V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
V. GAMBARAN UMUM KONDISI PERGULAAN NASIONAL, LAMPUNG DAN LAMPUNG UTARA

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Di Indonesia gula merupakan komoditas terpenting nomor dua setelah

ABSTRAK DAN EXECUTIVE SUMMARY PENELITIAN PEMBINAAN PERAN INDUSTRI BERBASIS TEBU DALAM MENUNJANG SWASEMBADA GULA NASIONAL.

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Konsumsi Gula Tahun Periode

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

Perkembangan Harga Beras, Terigu Dan Gula Di Indonesia Tahun 2008 Selasa, 31 Maret 2009

V. KONDISI PERKEMBANGAN INDUSTRI GULA RAFINASI INDONESIA

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

YOGYAKARTA, 9 SEPTEMBER 2017 FGD "P3GI" 2017

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 527/MPP/Kep/9/2004 TENTANG KETENTUAN IMPOR GULA

KINERJA PRODUKSI DAN HARGA KEDELAI SERTA IMPLIKASINYA UNTUK PERUMUSAN KEBIJAKAN PERCEPATAN PENCAPAIAN TARGET SUKSES KEMENTERIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditi strategis bagi perekonomian Indonesia, karena merupakan salah satu dari sembilan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Agribisnis Gula Subsistem Input Subsistem Usahatani

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. di Pulau Jawa. Sementara pabrik gula rafinasi 1 yang ada (8 pabrik) belum

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

-2- Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Or

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

KEBIJAKAN GULA UNTUK KETAHANAN PANGAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. beras, jagung dan umbi-umbian menjadikan gula sebagai salah satu bahan

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA GULA

Upaya Peningkatan Produksi dan Produktivitas Gula dalam Perspektif Perusahaan Perkebunan Negara

I Ketut Ardana, Hendriadi A, Suci Wulandari, Nur Khoiriyah A, Try Zulchi, Deden Indra T M, Sulis Nurhidayati

CUPLIKAN KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA.

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDUSTRI GULA UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

I. PENDAHULUAN. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN. NOMOR : 643/MPP/Kep/9/2002 TENTANG TATA NIAGA IMPOR GULA

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

4. ANALISIS SISTEM 4.1 Kondisi Situasional

PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun Komoditas

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

ANALISIS STRATEGI BERSAING GULA RAFINASI (Studi pada PT. Jawamanis Rafinasi, Cilegon, Banten) OLEH SITI FAJAR ISNAWATI H

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian merupakan sektor yang mendasari kehidupan setiap

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

PENDAPAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 15/KPPU/PDPT/VII/2015 TENTANG

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun (Lembaran Negara Repub

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia masih memegang peranan penting dari keseluruhan

Analisis Faktor Produktivitas Gula Nasional dan Pengaruhnya Terhadap Harga Gula Domestik dan Permintaan Gula Impor. Lilis Ernawati

PENDAHULUAN. unik yang berbeda dengan komoditi strategis lain seperti beras. Di satu sisi gula

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

2015, No Perdagangan Antarpulau Gula Kristal Rafinasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran

BAB I PENDAHULUAN. yang putih dan terasa manis. Dalam bahasa Inggris, tebu disebut sugar cane. Tebu

LAPORAN AKHIR REVITALISASI SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS GULA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PENGAWASAN PEREDARAN GULA KRISTAL RAFINASI DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

BAB I PENDAHULUAN. Dilihat dari Sumber Daya Alam (SDA) dan iklimnya, Indonesia memiliki

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

V GAMBARAN UMUM PERKEMBANGAN DAN IMPOR KEDELAI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Tahun Produksi Impor

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tebu, tembakau, karet, kelapa sawit, perkebunan buah-buahan dan sebagainya. merupakan sumber bahan baku untuk pembuatan gula.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PROGRAM PENINGKATAN PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS GULA

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Gula pasir merupakan kebutuhan pokok strategis yang memegang peran

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan untuk menghasilkan suatu barang. Pentingnya masalah

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Singkat ASEAN-China Free Trade Area dan Penurunan Tingkat Tarif di Indonesia

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

Menuju Kembali Masa Kejayaan Industri Gula Indonesia Oleh : Azmil Chusnaini

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi komoditas pangan yang dapat mempengaruhi kebijakan politik

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia. KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN NOMOR : 364/MPP/Kep/8/1999 TENTANG

I PENDAHULUAN. [3 Desember 2009] 1 Konsumsi Tempe dan Tahu akan Membuat Massa Lebih Sehat dan Kuat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Produksi adalah menciptakan, menghasilkan, dan membuat. Kegiatan

BAB 3. GAMBARAN UMUM IMPOR GULA INDONESIA DAN KEBIJAKAN PENGENAAN BEA MASUK ATAS GULA (PMK No.150/PMK.011/2009)

Transkripsi:

