ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007"

Transkripsi

1 ORGANISASI PERUSAHAAN DAN KEPAILITAN WISHNU KURNIAWAN SEPTEMBER 2007

2 LITERATUR Kitab Undang Undang Hukum Perusahaan ( Prof. Drs. C.S.T. Kansil dan Christie S.T. Kansil, S.H., M.H.) Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (I.G. Rai Widjaya, S.H., MA) Hukum Kepailitan (Hj. Rahayu Hartini, S.H., M.Si.) Hukum Perusahaan Indonesia (Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H.) Doktrin doktrin Modern Dalam Corporate Law (Henry R. Cheeseman) Understanding Bankruptcy (Frank H. Dixon)

3 PERTEMUAN 75 menit tutorial 50 menit pertanyaan 25 menit tanya jawab

4 Evaluasi Penilaian Middle Test (UTS) 35% Final Test (UAS) 40% Tugas 20% Partisipasi 5 %

5 Badan Usaha Milik Negara (Undang Undang Nomor 19 tahun 2003 / UU BUMN)

6 Pengertian BUMN Adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya di miliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Pasal 1 angka 1 UU BUMN

7 Poin Utama dari pengertian BUMN adalah: 1. Berbentuk suatu Badan Usaha. 2. Sebagian besar atau keseluruhan modal adalah milik negara. 3. Pemilikan modal melalui penyertaan secara langsung. 4. Berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

8 1. Berbentuk Badan Usaha Bertujuan (tujuan BUMN) : 1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. 2. Mengejar keuntungan. 3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak. 4. Menjadi perintis kegiatan kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta & koperasi. 5. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Pasal 2 angka 1 UU BUMN

9 Batasan Dalam Pencapaian Tujuan BUMN dalam mencapai maksud dan tujuannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan Pasal 2 angka 2 UU BUMN

10 2. Sebagian besar atau keseluruhan modal adalah milik negara. Modal secara keseluruhan adalah modal yang dimiliki oleh perusahaan secara keseluruhan adalah milik negara. Modal yang sebagian besar milik negara adalah modal perusahaan yang paling sedikit 51 % adalah milik negara.

11 3. Pemilikan modal melalui penyertaan secara langsung. Penyertaan modal dalam rangka pendirian atau penyertaan ke dalam BUMN dan/atau perseroan terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 4 angka 3 UU BUMN

12 4. Berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Modal Perusahaan yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan tersebut bersumber dari: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Kapitalisasi Cadangan. Sumber lainnya. Pasal 4 angka 2 UU BUMN

13 Macam macam BUMN Perusahaan Persero (disebut Persero). Perusahaan Perseroan Terbuka (disebut Persero Terbuka). Perusahaan Umum (disebut Perum).

14 Perusahaan Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Pasal 1 angka 2 UU BUMN

15 Pendirian Persero Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan yang terlebih dahulu menlalui kajian dari Menteri Teknis dan Menteri Keuangan

16 Pelaksanaan pendirian dilakukan oleh Menteri dengan memperhatikan kaidah kaidah yang terdapat di dalam peraturan perundang undangan, yang dalam hal ini berlaku ketentuan UU No. 1 Thn 1995 sebagaimana yang telah dirubah dengan UU No. 40 Thn 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam hal pendirian Perseroan Terbatas terdapat di dalam Pasal 7 s/d Pasal 14 UU No. 40 Thn Pasal 11 UU BUMN

17 Perusahaan Persero Terbuka adalah persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang undangan di bidang Pasar Modal. (Pasal 1 angka 3 UU BUMN) Dalam hal ini adalah sesuai dengan ketentuan UU No. 8 Thn 1995 tentang Pasar Modal.

18 Ketentuan terhadap Perseroan Terbuka secara prinsip adalah sesuai dengan Perseroan Terbatas yang Go Publik.(Pasal 34 UU BUMN) Ketentuan tentang Perusahaan Publik terdapat dalam pasal 70 s/d pasal 84 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

19 (PERUM) adalah Badan Usaha Milik Negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. (Pasal 35 s/d Pasal 62 UU BUMN)

20 Pendirian PERUM Diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. Perum memperoleh status Badan Hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.

21 Contoh PP Persero & Perum : PP Nomor 58 Tahun 2003 tentang Perusahaan Gas Negara (persero) PP Nomor 60 Tahun 2003 tentang Penyertaan Modal Perum Damri (pesero terbuka)

22 Kesimpulan : Pendirian / pembentukan Badan Usaha Milik Negara adalah tunduk / berdasarkan Peraturan Pemerintah. Namun pelaksanaan pengelolaan Perusahaan berdasar sesuai dengan prinsip pengelolaan UU Perseroan Terbatas dan ketentuan yang berlaku dalam UU Pasar Modal.

