1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Pada masa ini, perubahan merupakan keniscayaan. Organisasi menghadapi tekanan dari berbagai sisi. Perubahan dalam hal undang-undang dan peraturan pemerintah, perkembangan produk baru, pertumbuhan ekonomi, kompetisi, perkembangan teknologi, serta perubahan di bidang ketenagakerjaan membuat organisasi harus merespon dengan perubahan-perubahan moderat setidaknya sekali dalam satu tahun, dan perubahan-perubahan yang besar atau mendasar untuk setiap lima tahun (Kotter & Schlesinger, 2008). Bentuk perubahanperubahan organisasional tersebut menurut Wanberg dan Banas (2000) bisa berupa re-organisasi, penggabungan (merger), perampingan (downsizing), serta implementasi teknologi baru. 1. Peran Sumber Daya Manusia Dalam Perubahan Organisasi Peran sumber daya manusia dalam perubahan organisasional sangatlah penting. Kesimpulan ini didasarkan pada apa yang disampaikan Palanisamy dan Sushil (2001) yang menyatakan bahwa perubahan-perubahan untuk mempertahankan keunggulan bersaing sebuah organisasi pada kenyataannya justru bertumpu pada sumber daya manusianya. Palanisamy dan Sushil (2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya bukan teknologi yang memberi keunggulan kompetitif, tetapi dalam hal bagaimana organisasi menerapkan dan memanfaatkan teknologi tersebut. Hal senada juga disampaikan Hiatt dan Creasey (2003) yang menyatakan bahwa selain perlu mengelola aspek organizasional, pendekatan manajemen perubahan juga harus mengelola 1
2 aspek individu. Penelitian Wanberg dan Banas (2000) juga mendukung kesimpulan ini. Wanberg dan Banas (2000) menyatakan bahwa penerimaan terhadap perubahan sangat dipengaruhi oleh aspek individu. Loup dan Koller (2005) menambahkan bahwa kegagalan dalam perubahan organisasional terjadi karena penanggungjawab perubahan mengabaikan faktor individu manusia. Keberhasilan implementasi perubahan pada kenyataannya memerlukan upaya-upaya untuk mendorong individu mengadopsi perilaku baru sehingga perubahan yang diinginkan akan tercapai. Kenyataannya, upaya-upaya untuk mengimplementasikan perubahan tersebut seringkali justru memunculkan respon yang berupa penolakan dan resistensi. Penolakan dan resistensi ini pada akhirnya bisa memunculkan sinisme, stres, dan bahkan menurunkan komitmen organisasional (Armenakis & Bedeian, 1999). 2. Komitmen Afektif Pada Perubahan Sebagai Salah Satu Sasaran Penting Dalam Perubahan Organisasional. Ada beberapa alasan mengapa komitmen afektif pada perubahan bisa dijadikan salah satu sasaran penting yang harus dicapai dalam perubahan organisasional. Devos, Buelens, dan Bouckenooghe (2007) menyatakan bahwa kemampuan dan dorongan organisasi untuk melakukan perubahan sangat bergantung pada keterbukaan, komitmen, dan motivasi karyawan. Upaya-upaya perubahan organisasional akan sukses jika manajemen berhasil mendapatkan komitmen dari karyawan atau anggota organisasinya (Loup & Koller, 2005). Hercovitch dan Meyer (2002) menyatakan bahwa komitmen karyawan pada perubahan organisasional bisa diidentifikasi dalam tiga komponen, yakni afektif, continuance, dan normatif. Komitmen afektif pada perubahan mengacu kepada