V. GAMBARAN UMUM INDUSTRI GULA DI INDONESIA 5.1 Industri Pergulaan Indonesia Menurut KPPU (2010) bahwa gula terdiri dari beberapa jenis, dilihat dari keputihannya melalui standar ICUMSA (International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis). Semakin putih gula maka semakin kecil nilai ICUMSA dalam skala internasional unit (IU) seperti berikut ini. 5.1.1 Raw Sugar Raw sugar adalah gula mentah berbentuk kristal berwarna kecoklatan dengan bahan bakun dari tebu. Untuk menghasilkan produk ini dibutuhkan proses sebagai berikut : Tebu Giling Nira Evaporator - kristal merah (raw sugar). Menurut KPPU (2010) bahwa raw sugar ini memiliki nilai ICUMSA sekitar 600-12000 UI. Gula tipe ini adalah produksi gula setengah jadi dari pabrik penggilingan tebu yang tidak memiliki unit pemutihan yang biasanya jenis gula inilah yang banyak diimpor untuk nantinya diubah menjadi gula kristal putih ataupun gula rafinasi. 5.1.2 Refined Sugar Refined sugar atau gula rafinasi merupakan hasil olahan lebih lanjut dari gula mentah atau raw sugar melalui proses defikasi yang tidak dapat langsung dikonsumsi oleh manusia sebelum diproses lebih lanjut. Gula rafinasi dihasilkan melalui tahapan produksi yaitu : raw sugar preparation affination carbonasi penyaringan pertukaran ion evaporasi sentrifugal gula rafinasi pengemasan. Hal yang membedakan antara gula kristal putih dengan gula rafinasi adalah gula rafinasi menggunakan proses carbonasi sedangkan gula kristal putih menggunakan proses sulfitasi. Gula rafinasi mempunyai standar mutu khusus yaitu mutu 1 yang memiliki nilai ICUMSA < 45 dan mutu 2 yang memiliki nilai ICUMSA 46-80. Gula rafinasi ini adalah bahan baku yang digunakan untuk industri makanan dan minuman. Pendistribusian gula rafinasi dilakukan secara khusus, dimana distributor gula rafinasi terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan serta penunjukan dari pabrik gula rafinasi yang kemudian disahkan oleh kementerian 44

perindustrian. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kebocoran gula rafinasi ke rumah tangga. 5.1.3 Gula Kristal Putih Gula kristal putih memiliki nilai ICUMSA antara 250-450 IU. Kementerian perindustrian mengelompokkan gula kristal putih menjadi tiga bagian yaitu gula kristal putih 1 dengan nilai ICUMSA 250, gula kristal putih 2 dengan nilai ICUMSA 250-350, dan gula kristal putih 3 dengan nilai ICUMSA 350-350. Semakin tinggi nilai ICUMSA maka semakin coklat warna dari gula tersebut serta rasanya semakin manis. Gula tipe ini umumnya digunakan untuk konsumen rumah tangga dan diproduksi oleh pabrik-pabrik gula yang dekat dengan perkebunan tebu dengan cara menggiling dan melakukan proses pemutihan, yaitu dengan sulfitasi. Berikut rangkain prosesnya : Tebu Gilingan Nira Evaporator Kristal Sentrifugal Sulfitasi Gula kristal putih/ gula pasir. 5.2 Kondisi Industri Gula Saat Ini 5.2.1 Perkembangan Luas Areal, Produktivitas, dan Produksi Tebu Pemerintah menyadari bahwa usaha peningkatan produksi gula di Jawa makin sulit karena harus bersaing dengan tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah sejak awal tahun 1980-an telah melakukan perluasan lahan tanaman tebu dan pabrik ke luar pulau Jawa, seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Tetapi kenyataan pada saat ini menunjukkan bahwa kecuali Lampung, pabrik-pabrik gula tersebut belum ada yang optimal kinerjanya. Menurut Utomo dan Soelistyari (1988), bahwa yang menjadi masalah adalah bukan kekurangan lahan untuk menanam tebu, tetapi karena lahan yang tersedia kurang cocok untuk ditanami tanaman tebu. Hal tersebut dikarenakan sifat tanahnya yang tidak cocok sehingga produksinya yang diperoleh rendah. Utomo dan Soelistyari (1988) juga menjelaskan lahan di luar Jawa adalah tergolong podsolik merah kuning. Jadi, pada tanah ini tanaman tebu mempunyai kesempatan besar untuk dikembangkan. Tetapi perlu dikemukakan bahwa tanah podsolik merah kuning merupakan tanah yang memiliki banyak faktor pembatas 45

