RINGKASAN SKRIPSI / NASKAH PUBLIKASI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha

BAB III PENUTUP. belum dapat berjalan dengan baik. Kurangnya konsistensi dalam

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. melahirkan perkembangan usaha yang dapat menunjang perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN PERKARA HUTANG PIUTANG ANTARA BANK CIMB NIAGA DENGAN PT. EXELINDO CELULLAR UTAMA

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara yang berkembang, baik dari sumber alam,

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini telah menimbulkan banyak

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penundaan kewajiban pembayaran utang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TANGGUNG JAWAB KURATOR DALAM PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT DI KABUPATEN BADUNG

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang berarti bahwa manusia

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. suatu barang maupun jasa agar menghasilkan keuntungan.

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KEPENTINGAN PARA KREDITOR AKIBAT ACTIO PAULIANA DALAM HUKUM KEPAILITAN

BAB I PENDAHULUAN. pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan

ABSTRACT. Bankruptcy is a general confiscation of all property and the administration

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Universitas Kristen Maranatha

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

Disusun Oleh : Anugrah Adiastuti, S.H., M.H

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP STATUS SITA DAN EKSEKUSI JAMINAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. tumbangnya perusahaan-perusahaan skala kecil, menengah, besar dan

BAB I PENDAHULUAN. penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

MEKANISME PERMOHONAN PERNYATAAN PAILIT MELALUI PENGADILAN NIAGA I Gede Yudhi Ariyadi A.A.G.A Dharmakusuma Suatra Putrawan

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Kepailitan merupakan suatu sitaan umum atas harta kekayaan debitor yang

BAB I PENDAHULUAN. diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGATURAN DAN PENERAPAN PRINSIP PARITAS CREDITORIUM DALAM HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

BAB I PENDAHULUAN. Gejolak ekonomi di Negara Republik Indonesia yang ditandai dengan

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITOR

UNIVERSITAS MEDAN AREA BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mempunyai

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

TINJAUAN YURIDIS PERKARA KEPAILITAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB I PENDAHULUAN. Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004,

SKRIPSI PEMBAGIAN IMBALAN JASA BAGI KURATOR DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA. Oleh : HERU PERMANA PUTRA PROGRAM KEKHUSUSAN : HUKUM PERDATA (PK I)

Heri Hartanto - FH UNS

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Alasan Permohonan Kasasi atas Putusan Pernyataan Pailit Pengadilan Niaga

WEWENANG KURATOR DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN

KETENTUAN PENANGGUHAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH KREDITUR SEPARATIS AKIBAT ADANYA PUTUSAN PAILIT. Oleh :

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

STUDI KASUS TERHADAP PUTUSAN NO 77/PAILIT/2012/PN NIAGA. JKT.PST DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA WANPRESTASI ATAS OBJEK FIDUSIA BERUPA BENDA PERSEDIAAN YANG DIALIHKAN DENGAN JUAL BELI

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

DIPONEGORO LAW REVIEW Volume 1, Nomor 2, Tahun 2013Online di

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

BAB II KEADAAN DIAM (STANDSTILL) DALAM HUKUM KEPAILITAN INDONESIA. Konsep keadaan diam atau standstill merupakan hal yang baru dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 109/PUU-XI/2013

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Akuntansi forensik berperan dalam beberapa proses dalam perkara kepailitan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap beberapa segi kehidupan di Indonesia baik di bidang. sosial,ekonomi,budaya,dan lain-lain.khususnya di bidang

KEPAILITAN PERUSAHAAN INDUK TERHADAP PERUSAHAAN ANAK DALAM GRUP

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA (NATUURLIJKE PERSOON) DALAM HUKUM KEPAILITAN TERKAIT ADANYA ACTIO PAULIANA

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PERNYATAAN PAILIT. Saryana * ABSTRACT

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP KREDITOR PREFEREN DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIJAMINKAN DENGAN HAK TANGGUNGAN