23 Pengertian Badan Usaha Milik Daerah adalah berdirinya semua perusahaan yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan Daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain oleh UU. Pasal 2 UU BUMD

24 Poin utama dalam pengertian BUMD a. Berbentuk Badan Usaha. b. Modal secara keseluruhan atau sebagian adalah kekayaan daerah yang dipisahkan.

25 a. Berbentuk Badan Usaha. adalah suatu kesatuan produksi yang bertujuan untuk turut serta melaksanakan pembangunan daerah untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan mengutamakan industrialisasi menuju masyarakat yang adil dan makmur. Pasal 5 UU BUMD

26 b. Modal secara keseluruhan atau sebagian adalah kekayaan daerah yang dipisahkan. adalah modal yang dimiliki oleh Perusahaan Daerah secara keseluruhan maupun sebagian adalah merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pasal 7 ayat (1) UU BUMD

27 Klasifikasi bentuk kekayaan daerah yang dipisahkan Apabila secara keseluruhan modal Perusahaan Daerah dari kekayaan satu daerah yang dipisahkan tidak terdiri atas saham. Apabila modal Perusahaan Daerah secara keseluruhan terdiri atas kekayaan beberapa daerah yang dipisahkan, maka modal perusahaan tersebut terdiri atas saham saham. Apabila Perusahaan Daerah untuk sebagian terdiri dari kekayaan Daerah yang dipisahkan maka modal perusahaan tersebut terdiri dari saham saham. Pasal 7 ayat (2) a s/d b UU BUMD

28 Tujuan terbentuknya Perusahaan Daerah Turut serta menyelenggarakan pembangunan Daerah dalam bidang ekonomi nasional. Untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Menuju masyarakat yang adil dan makmur Pasal 5 UU BUMD

29 Batasan pembentukan Perusahaan Daerah Untuk cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak di Daerah yang bersangkutan diusahakan oleh Perusahaan Daerah yang modalnya secara keseluruhan adalah kekayaan Daerah yang dipisahkan. (Pasal 5 UU BUMD dan Penjelasan Pasal 5 UU BUMD) Pola pelaksanaan kegiatan usaha Perusahaan Daerah didirikan adalah berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di dalam negara Indonesia (yang dalam hal ini adalah UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 8 Thn 1995 tentang Pasar Modal). (Pasal 2 dan Pasal 3 UU BUMD)

30 BUMD sebagai Badan Usaha berbadan hukum Perusahaan Daerah (BUMD) didirikan berdasarkan Peraturan Daerah dengan kuasa dari UU Perusahaan Daerah (BUMD). Peraturan Daerah dapat secara sah berlakunya setelah mendapat pengesahan oleh Instansi tingkat atasnya (Presiden untuk DKI Jakarta, Menteri Dalam Negeri untuk Pemerintahan tingkat Propinsi (Daerah tingkat I), dan Kepala Daerah tingkat satu untuk Pemerintah Daerah tingkat Kota/Kabupaten (tingkat II)).

31 Pembubaran BUMD Pembubaran BUMD beserta penunjukan likuiditurnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah oleh Daerah yang membentuk Perusahaan Daerah tersebut dengan melalui pengesahan instansi atasan Daerah yang bersangkutan.

32 Pengertian Penggabungan (merger) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan yang lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar. Peleburan (konsolidasi) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih Perseroan untuk meleburkan diri dengan cara membentuk satu perseroan baru dan masing masing perseroan yang meleburkan diri menjadi bubar. Pengambilalihan (akuisisi) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih baik seluruh atau sebagian besar saham perseroan yang dapat mengakibatkan beralihnya pengendaluian terhadap perseroan tersebut.

33 Ketentuan yang berlaku bagi penggabungan Perseroan Terbatas secara mutatis mutandis juga berlaku bagi peleburan Perseroan Terbatas Pasal 124 UU PT

34 Akibat hukum terjadinya Penggabungan & Peleburan: Aktiva dan pasiva Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil Peleburan. Pemegang saham Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri karena hukum menjadi pemegang saham Perseroan yang menerima Penggabungan atau Perseroan hasil peleburan. Perseroan yang menggabungkan atau meleburkan diri berakhir karena hukum terhitung sejak tanggal Penggabungan atau Peleburan mulai berlaku.

35 Kesimpulan: Pada dasarnya penggabungan & peleburan satu atau lebih Perseroan Terbatas ke dalam suatu Peseroan akan mengakibatkan peralihan secara hukum dari segala hak hak dan kewajiban yang dimiliki oleh Perseroan Terbatas.