yang menjadi kendala, baik dalam pemanfaatannya maupun usaha menjaga kelestarian produktivitasnya. Podsolik merah kuning terdapat di daerah dengan curah hujan tinggi. Telah mengalami pelapukan yang lanjut dan pelindian yang amat jauh, miskin hara tanaman, struktur tanah tidak mantap sehingga status pertaniannya rendah (Soeprapto, 1983). Luas areal tebu di Indonesia secara umum berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat dari tahun 2000 hingga tahun 2011. Namun, sebelumnya terjadi penurunan luas areal tanam adalah pada tahun 1999 sebesar 9,91 persen, yang kemudian diikuti penurunan pada tahun 2000. Adapun alasan terjadinya penurunan tersebut adalah akibat dihapuskannya kebijakan TRI dan konversi lahan (Dirjen Perkebunan, 2006). Penurunan luas areal tersebut berdampak pada penurunan produksi tebu sebesar 12,59 persen, dari 71,84 ton/ha pada tahun 1998 menjadi 62,80 ton/ha pada tahun 1999. Adapun pada tahun 2011, luas lahan pengembangan tebu di Indonesia naik sebesar 7,66 persen dari tahun sebelumnya, yang mencapai 450.297 ha pada tahn tersebut. Menurut Dewan Gula Indonesia (2011), bahwa luas lahan tersebut tersebar di beberapa dearah, antara lain: Jawa Timur dengan 192.801 ha, Lampung dengan 128.321 ha, Jawa Tengah dengan 51.955 ha, Jawa Barat dengan 22.487 ha, Sulawesi Selatan dengan 14.039 ha, Sumatera Selatan dengan 15.282 ha, Sumatera Utara dengan 10.046 ha, Gorontalo dengan 8.681 ha, dan DIY dengan 6.681 ha. Dilihat dari angka tersebut dapat dikatakan bahwa pulau Jawa masih menjadi daerah penyangga produksi tebu di Indonesia dengan 273.924 ha atau 60,8 persen luas lahan pengembangan tebu di Indonesia. Hal ini harus dihindari karena sulit apabila pemerintah hanya mengandalkan satu daerah penyangga produksi gula untuk menyukseskan program swasembada gula tahun 2014. Adapun terjadinya kenaikan luas lahan pengembangan tebu pada tahun 2011 dikarenakan program pemerintah terkait swasembada gula tahun 2014 sehingga pemerintah berusaha untuk memperluas lahan tebu petani. Akan tetapi pada tahun tersebut produksi tebu malah menurun sebesar 11,38 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan faktor beyond control yaitu faktor cuaca yang 46

tidak menentu, dimana pada tahun tersebut curah hujan yang tinggi sehingga kuantitas tebu yang dihasilkan menjadi lebih sedikit. Tabel 4. Pertumbuhan Luas Areal, Produksi Tebu, Produktivitas Tebu, dan Rendemen di Indonesia Tahun 1993-2011 Tahun Luas Areal Produksi Tebu Produktivitas Tebu Rendemen Total (Ha) Pertumb uhan Total (Ton) Pertum buhan Total (Ton/Ha) Pertum buhan 1993 420.687-37.593.146 89,36-6,60 1994 428.726 1,91 30.545.070-18,75 71,25-20,27 8,02 1995 420.630-1,89 30.096.060-1,47 71,55 0,43 6,97 1996 403.266-4,13 28.603.531-4,96 70,93-0,87 7,32 1997 385.669-4,36 27.953.841-2,27 72,48 2,19 7,83 1998 378.293-1,91 27.177.766-2,78 71,84-0,88 5,49 1999 340.800-9,91 21.401.834 21,25 62,80-12,59 6,96 2000 340.660-0,04 24.031.355 12,29 70,54 12,33 7,04 2001 344.441 1,11 25.186.254 4,81 73,12 3,66 6,85 2002 350.723 1,82 25.533.431 1,38 72,80-0,44 6,88 2003 335.725-4,28 22.631.109-11,37 67,41-7,41 7,21 2004 344.293 2,55 26.743.179 18,17 77,68 15,23 7,67 2005 381.759 10,88 31.242.267 16,82 81,84 5,36 7,18 2006 396.441 3,85 30.232.833-3,23 76,26-6,81 7,63 2007 427.178 7,75 33.066.042 9,37 77,41 1,50 7,35 2008 436.504 2,18 32.960.165-0,32 75,50-2,47 8,20 2009 422.935-3,11 32.165.572-2,41 76,10 0,79 7,83 2010 418.259-1,11 34.216.549 6,38 81,80 7,49 6,47 2011 450.297 7,66 30.323.228-11,38 67,30-17,73 7,35 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 (Diolah) Produksi gula juga berfluktuasi dari tahun ke tahun dengan kecenderungan mulai ada peningkatan, kecuali tahun 1999, 2003 dan 2010. Pada tahun 1999 terjadi penurunan karena adanya penurunan lahan produksi tebu. Penurunan ini disumbang oleh efek kebijakan pemerintah terkait TRI dan konversi lahan. Pada tahun 2003 terjadi penurunan produksi tebu sebesar 11,37 persen, sehingga menurunkan produksi gula sebesar 6,72 persen. Hal ini terjadi akibat masalah ketersediaan air menurut ruang dan waktu serta pengelolaan sumberdaya iklim yang memegang peranan penting dalam proses produksi tebu, khususnya pada lahan kering. Pada tahun tersebut, sebagian besar tanaman tebu lahan kering yang ditanam periode Mei hingga September mengalani cekaman air (water stress) pada fase kritis yaitu fase pembentukan tunas dan pertumbuhan vegetatif. 47