3 emotional attachment karyawan terhadap perubahan, yang didasarkan pada keyakinan akan manfaat perubahan. Banyak strategi yang direkomendasikan untuk mengelola atau mengimplementasikan perubahan kemungkinan besar ditujukan untuk meningkatkan keterlibatan, nilai-nilai yang sesuai, atau identifikasi yang kemudian akan mendorong komitmen afektif ini. Lebih lanjut Meyer, Stanley, Herscovitch, dan Topolnytsky (2002) menyatakan bahwa ketiga jenis komitmen di atas mampu menggerakkan sampai pada tahap compliance. Akan tetapi, pada tingkat compliance karyawan hanya memberikan usaha yang minimum. Komitmen afektif dan normatif pada perubahan mampu memberikan dukungan lebih tinggi bagi perubahan, yakni kerjasama dan championing. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan Meyer dan Allen (1991) bahwa komitmen afektif dan normatif lah yang memiliki dampak atau pengaruh yang positif pada perilaku organisasional seperti kinerja, kehadiran, dan citizenship. Kalyal dan Saha (2008) juga menyatakan hal senada yakni bahwa komitmen afektif pada perubahan merupakan bentuk komitmen yang paling diharapkan karena mencerminkan kondisi karyawan yang proaktif untuk terlibat dalam proses perubahan. Herscovitch dan Meyer (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa karyawan dengan dengan komitmen afektif yang kuat akan bersedia untuk melangkah lebih jauh, dan melakukan lebih banyak untuk memastikan inisiatif atau program perubahan akan berhasil. Komitmen semacam ini menjadi penting karena proses perubahan yang terjadi belum tentu berjalan mulus. Sangat mungkin karyawan akan menghadapi situasi dan pekerjaan yang lebih berat dan menekan, yang disebabkan aktivitas-aktivitas dari program perubahan tersebut. Tanpa ada komitmen ini, maka permasalahan, tekanan atau hambatan yang
4 terjadi selama proses perubahan akan membuat karyawan mengundurkan diri dari keikutsertaannya dalam proses perubahan tersebut. 3. Hubungan Antara Komunikasi Dan Partisipasi Dengan Komitmen Afektif Pada Perubahan Berdasarkan beberapa literatur dan kesimpulan penelitian sebelumnya, bisa ditarik benang merah bahwa komunikasi yang dilakukan manajemen memiliki kaitan atau hubungan dengan komitmen afektif karyawan pada perubahan. Demikian juga halnya dengan program-program atau pendekatan yang melibatkan partisipasi karyawan. Hercovitch dan Meyer (2002) menduga bahwa komitmen afektif pada perubahan dipengaruhi atau bisa ditingkatkan melalui: komunikasi, partisipasi, pemberdayaan dan pelatihan. Adapun Kalyal dan Saha (2008) mengidentifikasi bahwa komitmen afektif pada perubahan dipengaruhi oleh komunikasi, kepercayaan kepada manajemen, dan employability. Oleh karena komitmen afektif pada perubahan bisa diidentifikasi juga sebagai reaksi psikologis seseorang terhadap perubahan yang dihadapinya, maka komitmen afektif pada perubahan bisa disejajarkan dengan keterbukaan terhadap perubahan dan kesiapan untuk berubah (Hercovitch & Meyer, 2002). Dengan demikian faktorfaktor yang mempengaruhi keterbukaan terhadap perubahan (openness to change) dan kesiapan untuk berubah (readiness for change) relevan untuk dipertimbangkan juga sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen afektif pada perubahan. Wanberg dan Banas (2000) mendapati bahwa informasi, efikasi diri, dan partisipasi merupakan anteseden dari keterbukaan terhadap perubahan (openness to change). Adapun Armenakis, Haris, dan Mossholder (1993)
5 menyatakan bahwa kesiapan untuk berubah (readiness for change) bisa dicapai melalui strategi untuk mempengaruhi individu melalui komunikasi persuasif, partisipasi aktif, serta pengelolaan terhadap sumber-sumber informasi eksternal. Berdasarkan uraian di atas, bisa ditarik benang merah bahwa baik komunikasi maupun partisipasi merupakan faktor yang menentukan atau mempengaruhi komitmen afektif pada perubahan. Oleh karena itu, dalam sebuah perubahan organisasional, komunikasi dan partisipasi menjadi pilihan strategi yang masuk akal bagi organisasi untuk mendapatkan atau meningkatkan komitmen afektif dari karyawannya 4. Peran