PENGANTAR. kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Tiba diriku di penghujung mencari cinta Hati ini tak lagi sepi Kini aku tak sendiri

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA PENYANDANG KANKER PAYUDARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengalaman Memaafkan. kebanyakan berfokus pada memaafkan sebagai proses dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB V PENUTUP Kesimpulan. Persoalan perselingkuhan dalam hubungan pernikahan merupakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Fenomena kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini terus meningkat dari

GAMBARAN KEPUASAN PERNIKAHAN PADA ISTRI YANG TELAH MENIKAH TIGA TAHUN DAN BELUM MEMILIKI ANAK KEUMALA NURANTI ABSTRAK

2016 FENOMENA CERAI GUGAT PADA PASANGAN KELUARGA SUNDA

BAB I PENDAHULUAN. akhirnya menikah. Pada hakikatnya pernikahan adalah ikatan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perkembangan hidup, individu memiliki harapan untuk dapat terus

Secara kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak dapat hidup tanpa orang lain, saling

BAB I PENDAHULUAN. didambakan tersebut menjadi hukum alam dalam diri tiap manusia. Akan tetapi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebahagiaan merupakan keadaan psikologis yang ditandai dengan tingginya

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Definisi Perkawinan, Perceraian serta akibat-akibat Hukumnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan impian setiap manusia, sebab perkawinan dapat membuat hidup

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

Hendrati, 2010). BP4 Provinsi Yogyakarta melaporkan bahwa pada bulan Januari

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. solusi yang membuat anak merasa aman, namun pada kenyataannya ada keluarga

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BABI PENDAHULUAN. Setiap pasangan suami isteri tentu berharap perkawinan mereka bisa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

KECEMASAN PADA WANITA YANG HENDAK MENIKAH KEMBALI

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. melainkan juga mengikat janji dihadapan Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 menjelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. Kanker adalah istilah umum yang digunakan untuk satu kelompok besar penyakit

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

PROSES DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEMAAFKAN PADA REMAJA BROKEN HOME

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Purwadarminta (dalam Walgito, 2004, h. 11) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan yang bahagia. Harapan akan kebahagiaan ini pun tidak terlepas bagi seorang

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Pada kodratnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling berpasang-pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. maupun dengan lawan jenis merupakan salah satu tugas perkembangan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah melalui Kristus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well Being. dan kepuasan dalam hidup dikaitkan dengan subjective well being.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap individu di dalam hidupnya selalu berusaha untuk mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. banyaknya suku bangsa di Indonesia yang mendiami berbagai pulau yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. penuh kedamaian, kesejukan, dan ketenangan lahir batin dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Manusia merupakan makhluk individu dan sosial. Makhluk individu

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah salah satu individu yang menjadi bagian dari ciptaan-

KEKERASAN BERBASIS GENDER: BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Khoirul Ihwanudin 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. adalah dengan memaafkan. Memaafkan adalah salah satu cara untuk

FORGIVENESS PADA DEWASA AWAL PUTRI YANG MENGALAMI KEKERASAN PADA MASA KANAK-KANAK

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bidang pelayanan kesehatan tempat yang mendukung rujukan dari pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. lahir, menikah, dan meninggal. Pernikahan merupakan penyatuan dua jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

Transkripsi:

PENGANTAR Konflik dalam Pernikahan Pernikahan melibatkan dua individu yang berbeda dan unik, baik dari kebiasaan, visi hidup, maupun strata pendidikan. Perbedaan dan keunikan masingmasing pasangan menuntut adanya penyesuaian yang tak jarang dapat menimbulkan konflik. Persoalan dalam pernikahan sangat dinamis dan memiliki berbagai variasi yang luas. Mulai dari pemilihan pasangan, gaya komunikasi, kontribusi ekonomi, pengambilan keputusan mengenai jumlah anak, perbedaan sikap terhadap suatu permasalahan, tetap bertahan dalam pernikahan atau bercerai, bahkan keputusan untuk menikah lagi (Day, 2003). Perceraian sendiri memiliki beberapa penyebab, salah satunya adalah perselingkuhan pasangan. Saat seorang istri mengetahui suaminya berselingkuh, ada perasaan dikhianati dan kepuasan pernikahannya akan menurun (Fan & Lui, 2004). Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa perselingkuhan menempati daftar teratas penyebab terjadinya perceraian. Di antaranya adalah penelitian Amato & Previti (2003) terhadap 208 subjek yang baru s aja bercerai di Amerika Serikat. Penelitian tersebut menyimpulkan 18 kategori penyebab terjadinya perceraian, yakni : (1) perselingkuhan/ketidaksetiaan, (2) ketidakcocokan, (3) mengkonsumsi narkoba atau alkohol, (4) percekcokan, (5) masalah kepribadian, (6) masalah komunikasi, (7) kekerasan fisik atau psikis, (8) kehilangan perasaan cinta, (9) kura ngnya 2