36 Rencana penggabungan atau peleburan Perseroan Terbatas ke dalam Perseroan yang lain tertuang dalam Rancangan Penggabungan atau Rancangan Peleburan yang disusun secara bersama oleh Direksi Perseroan yang menggabungkan diri dengan Direksi dari Perseroan yang menerima Penggabungan atau Peleburan

37 Rancangan penggabungan atau peleburan sekurang kurangnya harus memuat : 1. Nama dan tempat kedudukan Perseroan yang akan melakukan penggabungan; 2. Alasan serta penjelasan masing masing Direksi Perseroan yang akan melakukan penggabungan dan persyaratan penggabungan; 3. Rancangan perubahan anggaran dasar perseroan hasil penggabungan; 4. Neraca, perhitungan laba rugi yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari semua perseroan yang akan melakukan penggabungan; 5. Rencana kelanjutan atau pengakhiran kegiatan usaha dari Perseroan yang akan melakukan penggabungan;

38 Rancangan Penggabungan: 6.Neraca proforma Perseroan yang menerima; 7.Penggabungan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia; 8.Cara penyelesaian hak dan kewajiban Perseroan yang akan menggabungkan diri terhadap pihak ketiga; 9.Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap penggabungan Perseroan; 10.Nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris, serta gaji, honorarium dan tunjangan bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan yang menerima penggabungan; 11.Perkiraan jangka waktu penggabungan; 12.Laporan mengenai keadaan, perkembangan, dan hasil yang dicapai dari setiap perseroan yang akan melakukan penggabungan;

39 Rancangan Penggabungan: 13. Kegiatan utama setiap Perseroan yang melakukan penggabungan dan perubahan yang terjadi selama tahun buku yang sedang berjalan; dan 14. Rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan Perseroan yang akan melakukan penggabungan.

40 Ringkasan Rancangan Penggabungan wajib diumumkan secara bersama oleh Direksi Perseroan, baik yang menerima penggabungan maupun yang menggabungkan diri, dalam 1 (satu) atau lebih surat kabar harian dan mengumumkan secara tertulis kepada seluruh karyawan yang akan melakukan penggabungan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS. Pasal 127 ayat (2) UU PT

41 Pengambilalihan Adalah pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Peseroan atau langsung dari pemegang saham dengan tidak mengindahkan dari ketentuan dan syarat berdirinya suatu Perseroan Terbatas. Pasal 125 dan Penjelasan Pasal 125 UU PT

42 Setiap pengambilalihan Perseroan wajib memperoleh persetujuan dari seluruh pemegang saham perseroan. Setiap persetujuan pemegang saham harus diambil sesuai dengan kuorum kehadiran. RUPS disetujui oleh paling sedikit ¾ (tiga per empat) dari jumlah RUPS yang hadir.

43 Poin dalam Pengambilalihan Pengambilalihan dilakukan oleh suatu badan badan hukum maupun perseorangan. Pengambilalihan dilakukan melalui pengambilalihan dari seluruh maupun sebagian besar saham. Dalam hal pengambilalihan melalui Direksi, pihak yang akan mengambilalih menyampaikan maksudnya untuk melakukan pengambilalihan kepada Direksi Perseroan yang akan mengambilalih. Dalam hal pengambilalihan dilakukan melalui Direksi, maka Direksi Perseroan yang akan diambilalih dengan persetujuan Komisaris wajib membuat rancangan pengambilalihan. Dalam hal pengambilalihan dilakukan langsung dari pemegang saham maka penyampaian maksud pengambilalihan dan pembuatan rancangan pengambilalihan tidak perlu dilakukan.

44 Rancangan pengambilalihan sekurang kurangnya memuat: 1. Nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih dan yang akan diambil alih. 2. Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih. 3. Neraca, perhitungan laba rugi yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari semua perseroan yang akan melakukan pengambialihan. 4. Tata cara pengambialihan dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambilalih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dilakukan dengan saham

45 Rancangan pengambilalihan sekurang kurangnya memuat: 5. Jumlah saham yang akan diambilalih 6. Kesiapan pendanaan. 7. Neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambialih setelah pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia. 8. Cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan. 9. Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan dari perseroan yang akan diambilalih.

46 Rancangan pengambilalihan sekurang kurangnya memuat: 10. Perkiraan jangka panjang pelaksanaan pengambillihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada Direksi Perseroan. 11. Rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan apabila ada.

47 Hal yang perlu diperhatikan dalam Penggabungan, Peleburan, & Pengambialihan adalah: Perseroan,pemegang saham minoritas, dan karyawan. Kreditor dan mitra usaha lainnya. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.

48 KEPAILITAN

49 PARA PIHAK DALAM HUKUM KEPAILITAN Debitor Kreditor Hakim Pengawas Kurator dan Balai Harta Peninggalan

50 Debitor Orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang Undang yang pelunasannya dapat di tagih di muka Pengadilan Pasal 1 angka 3 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 (UUK)

51 Kreditor Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang Undang yang dapat ditagih di muka Pengadilan Pasal 1 angka 2 UUK

52 Hakim Pengawas Hakim yang ditunjuk oleh Pengadilan dalam putusan pailit atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang Pasal 1 angka 8 UUK Tugas utama dari Hakim Pengawas adalah untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta kepailitan. Pasal 65 UUK

53 Kurator adalah Balai Harta Peninggalan (BHP) atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah perusahaan pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan Undang Undang ini. Pasal 1 angka 5 UUK

54 Kurator Tugas utama Kurator adalah melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta pailit. Pasal 68 ayat (1) UUK

55 Kurator Dahulu UU No. 4 Thn 98 Kurator Balai Harta Peninggalan. Berdasarkan Pasal 70 UUK Ayat (1)a Kurator Balai Harta Peninggalan (BHP) Ayat (1)b Kurator Kurator lainnya

56 Kurator Yang dimaksud Kurator lainnya pasal 70 ayat (2) UUK a. Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit b. Terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang undangan.