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DALAM HAL TERJADI KEPAILITAN SUATU PERUSAHAAN ASURANSI

TINJAUAN PUSTAKA. sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu faillite yang

KEDUDUKAN KREDITUR SEPARATIS DALAM HUKUM KEPAILITAN

BAB I. tidak dipakai. Sangat sedikit kasus-kasus yang ada saat itu yang mencoba memakai peraturan

BAB III AKIBAT HUKUM PERGESERAN TUGAS DAN WEWENANG BANK INDONESIA KE OJK TERHADAP KETENTUAN PASAL 2 AYAT (3) UU NO. 37

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KURATOR DALAM MENJALANKAN TUGAS PENGURUSAN DAN PEMBERESAN HARTA PAILIT

ABSTRAK. Kata Kunci : Asas Pembuktian Sederhana, Kepailitan, Alternatif Penyelesaian Sengketa.

BAB II KEPAILITAN PADA PERUSAHAAN PT. TELKOMSEL. TBK

Transkripsi:

RINGKASAN SKRIPSI / NASKAH PUBLIKASI PEMENUHAN HAK BAGI PARA KREDITOR YANG DEBITORNYA DIPAILITKAN Disusun oleh : Franzisca Tuto Nugi Nimunuho NPM : 100510273 Program studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Hukum Ekonomi dan Bisnis UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM 2014

HALAIT{AN PERSDTUJUANI RINGKASAI\I SKRIPSI / TTASKAE PUBLIKASI PEMENUHAN EAK}AGI PARA BNEI}ITOR YANG I}EBITOBNYA IXPAILITKAN Diaj'*qn olch: Franzisca Tr$o Nrgi Nimunuho NPM Prograrn studi :100510273 : IlmuHuhm ProgramKelftususen :HulcumEkonomi&nBisnis I)6 n Pemblmbing: Iln lgn Sunercono R., $H.' M.Eun Mengemhkrn Ileken Frlultri Futun Univenitrs Atmr Jeye Ycgnkrrtr ff. C. $ri Nurh*rbntor SE r Ll,nfi, FA(UI-IAS

1 I. Judul : Pemenuhan Hak Bagi Para Kreditor yang Debitornya II. Chika, Sumarsono Dipailitkan III. Ilmu Hukum / Fakultas Hukum / Universitas Atma Jaya Yogyakarta IV. Abstract Monetary crisis in 1997 caused many entrepreneurs to loan for financing activities. Many entrepreneurs are compulsory to take debts from domestic or foreign companys to survive in competitive condition. That condition made a new problem. The new problem that aoccur is as the debt settelment. So, regulations are needed to guarantee creditor s and debtor s rights. Our government has made a regulation to guarantee the fulfillment of creditor s and debtor s rights. But, the regulation does not enough, because we do not have system which saves a creditor s rights in bankruptcy procedure. From the above background, which the writing of this essay is to explain how the fulfillment of rights of creditors if debtor which bankrupt? This research is empirical research. The primary data are from interview result with informant who experts in bankruptcy procedure. The conclusion of the research indicates that fulfillment creditor s right has not ended very well because there s no consistency in bankruptcy procedure. A competence which given to the court of commerce to detained a not cooperative debtor rarely implemented. That condition is being inhibided to fulfiilment creditor s rights. Other parties in bankruptcy procedure often not cooperative to each other too. This condition is used to get personal benefit. There should be a cooperative attitude between all of parties to fulfill the creditor s right. Keywords: bankruptcy, fulfillment of creditor s right, debtors. V. Pendahuluan Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 membuat perekonomian Indonesia belum seutuhnya stabil bahkan sampai saat ini. Banyak dunia usaha yang tidak dapat memenuhi kewajibannya karena permasalahan ekonomi tersebut. Modal yang dimiliki oleh para pengusaha sebagian besar merupakan pinjaman dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi maupun cara lain yang diperbolehkan.