Keyakinan Dalam Membentuk Komitmen Afektif Pada Perubahan Permasalahan yang diidentifikasi dari realitas di lapangan adalah bahwa komunikasi ataupun forum sosialisasi yang diadakan manajemen untuk menyampaikan alasan dan keuntungan perubahan belum tentu menghasilkan komitmen yang diharapkan (Loup & Koller, 2005). Pada kenyataannya karyawan sebagai change recipients tidaklah pasif. Terkait dengan perubahan yang diluncurkan manajemen; mereka memikirkannya, merasakannya, dan mengambil keputusan tertentu (Bartunek, Rousseau, Rudolph, & DePalma, 2006). Kesimpulan senada disampaikan Armenakis, Bernerth, Pitts, dan Walker (2007) yang menyatakan bahwa hubungan antara konsteks perubahan dan respon afektif (komitmen afektif pada perubahan) dimediasi oleh keyakinan terhadap perubahan. Dalam proses untuk memutuskan akan mendukung atau menolak perubahan, ada tahapan atau bagian dimana karyawan memformulasikan keyakinan (belief) mereka terlebih dahulu. Berdasarkan hal ini Armenakis et al., (2007) kemudian menyatakan bahwa keyakinan dari pihak yang terkait langsung dengan perubahan ini perlu dipengaruhi. Bila merujuk
6 pada Teori Tindakan Beralasan yang diajukan Fishbein dan Ajzen (1975), maka teori ini juga mendukung hubungan linier dimana keyakinan mempengaruhi sikap, intensi, dan akhirnya perilaku aktual individu. B. Rumusan Masalah Seperti dipaparkan di muka, komunikasi dan partisipasi dilaporkan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan komitmen afektif pada perubahan. Akan tetapi pengaruh tersebut sedikit banyak ditentukan juga oleh bagaimana karyawan merespon atau menilai komunikasi dan partisipasi yang dilakukan, serta seberapa karyawan meyakini perubahan tersebut sebagai langkah yang tepat. Jikalau memang demikian, peran atau pengaruh seperti apakah yang dimainkan oleh keyakinan terhadap perubahan ini? Apakah karyawan harus yakin dahulu dengan perubahan yang dijalankan, baru kemudian bisa berkomitmen? Pertanyaan atau permasalahan inilah yang kemudian dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah penilaian karyawan atas informasi dan kebijakan partisipatif secara signifikan mempengaruhi komitmen afektif pada perubahan? 2. Apakah hubungan antara penilaian karyawan atas informasi dan kebijakan partisipasipatif dengan komitmen afektif pada perubahan tersebut dimediasi oleh keyakinan terhadap perubahan? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana komitmen afektif pada perubahan dipengaruhi oleh penilaian karyawan atas komunikasi dan partisipasi, serta apakah keyakinan terhadap perubahan memediasi hubungan
7 antara komitmen afektif pada perubahan dengan penilaian atas komunikasi dan partisipasi tersebut. D. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini menunjukkan peran keyakinan terhadap perubahan dalam pembentukan komitmen afektif pada perubahan, sehingga menjadi masukan dalam upaya meningkatkan komitmen afektif pada perubahan melalui strategi komunikasi dan partisipasi. E. Keaslian Penelitian Ada beberapa penelitian yang dilakukan dengan variabel komitmen afektif pada perubahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, di antaranya adalah: 1. Penelitian Kalyal dan Saha (2008) yang berjudul Factors Affecting Commitment To Organizational Change In A Publc Sector Organization. Penelitian ini tidak melibatkan konstruk komitmen normatif pada perubahan dengan alasan atau isu reliabilitas. Kalyal dan Saha (2008) mengidentifikasi bahwa komitmen afektif pada perubahan dipengaruhi oleh komunikasi terkait perubahan, kepercayaan pada manajemen, dan employability. Informasi yang jujur dan tepat waktu akan mencegah munculnya rumor dan menyajikan gambaran yang jelas tentang programprogram perubahan. Karena komitmen afektif pada perubahan didasarkan pada penerimaan akan manfaat perubahan tersebut, maka gambaran yang jelas tentang program-program perubahan akan berdampak positif. Demikian pula kepercayaan kepada manajemen. Karyawan yang mempercayai manajemen akan memiliki keyakinan atas keputusan-keputusan yang diambil oleh manajemen. Hal ini akan mencegah munculnya skeptisme