tanggungjawab terhadap keluarga, (10) masalah pekerjaan, (11) tidak tahu penyebab perceraian, (12) perkawinan tidak bahagia, (13) masalah keuangan, (14) sakit fisik atau mental, (15) pertumbuhan pribadi, (16) campur tangan keluarga, (17) ketidakmatangan, dan (18) sebab -sebab lain. Dari 18 kategori tersebut, perselingkuhan atau ketidaksetiaan menjadi penyebab perceraian yang paling dominan dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Hasil penelitian yang serupa juga ditemukan di Indonesia. Sebuah studi kualitatif terhadap 7 perempuan yang mengalami KDRT di Palu menunjukkan bahwa pihak perempuan (istri) memilih untuk bercerai lebih karena suami memiliki wanita idaman lain (WIL) daripada dengan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya. Di sisi lain, beberapa wanita yang menjadi korban KDRT memilih bertahan dalam pernikahan karena memiliki keyakinan bahwa suami bisa berubah serta demi kepentingan anak-anaknya, (Sahi, 2009). Penelitian dengan tema serupa juga ditemukan di Yogyakarta. Sebuah studi kualitatif dilakukan terhadap tiga perempuan yang menggugat cerai suaminya di Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, istri menggugat cerai suaminya akibat hubungan suami istri yang dijalani tidak sesuai dengan harapan. Faktor-faktor lain yang menyebabkan istri menggugat suami antara lain, tidak setia, melakukan kekerasan fisik, verbal dan seksual, malas dalam bekerja sehingga tidak punya penghasilan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga (tidak bertanggungjawab), istri merasa dieksploitasi, cemburu tidak rasional, campur tangan pihak keluarga suami dan anggapan perempuan adalah kanca wingking yang bisa diperlakukan sesuai keinginan pihak suami semata atau tidak menghargai istri, 3

Khumas dalam Khumas (2012). Perceraian bukanlah satu peristiwa yang berdiri sendiri namun lebih merupakan proses dari peristiwa-peristiwa di masa lalu yang penuh dengan konflik. Konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan dalam sebuah hubungan antar pribadi (Tsang, Mc Cullough & Fincham, 2006). Bahkan pada pernikahan yang paling baik sekalipun, seorang pasangan terkadang menyakiti atau melukai pasangan yang lain (Ripley & Worthington, 2002). Konflik dalam pernikahan yang tidak mampu dikelola dengan baik, dapat memberikan efek merugikan terhadap kesehatan mental, fisik, dan keluarga. Konflik pernikahan yang tidak sehat berhubungan dengan munculnya gejala depresi, gangguan makan, perilaku alkoholisme, kesehatan yang buruk dan beberapa penyakit spesifik, seperti kanker, sakit jantung, dan nyeri kronis (Fincham, 2003). Frustenberg dan Kathleen (2003) menyebutkan bahwa variasi definisi perceraian sangatlah luas, mulai dari memandang sebuah perceraian sebagai peristiwa tunggal, hingga perceraian merupakan sebuah proses yang kompleks. Plummer dan Kock-Hattem (1986) menyebutkan bahwa perceraian merupakan akhir dari sebuah hubungan keluarga. Dampak yang terjadi adalah adanya penyesuaian paska perceraian dengan kondisi keluarga yang tidak lagi utuh. Studi mengenai perceraian sebagian besar diawali dengan adanya asumsi bahwa gangguan yang terjadi dalam pernikahan merupakan masa transisi yang penuh tekanan baik bagi orang dewasa sebagai orangtua dan pasangan, maupun bagi anak-anak (Amato, 4