2 Hal tersebut telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang piutang dalam masyarakat 1. Oleh sebab itu, dibutuhkanlah lembaga kepailitan. Selain itu lembaga kepailitan juga merupakan realisasi dari Pasal 1131 dan 1132 Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW). Pasal 1131 BW pada intinya menyatakan bahwa segala harta debitor menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Sedangkan Pasal 1132 BW menyatakan bahwa harta tersebut menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor secara seimbang, kecuali ada alasan untuk didahulukan. Kedua pasal tersebut memang menjadi inti dari lembaga kepailitan. Peraturan perundang-undangan tentang kepailitan yang kita miliki belum sepenuhnya mendukung kedua pasal tersebut. Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak mengatur dengan jelas kepastian hukum para kreditor yang debitornya dipailitkan. Misalnya saja, tidak adanya jangka waktu yang jelas kapan kreditor mendapatkan pemenuhan piutang dari debitor yang dipailitkan. Selain itu tidak ada satu pasalpun yang menjamin bahwa kreditor akan mendapatkan piutangnya. Ada berbagai upaya yang dapat dilakukan, namun sekali lagi sama sekali tidak ada kepastian. Sedangkan dalam Pasal 228 ayat (6) UU KPKPU mengatur bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang tidak boleh lebih dari 270 hari sejak putusan penundaan kewajiban pembayar utang diucapkan. Namun untuk proses kepailitan sama sekali tidak ditentukan batas waktu pemenuhan piutang bagi para kreditornya. Rumusan Masalah Bagaimanakah pemenuhan hak bagi para kreditor yang debitornya dipailitkan? VI. Isi Makalah 1 Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

3 1. Pengaturan Pemenuhan Hak Bagi Para Kreditor yang Debitornya Dipailitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang terdiri dari 7 bab dan 308 pasal. Ir. I. Emir Moeis, M.Sc. menyampaikan bahwa dengan pengesahan UU KPKPU ini diharapkan dapat semakin membuat rasa aman dam kepastian hukum bagi investor, baik dalam maupun luar negeri. Penjelasan Umum UU KPKPU juga menegaskan faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan kewajiban pembayaran utang, yaitu 2 : a. untuk menghindari perebutan harta debitor bila kreditor menagih piutangnya, b. untuk menghindari perbuatan curang dari kreditor separatis yang menguntungkan dirinya sendiri, c. untuk menghindari kecurangan antara debitor dan salah seorang kreditor. Berdasarkan risalah pembahasan RUU KPKPU tersebut tidak terlalu diperdebatkan mengenai batas waktu penyelesaian perkara kepailitan. Ketentuan yang diperbincangkan lebih banyak mengenai teknis penyelesaian serta dampaknya bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Berdasarkan hasil penelitian, penulis berpendapat bahwa ini adalah salah satu celah yang terdapat pada UU KPKPU. Bab III UU KPKPU mengatur mengenai Kewajiban Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut PKPU) sebagai alternatif dari kepailitan. Bahkan dalam Pasal 225 ayat (2) dan (3) mewajibkan pengabulan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh debitor maupun kreditor. Bahkan apabila PKPU dikabulkan, tahapan kepailitan diberhentikan sementara sampai PKPU 2 Penjelasan Umum UU KPKPU

