWULAN I-2016

Kondisi Perekonomian Indonesia

KAJIAN EKONOMI DAN KEUANGAN REGIONAL PROVINSI JAWA TENGAH MEI

PERTUMBUHAN EKONOMI SEKADAU TAHUN 2014

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/LAJU INFLASI KOTA SALATIGA

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH

BERITA RESMI STATISTIK

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI JAWA TIMUR APRIL 2015 INFLASI 0,39 PERSEN

RELEASE NOTE INFLASI MARET 2017

NOMOR : 910/3.907 NOMOR : 910/3.196 TANGGAL : 12 NOVEMBER 2012

Perkembangan Perekonomian Terkini. Peluang Pengembangan Perekonomian. Proyeksi Perekonomian Ke depan

PARIPURNA 05 Desember 2016 KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2017

PERTUMBUHAN EKONOMI ACEH 2016

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/LAJU INFLASI KOTA SALATIGA

Transkripsi:

- 27 - BAB III ASUMSI ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) A. Asumsi Dasar yang Digunakan dalam APBN Asumsi dasar ekonomi makro digunakan sebagai dasar penghitungan dalam penyusunan postur APBN. Oleh karena itu, apabila terjadi perubahan pada variabel asumsi dasar ekonomi makro dari yang semula ditetapkan, akan memberi dampak positif maupun negatif pada besaran pendapatan negara, belanja negara, dan pembiayaan anggaran yang bermuara pada perubahan besaran defisit APBN. Dampak dari perubahan asumsi dasar ekonomi makro terhadap postur RAPBN tahun 2017 dapat ditransmisikan dalam bentuk analisis sensitivitas. Beberapa variabel asumsi dasar ekonomi makro yang akan berdampak positif terhadap postur RAPBN tahun 2017 adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, ICP, serta kenaikan lifting minyak dan gas bumi. Peningkatan pada asumsi dasar ekonomi makro tersebut akan berdampak langsung pada kenaikan pendapatan negara, terutama pada penerimaan perpajakan dan PNBP, dan mempunyai dampak turunan terhadap kenaikan anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, terutama dana bagi hasil (DBH). Selanjutnya, kenaikan anggaran Transfer Ke Daerah Dan Dana Desa tersebut akan berdampak pada peningkatan belanja negara yang harus diikuti dengan peningkatan anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan untuk memenuhi alokasi anggaran pendidikan minimum 20,0 persen dan anggaran kesehatan sebesar 5,0 persen terhadap total belanja negara sesuai amanat konstitusi. Sesuai perhitungan analisis sensitivitas, dampak realisasi peningkatan asumsi dasar ekonomi makro tersebut terhadap kenaikan pendapatan negara masih jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dampak kenaikan belanja negara, sehingga secara total peningkatan tersebut dapat berdampak positif terhadap postur APBN, yaitu ada kelebihan pembiayaan anggaran yang selanjutnya dapat digunakan untuk menambah belanja atau mengurangi defisit anggaran. Sebaliknya, variabel asumsi dasar ekonomi makro yang akan berdampak negatif terhadap postur APBN adalah kenaikan tingkat suku bunga SPN 3 bulan. Perubahan tingkat suku bunga SPN 3 bulan hanya akan berdampak pada sisi belanja negara, terutama pembayaran bunga utang sehingga akan ada kekurangan pembiayaan yang dapat ditutup melalui penambahan defisit atau pemotongan belanja. Perkembangan kondisi perekonomian menyebabkan asumsi dasar ekonomi makro terus berubah. Untuk menangkap perubahan asumsi dasar ekonomi makro yang terjadi, maka angka sensitivitas RAPBN tahun 2017 digunakan untuk melakukan perhitungan cepat postur APBN yang ditujukan untuk memberikan gambaran atas arah besaran defisit RAPBN tahun 2017. Namun demikian, postur APBN yang