Tabel 5. Pertumbuhan Produksi Gula dan Produktivitas Gula Tahun 1993-2011 Tahun Produksi Gula Produktivitas Gula Total (Ton) Pertumbuhan Total (Ton/Ha) Pertumbuhan 1993 2.482.725 5,90 1994 2.448.833-1,37 5,71-3,22 1995 2.096.471-14,39 4,98-12,78 1996 2.094.195-0,11 5,19 4,22 1997 2.189.974 4,57 5,68 9,44 1998 1.491.553-31,89 3,94-30,63 1999 1.488.599-0,20 4,37 10,91 2000 1.690.667 13,57 4,96 13,50 2001 1.725.467 2,06 5,01 1,01 2002 1.749.427 1,39 5,02 0,20 2003 1.631.830-6,72 4,84-3,59 2004 2.051.643 25,73 5,95 22,93 2005 2.241.741 9,27 5,87-1,34 2006 2.307.027 2,91 5,82-0,85 2007 2.448.142 6,12 5,71-1,89 2008 2.703.975 10,45 6,19 8,41 2009 2.624.068-2,96 6,20 0,16 2010 2.214.488-15,61 5,29-14,68 2011 2.228.259 0,62 4,95-6,43 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2012 Kekeringan yang terjadi berdampak lebih besar pada penurunan produksi tebu dibandingkan dengan fase pembentukan gula maupun fase pematangan. Kondisi tersebut berdampak terhadap penurunan produksi per satuan luas secara signifikan, meskipun secara kuantitas rendemen meningkat. Kondisi yang terjadi sesuai dengan riset FAO (1997), bahwa kehilangan hasil akibat kekeringan (water stress) secara kuantitatif dapat mencapai 40 persen dari potensi produksinya apabila terjadi pada fase kritis tanaman. Pada tahun 2010, yang terjadi adalah penurunan produksi gula yang cukup besar dari tahun sebelumnya sebesar 15,61 persen dari tahun 2009. Hal ini dikarenakan dampak anomali iklim, dimana curah hujan yang tinggi di sepanjang tahun tersebut. Kejadian ini tidak terjadi di Indonesia, tapi di negara-negara produsen gula, seperti Thailand. Faktor beyond control ini memang sulit diantisipasi karena bersifat risiko murni. Penurunan produksi gula dikarenakan menurunnya rendemen sebesar 1,36 persen dari tahun 2009 atau setara penurunan produksi gula sebesar 409.580 ton dari tahun sebelumnya 48

5.2.2 Kebutuhan Konsumsi dan Impor Gula Gula merupakan salah satu dari sembilan kebutuhan pokok di Indonesia dan memiliki peranan yang krusial dalam stabilitas ekonomi Indonesia. Komoditas ini memiliki peranan penting dalam hal pemenuhan kebutuhan masyarakat dan industri makanan dan minuman yang berbahan baku dari produk olahan tebu ini. Kebutuhan gula di Indonesia berbanding lurus dengan angka jumlah penduduk Indonesia dan industri makanan dan minuman, sehingga penting bagi Indonesia membangun dan melindungi industri gula secara baik dan benar agar tidak berdampak kepada stabilitas ekonomi Indonesia akibat gejolak harga dan ketersedian gula di pasar konsumen akhir atau industri makanan dan minuman. Terlihat pada Tabel 9 bahwa tingkat konsumsi gula nasional meningkat dan begitu pula pada nilai impor gula, dengan catatan pada tahun 2008 terdapat penurunan yang terjadi pada konsumsi dan berdampak juga pada penurunan impor, akan tetapi hal ini tidak membuat konsumsi dan impor gula menurun peda tahun-tahun berikutnya. Secara rata-rata konsumsi pada periode 2006 hingga 2010 adalah mencapai 4,59 juta ton per tahunnya dengan rata-rata pertumbuhan konsumsi 4,65 persen. Angka di atas adalah respon atas kenaikan pertumbuhan penduduk Indonesia per tahunnya sebesar 1,34 persen. Tabel 6. Konsumsi dan Impor Gula Indonesia Tahun 2006-2010 Tahun Konsumsi Impor Jumlah (Juta Ton) Pertumbuhan Jumlah (Juta Ton) Pertumbuhan Proporsi Impor 2006 4,30 1,71 39,77 2007 4,70 9,30 2,84 66,08 60,43 2008 4,34-7,66 2,04-28,17 47,00 2009 4,54 4,61 2,75 34,80 60,57 2010 5,10 12,33 2,91 5,82 57,06 Rata-rata per tahun 4,59 4,65 2,45 19,63 52,87 Sumber: Dewan Gula Indonesia, 2011 (diolah) Importasi gula yang begitu besar terjadi pada tahun 1999 yaitu sebesar 2,18 juta ton atau 65 persen dari kebutuhan untuk konsumsi nasional. Kemudian, dilihat pada periode tahun 2006 hingga 2010, proporsi impor gula terhadap 49