57 Syarat syarat Pernyataan Pailit & Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit

58 Syarat syarat Pernyataan Pailit Seorang Debitor yang memiliki dua atau lebih Kreditor. Seorang Debitor tersebut setidaknya berhenti membayar satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih di muka Pengadilan. (penjelasan pasal 2 ayat 2 UUK)

59 Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit a. Bagi Debitor Pailit dan harta kekayaannya. b. Bagi tuntutan tertentu. c. Pengaruh terhadap pelaksanaan hukum (eksekusi). d. Pengaruh terhadap perjanjian timbal balik. e. Terhadap harta perkawinan. f. Terhadap Hipotik, Gadai, dan Hak Retensi.

60 Bagi Debitor Pailit dan Harta Kekayaannya Sejak di bacakan putusan Pailit maka si Debitor kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Pasal 24 ayat (1) UUK

61 Bagi Tuntutan Tertentu Sejak Debitor diputus pailit maka segala putusan hakim yang menyangkut harta kekayaan debitor pailit harus dihentikan. Putusan tersebut dibatalkan demi hukum. Pasal 29 UUK

62 Pengaruh terhadap Pelaksanaan Hukum (eksekusi) Apabila terdapat seorang Debitor yang telah ditahan (eksekusi tahanan) harus dilepaskan demi hukum, tanpa mengurangi berlakunya ketentuan seperti yang dimaksud pasal 93 UUK. Pasal 31 ayat (3)

63 Pengaruh Terhadap Perjanjian Timbal Balik Putusan pernyataan pailit tidak mengikat perjanjian timbal balik yang diadakan debitor pailit sebelum kepailitan/putusan pailit diambil. Pasal 36 ayat (1) UUK

64 Terhadap Harta Perkawinan Putusan pailit akan berpengaruh terhadap harta Debitor juga yang meliputi persatuan harta perkawinan. Pasal 23 UUK

65 Terhadap Hipotik, Gadai, dan Hak Retensi Putusan Pailit atas Debitor tidak berpengaruh pada harta Hipoik, gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hak agunan. Kreditor pemegang jaminan dapat langsung mengeksekusi boedel pailit secara langsung seolah olah tidak terjadi kepailitan

66 Renvooi Adalah istilah yang berasal dari kata renvoa yang berarti penunjukan kembali

67 Renvooi Dalam pengertian di hukum Kepailitan adalah penyelesaian bantahan atas piutang piutang oleh kantor Kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) maupun debitor pailit dalam rapat verifikasi boedel pailit. Ps. 127 Ps. 130 UUK

68 Renvooi Diajukan ke Pengadilan selama Hakim Pengawas harta pailit tidak mampu mendamaikan kedua pihak dan dilakukan oleh sorang advokat.

69 BERAKHIRNYA KEPAILITAN Perdamaian (Accord) Ps.144 Ps. 177 UUK Insolvensi dan pemberesan harta kepailitan ( Rehabilitasi

70 Perdamaian (Accord) Adalah perjanjian antara debitor pailit dan kreditor dimana Debitor pailit menawarkan pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Ps. 144 UUK

71 Upaya Hukum Putusan Pailit Kasasi (Ps. 11 Ps. 13 UUK) Peninjaun Kembali (Ps.14 dan Ps. 295 Ps 298 UUK)

72 KASASI Diajukan oleh Kreditor, Debitor, ataupun Kreditor yang bukan merupakan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama, diajukan paling lambat 8 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan. Ps. 11 ayat (2) dan ayat (3) UUK

73 KASASI Waktu permohonan kasasi dihitung sejak, pemohon kasasi mengajukan kepada Panitera yang telah memutus permohonan pernyataan pailit dan memberikan tanda terima tertulis dan ditanda tangani oleh Paniteradisertai tanggal yang sesuai dengan tanggal penerimaan pendaftaran.