4 selesai. Sehingga dapat dikatakan bahwa PKPU lebih diprioritaskan daripada kepailitan, dilihat dari dampak yang disebabkan oleh PKPU juga lebih ringan dan mudah diterima daripada kepailitan. Hal ini sejalan dengan apa yang menjadi tujuan dari PKPU sendiri, yaitu memungkinkan debitor pailit melanjutkan usahanya untuk menghindari kepailitan 3. Menurut Petrus Bala Pattyona, pelaksanaan PKPU ini tidak ada gunanya kalau memang debitor tidak memiliki asset dan itikad baik untuk mengusahakan pelunasan utangnya 4. 2. Pemenuhan Hak Bagi Para Kreditor yang Debitornya Dipailitkan Bentuk perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak bagi para kreditor yang debitornya dipailitkan tentunya sangat didambakan oleh semua pihak. UU KPKPU yang sudah mulai dibahas sejak tahun 2002 ini, secara teoritis memang sudah menjamin pemenuhan hak bagi para kreditor yang debitornya dipailitkan. Dimana dalam UU KPKPU tersebut sudah mengatur pengurusan serta pemberesan harta pailit hingga rehabilitasi setelah proses kepailitan itu selesai. Namun dalam prakteknya, masih ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaan UU KPKPU. Kelamahan ini mengakibatkan berkurangnya kemungkinkan pemenuhan piutang kreditor. Sebagaimana yang diungkapkan oleh advokat, mediator sekaligus kurator, Petrus Bala Pattyona,S.H., M.H. bahwa UU KPKPU perlu revisi karena beberapa kelemahan, yaitu : a. Tidak adanya sanksi untuk debitor pailit yang melarikan diri ataupun tidak bersikap kooperatif, b. Tidak adanya upaya paksa untuk mengeksekusi harta pailit debitor, c. Kurator yang menjadi sasaran kreditor yang menuntut pemenuhan haknya, dan tidak ada perlindungan hukumnya 5. 3 Rahayu Hartini, 2008;190Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang 4 Wawancara dengan Petrus Bala Pattyona, S.H., M.Hum., pada Jumat, 7 Maret 2014 pk. 13.00 di Kantor Hukum 5 Wawancara dengan Petrus Bala Pattyona, S.H., M.Hum., pada Jumat, 7 Maret 2014 pk. 13.00 di Kantor Hukum

5 Kepailitan sendiri sebenarnya tidak menjamin bahwa kreditor akan mendapatkan piutangnya. Hal ini terjadi bila debitor pailit memang benarbenar tidak memiliki asset sama sekali. Di Jakarta, Petrus Bala Pattyona sudah beberapa kali menghadapi hal seperti ini. Bila terjadi hal seperti ini, kuratorlah yang bingung. Kurator bingung karena harus menghadapi kreditor yang terkadang memaksa pemenuhan utangnya padahal aseetnya tidak ada. Masyarakat dewasa ini sedikit demi sedikit sudah mengerti tentang kepailitan. Menurut Dijan Widijowati, ada beberapa faktor yang menyebabkan jumlah perkara kepailitan yang diajukan menurun, antara lain 6 : a. Masih adanya beberapa ketentuan dalam UU KPKPU yang masih multi tafsir. Contohnya yaitu ketentuan dalam Pasal 55 UU KPKPU Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Pasal 55 UU KPKPU menyatakan bahwa kreditor yang memegang hak-hak tersebut atau biasa disebut kreditor separatis dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Padahal Pasal 56 UU KPKPU mengatur bahwa hak mengeksekusi tersebut ditangguhkan 90 hari sejak putusan dibacakan. Terdapat antinomi diantara kedua pasal tersebut sehingga dapat menimbulkan multitafsir 7. b. Masyarakat belum menganggap Pengadilan Niaga bersih, berintegritas, mampu, serta efektif. c. Hakim ad hoc dianggap tidak optimal. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2000 tentang Penyempurnaan Peraturan Mahkamah Agung 6 Dijan Widijowati, 2012;231, Hukum Dagang, Penerbit Andi, Yogyakarta. 7 Diakses dari http://hery-shietra.blogspot.com/2013/10/undang-undang-kepailitan-yang.html Rabu, 14 Mei 2014 pk. 16.15 WIB.