2000). Amato dan Previti (2003) menyebutkan bahwa perceraian merupakan peristiwa yang kompleks, yang bisa dilihat dari banyak sudut pandang, baik itu sudut pandang psikologi ataupun sosiologi. Kompleksitas ini muncul seiring dengan banyaknya konflik sebelum perceraian terjadi meskipun kedua pasangan ini hidup terpisah dan jarang berinteraksi (Stevenson & Black, 1995). Lasswell dan Lasswell (1987) mengungkapkan bahwa perceraian adalah solusi dari persoalan yang tidak bisa diselesaikan karena meningkatnya kekecewaan yang dialami oleh pasangan pernikahan. Kekecewaan dan kemarahan yang dirasakan terutama oleh istri yang diselingkuhi oleh suami memiliki dampak pada penurunan kesejahteraan subjektif mereka. Turunnya kesejahteraan subjektif ini ditandai dengan adanya penuruan kepuasan pernikahan (Fan & Lui, 2004), dan meningkatnya emosi negatif seperti kerentanan terhadap perasaan cemas dan depresi (Hirst, 2003). Olson et al (2002) juga menyebutkan bahwa perselingkuhan dapat memunculkan perilaku-perilaku negatif seperti mudah marah, boros dalam menggunakan uang dan perilaku penyalahgunaan obat-obatan. Keputusan untuk bercerai tidak terjadi dengan cara yang sederhana. Bodenmann, Pihet, Shantinath, Cina dan Widmer (2006) menjelaskan bahwa banyaknya perceraian itu terjadi karena kurangnya ketrampilan yang dimiliki oleh masing-masing pasangan seperti ketrampilan dalam berkomunikasi, pemecahan masalah serta coping dalam menghadapi masalah-masalah yang dialami. 5

Ketrampilan-ketrampilan tersebut merupakan prediktor penting pada proses perceraian. Pemaafan Pemaafan merupakan satu dari tiga perilaku prososial menurut Snyder dan Lopez (2007). Thompson dkk. (dalam S nyder & Lopez, 2007) mengatakan bahwa pemaafan adalah pembebasan diri dari hal-hal negatif yang melekat pada sumber (baik itu diri sendiri, orang lain, maupun situasi) yang telah menyakitinya. Enright (2003) menyebutkan bahwa memaafkan itu adalah sebuah proses. Memaafkan seringkali tidak cukup dengan berkata, saya telah memaafkanmu, karena perasaan marah dapat muncul kembali. Seseorang menjadi lebih sulit untuk memaafkan ketika ia harus menghadapai rentetan peristiwa yang menyakitkan. Memaafkan juga merupakan konsep yang kompleks dan sering tumpang tindih dengan konsep lain yang berkaitan seperti penerimaan atau perdamaian (Siassi, 2007). Proses pemaafan terdiri dari beberapa tahapan. Enright (2003) menjelaskan empat tahap proses pemaafan, yaitu: (1) Uncovering phase, yaitu fase dimana individu mengeksplorasi seburuk apa rasa marah atau perasaan-perasaan negatif berdampak terhadap hidupnya; (2) Decision phase, yaitu fase dimana individu membuat pilihan untuk mau berusaha dan memaafkan; (3) Work phase, yaitu fase dimana individu mencoba memaafkan dengan menghadirkan kembali gambaran tentang kejadian yang telah terjadi, menerima rasa sakit yang dialami, dan mencoba 6