8 terhadap perubahan dan di sisi yang lain justru akan mendorong sikap yang positif terhadap perubahan. 2. Penelitian Walker, Armenakis, dan Berneth (2007) yang berjudul Factors Influencing Organizational Change Effort. Penelitian ini mengidenfikasi pengaruh konteks perubahan, proses perubahan, dan pebedaan individual terhadap respon afektif pada perubahan. Peneliti menggunakan sinisme untuk mengukur konteks perubahan. Adapun proses perubahan diukur dengan keyakinan terhadap perubahan (change belief), dan pebedaan individual diukur dengan tolerance for ambiguity. Hasil penelitian menujukkan bahwa konteks perubahan memediasi hubungan antara perbedaan individu dengan proses dan isi perubahan. Adapun keyakinan terhadap perubahan memediasi hubungan antara konteks perubahan dan komitmen afektif pada perubahan. Dengan pertimbangan bahwa komitmen afektif pada perubahan dan kesiapan untuk berubah, maupun keterbukaan terhadap perubahan sama-sama merupakan reaksi atau sikap individu dalam menghadapi perubahan (Herscovitch & Meyer, 2002), maka penelitian-penelitian tentang kesiapan untuk berubah maupun keterbukaan terhadap perubahan juga dipertimbangkan. 3. Penelitian Wanberg dan Banas (2000) yang berjudul Predictor And Outcome Of Openness To Change In Reorganizing Workplce. Keterbukaan terhadap perubahan dikonseptualisasikan sebagai: a) penerimaan atau kemauan untuk mendukung perubahan dan b) perasaan positif tentang konsekuansi dari perubahan (perasaan bahwa perubahan yang terjadi akan membawa manfaat). Tiga variable yang terkait
9 dengan konteks perubahan yang diteliti (yakni: informasi tentang perubahan yang diterima, efikasi diri, dan partisipasi) berhubungan dengan tingkat keterbukaan pada perubahan yang tinggi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa individu dengan tingkat penerimaan terhadap perubahan yang rendah dilaporkan memiliki kepuasan kerja yang kurang, work irritation, dan dorongan untuk keluar (resign) yang meningkat. 4. Penelitian Armenakis, Harris, dan Mossholder (1993) yang berjudul Creating Readiness for Organizational Change. Penelitian ini mengklarifikasi dan menekankan pentingnya konsep tentang kesiapan untuk berubah (rediness to chnage) dalam perubahan orgaanisasional. Armenakis, et al. (1993) juga menguji strategi yang bisa membantu membangun kesiapan sehingga perubahan akan sukes untuk diimplementasikan, yakni: strategi untuk mempengaruhi keyakinan, sikap, dan intensitas sikap. Strategi ini mencakup: komunikasi persuasif, partisipasi aktif, dan pengelolaan atassumber-sumber informasi eksternal. Dengan tema atau judul Peran Keyakinan Terhadap Perubahan Dalam Hubungan Antara Komunikasi & Partisipasi Dengan Komitmen Afektif Pada Perubahan, penulis mencoba melihat variabel komunikasi dan partisipasi serta keyakinan terhadap perubahan secara linier dalam mempengaruhi komitmen afektif pada perubahan. Penelitian atas peran mediasi variabel keyakinan terhadap perubahan ini menjadi perbedaan penelitian ini dengan penelitianpenelitian sebelumnya. Sepengetahuan penulis sampai saat in belum ditemukan penelitian yang sama dengan judul penelitian yang penulis ajukan.