konsumsi gula total tidak lebih dari 60 persen atau lebih rendah keadaanya dari tahun 1999, dengan rata-rata persentase impor dengan kebutuhan konsumsi nasional per tahunnya mencapai 52,97 persen. Adapun negara-negara yang memasok gula ke Indonesia yaitu Thailand, Brazil, dan India. Akan tetapi ini, fakta harus segera direspon oleh pihak-pihak terkait industri gula nasional karena berarti lebih dari setengah kebutuhan konsumsi gula nasional bergantung kepada importasi sehingga apabila terjadi gejolak pasokan dari negara pengimpor tersebut maka industri gula domestik akan sangat terganggu dan mengancam stabilitas ekonomi nasional karena gula merupakan salah satu komoditas pokok di Indonesia. Untuk mengatur importasi ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan yaitu keputusan menperindag No.643/MPP/KEP/2002 tanggal 23 September 2002 yang mengatur jalannya impor gula nasional. Adapun isi keputusan tersebut adalah hak impor gula pasir hanya diberikan kepada kalangan perusahaan gula yang dalam proses produksinya menggunakan lebih dari 75 persen bahan baku dari petani tebu. Tetapi implementasi kebijakan tersebut belum sesuai dengan harapan akibat ketidakjelasan jumlah persediaan gula nasional. Untuk melindungi petani, pemerintah memberi syarat impor gula dapat dilaksanakan apabila harga gula petani sudah di atas Rp 3.100/kg. Pembatasan impor yang hanya dilakukan oleh importir produsen adalah usaha untuk dapat mengatur keseimbangan stok antara gula lokal dengan gula impor. Namun, efektifitas kebijakan pembatasan gula impor tersebut masih harus dipertanyakan mengingat banyaknya kasus penyelundupan dan manipulasi dokumen impor gula. 5.2.3 Harga Gula Harga gula merupakan indikator faktual yang mencerminkan kinerja pasar gula yang baik, antara tingkat konsumsi dengan ketersediaan pasokan gula. Apabila harga gula mengalami gejolak berarti terjadi masalah antara tingkat konsumsi atau ketersediaan pasokan gula. Harga gula di tingkat retail atau eceran terus naik tiap tahunnya. Dilihat dari data harga eceran tahun 2008 hingga 2011, bahwa terjadi kenaikan harga rata-rata yang cukup tinggi pada tahun 2009 yang mencapai 35 persen, hal ini dikarenakan tidak tercapainya sasaran produksi gula 50

tahun 2008 akibat berkurangnya areal pengusahaan tebu rakyat menyusul kurang kondusifnya harga tahun 2008. Tabel 7. Perbandingan Harga Bulanan Gula Domestik pada Tahun 2008-2011 Bulan Harga (Rp/Kg) 2008 2009 2010 2011 Januari 6.414 6.649 11.304 11.179 Februari 6.424 7.495 11.198 11.094 Maret 6.439 7.896 10.972 10.806 April 6.307 8.076 10.445 10.832 Mei 6.436 8.405 10.242 10.370 Juni 6.514 8.553 9.960 10.383 Juli 6.449 8.468 10.742 10.499 Agustus 6.462 9.026 10.692 10.511 September 6.446 9.991 10.544 10.500 Oktober 6.409 9.840 10.922 10.451 November 6.433 9.677 11.026 10.457 Desember 6.482 10.185 11.150 10.754 Rata-rata harga per tahun 6.435 8.688 10.766 10.653 Pertumbuhan rata-rata - 35,0 23,9-1,1 Sumber : Kementerian Perdagangan, 2012 (diolah) Selain itu, faktor agroklimat pada tahun 2009 juga menjadi penyebab kenaikan gula domestik, mulai dari kelembaban tinggi yang menstimulasi pembungaan tebu lebih cepat dan berakibat stagnasi pertumbuhan, hujan berkepanjangan saat awal giling dengan dampak ketidaklancaran angkutan tebu dari kebun ke pabrik, hingga kemarau esktrim panas setelah Agustus 2009 yang berimplikasi terhadap penurunan berat tebu. Akan tetapi pada tahun 2011 terjadi penurunan harga rata-rata gula domestik sebesar 1,1 persen. Hal ini terjadi karena adanya kenaikan produksi gula dunia, peningkatan tingkat rendemen domestik, dan peningkatan luas lahan tebu nasional. Ketiga hal tersebut terjadi pada buan Februari hingga Mei sehinggapada medio bulan-bulan tersebut harga gula domestik turun yang membuat rata-rata harga gula domestik pada tahun 2011 menjadi lebih rendah 1,1 persen dibandingkan tahun 2010. Pada Tabel 10, terlihat pada bulan Januari tahun 2011 adalah posisi tertinggi harga gula domestik yang mencapai harga Rp.11.179. Pada bulan Januari, harga rata-rata gula di 33 kota pada Januari 2011 naik sebesar 0,3 persen jika dibandingkan dengan Desember 2010. Perubahan rata-rata harga bulanan 51