74 KASASI Pendaftaran permohonan kasasi atas putusan pernyataan pailit dilampiri dengan memori kasasi oleh pemohon kasasi. Ps. 12 ayat (1)

75 KASASI Panitera wajib mengirimkan permohonan kasasi dan memori kasasi kepada termohon kasasi paling lambat 2 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan. Ps. 12 ayat (2) UUK

76 KASASI Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi paling lambat 7 hari, setelah termohon mendapatkan memori kasasi dari Penitera. Panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lambat 2 hari setelah kontra memori kasasi diterima oleh Pengadilan. Ps. 12 ayat (3) UUK

77 KASASI Panitera wajib menyampaikan permohonan kasasi, memori kasasi, dan kontra memori kasasi beserta berkas perkara paling lambat 14 hari setelah tanggal permohonan kasasi didaftarkan. Ps. 12 ayat (4)

78 KASASI Mahkamah Agung wajib mempelajari permohonan kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 2 hari setelah permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung dan paling lambat 20 hari sejak Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi pernyataan pailit harus sudah melaksanakan pemeriksaan atas permohonan kasasi.

79 KASASI Putusan permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Ps. 13 ayat (3)

80 KASASI Panitera lingkup Mahkamah Agung wajib menyampaikan salinan putusan kasasi kepada Panitera pada Pengadilan Niaga paling lambat 3 hari setelah tanggal putusan dan jurusita Pengadilan yang terkait wajib menyampaikan salinan kasasi kepada pemohon kasasi, termohon kasasi, Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 2 hari setelah putusan kasasi diterima dari Mahkamah Agung. Ps. 13 ayat (7)

81 Permohonan Penijauan Kembali Ketentuan atas seluruh proses Kasasi berlaku secara mutatis mutandis bagi Peninjauan Kembali. Ps. 14. ayat (2) UUK

82 Permohonan Penijauan Kembali Setelah perkara diputus namun ditemukan bukti baru dan bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa di Pengadilan sudah ada, namun belum ditemukan. Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekelirian yang nyata. Ps. 295 ayat (2) UUK

83 Permohonan Penijauan Kembali Terhadap peninjauan kembali atas bukti baru yang ditemukan dapat dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 hari setelah tanggal putusan yang yang diajukan dalam peninjauan kembali mempunyai kekuatan hukum yang tetap Ps. 296 ayat (1) UUK

84 Permohonan Penijauan Kembali Peninjauan kembali atas putusan Hakim yang terdapat kekeliruan yang nyata dapat diajukan paling lambat 30 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Ps. 296 ayat (2) UUK

85 Permohonan Penijauan Kembali Pemohon menyerahkan salinan bukti pendukung kepada Panitera Pengadilan yang memutus permohonan pernyataan pailit tingkat pertama. Ps. 297 ayat (1) UUK

86 Permohonan Penijauan Kembali Salinan bukti pendukung dan salinan permohonan peninjauan kembali diserahkan kepada termohon paling lambat 2 hari setelah tanggal didaftarkan. Ps. 297 ayat (2) UUK

87 Permohonan Penijauan Kembali Pihak termohon peninjauan kembali dapat mengajukan jawaban dengan jangka waktu paling lambat 10 hari setelah tanggal permohonan peninjauan kembali didaftarkan Ps. 297 ayat (3) UUK

88 Permohonan Penijauan Kembali Panitera Pengadilan wajib menyampaikan jawaban dan permohonan peninjauan kembali kepada Panitera Mahkamah Agung dengan jangka waktu paling lambat 12 hari setelah permohonan didaftarkan. Ps. 297 ayat (4) UUK

89 Permohonan Penijauan Kembali Mahkamah Agung segera memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan peninjauan kembali dalam jangka waktu paling lambat 30 hari. Ps. 298 ayat (1) UUK

90 Permohonan Penijauan Kembali Salinan putusan peninjauan kembali harus disampaikan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 32 hari setelah salinan tersebut diterima oleh Panitera Mahkamah Agung Ps 298 ayat (3) UUK

91 PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU)

92 PKPU Maksud: Suatu masa yang diberikan oleh Undang Undang melalui putusan hakim niaga. Tujuan: Agar Debitor dan Kreditir dapat melakukan musyawarah untuk membicarakan utang dapat ditagih pada jatuh tempo agar dapat dibayar secara keseluruhan atau sebagian serta berikut dengan cara cara pembayarannya. Pasal 222 UUK

93 Bilamana PKPU dapat diajukan Permohonan PKPU tetap berikut perpanjangannya ditetapkan oleh Pengadilan berdasarkan: - Persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari Kreditor Konkuren atau yang dikuasakan. - Persetujuan lebih dari ½ jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hak hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan Kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang PKPU.