6 Nomor 3 Tahun 1999 tentang Hakim Ad Hoc sudah dengan jelas pemberian wewenang kepada Hakim Ad Hoc. Menurut Bambang Widjojanto, salah satu praktisi hukum terkemuka di Indonesia, tingginya tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap Hakim Ad Hoc terlihat dari putusan hakim yang tidak memuaskan masyarakat sama sekali, sehingga masyarakat makin tidak percaya dengan institusi pengadilan 8. d. Penyelesaian nonlitigasi dianggap lebih efektif. e. Masyarakat melihat tidak efektifnya peraturan perundang-undangan mengenai kepailitan sebelum berlakunya UU KPKPU. Munir Fuady berpendapat, saat ini kepailitan memang tak lagi efektif untuk menyelesaikan masalah utang piutang. "Banyak orang kecewa, banyak pengamat kecewa, banyak orang yang terlibat langsung kecewa dengan keadaan sekarang. Jadi sebenarnya, harapan masyarakat terlalu besar bahwa UUK akan menyelesaikan masalah utang piutang". Menurutnya penyebab yang lain terkait dengan simpang siurnya penafsiran UU KPKPU oleh Pengadilan Niaga. Hal ini membuat masyarakat tidak percaya lagi kepada Pengadilan Niaga 9. Meningkatnya jenjang pendidikan masyarakat membuat masyarakatpun semakin pandai memilih upaya hukum. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Dedi Fardiman, S.H., M.H. selaku Hakim Niaga pada Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat, masyarakat mulai memilih untuk penyelesaian sengketa utang-piutang menggunakan alternative dispute resolution. Petrus Bala Pattyonapun sependapat, karena dirinya pun pernah beberapa kali diminta menjadi mediator untuk penyelesaian utang piutang. Menurut Petrus, biaya yang dikeluarkan juga lebih ringan daripada pengajuan kepailitan. Terkadang permohonan kepailitan terhadap debitor hanyalah untuk menjatuhkan debitor tersebut. Terjadi pergeseran tujuan dan hakikat dari kepailitan itu sendiri, menurutnya. 8 Diakses dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/04/10/0022.html Rabu, 14 Mei 2014 pk. 16.59 WIB. 9 Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8187/kepailitan-di-simpang-jalan Rabu, 14 Mei 2014 pk. 16.20 WIB.

7 Kendala yang terjadi setelah permohonan kepailitan dikabulkan ini, salah satunya disebabkan oleh ketentuan dalam dalam Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU. Pasal 8 ayat (4) UU KPKPU mengharuskan dikabulkannya permohonan pernyataan pailit asalkan sudah memenuhi 2 syarat kepailitan. Berdasarkan pasal ini pula, pelaksanaan sidang kepailitan sangatlah singkat. Sidang permohonan kepailitan hanyalah berlangsung 1 (satu) kali, yaitu untuk membacakan putusan dari majelis hakim mengenai dikabulkan atau tidaknya permohonan pailit tersebut 10. Hal ini terjadi bila proses pemeriksaan dilakukan sebelum sidang, yaitu setelah pemohon pailit menyerahkan berkas-berkas untuk membuktikan bahwa syarat kepailitan sudah terpenuhi diyakini kebenarannya oleh Majelis Hakim. Sidang pertama harus dilaksanakan paling lambat 20 hari setelah permohonan pailit didaftarkan 11. Selain itu, Pasal 8 ayat (5) UU KPKPU mengatur bahwa Majelis Hakim harus menjatuhkan putusan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah putusan didaftarkan. Penetapan permohonan kepailitan seringkali tanpa memperhitungkan asset yang dimiliki oleh debitor. Padahal harapannya dengan dipailitkannya debitor, hartanya dapat membayar kembali seluruh utangnya secara adil dan merata serta seimbang. UU KPKPU memang tidak mengharuskan adanya pemeriksaan terlebih dahulu terhadap asset yang dimiliki debitor sebelum penjatuhan pailit. Ketentuan Pasal 8 ini sesungguhnya tidak salah, namun perlu dilengkapi dengan kewajiban untuk memeriksa terlebih dahulu asset yang dimiliki oleh debitor agar benar-benar dapat menjamin pemenuhan hak kreditor. Ketentuan yang ada dalam UU KPKPU sesungguhnya sudah berusaha disusun sedemikian rupa sehingga dapat mencapai tujuannya, yaitu menjamin kepastian hukum bagi para kreditor maupun debitor. Namun dalam praktek tidak semudah itu menjalankan seluruh ketentuan 10 Hasil wawancara dengan FX. Denny S. Aliandu, S.H., staff legal pada Kantor Advokat & Pengacara Petrus Bala Pattyona, SH., MH. & Rekan tanggal 5 Mei 2014 pk 17.00 11 Lihat Pasal 6 ayat (6) UU KPKPU