adalah sebesar 3,4 persen. Jika dilihat per kota, fluktuasi harga berbeda antar wilayah. Hingga 31 Januari 2011, produksi gula nasional sebesar 55.051,2 ton. Stok fisik GKP di gudang sebesar 707.209 ton (67% milik pedagang; 27,7 % milik PG dan 5,3% milik petani). Harga gula dunia terus naik karena permintaan yang tinggi dari Indonesia, Rusia, Belarusia dan Kazahktan, serta pasokan yang berkurang dari Australia dan Brasil. Untuk bulan Mei tahun 2011 adalah bulan dengan harga gula domestik terendah pada tahun tersebut. Adapun secara rata-rata nasional, fluktuasi harga gula pada bulan Mei 2011 relatif stabil yang diindikasikan oleh perubahan ratarata harga bulanan adalah sebesar 3,4 persen. Harga gula domestik mengalami penurunan yang didukung faktor-faktor antara lain: tingkat rendemen tebu lebih tinggi dari tingkat rendemen tahun lalu,luas areal lahan tebu diperkirakan meningkat 15.000 hektar menjadi 445.000 ton dan harga tender gula mengalami penurunan. Harga gula dunia mengalami penurunan dikarenakan produksi gula di Meksiko naik sebesar 13 persen dibanding periode yang sama tahun kemarin. 5.3 Kebijakan Pergulaan Indonesia Pemerintah merupakan elemen terpenting dalam pengembangan industri gula Indonesia. Pada kontribusinya dalam industri gula nasional, pemerintah telah banyak menerapkan instrumen kebijakan dalam industri tersebut. Kebijakan industri gula Indonesia sangat luas dimensinya, mulai dari sektor input, produksi, distribusi, hingga harga gula. Adapun kebijakan pergulaan Indonesia yang dijelaskan adalah kebijakan pergulaan Indonesia yang ada pada satu setengah dekade kebelakang yaitu medio tahun 1997 hingga tahun 2011. Padamedio tahun 1997 hingga 1998, ketika terjadi resesi ekonomi, perekonomian Indonesia banyak dikendalikan oleh International Moneter Fund (IMF). Sebagai salah satu persyaratan dalam Letter of Intent (LoI) IMF dan pemerintah Indonesia adalah membebaskan perdagangan pangan termasuk gula yang selama itu dipegang oleh Bulog. Untuk memenuhi tuntutan itu, maka pemerintah melakukan reformasi di bidang tataniaga gula dengan mengeluarkan Keppres No. 45/11/1997 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras dan gula. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan Inpres No. 52

5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan pekebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Hal ini dilakukan karena pada saat itu kinerja pergulaan nasional mengalami penurunan, dari segi areal lahan, produktivitas, maupun produksi. Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan lagi Keppres No. 19/1/1998 yang membatasi wewenang Bulog hanya untuk komoditas beras. Keppres tersebut ditindaklanjuti oleh Kepmen Perindustrian dan Perdaganangan No. 25/1/1998 dan No. 505/10/1998 yang mengatur tataniaga impor gula menurut mekanisme pasar dan oleh importir umum. Pada setahun Inpres No. 5/1997 itu diterapkan, kemudian dicabut dan digantikan dengan Inpres No. 5/1998 yang menghentikan program pengembangan tebu rakyat dengan alasan untuk membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No.12 Tahun 1996. Hal ini menurunkan minat petani untuk menanam tebu dan beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan, seperti tanaman pangan. Pada Mei tahun 1999, pemerintah mengeluarkan Peraturan No.282/Kpts- IX/1999 mengenai penetapan harga provenue gula pasir produksi petani sebesar Rp.2.500/Kg dan menyediakan dana talangan sebesar Rp.456 milyar. Kebijakan ini mengatur tataniaga gula pasir yang bertujuan untuk menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi tebu. Pada bulan Juni tahun 1999, pemerintah mencabut Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 505/10/1998 dengan alasan untuk menciptakan iklim perdagangan yang berorienrasi pasar. Selanjutnya pada bulan Agustus di tahun yang sama pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Peraturan No. 364/MPP/Kep/VIII/1999 mengenai tataniaga impor gula, dimana impor gula hanya dapat dilaksanakan oleh pabrik gula di Jawa sebagai impor produsen (IP) melalu perijinan. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban anggaran melalui impor gula oleh produsen. Dalam waktu empat bulan, kebijakan itu dicabut kembali melalui Kepmen Perindustrian dan Perdagangan No. 717/12/1999 yang memberlakukan impor gula oleh importir umum. Pada waktu yang bersamaan, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 568/12/1999 yang meberlakukan tarif bea masuk impor sebesar 20 persen untuk gula tebu dan 25 persen untuk gula bit yang diberlakukan sejak 1 Januari 2000. 53