- 28 - sesungguhnya belum bisa berpatokan pada hasil perhitungan angka sensitivitas tersebut karena besaran dalam postur APBN selain dipengaruhi oleh asumsi dasar ekonomi makro, juga menampung berbagai kebijakan pemerintah. Perkembangan realisasi beberapa indikator ekonomi makro yang dijadikan sebagai proyeksi asumsi dasar ekonomi makro 2017 disajikan dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1 Asumsi Dasar Ekonomi Makro 2017 NO INDIKATOR EKONOMI RAPBN 2017 1 Pertumbuhan Ekonomi (%) 5,3 2 Inflasi (%) 4,0 3 Nilai Tukar (Rp/US$1) 13.300 4 Suku Bunga SPN 3 Bulan (%) 5,3 5 Harga Minyak Indonesian Crude Price (US$/barel) 45 6 Lifting Minyak (ribu barel/hari) 780 7 Lifting Gas (Million Barrel Oil Equivalent Per Day) 1.150 Sumber: Nota Keuangan RAPBN TA. 2017 B. Laju Inflasi 1. Nasional Kondisi perekonomian global menjadi salah satu faktor yang memengaruhi laju inflasi di tahun 2017. Harga komoditas energi, terutama minyak mentah dan dinamika pergerakan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang dunia, termasuk Rupiah, yang secara keseluruhan diperkirakan masih memberikan kontribusi pada level moderat terhadap pergerakan laju inflasi 2017. Sementara itu dari sisi internal, beberapa faktor yang diperkirakan memberikan tekanan terhadap laju inflasi, antara lain komponen administered price, faktor iklim, dan pengaruh musiman seperti panen, tahun ajaran baru, dan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN). Tekanan pada komponen administered price berasal dari penyesuaian terhadap pergerakan harga komoditas energi, sedangkan faktor iklim berupa fenomena La Nina atau iklim basah akan berpotensi gangguan pada produksi dan pasokan pangan. Namun, dengan perkembangan ekonomi domestik yang baik serta diikuti berlanjutnya peningkatan dukungan infrastruktur akan memberikan dampak positif terhadap pergerakan laju inflasi di tingkat yang relatif terjaga. Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah dalam menjaga tingkat inflasi berupa kebijakan memitigasi adanya gejolak harga pangan dan energi domestik yang dilaksanakan melalui strategi pengendalian baik dari sisi produksi, distribusi, maupun konsumsi. Selain itu, Pemerintah juga telah mengalokasikan anggaran guna stabilisasi harga pangan serta dana cadangan beras pemerintah yang dapat dimanfaatkan pada saat terjadi kelangkaan barang dan gejolak

- 29 - harga melalui programprogram, seperti operasi pasar dan penyediaan bahan pangan pokok dengan harga terjangkau. Dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan, Pemerintah senantiasa melakukan evaluasi serta melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia untuk menciptakan bauran kebijakan fiskal, moneter, dan pengembangan sektor riil yang tepat dengan mempertimbangkan dampak inflasi kepada perekonomian secara menyeluruh. Dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam perkembangan inflasi serta kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil, laju inflasi tahun 2017 diperkirakan mencapai 4,0 persen atau berada pada pada kisaran rentang sasaran inflasi yang telah ditetapkan sebesar 4,0±1,0 persen. 2. Provinsi Jawa Tengah Inflasi di Jawa Tengah selama kurun waktu 2011-2014 menunjukkan tren meningkat dengan angka inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2014, yaitu sebesar 8,22% (yoy) dan mengalami penurunan cukup tajam pada tahun 2015, yaitu 2,73% (yoy). Beberapa komoditas yang memberikan sumbangan terbesar terjadinya inflasi selama tahun 2015 adalah beras, rokok kretek filter, bawang merah, bawang putih dan jasa pendidikan. Apabila dilihat angka inflasi di 6 daerah di Jawa Tengah menunjukkan bahwa inflasi tertinggi terjadi di Tegal sebesar 3,95%, kemudian diikuti Kudus 3,28%, Cilacap 2,63%, Semarang dan Surakarta masing-masing 2,56% dan Purwokerto 2,52%. Angka inflasi tahun 2015 tersebut berada dibawah angka inflasi nasional sebesar 3,35%, hal demikian mengindikasikan adanya kelancaran distribusi barang kebutuhan pokok dan penting masyarakat di Jawa Tengah dengan perkembangan harga yang cukup terkendali. Berdasarkan kondisi perekonomian Jawa Tengah saat ini, serta memperhatikan tantangan dan peluang ke depan, maka perekonomian Jawa Tengah tahun 2017 sebesar 4,5 ± 1. 3. Kota Surakarta Inflasi adalah meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Dampak dari inflasi salah satunya adalah menurunnya daya beli masyarakat, yang dapat diartikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat terganggu karena ketidakmampuan penduduk dalam mengkonsumsi barang ataupun jasa. Laju inflasi tahun kalender 2015 (Januari Desember 2015) sebesar 2,56 persen, lebih rendah dari tahun 2014 sebesar 8,01% dan tahun 2013 sebesar 8,32% Besarnya inflasi Kota Surakarta pada tahun 2015 disebabkan semua indeks kelompok pengeluaran mengalami kenaikan terutama kenaikan indeks kelompok bahan makanan, seperti terlihat pada gambar berikut.

