1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam rangka pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peran sertanya dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan hukum baik menyangkut pekerjaan dan upah hingga perlakuan yang adil dalam hubungan kerja, hal tersebut tertuang secara eksplisit pada Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 hak pekerja diuraikan lebih
2 lanjut yaitu setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pengaturan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya ditulis UU Ketenagakerjaan). Dalam UU Ketenagakerjaan diatur berbagai hal terkait ketenagakerjaan diantaranya: (1) Landasan, asas, dan tujuan pengaturan ketenagakerjaan; (2) Kesempatan dan perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh; (3) Hal-hal berkaitan dengan perencanaan dan informasi ketenagakerjaan; (4) Pelatihan kerja; (5) Penempatan tenaga kerja; (6) Penggunaan tenaga kerja asing; (7) Pengaturan terkait hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha; (8) Perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan; (9) Hubungan industrial; (10) Syarat, prosedur, dan larangan Pemutusan hubungan kerja; (11) Pembinaan tenaga kerja; (12) Pengawasan; (13) Penyidikan, ketentuan Pidana hingga sanksi administrasi. Ketentuan yang diatur diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, keadilan, serta kemanfaatan bagi setiap pihak yang berkepentingan baik pengusaha dan pekerja. Peraturan terkait ketenagakerjaan tidak hanya merujuk pada UU Ketenagakerjaan, namun undang-undang lain yang berkaitan, diantaranya; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Undang-Undang
3 Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, hingga peraturan perundang-undangan terkait lainya. Peraturan-peraturan ketenagakerjaan pada intinya bertujuan untuk memberikan perlindungan hak bagi pekerja, namun apa yang dicitacitakan (das sollen) terkadang tidak selalu berjalan dengan apa yang faktual terjadi dilapangan (das sein). Kompleksnya hubungan industrial sering menimbulkan perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Dapat dikatakan bahwa perselisihan hubungan industrial akan senantiasa terjadi selama masih ada pekerja/buruh dan pengusaha. 1 Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dalam perlindungan hukum pekerja khususnya bagi pekerja yang telah diputus hubungan kerjanya melalui pengadilan hubungan industrial pasca putusan pailit oleh pengadilan Niaga. Pasal 165 UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan. Ketentuan sebagaimana diatur tersebut, terkadang berbenturan dengan banyak kepentingan kreditur didalamnya, diantaranya kreditur preferen, kreditur separatis, dan kreditur konkuren. 1 Ismail Nawawi, 2009, Manajemen Konflik Industrial, ITSPress, Surabaya, Hlm. 8.
4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengaturan terkait hak-hak istimewa terhadap jaminan yang didahulukan. 2 Pasal 1134 KUHPerdata menyatakan bahwa hak istimewa adalah hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada kreditur lainnya. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya. Menurut peraturan ketenagakerjaan pekerja memiliki hak istimewa sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1134 KUHPerdata. Hal tersebut diatur dalam Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi, maka upah buruh dan hak-hak lainnya dari pekerja buruh merupakan piutang yang didahulukan. Piutang yang didahulukan tersebut dapat menjadi permasalahan bilamana piutang tersebut berhadapan dengan piutang lain yang dijamin dengan hak jaminan atas kebendaan. 3 Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan), diatur prosedur penyelesaian piutang kreditur. Piutang kreditur dibagi menjadi tiga, yakni: kreditor separatis, kreditor preferen, dan kreditor konkuren. Kreditur pemegang hak jaminan 2 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2005, Hak Istimewah, Gadai dan Hipotik, Prenada Media Grup, Jakarta, Hlm. 64. 3 Hak jaminan atas kebendaan menurut KUHPer diantaranya adalah hak tanggungan, jaminan fidusia, gadai dan Hipotek. Dalam perkembanganya benturan kepentingan sering dijumpai bilamana perusahaan dinyatakan pailit dan harus menyelesaikan pembagian boedel pailit kepada kreditur yang memiliki kedudukan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.