Akan tetapi kebijakan ini belum mampu menahan masuknya gula impor, sehingga kemudian pada tahun 2000 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan penetapan harga provenue gula pasir dengan Kepmen Kehutanan dan Perkebunan No. 145/6/2008. Kebijakan ini dilakukan untuk menghindarkan kerugian petani tebu dan meningkatkan gairah menanam tebu dan taraf hidup petani serta menjaga kepentingan konsumen. Kebijakan ini meningkatkan harga provenue gula petani menjadi sebesar Rp.2.600/Kg dengan menyediakan dana talangan sebesar Rp. 859 milyar. Dana tangan tersebut hanya diberikan dalam periode dua tahun, sementara itu masih terdapat banyak gula impor yang masuk, khususnya raw sugar, melalui fasilitas keringanan bea masuk 0 persen yang ditetapkan SK Menkeu No. 301/2000. Selanjutnya pada tahun tersebut juga pemerintah mengeluarkan Keppres No. 109 Tahun 2000 tentang Dewan Gula Nasional. Kebijakan yang merupakan awal terbentuknya Dewan Gula Nasional, yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan produktivitas inudstri gula serta pemberdayaan petani gula memiliki dayasaing di pasar global. Pemerintah memasukkan unsur petani, perusahaan gula, lembaga konsumen, penyalur, pekerja, perguruan tinggi, dan pemerintah dalam pembentukan Dewan Gula Indonesia. Pada tahun 2002, pemerintah mengeluarkan peraturan No. 456/MPP/Kep/VI/2002 yang merupakan kebijakan tataniaga impor gula kasar (raw sugar) dikarenakan adanya peningkatan impor gula kasar yang melebihi kebutuhan industri dalam negeri. Kebijakan ini bertujuan untuk mengatur tataniaga impor gula kasar dalam rangka perlindungan konsumen dari konsumsi gula kasar. Selain kebijakan tatniaga impor, pada tahun 2002 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 324/KMK.01/2002 yang berisikan perubahan tarif bea masuk atas impor gula yang merupakan kebijakan tataniaga gula impor yang meliputi gula kasar, gula kristal putih, dan gula rafinasi. Hal ini dikarenakan dalam rangka mendukung program restrukturisasi industri gula nasional dengan tetap memperhatikan kepentingan petani tebu dan konsumen gula, sehinnga dipandang perlu mengubah tarif bea masuk atas impor gula. Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 61/MPP/Kep/II/2004 yang berisikan perdagangan gula antar pulau. Kebijakan ini 54

dilatarbelakangi oleh momentum dalam menunjang pelaksanaan tata niaga impor gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga gula, perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen, perlu mengatur perdagangan gula antar pulau. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk menunjang pelaksanaan tata niaga impor gula serta untuk menjamin pasokan dan stabilitas harga gula, perlindungan terhadap industri gula dalam negeri, petani tebu dan konsumen. Pada bulan Mei tahun 2004, peraturan No. 61/MPP/Kep/II/2004 diubah degnan menggunakan Peraturan No. 334/MPP/Kep/V/2004. Perubahan ini dikarenakan untuk encapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar pulau sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 61/MPP/Kep/2/2004 tentang Perdagangan Gula Antar Pulau dan untuk lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan atau pemanfaatannya, dipandang perlu mengubah beberapa ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri dimaksud. Tujuannya adalah untuk mencapai tujuan dan sasaran pengaturan perdagangan gula antar pulau dan untuk lebih memudahkan pendistribusian gula sesuai dengan penggunaan dan atau pemanfaatannya. Selain pemerintah mengatur perdagangan gula antar pulau, pada tahun 2004 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No.57/2004. Peraturan tersebut merupakan kebijakan yang terkait dengan penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan. Kebijakan ini didasarkan karena gula merupakan komoditas yang mempunyai nilai strategis bagi ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia sehingga diperlukan kebijakan yang bersifat pengawasan terhadap Komoditas tersebut. Kebijakan ini bertujuan untuk mewujudkan program pemerintah untuk menciptakan swasembada gula dan meningkatkan pendapatan petani tebu. Pada tahun tersebut terjadi kasus pengadaan gula yang berasal dari impor secara tidak sah dan telah menimbulkan kerugian yang sangat besar pada pendapatan petani tebu/produsen gula dalam negeri. Sehingga pemerintah harus mengeluarkan kebijakan terkait penanganan gula impor yang tidak sah. Kebijakan tersebut adalah Peraturan No.58/2004 yang berisi penanganan gula yang diimpor secara tidak sah, bertujuan untuk mewujudkan program swasembada gula dan 55