- 30 - Sumber: BPS Kota Surakarta, 2015 Gambar 3.1 Laju Inflasi di Kota Surakarta Tahun 2011-2015 Beberapa komoditas mengalami kenaikan harga selama tahun 2015 sehingga memicu terjadinya inflasi antara lain: beras, cabe hijau, cabe rawit, cabe merah, rokok kretek filter, tukang bukan mandor, tarif listrik, bahan bakar rumah tangga, angkutan antarkota, angkutan umum dalam kota, angkutan udara, dan bensin. Sebaliknya, komoditas yang menghambat tingginya inflasi, yaitu daging ayam ras, petai, apel, bawang merah, kelapa, minyak goreng, dan gula pasir. C. Pertumbuhan PDRB 1. Nasional Dari sisi domestik, perkiraan perbaikan kinerja ekonomi nasional dalam tahun 2017 didukung oleh membaiknya konsumsi rumah tangga sejalan dengan inflasi yang relatif stabil terutama harga barang kebutuhan pokok. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga diperkirakan tetap memiliki kinerja cukup baik yang didorong oleh keberlanjutan pembangunan infrastruktur yang diharapkan mampu meningkatkan daya saing dan penguatan konektivitas nasional. Selain itu, kebijakan amnesti pajak diharapkan juga mampu mendorong investasi di sektor riil melalui penguatan likuiditas dari hasil repatriasi dana yang ada di luar negeri. Seiring membaiknya perekonomian global, kinerja perdagangan internasional juga diharapkan mengalami perbaikan. Dari sisi sektoral, pertumbuhan sektor industri pengolahan sebagai penyumbang terbesar dalam perekonomian juga diperkirakan menunjukkan penguatan yang salah satunya dipengaruhi oleh perbaikan ekonomi dan arah kebijakan ekspor terhadap produk bernilai tambah tinggi. Komitmen Pemerintah dalam pembangunan infrastruktur diperkirakan juga tetap mendorong kinerja pertumbuhan sektor konstruksi, transportasi, dan pergudangan. Selain itu, sektor keuangan juga diperkirakan meningkat sejalan dengan peningkatan arus dana dari kebijakan amnesti pajak.