untuk menemukan pemahaman empatik mengapa orang lain melakukan hal tersebut kepadanya; (4) Deepening phase, yaitu fase dimana individu mencoba untuk mendapatkan kedalaman pemaknaan sebagai hasil dari mengalami suatu rasa sakit. Fase keempat juga berhubungan dengan menyadari bahwa terdapat orang-orang lain yang juga mengalami banyak rasa sakit. Hal ini memberikan pemahaman bahwa ia tidak sendirian dalam mengalami rasa sakit. Jung dalam Gassin (1998) menyebutkan bahwa proses pengakuan untuk meminta maaf dapat membantu penyerang mengatasi mekanisme psikologis yang membahayakan, mencapai kepribadian yang lebih terintegrasi dan melepaskan perasaan negatif seperti rasa bersalah. Pengalaman untuk dimaafkan akan membuat penyerang menjadi individu yang lebih mudah memaafkan dalam hidupnya. Selain itu, nilai-nilai positif yang lain seperti kesabaran, integritas dan penghargaan pada diri sendiri, akan berkembang seiring dengan meningkatnya kemampuan untuk memaafkan. Hubungan secara personal dan sosial menyediakan banyak pengalaman, baik itu pengalaman yang menyenangkan atau menyakitkan (Kelley, 1998). Hubungan yang dimaksud termasuk hubungan dengan orangtua, saudara, rekan kerja, atasan, bawahan, termasuk juga hubungan yang terjadi karena pernikahan seperti hubungan dengan pasangan dan anak-anak. Pernikahan dapat memberikan manfaat bagi individu yang menjalaninya. Pendapat ini diperkuat oleh Diener, Gohm, Suh dan Oishi (2000) yang menyebutkan bahwa individu yang menikah, memiliki 7

kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memutuskan tidak menikah. Sementara itu, kesejahteraan subjektif individu yang tidak menikah relatif lebih besar daripada individu yang pernah memiliki pengalaman pernikahannya berakhir seperti bercerai. Perceraian sendiri bisa meninggalkan rasa sakit dan memiliki efek jangka panjang bagi individu yang mengalaminya. Individu yang mengalami rasa sakit akibat konflik ini tentu akan berusaha agar perasaannya menjadi lebih baik. Coates dan LaCrosse (2003) menyebutkan bahwa, untuk membuat perasaan menjadi lebih baik, muncul perilaku untuk menyalahkan mantan pasangan dan membangun pola pikir bahwa dirinyalah yang paling benar. Sayangnya perilaku menyalahkan ini hanya akan membuat individu yang bersangkutan tidak segera menyelesaikan masalah dan mengalami kesulitan dalam menemukan ketenangan batin dalam dirinya. Selain itu, perilaku menyalahkan orang lain selalu membutuhkan objek untuk disalahkan, sehingga individu yang bersangkutan selalu membutuhkan orang lain untuk disalahkan. Coates dan LaCrosse (2003) memberikan rekomendasi untuk memaafkan, baik itu memaafkan diri sendiri, orang lain dan situasi atau peristiwa yang pernah menimbulkan luka. Memaafkan itu bermanfaat bagi diri sendiri karena mampu membebaskan individu yang bersangkutan dari perilaku menyalahkan dan rasa marah serta membuat individu yang bersangkutan bisa terus bergerak menjalani kehidupannya di masa depan dengan perilaku yang lebih konstruktif (Coates & 8

LaCrosse, 2003). Memaafkan juga memiliki dampak pada kesehatan fisik (Kitchen, 2001). Kesejahteraan Subjektif Para ahli berpendapat bahwa komponen kesejahteraan subjektif meliputi dua hal, yakni komponen kognitif dan afektif (Nieboer et al, 2005). Arthaud-Day, Rode, Mooney, dan Near (2005) menyebutkan bahwa kesejahteraan subjektif m emiliki tiga domain, yaitu evaluasi kognitif individu, afek positif dan afek negatif. Kepuasan dalam hidup merupakan pendekatan yang paling sering digunakan dalam mengevaluasi komponen kognitif (Diener, Eid dan Diener dalam Nieboer, 2005). Sedangkan komponen afektif seringkali menggunakan pengukuran antara afek positif dan negatif (Bradburn dan Watson dalam Nieboer, 2005). Eid dan Larsen (2008) mengungkapkan bahwa orang yang bahagia cenderung lebih terlibat dalam aktivitas sosial, altruis, aktif, percaya diri, memiliki fisik dan daya tahan tubuh yang kuat dan memiliki kemampuan resolusi konflik yang lebih baik. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika psikologis dan kesejahteraan subjektif wanita yang memiliki keinginan untuk menggugat cerai pasangannya setelah diberikan pelatihan pemaafan. 9