meningkatkan pendapatan petani tebu. Selain adanya peraturan mengenai penanganan gula impor yang tidak sah, pada tahun 2004 pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 yang berisikan ketentuan impor gula. Kebijakan ini didasari oleh momentum pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan pertumbuhan perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula, sehingga perlu diambil upaya untuk menjaga pasokan gula sebagai bahan baku dan konsumsi yang berasal dari impor. Terjadi perubahan sebanyak dua kali untuk peraturan ini yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 dan Peraturan No.18/M- DAG/PER/IV/2007. Pada Peraturan No. 02/M/Kep/XII/2004 berisikan perubahan dari Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004, alasannya adalah dalam rangka mewujudkan efektivitas kebijakan serta kelancaran pelaksanaan importasi gula, khususnya berkenaan dengan importasi gula kristal putih (Plantation White Sugar), dipandang perlu untuk lebih memperhatikan kondisi dan kelaziman yang berlaku di bidang pergulaan internasional yang menyangkut perhitungan bilangan ICUMSA atas gula kristal putih (Plantation White Sugar). Untuk itu perlu dilakukan perubahan bilangan ICUMSA Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) yang dapat diimpor sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Kemudian pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan No. 18/M-DAG/PER/IV/2007 yang mengubah Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 dengan alasan bahwa terjadi perkembangan harga gula Kristal putih di luar negeri saat ini cenderung menurun. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan baik petani tebu, industri pengguna gula sebagai bahan baku/penolong maupun masyarakat selaku konsumen gula, maka dipandang perlu dilakukan perubahan atas Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 tentang Ketentuan Impor Gula yaitu penetapan harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) di tingkat petani dengan Peraturan Menteri Perdagangan. 56

Kemudian pada tahun 2008, pemerintah kembali mengubah Peraturan No. 527/MPP/Kep/IX/2004 dengan Peraturan No.19/M-DAG/PER/V/2008. Hal ini dilakukan karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak menyebabkan kenaikan biaya produksi GKP di dalam negeri sehingga harga gula di tingkat petani sebesar Rp.4.900, sebagaimana tercantum pada Peraturan Mendag No.18/M-DAG/PER/4/2007 dipandang tidak sesuai lagi. Untuk melakukan penyesuaian harga di tingkat petani perlu mempertimbangkan upaya efisiensi dan produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di dalam negeri. Dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan baik petani tebu, industri pengguna gula maupun masyarakat selaku konsumen, maka dipandang perlu dilakukan perubahan atas Keputusan Menperindag No. 572/MRP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Pada tahun 2010, pemerintah mengeluarkan Peraturan N0. 11/M- IND/PER/1/2010 yang berisi perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 116/M-Ind/Perl10/2009 Tentang Peta Panduan (Road Map) Pengembangan Klaster Industri Gula. Latar belakang kebijakan ini adalah pencapaian pengembangan klaster industri gula sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 116/M-IND/PER/10/2009, perlu menyempurnakan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula sebagaimana dimaksud dalam Peta Panduan yang ditetapkan dengan mengubah Peraturan Menteri dimaksud. Tujuannya adalah untuk mencapai pengembangan klastr industri gula dalam peta panduan. Pada tahun yang sama, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No.12/M-IND/1/2010 mengenai tim pelaksana rencana aksi revitalisasi industri gula dengan dimensi kebijakannya adalah on farm dan off farm. Hal ini didasari oleh pelaksanaan Rencana Aksi Revitalisasi Industri Gula sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor. 116/MIND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan Klaster Industri Gula yang diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 11 IM-IND/PERI 1 12010 serta evaluasi, pengkajian dan perumusan Peta Panduan dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2008, perlu membentuk Tim Pelaksana. 57

Selain Peraturan No.12/M-IND/1/2010, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan No. 20/M-DAG/PER/5/2010 yang berisikan penetapan harga patokan petani gula kristal putih. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh pertama, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih. Kedua, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (5) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula dan memperhatikan surat Menteri Pertanian selaku Ketua Dewan Gula Indonesia Nomor 97/PP.2010/M/3/2010 tanggal 3 Maret 2010 perihal Usulan Besaran HPP Gula Petani Tahun 2010, perlu menetapkan Harga Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). Ketiga, dalam Penetapan HPP perlu mempertimbangkan upaya peningkatan efisiensi dan produktivitas (rendemen gula) sesuai dengan program revitalisasi industri gula di dalam negeri. Pada tahun 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan no.19 tahun 2011 yang berisi pengesahan International Sugar Agreement tahun 1992. Peraturan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional yang berkaitan degan pergulaan dunia dan isu-isu yang terkait dengan gula, serta dalam rangka memajukan industri gula nasional. Kemudian, selain peraturan No.19 tahun 2011 tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan terkait Penetapan Harga Patokan Petani (HPP) Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar) dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, menciptakan swasembada gula, dan meningkatkan daya saing serta jaminan pendapatan petani tebu dan industri gula, perlu dilakukan upaya untuk menjaga persediaan dan stabilitas harga Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar). 58