5 atas kebendaan disebut sebagai kreditur separatis didasarkan pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kreditur tersebut berwenang untuk mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan tersebut mempertegas bahwa kreditur separatis mendapat posisi lebih utama dalam proses kepailitan dibandingkan dengan kreditor lain yang termasuk didalamnya adalah upah buruh, sehingga menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, posisi pemegang hak jaminan, didahulukan atau lebih tinggi daripada pembayaran upah buruh. Benturan kepentingan tersebut sangat berpengaruh dalam usaha penyelesaian kepailitan khususnya jika piutang tersebut berhadapan dengan piutang lain yang dijamin dengan hak jaminan atas kebendaan, namun disisi lain sebelumnya telah ada putusan pengadilan hubungan industrial yang inkrah tentang putusnya hubungan kerja pekerja, yang mana juga terdapat hak dan kewajiban yang mengikat. Selain kepentingan mana yang didahulukan dan bagaimana perlindungan hukumnya hingga kini masih belum ada kepastian tentang kedudukan pekerja yang kemudian berakibat tidak dipenuhinya hak pekerja secara maksimal. Bahkan terkadang karena lemahnya posisi tawar pekerja, hak-hak pekerja menjadi pertimbangan kesekian untuk penyelesaian kepailitan.
6 Berdasarkan uraian tersebut sangat diperlukan kajian hukum yang utuh akan perlindungan hak pekerja. Perlindungan hak tersebut dalam hal pekerja yang telah diputus hubungan kerjanya melalui pengadilan hubungan industrial, yang mana hak pekerja tersebut berbenturan dengan kepentingan kreditur lain karena putusan pailit pengadilan niaga. Perlindungan hak bagi pekerja menjadi hal yang penting untuk terciptanya kepastian hukum, maka melalui serangkaian penelitian, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul : PERLINDUNGAN HAK PEKERJA YANG DI PUTUS HUBUNGAN KERJANYA MELALUI PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PASCA PUTUSAN PAILIT OLEH PENGADILAN NIAGA. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagiamana kedudukan pekerja yang di putus hubungan kerjanya melalui pengadilan hubungan industrial pasca putusan pailit oleh pengadilan niaga? 2. Bagaimana perlindungan hak bagi pekerja yang diputus hubungan kerjanya melalui pengadilan hubungan industrial pasca putusan pailit oleh pengadilan niaga?
7 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif: a. Mengetahui dan menganalisis kedudukan pekerja yang di putus hubungan kerjanya melalui putusan pengadilan hubungan industrial pasca putusan pailit oleh pengadilan niaga. b. Mengetahui dan menganalisis perlindungan hak pekerja yang diputus hubungan kerjanya melalui putusan pengadilan hubungan industrial pasca putusan pailit pengadilan niaga. 2. Tujuan Subyektif yaitu untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat dikategorikan sebagai manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis / Akademis a. Secara teoritis, penelitian bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum perusahaan, lebih khusus lagi terkait dengan penerapan teori-teori hukum terkait berkaitan dengan ketenagakerjaan dan kepailitan.
8 b. Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti di bidang ketenagakerjaan dan kepailitan khususnya mengenai perlindungan hak pekerja. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman bagi pihak-pihak terkait kepailitan dan persoalan ketenagakerjaan serta diharapkan dapat menjadi acuan untuk digunakan bagi pihak-pihak yang akan meneliti lebih jauh lagi tentang topik ini. E. Keaslian Penelitian Permasalahan hukum yang diteliti oleh peneliti berkaitan dengan perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya melalui pengadilan hubungan industrial pasca putusan pailit oleh pengadilan niaga merupakan karya asli penulis. Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta peneliti menemukan dua judul tesis yang juga membahas tentang perlindungan hak pekerja. Pertama, disusun oleh Ariel, dengan judul tesis: Perlindungan Terhadap Kepentingan Buruh Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Pada Perusahaan. 4 Dalam tesis tersebut diangkat 3 rumusan masalah yaitu: (1) Aturan hukum manakah yang seharusnya berlaku dalam rangka 4 Ariel, 2012, Perlindungan Terhadap Kepentingan Buruh Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Pada Perusahaan, Tesis, Fakultas Hukum UGM Yogyakarta.