94 PKPU PKPU = Permohonan Pernyataan Pailit.

95 Perbedaan Dalam hal Kedudukan Pernyataan Pailit: orang yang dinyatakan pailit akan kehilangan kecakapan untuk berbuat terhadap harta bendanya sendiri. PKPU: Kecakapan untuk berbuat atas bendanya dapat dilakukan dan pembayaran atas piutang yang telah dilakukan mendapatkan penundaan pembayaran. Dalam Hal Lembaga Pemeliharaan Pernyataan Pailit: Tidak dapat menentukan nasib harta benda yang dimiliki. PKPU:Dapat menentukan nasib harta yang dimiliki, meskipun harus seijin pemelihara (sebagai pengganti BHP) Kurator atau BHP

96 Syarat PKPU Diajukan oleh Debitor maupun Kreditor dan telah ditanda tangani oleh Debitor maupun Kreditor itu sendiri serta tanda tangan penasihat hukum. Dalam hal pemohon adalah Debitor, maka permohonan harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, serta utang Debitor dengan disertai surat bukti secukupnya. Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum sidang. Pada sidang yang dimaksud Debitor wajib menyertakan daftar besertasurat bukti yang cukup dan apabila ada diajukan juga rencana perdamaian. Ketentuan dan syarat yang berlaku di dalam permohonan pengajuan pernyataan pailit berlaku secara mutatis dan mutandis di dalam hal PKPU.

97 PKPU Diajukan oleh Kreditor, Debitor, ataupun Kreditor kreditor tertentu yang diamanatkan pada pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Ps. 222 ayat (2) dan ayat (3) serta Ps. 223 UUK

98 Subyek subyek PKPU Kreditor Debitor Kreditor kreditor tertentu yang diamanatkan pada pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Pengurus penyelesaian PKPU. Hakim Pengawas Pemelihara atau Pengurus penyelesaian PKPU.

99 Pengurus Adalah seorang yang Independen (tidak memiliki benturan kepentingan antara debitor maupun Kreditor) untuk membantu debitor dalam mengurusi hartanya.

100 Hakim Pengawas Bersama Pengurus dan Debitor mengurus harta Debitor

101 Panitia Kreditor Terbagi dalam 2 hal, yaitu: Atas permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang meliputi uang dalam jumlah besar atau yang bersfat rumit. Atas pengangkatan yang dikhendaki oleh Kreditor Konkuren yang mewakili sedikitnya ½ bagian dari seluruh tagihan yang diakui.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS BAB I KETENTUAN UMUM

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS BAB I KETENTUAN UMUM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 1 tahun ~ keharusan Perseroan menyesuaikan ketentuan Undang-undang ini Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Perseroan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004)

UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) Copyright (C) 2000 BPHN UU 37/2004, KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG *15705 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA (UU) NOMOR 37 TAHUN 2004 (37/2004) TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2005 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 43 TAHUN 2005 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah Latar Belakang Masalah BAB VIII KEPAILITAN Dalam undang-undang kepailitan tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1998 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pembinaan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang TUJUAN KEPAILITAN TUJUAN KEPAILITAN. 22-Nov-17 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Istilah Kepailitan 9/4/2014 Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Ranitya Ganindha, SH. MH. Dosen Hukum Dagang Fakultas Hukum Univ Brawijaya Dalam suatu kegiatan usaha / bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Permasalahan

Lebih terperinci

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS DASAR HUKUM tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU; 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan 1. Dasar Hukum dan Pengertian Kepailitan Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: 10) adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih

(SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO: 01/ PEMBATALAN PERDAMAIAN/ 2006/ PN. NIAGA.JKT. PST. TENTANG PEMBATALAN PERDAMAIAN TERHADAP P.T. GORO BATARA SAKTI (SKRIPSI) Oleh: Anik Suparti Ningsih FAKULTAS

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

*36403 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 28 TAHUN 1999 (28/1999) TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK

*36403 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 28 TAHUN 1999 (28/1999) TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK Copyright (C) 2000 BPHN PP 28/1999, MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK *36403 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 28 TAHUN 1999 (28/1999) TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Perusahaan adalah badan usaha yang dibentuk untuk menjalankan kegiatan usaha di bidang ekonomi. Sebagai badan yang dibentuk untuk menjalankan usaha maka perusahaan harus

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN 218 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA nomor 1 tahun 1995 tentang PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2005 TENTANG PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undangundang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk.

BAB IV ANALISIS Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. BAB IV ANALISIS C. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam kasus PT. Indo Plus dengan PT. Argo Pantes Tbk. Salah satu upaya penyelamatan kebangkrutan perusahaan dapat dilakukan dengan cara yuridis

Lebih terperinci

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR. Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) PENGURUSAN HARTA PAILIT PEMBERESAN HARTA PAILIT TUGAS KURATOR 1 Menyimpan: Surat,dokumen, uang, perhiasan, efek, surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima (Ps.98 UUK) MENGAMANKAN HARTA PAILIT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDINESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA) Sumber: LN 1995/13; TLN NO. 3587 Tentang: PERSEROAN TERBATAS Indeks: PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa peraturan tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang

Lebih terperinci

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tah No.1514, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

Penundaan kewajiban pembayaran utang

Penundaan kewajiban pembayaran utang Penundaan kewajiban pembayaran utang PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor atau kreditor Debitor mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor

Lebih terperinci

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA 20 BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU Istilah PKPU (suspension of payment) sangat akrab dalam hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Pengertian Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam

BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA. apabila proses On Going Concern ini gagal ataupun berhasil dalam 43 BAB III AKIBAT HUKUM YANG TIMBUL APABILA ON GOING CONCERN GAGAL DALAM PELAKSANAANNYA 3.1 Batasan Pelaksanaan On Going Concern Dalam berbagai literatur ataupun dalam UU KPKPU-2004 sekalipun tidak ada

Lebih terperinci

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas.

Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAN REASURANSI, DAN PERUSAHAAN

Lebih terperinci

2016, No Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar sert

2016, No Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar sert BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.113, 2016 KEMENKUMHAM. Perseroan Terbatas. Permohonan. Perubahan. Anggaran Dasar. Penyampaian Perubahan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS)

Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) 1 Apakah Pailit = Insolvensi? Heri Hartanto, Hukum Acara Peradilan Niaga (FH-UNS) Debitor Pailit menjadi Insolvensi, 2 Jika : Pada rapat pencocokan piutang, Debitor tdk mengajukan rencana Perdamaian Rencana

Lebih terperinci

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU

BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU 21 BAB II PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH PERSEROAN TERBATAS (PT) SEBAGAI DEBITOR UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PKPU Debitor yang mengetahui bahwa keadaan keuangannya berada dalam kesulitan sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan

PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan. PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan ANGGARAN DASAR SAAT INI ANGGARAN DASAR PERUBAHAN PASAL 1 NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Ayat (1) s/d (2): Tidak ada perubahan PASAL 2 JANGKA WAKTU BERDIRINYA PERSEROAN Tidak ada perubahan PASAL 3 MAKSUD DAN

Lebih terperinci

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

B A B II TINJAUAN PUSTAKA. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 B A B II TINJAUAN PUSTAKA A. Perseroan Terbatas 1. Dasar Hukum Perseroan Terbatas Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT),

Lebih terperinci

HUKUM PERSEROAN TERBATAS (Berdasar UU Nomor 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas) Oleh: Rahmad Hendra

HUKUM PERSEROAN TERBATAS (Berdasar UU Nomor 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas) Oleh: Rahmad Hendra HUKUM PERSEROAN TERBATAS (Berdasar UU Nomor 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas) Oleh: Rahmad Hendra ORGAN-ORGAN PT 1. RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) 2. DIREKSI 3. DEWAN KOMISARIS RUPS 0 RUPS mempunyai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999 TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat,

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 4443 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.82, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Kurator. Pengurus. Imbalan. Pedoman. PERATURAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN IMBALAN BAGI

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN RANCANGAN PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN BATANG TUBUH PENJELASAN RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH, PERUSAHAAH REASURANSI,

Lebih terperinci

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur

BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU. Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur BAB II PENGANGKATAN PENGURUS DALAM PKPU A. Prosedur Permohonan PKPU Ada dua cara yang disediakan oleh UU Kepailitan dan PKPU agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2008 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JAMINAN KREDIT INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2008 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JAMINAN KREDIT INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2008 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JAMINAN KREDIT INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk.

SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal SEMULA ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. USULAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT. BANK VICTORIA INTERNATIONAL, Tbk. Pasal PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM PASAL 10 PEMINDAHAN HAK ATAS SAHAM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa gejolak moneter

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016 AKIBAT HUKUM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG TERHADAP PERJANJIAN SEWA MENYEWA YANG DI NYATAKAN PAILIT MENURUT UU NO. 37 TAHUN 2004 1 Oleh : Joemarto V. M. Ussu 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan

Lebih terperinci

RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK.

RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK. RENCANA PENYESUAIAN ANGGARAN DASAR PT BANK DANAMON INDONESIA, TBK. DENGAN PERATURAN POJK NOMOR 32/ POJK.04/2014 DAN NOMOR 33/ POJK.04/2014 Sebelum/ Before Pasal 11 Ayat 5 Pasal 11 Ayat 5 5. (a) Seorang

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor

Lebih terperinci

Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004)

Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004) Syarat DEBITOR Pailit (Psl 2 (1) UU 37/2004) Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN. utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Restrukturisasi utang perusahaan debitor dalam rangka membayar utang-utangnya pada umumnya dapat dilakukan dengan cara dua hal, yaitu: 1. dengan pendekatan antara

Lebih terperinci

1 / 25 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Y A Y A S A N Diubah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MATRIX KOMPARASI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT GRAHA LAYAR PRIMA Tbk. NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1

MATRIX KOMPARASI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT GRAHA LAYAR PRIMA Tbk. NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 MATRIX KOMPARASI PERUBAHAN ANGGARAN DASAR PT GRAHA LAYAR PRIMA Tbk. Ayat 1 Tidak Ada Perubahan Perubahan Pada Ayat 2 menjadi berbunyi Sbb: NAMA DAN TEMPAT KEDUDUKAN Pasal 1 Perseroan dapat membuka kantor

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 BAB II PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 A. Syarat Peraturan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam ilmu hukum dagang, penundaan kewajiban