- 31 - Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan perkembangan terkini perekonomian global dan domestik, kebijakan yang diambil pemerintah, serta potensi dan risiko ke depan, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2017 diperkirakan sebesar 5,3 persen. Perkiraan ini lebih baikdibanding proyeksi realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2016 sebesar 5,2 persen. Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh relatif stabil dibanding tahun 2016 seiring dengan membaiknya kinerja perekonomian domestik. Tingkat inflasi yang diperkirakan stabil diharapkan mampu menjaga keyakinan konsumen sehingga pertumbuhan konsumsi masyarakat tetap terjaga seiring dengan peningkatan optimisme pasar. Tingkat konsumsi masyarakat terutama yang berada di wilayah perdesaan dan daerah tertinggal menjadi fokus utama kebijakan pembangunan dalam rangka pemerataan antarkelompok pendapatan. Pemerataan kesejahteraan masyarakat ditempuh melalui berbagai program penyaluran perlindungan sosial yang komprehensif. Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat juga menjadi prioritas dalam menjaga tingkat konsumsi melalui pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal. Pemerintah berkomitmen untuk menjaga stabilitas harga dan aksesibilitas terhadap kebutuhan barang pokok melalui peningkatan konektivitas nasional yang diharapkan mampu meningkatkan produktivitas ekonomi dan mengurangi kesenjangan antarwilayah. Selain itu, tidak hanya melalui kebijakan fiskal dan pembangunan yang ekspansif, kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga akan didukung oleh kebijakan moneter dan sektor keuangan yang kondusif seperti kemudahan penyaluran kredit. Relatif tingginya kelompok berpendapatan menengah dan usia muda juga diperkirakan memberikan dukungan terhadap kinerja konsumsi rumah tangga. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun 2017 diperkirakan mencapai 5,1 persen. 2. Provinsi Jawa Tengah Nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah Atas Harga Dasar Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) selama tahun 2011-2014 mengalami peningkatan positif. Nilai PDRB ADHB pada tahun 2011 sebesar Rp692,561 triliun, meningkat menjadi Rp925,662 triliun pada tahun 2014. Sedangkan nilai PDRB ADHK pada tahun 2011 sebesar Rp656,268 triliun meningkat menjadi Rp235,298 triliun pada tahun 2014. Perkembangan nilai PDRB Provinsi Jawa Tengah baik ADHB maupun ADHK berdasarkan lapangan usaha pada kurun waktu 2011-2014 menunjukan bahwa nilai PDRB tertinggi terjadi pada tahun 2014, yaitu industri pengolahan sebesar Rp336,070 triliun (ADHB) dan Rp274,971 triliun (ADHK). Sedangkan laju pertumbuhan

- 32 - tertinggi terjadi pada tahun 2011, yaitu jasa pendidikan sebesar 34,19% (ADHB) dan 18,41% (ADHK). Kontribusi lapangan usaha yang paling dominan terhadap pembentukan PDRB Provinsi Jawa Tengah pada periode 2011-2014 adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil serta pertanian, kehutanan dan perikanan. Pada tahun 2011 kontribusi lapangan usaha industri pengolahan berdasarkan ADHK sebesar 34,49% dan meningkat menjadi 35,88% pada tahun 2014. Sedangkan lapangan usaha perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil pada periode yang sama sebesar 15,22% dan menjadi 14,44%, selanjutnya untuk lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 15,75% dan menjadi 13,84%. Dilihat dari sisi penggunaan PDRB Jawa Tengah tahun 2011-2014, menunjukan bahwa komponen penggunaan konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang tertinggi, yaitu sebesar 62,08% pada tahun 2011 meningkat menjadi 64,03% pada tahun 2014. Nilai PDRB per kapita Jawa Tengah pada kurun waktu 2011-2014 berdasarkan ADHB dan ADHK menunjukan peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2011 nilai PDRB per kapita Jawa Tengah ADHB sebesar Rp19.245.629,58 dan pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp25.040.436,82. Sedangkan PDRB per kapita Jawa Tengah ADHK pada tahun 2011 sebesar Rp19.245.629,58 dan pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp21.852.221,58. 3. Kota Surakarta Nilai PDRB Kota Surakarta Atas Dasar Harga Berlaku menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. PDRB ADHB tahun 2015 tercatat sebesar 34,98 triliun rupiah, meningkat dari tahun 2014 sebesar 32,06 triliun rupiah. Peningkatan juga terjadi pada PDRB per kapita ADHB. Pendapatan per kapita pada tahun 2015 mencapai Rp 68,16 juta, sedangkan pada tahun 2014 hanya Rp 62,72 juta. Kontribusi terbesar terhadap total PDRB ADHB berasal dari kategori konstruksi sebesar 26,90% dan perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 22,56%. Sementara itu kontribusi paling kecil berasal dari kategori pertambangan dan penggalian sebesar 0,00%. Nilai PDRB Kota Surakarta berdasarkan harga konstan 2010 (ADHK 2010) menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. PDRB ADHK pada tahun 2015 tercatat sebesar 28,45 triliun rupiah, meningkat dari tahun 2014 sebesar 26,98 triliun rupiah. Peningkatan juga terjadi pada PDRB per kapita ADHK 2010 di Kota Surakarta. Pendapatan per kapita pada tahun 2015 mencapai Rp55,44 juta, sedangkan pada tahun 2014 hanya Rp52,79 juta. Kontribusi terbesar terhadap total PDRB (ADHK) berasal dari kategori perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 22,56%.