9 pemenuhan kewajiban debitor pailit, dalam hal pembagian harta pailit oleh kurator? (2) Bagaimana tata cara pelaksanaan pemenuhan kewajiban (pembagian harta pailit) yang umumnya dilakukan oleh para kurator dalam praktek di Indosesia? (3) Perlindungan jaminan sosial/asuransi seperti apakah yang dimiliki (dan memang seharusnya dimiliki) oleh para pihak khususnya pekerja/buruh dalam hal tidak adanya sisa harta pailit, setelah pembagian harta pailit secara tepat oleh kurator? Berdasarkan rumusan masalah tersebut dan melalui serangkaian penelitian maka kesimpulan dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: (1) Dalam hal pembagian harta pailit pada suatu perkara kepailitan beberapa aturan hukum yang harus diperhatikan oleh kurator adalah: a. Pasal 1131 1149 Bab XIX Buku II KUH Perdata; b. UU No. 37/2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; c. UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo UU No. 9/1994 jo UU No. 16/2000 jo UU No. 28/2007; d. UU No.4/1996 tentang Hak Tanggungan; e. UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia; f. Pasal 1150 1160 Bab XX Buku II KUH Perdata (mengenai gadai); g. Pasal 314-319 Bab I Buku II KUH Dagang (mengenai hipotik kapal); h. UU No. 13/2003 tetang Ketenagakerjaan; i. UU No. 40 /2007 tentang Perseroan Terbatan. (2) Tata cara pelaksanaan pemenuhan kewajiban (pembagian harta pailit) apabila tidak dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan bahwa suatu piutang memiliki hak istimewa yang lebih tinggi daripada hak atas jaminan kebendaan, maka urutan pembagian
10 harta pailit adalah kreditor separatis, kreditor preferen/hak istimewa, dan terakhir kreditor konkuren, sebaliknya jika ditegaskan adanya hak istimewa, maka urutan pembagian harta pailit adalah kreditor dengan hak istimewa tertentu, kreditor preferen lainya, dan terakhir kreditor konkuren. (3) Belum ada suatu jaminan sosial / asuransi sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan pekerja/buruh dalam hal terjadinya kepailitan pada perusahaan. Kedua, disusun oleh Febrianto, dengan judul tesis: Dampak Proses Penuntutan Pembayaran Upah Terhadap Pemenuhan Hak Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 100/PUU-X/2012). 5 Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan tesis tersebut adalah: (1) Bagaimanakah proses penuntutan hak atas pembayaran upah sebagai akibat pemutusan hubungan kerja (PHK)? (2) Bagaimanakah kekuatan memaksa dari hak menuntut pembayaran upah oleh pekerja terhadap pengusaha? Berdasarkan rumusan masalah tersebut dan melalui serangkaian penelitian maka kesimpulan dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: (1) Proses penuntutan hak atas pembayaran upah sebagai akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) telah dijamin oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun tidak ada suatu ketentuan mengenai jangka waktu penuntutan hak atas pembayaran upah sehingga dalam praktiknya dapat disalahgunakan oleh pemberi kerja yang tidak mempunyai itikad baik 5 Febrianto, 2014, Dampak Proses Penuntutan Pembayaran Upah Terhadap Pemenuhan Hak Pekerja Yang Mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (Studi Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 100/PUU-X/2012), Tesis, Fakultas Hukum UGM Yogyakarta.
11 sehingga dapat merugikan pekerja. (2) Kekuatan memaksa dari hak menuntut pembayaran upah oleh pekerja terhadap pengusaha adalah merupakan hak yang paling esensial atau penting dalam suatu hubungan kerja dimana pemberi kerja berkewajiban untuk memenuhi hak pekerja tersebut dan Undang-Undang Ketenagakerjaan telah menjamin dan mengatur proses pemutusan hubungan kerja beserta hak-hak dan kewajiban yang timbul atas pemutusan hubungan kerja tersebut sehingga walaupun hubungan kerja telah berakhir, pekerja tetap memiliki alas hak (rechtitle) untuk memaksakan pemenuhan hak tersebut. Peneliti dapat mempertanggungjawabkan dan membuktikan secara ilmiah bahwa dua penelitian yang dilakukan diatas tersebut berbeda penelitian ini. Pembeda dari dua penelitian tersebut adalah dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada permasalahan perlindungan hak pekerja yang belum jelas kepastian hukumnya bilamana seorang pekerja telah diputus hubungan kerjanya dengan putusan pengadilan hubungan industrial, yang mana hak dan kewajiban yang timbul dari putusan tersebut justru berbenturan dengan kepentingan lain pasca putusan pailit pengadilan Niaga. Penelitian ini juga menyajikan dua rumusan masalah yang esensinya berbeda dengan dua penelitian tersebut, yaitu terkait kedudukan hukum pekerja yang telah memperoleh putusan pengadilan hubungan industrial pasca putusan pailit pengadilan niaga dan perlindungan hukumnya. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan memenuhi kaedah keaslian penulisan.