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.05/2015 TENTANG PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH,

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 18 BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG A. Penyebab Terjadinya Kepailitan Pailit dapat diartikan debitur dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N YANG DIRUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 28-2004 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 112, 2001 Kehakiman. Keuangan. Yayasan. Bantuan. Hibah. Wasiat. (Penjelasan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 2007 (Judul pasal-pasal ditambahkan)

UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 2007 (Judul pasal-pasal ditambahkan) UNDANG-UNDANG PERSEROAN TERBATAS 2007 (Judul pasal-pasal ditambahkan) BAB I KETENTUAN UMUM 5 Pasal 1 Ketentuan umum (16 butir) 5 Pasal 2 Tujuan perseroan 6 Pasal 3 Tanggungawab pemegang saham 7 Pasal 4

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga JOURNAL SKRIPSI KEDUDUKAN HUKUM KURATOR PERUSAHAAN DEBITOR PAILIT YANG DILANJUTKAN KEGIATAN USAHANYA Oleh : NIM. 031011202 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA 2015 JURNAL SKRIPSI ABSTRAKSI Didalam dinamika

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat

BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS. Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat 27 BAB II KEWENANGAN KURATOR DALAM PROSES KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS A. Kurator Dalam Proses Kepailitan Kurator diangkat dan ditunjuk oleh Hakim Pengadilan Niaga (Pasal 15 ayat (1) UU Kepailitan dan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan orang di Indonesia

Lebih terperinci

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO

PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO PELAKSANAAN TUGAS KURATOR DALAM MENGURUS HARTA PAILIT BERDASARKAN PASAL 72 UNDANG UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Oleh Arkisman ABSTRAK Setelah dijatuhkannya

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada saat ini perkumpulan di Indonesia

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT BAB III HAK KREDITOR ATAS EKSEKUSI OBJEK JAMINAN FIDUSIA BILAMANA DEBITOR PAILIT 3.1. Klasifikasi Pemegang Jaminan Fidusia Atas Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Bilamana Debitor Pailit 3.1.1. Prosedur Pengajuan

Lebih terperinci

ANGGARAN DASAR PT MANDOM INDONESIA Tbk. Nama dan Tempat Kedudukan Pasal 1. Jangka Waktu berdirinya Perseroan Pasal 2

ANGGARAN DASAR PT MANDOM INDONESIA Tbk. Nama dan Tempat Kedudukan Pasal 1. Jangka Waktu berdirinya Perseroan Pasal 2 ANGGARAN DASAR PT MANDOM INDONESIA Tbk Nama dan Tempat Kedudukan Pasal 1 1. Perseroan Terbatas ini diberi nama: PT Mandom Indonesia Tbk (selanjutnya disebut Perseroan ), berkedudukan dan berkantor pusat

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan Kepailitan secara etimologis berasal dari kata pailit. 6 Istilah pailit berasal dari bahasa Belanda yaitu Faiyit yang mempunyai arti ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian pinjam meminjam uang. Akibat dari perjanjian pinjam meminjam uang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kepailitan biasanya pada umumnya dikaitkan dengan utang piutang antara debitor dengan kreditor yang didasarkan pada perjanjian utang piutang atau perjanjian

Lebih terperinci

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001 UU Tentang Yayasan BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : 1. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan

Lebih terperinci

Pembuktian Sederhana dalam Perkara PKPU. PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN DALAM PKPU

Pembuktian Sederhana dalam Perkara PKPU. PENERAPAN PRINSIP KELANGSUNGAN DALAM PKPU BAB III PRINSIP KELANGSUNGAN USAHA DALAM PKPU Bab ini berisikan tentang Prinsip-prinsip PKPU, Asas-Asas Dalam PKPU, Dunia Usaha Dalam Kepailitan dan PKPU, dan Pembuktian Sederhana dalam Perkara PKPU. BAB

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2008 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2008 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2008 TENTANG PERUSAHAAN UMUM (PERUM) JAMINAN KREDIT INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.AH.01.01 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.AH.01.01 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGESAHAN BADAN HUKUM DAN PERSETUJUAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini

Lebih terperinci

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit

BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR. 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit BAB II AKIBAT HUKUM PUTUSAN PAILIT TERHADAP HARTA KEKAYAAN DEBITUR A. Akibat Kepailitan Secara Umum 1. Akibat kepailitan terhadap harta kekayaan debitur pailit Dengan dijatuhkannya putusan pailit oleh

Lebih terperinci

BAB II PENENTUAN KEABSAHAN SUATU RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN

BAB II PENENTUAN KEABSAHAN SUATU RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN 34 BAB II PENENTUAN KEABSAHAN SUATU RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM DALAM PERSEROAN A. Rapat Umum Pemegang Saham Dalam setiap Perseroan Terbatas mempunyai alat yang disebut dengan organ perseroan yang bertugas

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pendirian Yayasan di Indonesia selama

Lebih terperinci