8 yang ada dalam UU KPKPU tersebut. Menurut para praktisi, banyak kendala yang dihadapi dalam menjalankan ketentuan-ketentuan tersebut, antara lain yaitu tidak kooperatifnya sikap dan sifat debitor serta kreditor. Banyak contoh debitor yang tidak kooperatif sebagaimana yang sudah diuraikan diatas, banyaknya debitor yang melarikan diri ataupun menyembunyikan assetnya. Sedangkan contoh kreditor yang tidak kooperatif adalah tidak hadirnya kreditor dalam rapat kreditor, padahal rapat tersebut untuk kepentingannya juga. Bila hal ini terjadi, kurator dan hakim pengawas tidak punya wewenang untuk memaksa debitor dan kreditor tersebut karena dalam UU KPKPU tidak mengatur mengenai hal tersebut. VII. Kesimpulan Pemenuhan hak bagi para kreditor yang debitornya dipailitkan seringkali tidak dapat berjalan dengan baik karena kurangnya konsistensi dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Kewajiban Pembayaran Utang mengenai proses pemenuhan hak tersebut. Kewenangan untuk menahan debitor yang dirasa kurang kooperatif yang diberikan oleh UU KPKPU seringkali tidak digunakan oleh Pengadilan Niaga. Hal ini menyebabkan tidak jarang debitor pailit yang melarikan diri. Bila debitor sudah melarikan diri, pemenuhan hak para kreditorpun menjadi terhambat. Selain itu masih terdapat antinomi diantara pasal dalam UU KPKPU tersebut juga menyebabkan adanya perbedaan paham dalam pelaksanaannya. Sifat kurang kooperatif tidak hanya ditunjukan oleh debitor, dalam perkara kepailitan, pihak yang lainpun tak jarang bersikap tidak kooperatif. Sifat tidak kooperatif oleh kreditor, misalnya tidak menghadiri rapat kreditor ataupun terlambat untuk melakukan mendaftarkan tagihan utangnya. Hakim pengawas dan kuratorpun tidak selamanya benar. Pada prakteknya tak jarang adanya kerjasama antara debitor dengan kedua pihak

9 tersebut. Kerjasama ini tentu saja hanya menguntungkan beberapa pihak saja dan merugikan pihak yang lain. Kerjasama yang merugikan ini dapat menghambat pemenuhak bagi para kreditor yang debitornya dipailitkan. Pemenuhan hak kreditor yang debitornya dipailitkan dapat berjalan dengan baik apabila adanya konsistensi dalam pelaksanaan UU KPKPU oleh semua pihak terkait. VIII. Daftar Pustaka Buku Hartini, Rahayu, 2008, Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang. Widijowati, Dijan, 2002, Hukum Dagang, Penerbit Andi, Yogyakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Internet http://hery-shietra.blogspot.com/2013/10/undang-undang-kepailitanyang.html, Diakses pada Rabu, 14 Mei 2014 pk. 16.15 WIB. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/04/10/0022.html Diakses pada Rabu, 14 Mei 2014 pk. 16.59 WIB. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol8187/kepailitan-di-simpangjalan Diakses pada Rabu, 14 Mei 2014 pk. 16.20 WIB. Hasil Wawancara Narasumber: Petrus Bala Pattyona,S.H., M.Hum. Jumat, 7 Maret 2014 pk. 13.00 di Kantor Hukum Advokat dan Pengacara Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H., dan Rekan yang beralamat di Gedung Fuyinto Sentra Mampang Lt. 3, Jalan Mampang Prapatan Raya No. 28 Jakarta Selatan. Narasumber: Fx. Denny S. Aliandu,S.H. staff legal pada Kantor Hukum Advokat dan Pengacara Petrus Bala Pattyona, S.H., M.H., dan Rekan tanggal 5 Mei 2014 pk 17.00.