- 33 - Sementara itu kontribusi paling kecil berasal dari kategori pertambangan dan penggalian sebesar 0,00%. Pendapatan per kapita Kota Surakarta sejak tahun 2011-2015 menunjukkan tren yang meningkat. Rata-rata pendapatan per-kapita Kota Surakarta sejak tahun 2011-2015 sebesar Rp50.306.814,81 lebih tinggi dari rata-rata tingkat pendapatan per kapita Provinsi Jawa Tengah sebesar Rp23.796.150,50. Meningkatnya pendapatan per kapita, menjadi indikasi meningkatnya daya beli/purchasing power dari masyarakat Kota Surakarta yang semakin meningkat. Variabel ini berpengaruh terhadap komposisi dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Sektor unggulan di kota Surakarta secara umum dapat dilihat pada masing-masing cluster di setiap kecamatan. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Kecamatan Laweyan, berupa kampung batik Laweyan, mencakup batik, garmen maupun olah tekstil, mebel, dengan kegiatan pendukungnya adalah pendidikan, biro travel, perhotelan, maupun tempat wisata. b. Kecamatan Serengan, berupa industri pengolahan makanan dan minuman, pakaian tradisional, industri kreatif, baik kerajinan batik, maupun pembuatan letter. c. Kecamatan Pasarkliwon, berupa Wisata Religi, Kampung Wisata Batik Kauman, kerajinan dan batik kayu, biro perjalanan, kesenian tradisional, tempat wisata, maupun jasa sablon. d. Kecamatan Jebres, berupa kerajinan sangkar burung, meubel, batik tekstil dan garmen, serta jasa pendukung berupa hotel, jasa kursus, jasa pendidikan maupun pelatihan, dan gedung olah raga. e. Kecamatan Banjarsari berupa minuman tradisional (jamu), krupuk, sangkar burung, meubel, dan jasa pendukungnya berupa pendidikan, biro perjalanan dan penginapan/hotel. D. Lain-Lain Asumsi 1. Pendapatan yang bersumber dari Pajak Kendaraan Bermotor, termasuk yang dibagihasilkan pada kota, dialokasikan paling sedikit 10% untuk mendanai pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 2. Pendapatan yang bersumber dari pajak rokok dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 3. Pendapatan yang bersumber dari Pajak Penerangan Jalan sebagian dilakokasikan untuk penyediaan penerangan jalan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

- 34-4. Penganggaran Pendapatan dan Belanja yang bersumber dari dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik Pemerintah Daerah menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) pada Puskesmas; 5. Dalam rangka peningkatan bidang pendidikan, alokasi anggaran fungsi pendidikan diupayakan sekurang-kurangnya 20% dari belanja daerah, termasuk dana Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS); 6. Dalam rangka peningkatan bidang kesehatan, alokasi anggaran urusan kesehatan sekurang-kurangnya 10% dari total belanja APBD di luar gaji sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, termasuk Jaminan Kesehatan Nasional bagi Penduduk Miskin yang belum dibiayai oleh APBN/APBD Provinsi Jawa Tengah dan kebijakan pelaksanaan Sistem Jaminan Kesehatan Daerah, dalam hal ini program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta (PKMS); 7. Program dan Kegiatan yang dibiayai dari dana transfer dan sudah jelas peruntukannya seperti Dana Darurat, Dana Bencana Alam, DAK dan bantuan keuangan yang bersifat khusus serta pelaksanaan kegiatan dalam keadaan darurat dan/atau mendesak lainnya, yang belum cukup tersedia dan/atau belum dianggarkan dalam APBD, dapat dilaksanakan mendahului Penetapan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD, dengan persetujuan Pimpinan DPRD.